Jumat, 03 September 2010

Jejoongwon (Episode 30)

Naoko datang dan ikut mengintip lewat jendela. Sama seperti Hwang Jung, ia juga merasa cemburu namun ditambah marah.

Setelah Do Yang dan Seok Ran selesai mengoperasi pasien, mereka keluar untuk menemui Hwang Jung dan Naoko.

"Kerja yang bagus, Dr. Baek." ujar Hwang Jung. "Kau juga, Dr. Yoo."

Seok Ran merasa tidak enak. "Nona Naoko..."

Tanpa mengatakan apa-apa, Naoko berjalan pergi dengan marah. Do Yang mengejarnya.

"Apakah Dr. Yoo lebih penting daripada pernikahan kita?" tanya Naoko sedih.

"Kau melihat sendiri." kata Do Yang menjelaskan. "Bibir sumbing seorang pasien harus dioperasi."

"Ya, aku lihat!" seru Naoko. "Itulah yang membuatku makin marah! Apakah bibir sumbing beitu darurat? Dr. Hwang bisa melakukan operasi itu! Apakah kau ingin menikahiku?"

"Naoko.."

"Apakah kau mencintaiku?" tanya Naoko dengan mata berkaca-kaca.

"Berhenti menanyakan hal seperti itu padaku." Do Yang mulai kehabisan kesabaran.

"Aku bersikap seperti anak kecil di depanmu." ujar Naoko. "Aku berharap lagi dan lagi.. bahwa kau akan membuka hatimu untukku. Tapi hari ini aku sadar bahwa hatimu tidak akan terbuka untukku. Aku membuatmu memanfaatkan hubungan kita karena aku mencintaimu. Tapi hari ini, kau mendorongku terlalu jauh."

"Karena itulah hubungan kita tidak akan berhasil." kata Do Yang. "Perasaanmu padaku terlalu kuat. Kita tunda pernikahan kita."

Naoko terpukul.

"Kau tahu siapa yang ada dibalik ledakan di kamar Tuan Lee Yong Ik, bukan?" tanya Do Yang tajam.

"Apa maksudmu? Bagaimana aku bisa tahu?"

"Orang yang memberi perintah untuk meledakkan kamar Tuan Yong Ik adalah..."

"Siapa?" tanya Naoko.

"Lupakan saja."

"Katakan siapa!" seru Naoko memaksa. "Apakah ini berhubungan dengan pernikahan kita?"

"Hubungan Korea dan Jepang saat ini sedang buruk." kata Do Yang. "Jika aku menikahimu sekarang, orang orang akan berpikir bahwa aku hanya memanfaatkan kekayaan dan kekuasaan keluargamu."

"Bagaimana jika aku mengubah kebangsaanku?" tanya Naoko. "Aku merasa tidak aman. Aku takut kau akan meninggalkan aku." Akhirnya Naoko setuju untuk menunda pernikahan mereka dengan syarat Do Yang harus lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Do Yang setuju.

Beberapa hari kemudian, Seok Ran sengaja memanggil Do Yang ketika ia dan Hwang Jung hendak membuka perban pasien bibir sumbing. Hwang Jung kelihatan sangat, sangat cemburu.

"Dr. Yoo, terima kasih sudah memanggilku." kata Do Yang.

"Tidak apa-apa." kata Seok Ran tersenyum. "Kau punya hak untuk melihat pasienmu."

Dengan ketakutan dan tangan gemetar, pasien tersebut menerima cermin yang diberikan Seok Ran. Bibirnya telah kembali normal.

"Terima kasih." ujar pasien tersebut, membungkuk.

"Kau benar-benar memiliki keberuntungan!" kata suami pasien.

Mulai saat ini, Jejoongwon akan menerima pasien bibir sumbing.

Pasien demi pasien berdatangan ke Jejoongwon untuk mengoperasi bibir sumbing mereka.

Ayah Naoko berkunjung ke Korea dan datang ke Hansung.

"Ayah!" seru Naoko seraya berlari memeluk ayahnya.

Do Yang membungkuk untuk memberi hormat.

"Do Yang! Wajahmu kelihatan kurus!" kata ayah Naoko.

"Ayah, Do Yang-sama sangat sibuk." kata Naoko. "Ia menjadikan kedokteran sebagai jembatan untuk Jepang dan Korea. Pasien mengantri agar diobati olehnya.

"Begitu." ujar Ayah Naoko.

"Tolong jangan marah mengenai pernikahan." bujuk Naoko. "Kita bisa memutuskan tanggalnya lagi nanti."

"Ya, karena itulah aku datang kemari." ujar Ayah Naoko. "Kalian bisa menunda pernikahan kalian di Jepang. Tapi kenapa kalian tidak mengadakan pernikahan di Korea terlebih dulu?"

Watanabe menawarkan agar pernikahan diadakan di Hansung.

"Kita harus mengundang semua pejabat senior Korea dan mengadakan acara besar-besaran!" saran Duta Besar.

"Aku akan mewariskan nama keluarga Kobayashi padamu." kata Ayah Naoko. "Do Yang, kuharap kau tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk lahir kembali menjadi warga negara kami."

Do Yang diam, kelihatan tidak senang.

Di Jejoongwon, seorang pasien dengan menggigil berjalan masuk. Pasien itu tidak lain adalah orang suruhan Menteri Perang yang dulu diperintahkan untuk membunuh Ma Dang Gae.

Begitu datang, orang tersebut langsung memaksa masuk, menyerobot antrean.

"Kau harus menunggu diantrean!" seru Nang Rang.

"Aku mau masuk duluan!" seru pria itu.

Nang Rang mencoba menahan pria itu, namun pria itu marah-marah dan membentak Nang Rang. Hwang Jung mengangguk pada Nang Rang agar membiarkan pasien tersebut.

"Apa kau punya opium?" tanya si pria pada Hwang Jung. "Aku sangat membutuhkannya. Kudengar kau punya morfin. Berikan aku satu suntik."

"Kau pasti pecandu opium." kata Hwang Jung. "Tapi kami tidak bisa memberikan opium pada sembarang orang."

"Kau tidak akan memberiku?"

"Tidak, aku tidak akan memberimu." jawab Hwang Jung tenang.

"Aku bukan tukang jagal, Tuan!" kata pria itu. "Yang Mulia Raja memperbaiki status putraku, jadi statusku juga meningkat." Pria itu tertawa. "Perbaikan status untuk tukang jagal?! Omong kosong!"

Hwang Jung mendengarkan.

"Jika kau memberiku satu suntikan morfin, aku akan memberitahukan segalanya padamu." kata pria itu. "Aku akan memberitahu bagaimana ayahmu mati. Aku akan memberitahu siapa orang yang berada di balik kematiannya."

Gwak tiba-tiba masuk bersama Nang Rang dan mencoba mengusir pria itu.

"Aku... akulah yang membunuh ayahmu!" kata pria itu.

"Apa yang ia katakan?!" teriak Gwak.

Hwang Jung bangkit dari duduknya. "Siapa kau?!"

"Aku? Siapa aku tidaklah penting." kata pria itu. "Berikan aku satu suntikan morfin dan aku akan memberitahu segalanya padamu! Dia mati di kedai, bukan? Dan kau sedang menjahit seseorang di luar? Tukang Jagal menjadi seorang dokter?! Omong kosong!"

Gwak menarik pria itu keluar dengan paksa. "Keluar kau, Pria Gila!"

Hwang Jung menarik si pria dengan kasar. "Siapa kau?! Apa yang kau katakan?!" teriaknya marah.

"Beri aku morfin!" kata pria itu, mulai tidak sadar. "Beri aku morfin!"

Gwak membawa pria itu ke sebuah ruangan.

"Beri aku morfin!" teriak pria itu, hilang kendali. "Tolong beri aku morfin!"

Gwak dan Jang Geun memeganginya erat dan mengikatnya dengan tali.

"Memberimu morfin melanggar aturan rumah sakit." kata Seok Ran.

"Apa kau benar-benar orang yang membunuh paman?" tanya Gwak. Pria itu tidak menjawab, ia menggigil semakin parah.

Hwang Jung memeriksa pria itu. "Kondisinya sangat serius."

"Ya." kata Jang Geun. "Aku akan menangani pasien ini. Kau harus kembali pada pasienmu."

Jang Geun, Seok Ran dan Gwak mengkhawatirkan Hwang Jung.

"Kenapa kalian semua disini?" tanya Hwang Jung. "Ia hanya pecandu opium. Aku bisa menangani dia sendiri. Kalian boleh pergi."

"Dr. Hwang..." Seok Ran hendak menolak.

"Dr. Go, tolong antar Dr.Yoo keluar." kata Hwang Jung, memotong ucapan Seok Ran. "Lee Gwak, kau boleh pergi juga."

Mereka semua pergi dengan terpaksa.

"Apa kau tahu mengenai ayahku?" tanya Hwang Jung. "Katakan semua yang kau tahu."

"Tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini." kata pria itu.

Hwang Jung mengambil kotak dan mengeluarkan sebuah suntikan.

"Apa itu semua morfin?" tanya si pria. "Cepat! Cepat!"

"Katakan mengenai ayahku." kata Hwang Jung.

"Cepat berikan itu padaku!" teriak si pria. Hwang Jung diam saja. Akhirnya pria itu menyerah. "Mulanya kami mencoba membunuhmu pada malam ketika kau pindah ke rumah baru. Tapi kau tidak mati, karena itulah kami memutuskan untuk membunuh ayahmu."

Rupanya, Gwak, Seok Ran dan Jang Geun mendengar dari luar.

"Bajingan!" seru Gwak, hendak menerjang masuk, namun Jang Geun menghalanginya.

"Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Hwang Jung.

"Aku tidak akan mengatakannya! Tidak, sampai kau memberikan suntikan itu! Berikan morfin itu!"

Hwang Jung bangkit dan hendak berjalan keluar.

"Menteri Perang!" teriak si pria. "Ia ingin kau merasakan bagaimana kepedihan karena kehilangan seseorang yang sangat dicintai. Dia yang memerintahkan kami melakukan itu."

Hwang Jung keluar dari ruangan dengan terpukul, tanpa memberikan morfin tersebut pada pria itu.

"Berikan pasien sedikit cairan IV." kata Hwang Jung datar pada Jang Geun.

Chung Hwan mengatakan bahwa Menteri Perang sekarang sudah mundur dari jabatannya. Jang Geun masuk ke ruangan itu.

"Pasien marah karena tahu bahwa IV bukan morfin." katanya. "Kalian pasti sedang membicarakan Menteri perang. Aku tahu sesuatu mengenai dia. Temanku Kantor Polisi mengatakan bahwa mereka menggambar wajah Menteri Perang."

"Kudengar dia mundur karena sakit." tambah Chung Hwan. "Itu artinya, hidupnya tinggal sebentar lagi. Dr. Hwang, aku yakin saat ini hatimu penuh dengan kesedihan. Tapi mungkin kau harus berpikir bahwa waktulah yang akan membalas dendam untukmu."

"Itu tidak cukup!" seru Gwak. "Balas dendam adalah menusukkan pisau ke badannya sebelum ia mati!"

"Gwak." potong Seok Ran.

"Aku hanya mengatakannya saja, bukan berarti aku akan melakukannya." kata Gwak.

"Laporkan saja pada polisi." saran Seok Ran. "Sekarang kita memiliki saksi."

Akhirnya Hwang Jung membuka mulut. "Aku ingin sendirian." katanya seraya bangkit dan berjalan keluar dari ruangan.

Hwang Jung pulang ke rumah. Disana, ia membuka bungkusan berisi baju Ma Dang Gae yang dikenakan saat kematiannya. Hwang Jung menangis. Di bungkusan itu, ia juga menyimpan sebuah pisau. Hwang Jung mengambil pisau tersebut dan menyembunyikannya dibalik bajunya.

Karena mengkhawatirkan Hwang Jung, Gwak menyusulnya.

"Jung!" panggil Gwak, tapi Hwang Jung mendorongnya dan berlari pergi ke rumah Menteri Perang.

"Aku ingin bertemu Menteri Perang." kata Hwang Jung pada penjaga.

"Ia sedang tidak ada." kata penjaga.

"Aku tahu ia ada didalam." ujar Hwang Jung. "Katakan padanya aku adalah Dr. Hwang Jung dari Jejoongwon. Aku adalah orang dengan status yang ditingkatkan oleh Yang Mulia. Ia pasti mengenaliku."

Penjaga berpikir sejenak. "Baik, tunggu sebentar." Kemudian masuk ke dalam rumah.

"Jung, kenapa kau bersikap seperti ini?" tanya Gwak cemas. "Ayo kita kembali. Kau tidak seharusnya berada disini saat ini."

Hwang Jung tidak menanggapi Gwak.

Penjaga keluar. "Ia bilang bahwa ia tidak mengenalimu." katanya.

Hwang Jung mencoba memaksa masuk, namun penjaga mendorongnya kemudian mengancamnya dengan pedang.

"Menteri!" teriak Hwang Jung. "Apa kau tidak takut pada langit? Aku akan membuatmu membayar! Aku tidak akan membiarkan kau lolos!"

Ayah Naoko, Watanabe dan Duta Jepang berbincang di restoran tempat Je Wook bekerja. Sebelum mengantarkan minuman, Je Wook meludahi minuman ketiga orang Jepang tersebut.

"Aku adalah pahlawan negara yang hebat." gumamnya pada diri sendiri.

Mereka bertiga berbincang masalah Do Yang. Kali ini, Do Yang tidak akan berani macam-macam karena tahu bahwa Ayah Naoko-lah yang membiayai pendidikan kedokterannya. Jika Do Yang berani macam-macam, maka semua surat kabar akan mengekspos mengenai dirinya.

"Hanya soal waktu ia akan memberontak." kata Duta Jepang. "Menurut hukum Korea, seseorang yang memberontak akan dihukum tiga klan."

Tiga klan artinya semua anggota keluarga dari si pemberontak akan dihukum mati.

"Tapi kenapa kau begitu terikat pada Baek Do Yang?" tanya Duta Jepang.

"Baek Do Yang adalah dokter yang sangat berbakat." kata Ayah Naoko. "Di Jepang, ia mengobati banyak orang berpengaruh dalam politik dan finansial. Ia adalah orang termuda yang pernah lulus di Jepang. Bagaimana bisa aku kehilangan orang yang sangat berguna seperti itu?"

Naoko berkunjung ke rumah Do Yang. Ia memeluk dan membujuk Do Yang untuk menuruti keinginan Ayahnya, namun Do Yang tetap menolak.

"Apakah karena Yoo Seok Ran?" tanya Naoko. "Ia milik orang lain."

"Ini bukan karena Seok Ran." bantah Do Yang.

"Lalu kenapa aku masih bisa melihatnya di matamu?" tanya Naoko.

Do Yang diam.

"Apa?! Menteri Perang memerintahkan orang untuk membunuh ayahmu?" tanya Do Yang setelah Hwang Jung bercerita padanya.

"Kau dekat dengan Menteri Perang." ujar Hwang Jung dingin. "Apakah kau benar-benar tidak tahu."

"Aku bersumpah, aku tidak tahu." ujar Do Yang.

"Jika ia tahu, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi." bela Seok Ran. "Kau harus menghadapi masa depan dan lupakan masa lalu."

"Seok Ran benar." ujar Do Yang.

"Emosiku akan segera membaik. Aku akan menemui kalian lagi nanti." Hwang Jung berjalan pergi meninggalkan mereka.

Do Yang mengunjungi Menteri Perang. Menteri Perang sedang sakit keras. Batuknya mengeluarkan darah.

"Kemarin Hwang Jung datang kemari dan membuat keributan diluar." kata Menteri. "Bodoh."

"Kenapa kau melakukannya?" tanya Do Yang.

"Apa maksudmu?" tanya Menteri. "Itu adalah hal terbaik yang pernah kulakukan seumur hidupku." Menteri itu batuk-batuk parah.

"Apakah terasa sakit?" tanya Do Yang.

"Rasanya seperti jarum yang menusukku." kata Menteri.

Do Yang berpikir. Ia kemudian membawa Menteri ke Hansung untuk di periksa.

"Kau terkena kanker paru-paru." ujar Do Yang, melihat hasil sinar X. "Kanker sudah menyebar di seluruh paru-parumu."

"Apa maksudmu?" tanya Menteri.

"Ada tumor di paru-parumu." kata Do Yang. "Mungkin kami harus memindahkan satu paru-paru. Secepatnya kita harus melakukan operasi. Jika tidak, hidupmu tidak akan lama lagi."

"Tanpa operasi, berapa lama aku akan hidup?"

"Paling lama... satu bulan." jawab Do Yang. "Tapi jika kau melakukan operasi, kau akan hidup lebih lama."

"Aku akan melakukan operasi, tapi aku tidak ingin melakukannya di rumah sakit asing." kata Menteri. "Tolong rekomendasikan rumah sakit lain untukku."

"Tidak banyak orang yang tahu mengenai prosedur ini." ujar Do Yang. "Hanya Dr. Hwang Jung dan aku yang tahu bagaimana melakukannya."

"Apa? Hwang Jung?" tanya Menteri. Ia tertawa dan batuk sekaligus. "Jika ia mengoperasiku, ia akan menusukku dengan pisau."

"Lakukan operasi disini. Aku akan menyelamatkanmu." saran Do Yang.

Watanabe meminta tolong pada Kim Don untuk memotretnya dengan sinar X. Malamnya, ia memeriksa hasil foto sinar X. "Oh, tidak!" gumamnya takut. Sepanjang yang dilihat Watanabe menyamakan hasil Menteri Perang dengan hasilnya. Paru-paru Menteri perang hanya satu bagian yang menghitam, namun paru-parunya keduanya menghitam.

Di restoran, Je Wook melihat Naoko datang sendirian. Ia menceritakan segala sesuatu mengenai Do Yang, bahwa setelah kematian ibunya, Do Yang hanya peduli pada Seok Ran. Do Yang juga pernah melamar Seok Ran. Itu membuat Naoko merasa sangat marah dan sedih.

Seok Ran mencoba menghibur Hwang Jung yang murung seharian.

"Jika kau murung, pasien juga akan ikut murung." hibur Seok Ran. "Aku juga."

Keesokkan harinya, Ayah Naoko menemukan Naoko pingsan. Ia bergegas membawanya ke Hansung.

Do Yang mengobati Naoko.

"Ia meminum pil tidur." kata Watanabe. "Kelihatannya ia mengambil pil ini dari rumah sakit. Kita sudah memompa perutnya, jadi hidupnya tidak akan berada dalam bahaya. Jangan khawatir."

"Ia akan segera sembuh jika beristirahat." Do Yang menenangkan Ayah Naoko.

Ayah Naoko mengeluarkan sebuah surat dari dalam jasnya, kemudian memberikan pada Do Yang dengan kasar. Ia berjalan keluar dari ruangan, diikuti oleh Watanabe.

"Do Yang-sama, apakah kau merasa kasihan padaku?" tanya Naoko dalam suratnya. "Aku percaya bahwa kau menyukaiku walau sedikit dan karena itulah aku bisa bertahan ketika aku kesepian. Tapi sekarang aku sadar bahwa kau tidak pernah mencintaiku. Kau hanya merasa kasihan padaku. Kau melihat dirimu sendiri dalam diriku. Mungkin karena itulah kau memahami aku lebih dari orang lain. Aku ingin mengakhiri penderitaanku. Naoko."

Kemurungan Hwang Jung bisa dilihat oleh semua orang, bahkan Tuan dan Nyonya Yoo.

"Dr. Hwang, jangan lupa bahwa kau adalah seorang dokter." kata Tuan Yoo. "Kau tidak hanya bertanggung jawab pada dirimu sendiri. Kau adalah dokter Jejoongwon. Kau juga adalah calon menantuku."

Hwang Jung diam.

Nyonya Yoo mengangguk. Akhirnya ia bisa menerima Hwang Jung.

"Jangan sampai tindakan gegabah menghancurkan semua yang sudah kau bangun selama ini." Tuan Yoo menasehati.

Do Yang menunggui Naoko di kamarnya. Akhirnya Naoko sadar.

"Kenapa kau datang?" tanya Naoko. "Apakah kau merasa kasihan padaku?"

"Maafkan aku, karena membuatmu merasa begitu." ujar Do Yang. "Bisakah kau... menungguku sedikit lebih lama? Sampai hatiku.... sedikit lebih dekat padamu?"

Naoko menangis.

Hwang Jung datang ke studi foto untuk mengambil hasil fotonya dan Seok Ran.

"Kau tidak akan bisa menemukannya." kata Seok Ran, mengintip dari pintu. Ternyata foto itu sudah diambil. Hwang Jung tertawa.

"Kau kelihatan lebih tua." komentar Seok Ran ketika mereka melihat-lihat hasil foto di Jejoongwon. "Kau kelihatan lebih tua 10 tahun!"

"Siapa? Aku?" tanya Hwang Jung, merebut foto dari Seok Ran. "Sepertinya kau yang kelihatan lebih tua. Mulanya matamu besar seperti ini." Hwang Jung memeragakan mata Seok Ran. "Tapi sekarang matamu jadi seperti ini."

Seok Ran cemberut. "Aku akan menyita foto ini karena aku terlihat jelek."

Hwang Jung mau mengambil foto itu, tapi Seok Ran menyembunyikan. "Berikan padaku."

"Tidak." tolak Seok Ran. Berlari kabur. Hwang Jung mengejarnya.

Jang Geun tiba-tiba masuk. Ia terlonjak kaget. "Kalian mengejutkan aku!"serunya. "Maafkan aku, tapi aku ingin memberitahukan sesuatu."

"Apa?" tanya Hwang Jung.

"Kau tahu dimana Menteri Perang saat ini? Ia ada di Rumah Sakit Hansung, sedang menunggu operasi."

Hwang Jung bergegas pergi. Ia ingin menuntut permohonan maaf dari Menteri Perang.

Saat tiba di Hansung, Hwang Jung melihat Watanabe batuk-batuk berdarah. Ia memeriksanya.

"Bagaimana rasanya memeriksa orang yang terkenal sebagai hipokrat Jepang?" tanya Watanabe. "Aku selalu merasa kemampuanmu sia-sia. Jika kau bekerja untukku, kau pasti akan jauh lebih terkenal dibanding sekarang."

"Sejak kapan kau mulai merasakan gejala?" tanya Hwang Jung.

"Pertanyaanmu sangat rinci." kata Watanabe tertawa, ia tidak bersedia menjawab pertanyaan Hwang Jung. "Apakah kau datang untuk membunuh Menteri Perang?"

"Rupanya kau sudah tahu segalanya." ujar Hwang Jung.

"Ini operasi yang sulit." ujar Watanabe. "Mungkin ia tidak akan bangun lagi. Ini saat yang tepat jika kau ingin bicara dengannya."

Hwang Jung datang ke kamar Menteri Perang. Setelah mulanya diusir dengan kasar, akhirnya Hwang Jung berhasil masuk.

"Kau tahu kenapa aku kemari, bukan?" tanya Hwang Jung.

"Aku tidak yakin." jawab Menteri sinis. "Mungkin karena kau dengar aku terkena penyakit berbahaya, maka kau datang untuk meminta maaf karena menyebabkan putriku meninggal. Walaupun kau meminta maaf, aku tidak akan pernah memaafkanmu."

"Karena itu kau memerintahkan orang untuk membunuhnya?" tanya Hwang Jung.

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Mungkin ini keberuntungan." ujar Hwang Jung. "Aku bertemu dengan seorang pria dengan bekas luka. Yang lebih menarik lagi, dia mengatakan bahwa kau menyuruhnya membunuh ayahku."

"Bagaimana mungkin seorang pejabat pemerintahan melakukan sesuatu seperti itu?" tanya Menteri. "Ayahmu memang pantas dibunuh, tapi aku tidak bisa melakukan itu padanya."

"Tuan Besar!" ujar Hwang Jung tajam. "Mungkin ini terdengar membosankan untukmu, tapi aku ingin mengatakan sesuatu. Ayahku selalu menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain. Tapi suatu saat statusnya diangkat. Ia ingin memakan semangkuk sup, tapi ia malah dipukuli seperti anjing. Apa kau tahu?"

"Ck ck ck.." Menteri berdecak mengejek. "Karena itulah seseorang harus tahu kedudukannya. Aku tidak ingin mendengar kisah tragismu. Tinggalkan aku."

"Ya, aku akan pergi." kata Hwang Jung. "Tapi sebelumnya, aku ingin kau meminta maaf dengan segenap hatimu."

"Untuk apa aku harus minta maaf?"

"Kau memerintahkan orang untuk membunuh ayahku!"

"Apakah aku melakukannya?" gumam Menteri itu. "Ya, aku ingat sekarang. Aku melakukannya. Aku menyuruh mereka memberi pelajaran padamu. Itulah hidup. Jika salah langkah, semut akan mati. Jadi terima dan lupakan saja."

"Maksudmu, ayahku tidak lebih dari semut dan lalat?"

"Kau lebih pintar dari penampilanmu." ejek Menteri.

Hwang Jung kehabisan kesabaran. Ia maju dan menarik kerah baji Menteri. "Kau membunuh ayahku!" teriaknya. "Minta maaf!"

"Bunuh aku." kata Menteri. "Aku akan membalas dendam putriku dengan membuatmu menjadi pembunuh. Cepat bunuh aku!" Menteri tertawa.

Watanabe datang dan mendorong Hwang Jung.

"Kau seharusnya membiarkan dirimu mati saat itu." kata Menteri. "Kau seharusnya menyalahkan dirimu sendiri. Dia mati menggantikanmu."

"Aku.. tidak akan pernah memaafkanmu! seru Hwang Jung.

"Permohonan maaf dari orang lemah sepertimu?" tanya Menteri, tertawa mengejek.

Hwang Jung keluar dan beteriak sekuat tenaga di tengah jalan yang sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar