Selasa, 07 September 2010

Lantai 4 (Part 1)

glitter-graphics.com

Title : Lantai 4
Author : Sweety Qliquers
Genre : Mystery
Episodes : 5 Part
Part 1 “Teman Berbagi Cerita”
Production : www.korea-lovers86.blogspot.com
Production Date : 07 September 2010, 10.45 AM
Cast :
Son Dam Bi
Kim So Eun
Peter Ho (Dam Bi’s Husband)

Lantai 4
Created By Sweety Qliquers

Part 1
Teman Berbagi Cerita


..."Suara-suara dari lantai empat itu sungguh mengerikan. Benarkah itu hanya suara orang yang sedang latihan drama?"...

Kami bertemu secara kebetulan pagi itu: Aku dan Kim So Eun. Di pintu Mini Apartment kami yang sempit. Hujan turun rintik-rintik.

“Ow. Shit,” katanya menghela napas.

Aku tertawa dalam hati. Di negeri ini, hujan bisa turun kapan saja, sesuka hati. Bahkan, semenit setelah matahari bersinar terang benderang, ia bisa turun dengan lebatnya. Tanpa tanda-tanda. Aku mulai terbiasa dengan hal itu dan siap menenteng payung yang besar dan bergagang kokoh ke mana pun aku pergi.

“Aku harus lari lagi ke lantai empat!” keluhnya.

“Kau mau ke mana?”

“Bougenville.”

“Hei. Ayolah. Kita bisa pakai payung ini berdua.”

Ia melongo dan tertawa.

“Kita?”

Tawaran berbagi payung dari orang yang baru Kau kenal, memang jarang terjadi. Aku pun tidak biasa melakukan hal itu. Tapi, berhubung jarak Mini Apartment kami dan Bougenville hanya lima menit berjalan kaki, dan aku pun sedang menuju ke supermarket itu, apa salahnya?

“Ya. Kenapa tidak.”

“Aha. Terima kasih. Terima kasih.”

Dan kami berjalan bersisian.

“Kita baru kali ini berjumpa, bukan? Kau penghuni baru di Mini Apartment ini?”

“Ya. Ya. Kami baru tinggal di sini lima bulan….”

“Oh, sudah lama juga. Di lantai berapa?”

“Dua.”

“By the way, Aku Kim So Eun.”

“Aku Son Dam Bi.”

Mini Apartment kami berlantai empat. Letaknya di timur kota Seoul. Suamiku, Peter Ho, sedang ditempatkan di kota ini untuk jangka waktu dua tahun. Peter Ho seorang arsitek dan sebuah proyek mengundangnya ke sini.

Malam itu aku sedang merebus spaghetti. Dalam kesendirian, lamat-lamat aku dengar lagi bunyi-bunyi itu. Aku sudah mendengarnya beberapa kali. Bunyi yang sama: agak jauh rasanya, tapi cukup jelas gemanya. Sesuatu seperti… hmmm... kursi berderit-derit. Lalu tembok yang ditinju. Lalu orang bercakap-cakap dengan suara keras, cukup jelas iramanya, tapi sulit aku cerna kata-katanya. Aku dan Peter Ho pernah mendiskusikan hal ini. Peter Ho menebak, suara itu di lantai empat.

Hmmm. Lantai Kim So Eun. Ada dua pintu seingatku di sana. Berarti ada dua unit. Kalau nanti aku bertemu Kim So Eun lagi, akan aku tanyakan padanya.

Saya bertemu lagi dengan Kim So Eun di pagi hari. Waktu itu aku sedang jogging dan ia berjalan dari arah berlawanan.


“Kim So Eun,” sapaku dari jarak tiga puluh senti darinya.

“Oh. Eh. Pagi, Son Dam Bi,” katanya seperti tersadar dari lamunan panjang.

“Hai,” aku tersenyum. “Belanja apa?”"

“Oh…,” dipandangnya plastik yang ia bawa. “Susu. Untuk kopi. Aku selalu minum kopi di pagi hari. Kau?”

“Aku lebih suka teh daripada kopi. Kapan-kapan kita bisa minum teh sama-sama kalau kau tidak sibuk.”

Kim So Eun menatapku. Aku bisa membaca keragu-raguannya. Lalu….

“Aku tidak pernah sibuk.”

“Ayolah, mampir,” kataku ketika kami tiba di pintu Mini Apartment. “Temani aku sarapan.”

“Mmm,” ia tersenyum sedikit.

“Ayolah. Saya punya Kopi susu hangat. Punya Blackforest. Aku bisa buatkan kau telur dadar, kalau mau.…”

“Are you sure?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

“Aku ambil cookies dan akan segera ke tempatmu. Lantai dua, ya.”

“Ya. Sebelah kanan lift.”

Sejak pagi itu, Kim So Eun sering mampir berkunjung ke tempatku. Aku sungguh gembira mendapatkan teman baru. Terlebih lagi, kami mempunyai beberapa kegemaran yang serupa. Sama-sama suka memotret. Sama-sama senang masak. Sama-sama membaca cerita detektif.

Hal lain yang membuatku gembira adalah Kim So Eun punya banyak cerita. Ia sudah berkelana ke mana-mana: India, Nepal, Brazil, Ghana, China, Montreal. Seluruh belahan bumi. Aku selalu terkesima mendengar pengalamannya di masing-masing negara. Yang paling menakjubkan adalah bagaimana ia memaparkan apa yang ia makan di tiap sisi dunia.

“India. Nomor satu India, Son Dam Bi. Itu favoritku.”

“Mereka makan kari, bukan? Dengan santan dan cabai pedas?”

“Hmmm. Itu hanya satu pilihan. Tapi, coba kau bayangkan nikmatnya memakan roti nan sambil mencelupkannya beberapa kali pada bumbu kari? Dan sedikit daging? Hmmm….” Ia memejamkan mata.

Aku menatapnya tak berkedip. Enak betul roti dan kari itu. Enak betul jadi Kim So Eun.

“Kau sudah pernah ke mana di dunia ini?” tanyanya.

Rasanya wajahku merah seketika. Seoul adalah kota pertama yang pernah aku injak, di luar tanah air.


“Aku baru kali ini meninggalkan negaraku.”

“Ah, ah,” ia tersenyum menggoda. “Bagaimana mungkin?”

“Begitulah. Aku anak sulung. Ayahku meninggal ketika usiaku tiga tahun. Selebihnya, aku hidup dengan ibu dan adikku. Aku tak pernah meninggalkan mereka, jika tidak penting sekali. Baru setelah aku menikah dengan Peter Ho.”

“Oh…,” katanya.

Barangkali sulit ia pahami, hubungan antara ‘statusku sebagai anak sulung’ dengan ‘tidak ke luar negeri’. Aku pun bingung menjelaskannya. Tapi, itu sungguh terjadi: keterikatanku yang teramat besar dengan ibu dan adik-adikku, membuatku gelisah jika mereka tak ada.

“Kau selalu pergi sendirian, Kim So Eun? Dengan teman? Atau dengan ibu?”

“Dengan teman. Ibuku meninggal ketika aku remaja. Lima belas-enam belas... sekitar usia itu.

Kim So Eun pun pernah bercerita bahwa ia sudah menjalani berbagai profesi. Guru musik. Juru rawat. Dan terakhir, sebagai penyiar radio. Ia bisa bernyanyi dan bermain piano. Asal tahu saja, itu cita-citaku sejak taman kanak-kanak. Bernyanyi sambil memainkan piano. Tapi, bakat musik tak ada dalam darahku. Main piano aku tak sabar. Menyanyi? Mmm, tidak. Suaraku tak lebih merdu dari derit pintu.

“Waktu Aku jadi penyiar radio, aku sempat memegang dua jenis musik. Klasik dan jazz. Asal kau tahu, aku buta musik klasik. Tak bisa membedakan mana Mozart mana Beethoven. Ketika satu lagu selesai terputar, aku bacakan semua komentar tentang Mozart dari artikel di majalah. Lengkap dengan bumbu-bumbu sekadarnya. Lima menit kemudian, ada telepon ke studio, memberi tahu: komposisi tadi karya Beethoven. Malunya!”

Aku tergelak-gelak.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar