Sabtu, 31 Juli 2010

Sakau


Entah apa yang sedang aku alami sekarang. Selama delapan tahun aku nyantri, tak pernah seganjil ini. Tubuhku terasa ringan untuk berpindah dari sudut ke sudut, dari waktu ke waktu, melintasi peristiwa dan tragedi yang banyak orang tak ingin tahu. Tanpa ada niat, tiba-tiba aku sudah berada di kamar Abah Yai. Melihat pulasnya beliau tidur, wajahku berpaling, dan aku sudah di perempatan jalan yang tak tahu namanya. Aku mencoba mengendalikan diri, namun tubuhku terpelanting ke tengah lautan. Aku tenggelam. Kembali, aku di atas pesujudan malam. Fiuh...!

“Kenapa, Gus?” Mereka terheran-heran melihat tubuhku basah kuyup.

Tanpa sepatah kata, aku membersihkan tubuh ke telaga biru, sebelah pondok. Pakaianku asin. Batinku. Ini sepertiga malam, jelas sunyi gelap yang ada. Aku tetap saja di sana, masih sibuk menyeka tubuh. Kepalaku tetap tak bisa menjawab apa yang barusan aku alami, namun tiba-tiba aku berada di sebuah kamar mandi dengan berbagai fasilitas, lengkap beserta peralatan mandi.

“Di mana lagi ini?” Aku berusaha senyaman mungkin dengan kondisiku. Sepetinya aku sedang berada di sebuah hotel elite. Aku sadar sepenuhnya, ini bukan mimpi. Barangkali ini permainan yang harus aku ikuti. Kugunakan saja peralatan mandi itu, untuk menyegarkan tubuh, agar bau asin lenyap.

Lama kunikmati mandi. Aku ingin kembali ke jeruji para resi itu. Dan, “laph…” aku sudah sampai dengan satu kedipan mata.

Tiga bulan ini tak ada yang mengetahui keadaanku, bahkan keluarga Abah Yai. Kusimpan dalam diriku, untuk kurenungi, kunikmati. Aku seperti berada dalam film Jumping, yang bisa sesuka hati melintasi dunia, tanpa alat transportasi apapun. Hanya dengan dengusan nafas, seketika bisa di Washington, kemudian pindah ke Mesir, China, Brazil, Malaysia, Belanda, India dan kota-kota penting di dunia, sesukaku. Aku manusia, namun punya keahlian bak jin Ifrit dalam cerita Nabi Sulaiman, yang mampu memindahkan istana dengan satu kedipan mata.

***

Yang banyak orang pondok tahu, aku penggoda santri putri. Banyak kesempatan bagiku untuk sekadar ngobrol dengan para santriwati di dapur. Betul, ketika ngaji, ada satir pemisah laki-laki dan perempuan. Namun, aturan itu tak berlaku di dapur. Di sana, semua berlaku dlarury. Kata Mbah Ismail, guru senior Ushul Fiqh itu, al-dlarurah tubihul mahdlurah, yang darurat menjadikan semua yang terlarang boleh. Dapur adalah praktik dari kaidah ushul itu.

Ndalem membutuhkan banyak tenaga untuk memasak kebutuhan makan para santri setiap hari. Ada santri khusus yang kebal hukum, yaitu santri ndalem, santri yang khidmah kepada keluarga kiai dan santri. Santri ndalem tidak pernah kena sangsi pelanggaran aturan pondok. Mereka adalah santri bebas bin merdeka. Ketika aturan pondok menyatakan para santri tidak boleh membawa hape, mereka jutru penggila game hape. Rambut gondrong dilarang, namun ada yang punya ukuran rambut se-meter. Malam hari santri biasa hanya boleh keluar hingga jam 10, namun mereka sampai subuh nonton teve ke rumah tetangga pun, no problem. Tak ada aturan. Tidak adil, namun mengasyikkan bagiku. Aku termasuk di antara dua puluh santri ndalem itu. Di kala banyak santri lain dilarang berduaan dengan lain jenis, mereka malah punya soulmate masing-masing. Dapur adalah tempat paling nyaman untuk memperkuat tali silaturrahim–meminjam istilahnya Pak Masyhudi (guru haditsku)–antar santri ndalem, putra dan putri.

Boleh dikata, parasku lumayanlah. Tak mengecewakan bila dibandingkan dengan Pasha Ungu atau Ariel Peterpan. Apalagi aku termasuk “minal gawagis” (Golongan Gus) yang gampang mendapatkan hormat. Seandainya aku mendekati seorang santriwati, menolak baginya adalah pilihan paling jelek di antara yang terhina–itu menurutku. Namun, aku bukan santri yang se-semelekethe itu. Meski sering menggoda santri putri yang ayu, aku tipe orang yang selektif. Tidak mudah menjatuhkan pilihan. Ternyata, di antara para gadis yang kukenal selama dua puluh empat tahun, hanya dia yang membuatku tak berdaya. Aku semangat kerja di dapur karena dia, Rosa. Dia tak secantik Luna Maya, namun pesona matanya membuatku tak berpaling.

Kenapa baru sekarang dia ngabdi di ndalem? bisikku suatu ketika.

Dia ternyata santri kesayangan Mbah Putri, ibu dari Abah Yai. Selama ini ia tidak ditempatkan di ndalem karena harus merampungkan hafalan Quran-nya dulu. Betul, semua yang ditempatkan di ndalem adalah para santri senior, atau mahasantri, yaitu mereka yang telah lulus madrasah diniyyah atau telah wisuda tahfidz Al-Quran. Tugas belajar mereka, untuk sementara, dianggap rampung. Mereka diangkat menjadi santri ndalem sebagai bentuk pengabdian. Minimal setahun. Tak ada batas maksimal. Jadi, yang ada di dapur adalah yang tidak punya taklif furudlat al-taklim (beban kewajiban belajar). Kecuali aku. Aku belum tamat diniyyah, apalagi wisuda tahfidz, maaf. Namun, aku dibiarkan Abah karena menurut beliau, aku kelak memiliki kekhususan yang tidak didapatkan santri-santri pada umumnya. Masih terekam benar dalam ingatanku kata Abah ketika baru sebulan di pondok: “Gus, jenengan adalah titisan Mbah Wali.”

Mbah Wali adalah julukan bagi salah satu leluhurku. Sebutan itu sangat terkenal di tempat aku tinggal. Aku tak pernah ziarah ke makamnya. Aku mengenalnya dari cerita saudara-saudaraku di rumah. Konon, Mbah Wali adalah sosok sakti mandraguna, hurdug jumuah wage. Tapi yakin, aku tidak menjadi orang sepertinya. Makanya, ketika mulai berminat nyantri, aku lebih memilih pondok pesantren kitab atau Al-Quran daripada kanuragan. Kebetulan, karena Abah Yai adalah teman segothaan dengan bapakku, di pondok dulu, akhirnya aku dilempar ke pondok ini; Bahjatul Wasail, nama tabarrukan dari sebuah kitab kuning. Kedekatan emosional Abah serta keyakinannya kepadaku itu, membuat aku bebas dari segala aturan pondok. Termasuk membuka kesempatan menjalin mahabbah dengan Rosa, yang dalam hukum normatif pondok, jika itu terjadi, harus dikeluarkan. Mardud Abadan. Santri murtad.

***

Rosa Malika. Begitu nama lengkap dari orang tuanya. Pernah aku bertanya, dua kata dalam namanya adalah adaptasi bahasa, antara Jawa dan Arab. Rosa artinya Roso (kuat) dan Malika artinya penguasa. Jadi, Rosa Malika bermakna penguasa yang kuat. Rosa hanya perempuan biasa dengan tampilan yang juga biasa, tetapi memiliki mimpi yang luar biasa, sebagaimana namanya, penguasa yang tak terkalahkan.

Ia membuat aku, Ubab, harus mengangkat topi untuk mengatakan uhibbukum (aku cinta kalian) di sebuah warung tetangga pondok, waktu itu. Aku tidak mengatakan “aku cinta padamu” (uhibbuki), tetapi “aku cinta pada kalian” (uhibbukum), menggunakan dlamir jama. Dalam alam ideaku, tak mungkin misi cinta akan mencapai kesempurnaan jika hanya mencintainya, tanpa mencintai lingkungan dan kaluarganya. Bukan berarti mendua, hanya ingin agar jalinan silaturrahhim berbasis cinta itu berjalan realistis dan apa adanya, nihil syarat, sebab, serta hilang dari kebutaan.

“Ubab tidak mempercayai adanya cinta pertama. Yang pertama hanyalah suka, bukan cinta. Ingat pameo “cinta itu dari mata turun ke hati”, bukan? Dalam goresan ini Ubab hanya ingin mengatakan bahwa cinta yang sejati itu diciptakan, bukan ditemukan. Jangan kau salahkan Ubab mencintaimu, karena itu tumbuh dari Tuhan. Cinta Ubab kepadamu adalah cinta titik, bukan cinta koma. Cinta sesungguhnya bukan cinta karena, bukan cinta apabila, juga bukan cinta walaupun. Cinta Ubab, cinta titik.”

Itu goresan yang kutuliskan yang membebaskan dari jawaban. Tidak ada tuntutan baginya untuk menjawab, karena luapan kata itu bukanlah pertanyaan. Hanya pernyataan. Seandainya aku bertanya misalnya, apakah kau mencintaiku, jelas menuntut sebuah jawaban. Aku tak mau membuat orang yang aku cintai terbebani. Hanya respon darinya yang ada dalam asaku. Entah respon membahagiakan atau tidak, aku selalu berlari-lari antara ketenangan dan kecemasan.

Lama demonstrasi cintaku terdiam dalam sudut arahan tak pasti. Sebulan ini Rosa tidak memperlihatkan kesibukan di dapur ndalem. Yang biasanya setiap pagi ia menyapu halaman ndalem, kini tidak ada. Azzah, Shofa, Hani, teman-teman se-ghotaan Rosa tak mengeluarkan sepatah kata ketika aku tanya keberadaannya. Pernah sekali aku silturrahim ke rumahnya di Grobogan. Meskipun hanya sebentar aku bercengkerama dengan abahnya, sudah terbangun rasa cinta kepada keluarganya. Aku mencintai keluarganya juga.

Untuk kedua kalinya aku datang ke rumah sederhana itu, untuk mencari di mana ia berkelana.

“Sekarang dia di Tegalsambi, Nak,” jawab abahnya, Haji Ahmad.

“Berapa lama?”

“Bapak tidak bisa memastikan, dia hanya diutus Abah Yai untuk khidmah di pondok pesantren salaf di sana. Dia diminta mengajar fiqih. Tepatnya sejak sebulan lalu, Abah Yai datang ke sini sendiri untuk meminta keikhlasan dibolehkannya Rosa mengajar di sana selama beberapa waktu.”

***

Meski aku tidak mengharapkan jawaban, namun jujur, hati kecilku tetap berharap mendapatkan respon positif darinya. Dua puluh empat tahun adalah usia yang cukup matang untuk meluruskan niat membangun bahtera rumah tangga. Sayyidina Ali saja menikah pada usia 21 tahun, kurang tiga tahun dari umurku sekarang. Keyakinanku untuk mendampinginya tercipta sebelum riyadlah shalat istikharah selama seminggu. Meski guru hadits pernah mengatakan bahwa shalat tersebut hanya dilakukan ketika kita dalam keadaan ragu-ragu, namun aku tetap melakukannya, untuk takid dan tayid (penguataan).

Aku hanya ingin menegaskan agar mahabbah-ku kepadanya tidak beralih dari taraf yaqin (kepercayaan bulat) menuju syak (ragu-ragu) atau jutru wahm (percaya di bawah lima puluh persen). Aku tak pernah bermimpi usai shalat itu, tingkat kepercayaan yang semakin meninggi yang aku rasakan. Aku tidak ingin menuntut agar Tuhan mengirimkan “mimpi hijau” kepadaku. Sama arti dengan mendikte Tuhan. Guru tasawwuf-ku pernah berkata begitu. Untuk menjaga stabilitas perasaan ini, habis shalat maktubah, kukirim doa kepada sedulur papat limo pancer-nya. Hanya ingin memastikan Rosa dalam keadaan baik-baik saja, kendati ia berada jauh di sana. Bukan dia yang kukirim doa, namun sedulurnya, yang dalam bahasa Nabi disebut Qorin (yang menemani). Orang jawa menyebutnya Batur atau Batir. Dialah yang merawat kita, anak manusia, sejak lahir hingga menuju liang lahat. Dia yang menjaga, yang mengetahui perkembangan kita semua.

Tak ubahnya iman, aku harus menjaga tumbuhnya keyakinanku kepadanya dengan dzikir (mengingat) kepadanya, mengenalnya. Nabi pernah mengatakan: jaddidu imanakum biqauli la ilaha illah; perbaharuilah iman kalian dengan mengucapkan la ilaha illa Allah. Aku ingin memperbaharui cinta itu dengan mengenal karakternya, kepada teman-teman, ketika ada kesempatan ngobrol di dapur.

“Dia itu tak pernah memiliki rasa dendam kepada kawannya. Tak pernah bermaksud mencela teman-temannya, meskipun ia punya hak untuk melakukannya,” terang Shofa kepadaku.

“Rosa orangnya pintar bergaul dengan siapa saja, hanya di pondok saja dia itu membatasi pergaulan, karena aturannya memang demikian. Aku pernah main ke rumahnya, semua orang menyambutnya dengan hangat, hingga Pak De dan Bu De-nya ikut menyediakan hadiah khusus pas pulang dari pondok. Dia terlalu disayang keluarga. Maklumlah, putri pertama yang paling cantik. Hehehe….” Hanik membuatku terkesima.

Santri putri asal Jepara ini banyak bercerita tentang Rosa kepadaku. Rupanya dia yang paling dekat dengan Rosa. Dia sebenarnya mengetahui keberadaan Rosa selama sebulan ini, namun pantang memberitahukannya kepadaku, atas pesan Rosa sendiri. Kepada teman-teman yang lain, Rosa berpamitan boyong, namun tetap berpesan agar tidak membuka mulut kepadaku.

Tubuhnya memang tidak berada di sini, namun aku merasakan sebuah kedekatan. Dengan mengenalnya; menjaganya dengan doa. Perkenalanku kepada Rosa datang setelah kata cinta. Barangkali itu adalah hikmah. Kalau boleh diibaratkan, cinta adalah doktrin, sementara proses mencintai adalah hikmah. Aku mencintai Rosa bukan karena sebab, bukan juga karena ada syarat. Anjing dalam doktrin Islam adalah najis, adapun penemuan adanya bakteri membahayakan bagi manusia dalam tubuh binatang tersebut, itu adalah hikmah tersendiri yang dicapai dalam perkembangan teknologi. Cintaku kepada Rosa mengandung hikmah, kendati ia belum memberikan respon balik.

Aku menceritakan itu kepada keluargaku. Ada keyakinan yang terbangun bahwa Rosa akan menjadi pendamping hidupku. Kepada Bapak aku meminta persetujuan.

“Bapak menyerahkan pilihan kepadamu, Nang. Yang penting dia memiliki nasab yang baik.”

“Kenapa harus nasab yang Bapak syaratkan? Bukankah Nabi pernah mengatakan kalau memilih zaujah itu yang alim agama, fadzffar lidzati diniha taribat yadaka; carilah yang pintar agama, kamu akan beruntung.”

“Dalam hadits itu Nabi sebenarnya tidak mengharuskan pintar agama, namun hanya menyatakan kalau kebanyakan perempuan itu dinikahi laki-laki imma limaliha aw lijamaliha aw linasabiha (adakalanya karena hartanya, kecantikannya atau nasabnya). Kemudian Nabi meneruskan, fadzfar lidzati diniha taribat yadaka.”

“Berarti ada prioritas yang ahli agama. Bukan begitu, Bapak?”

“Kamu lihat bagaimana Nabi menggunakan kata imma (adakalanya). Hadits tersebut sangat manusiawi, Nang. Orang kaya pasti mencari orang kaya, orang terhormat kebanyakan ingin mendapatkan yang sederajat. Fiqih kan mengajarkan agar kita mencari pasangan yang sekufu, sepadan. Bapak ingin mencari yang nasabnya baik karena garis keturunan itu tidak bisa diciptakan. Kalaupun bisa, membutuhkan waktu yang melintasi abad. Masalah harta itu bisa dicari bersama. Kalau mementingkan kemolekan dan kecantikan itu hal yang relatif, anakku. Toh, kecantikan itu sementara. Agama juga bisa dipelajari. Kalau keturunan, mau cari ke mana, Nang?”

“Luwih apik gawe nasab daripada golek nasab, kata Abah Yai begitu?”

“Saiki nek awakmu ra iso piye, nang?” Aku termenung.

“Nasab yang baik itu yang bagaimana?”

“Ya pokoknya yang nenek moyangnya tidak ada yang tersohor sebagai pelanggar syariat. Seandainya yang kau dapatkan itu pintar, kaya dan cantik, hafal Quran lagi, namun kakeknya ada yang terkenal ahli zina, pemabuk, pencuri misalnya, bagi Bapak lebih baik mencari yang lain saja. Bapak tidak ingin punya keturunan yang berpotensi meniru kakek-neneknya. Bapak ingin agar anak-cucu Bapak menjadi keluarga terhormat.”

“Ubab mencintai keluarganya.”

“Ya wis, nek mantep, teruske. Diwulang, dididik.”

“Bapak tidak istikharah untuk Ubab?”

“Kamu ini sebetulnya sudah mantap atau belum, Nang? Nek mantep ya tak usah ada istikharah. Itu namanya ngeles pengeran.”

“Tapi dia belum jelas menyatakan sikapnya, Bapak!” keluhku.

Bapak diam.

???

***

Sebulan kepergian Rosa ternyata tidak hanya untuk mengajar, ada misi lain yang dimaksudkan Abah Yai, yaitu pingitan. Begitu kabar yang aku dapatkan dari Hanik.

“Dipingit untuk apa?”

“Entah,” jawab Hanik.

Kalau memang dia harus dipingit, mengapa yang melakukan bukan Abahnya sendiri? Kenapa harus Abah Yai? Pertanyaan itu tak pernah terjawab dalam alam ideku.

Hari-hariku di pondok hanya terpenuhi oleh lamunan dan bayangan Rosa. Tak ada yang mengetahui rasa cintaku kepadanya. Santri di dapur tak ada yang menaruh curiga terhadap gelagat tingkahku. Penasaranku kepada Rosa dianggap sebatas mengenal kawan lebih dekat. Aku mengimbangi pertanyaan tentang Rosa dengan melempar pertanyaan serupa kepada teman-teman dekatnya.

Barangkali persepsi yang terbangun di benak para santri ponpes Bahjatul Wasail, aku adalah gawagis alim, namun mbeling, yang tidak mungkin terjerembab dalam “cinta rendahan”.

“Apa ada cinta rendahan? Bukankah yang rendah itu nafsu?” batinku berteriak.

Ah, terserah orang menafsirkan. Aku hanya ingin meluapkan rasa cinta ini dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sejak mengenal Rosa, hatiku terlalu mudah untuk sekadar meneteskan air mata. Rasioku sulit untuk melakukan yang bukan terbaik bagiku. Dia adalah tujuan hidupku. Jalan pencerahanku. Aku hanya mengenalnya, itu saja. Tidak pernah bersentuhan fisik dengannya, kalau tidak perlu, apalagi mencandainya, sebagaimana muda-mudi kota. Aku sadar syariat.

Aku menyibukkan diri dengan memperbanyak nafilah, ibadah tambahan. Boleh orang menyatakan, itu hanya pelampiasan perasaan yang tak berujung itu. Aku tidak menampik dikatakan demikian. Aku merasakan kenyamanan dan ketenteraman hati di atas sajadah bututku. Puasa adalah riyadlah yang mengasyikkan. Kepekaan yang kian meningkat mempermudah aku memahami ayat-ayat Al-Quran. Ini benar-benar di luar kebiasaan. Aku mudah menerima pengetahuan dari lembaran kuning yang berserakan di rak buku pondok pesantren. Bahkan aku bisa membacanya tanpa harus mengeja, menggunakan perangkat bahasa yang njelimet; nahwu, sharaf, maani, bayan, badi, mantiq dan juga ilmu syair Arab, arudl. Seperti tak ada gelap dalam ideaku. Aku menjadi begitu pandai dan cerdas, serta rajin ber-nafilah, tanpa kusadari. Semoga ini bukan istidraj, sebuah keistimewaan yang diberikan dengan ancaman, sebagaimana kisah Kiai Barsesa yang terkenal itu.

“Gus Ubab sedang njandab. Dia tidak pernah menyentuh kitab kuning, tapi pandai bersilat lidah dalam bahtsul masail,” bisik para santri yang aku dengar.

Memang, baru sekali ini aku memberanikan mengikuti kegiatan bahtsul masail fiqhiyyah. Salama delapan tahun nyantri, hanya sekali aku mengikuti, itu pun karena pakewuh dengan Abah Yai saja. Aku mengikuti kegiatan usbuiyyah itu hanya untuk menambah wawasan semata. Tak dinyana, banyak orang menyebutku punya ilmu ladunni, ilmu kanugrahan, bukan kanuragan. Argumenku mematahkan tabir (referensi) yang dibawa para ustadz senior yang menjadi perumus solusi masalah. Sejak itu, aku menjadi santri yang disegani di antara seribu santri yang mukim di pondok Bahjah ini. Aku bertanya dalam diri, kekuatan apa yang membuatku seperti ini. Apakah karena ketulusanku kepada Rosa??

Aku semakin larut dalam kesibukan mengolah rasa ketika Rosa benar-benar menjadi Bu Nyai. Dia dipingit Abah Yai selama sebulan karena akan dijadikan zaujah. Abah Yai menjalankan akad nikah keduanya itu di aula masjid pondok, disaksikan ratusan santri, kerabat dan sahabat dekat. Aku merintih dalam kesedihan. Namun, tak ada yang bisa aku salahkan. Abah tak mungkin aku laknat, karena beliau juga tidak tahu hakikat rasa cintaku kepada istri barunya itu. Rosa juga tak pantas aku jauhi, karena dia kubebaskan untuk tidak menjawab perasaanku. Aku berkabung dalam pesta pernikahan kedua orang yang aku cintai.

Rosa yang dulu santri, kini menjadi Ibu Nyai yang harus kuhormati. Dia bukan santri sekarang, melainkan istri dari guru yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri. Tak ada lagi kebebasan berbicara dengannya. Rosa yang dulu dengan yang Rosa yang sekarang, beda.

Entah apa maksud Abah Yai menikahi Rosa, bukan kepada yang lain. Padahal Abah Yai pernah mengatakan tidak setuju dengan poligami. Bu Nyai Anis, istri pertama Yai, hanya memberikan dua keturunan, perempuan semua. Sekarang sudah berkeluarga dan bertempat tinggal di luar kota. Dua menantunya tak cukup memadahi untuk menggantikan Yai, karena mereka kurang pandai agama. Kalau ingin mencari keturunan anak laki-laki, kenapa Abah Yai tidak mencari orang lain yang bukan santrinya? Aku berusaha husnuddzan, entah karena pengaruh kearifan dan kebijaksanaan Yai atau karena kecintaanku kepada Rosa.

Aku terlarut dalam kecintaan kepada Tuhan.

***

Sekarang ini, aku tidak lagi mengenal, siapa Ubab dan di mana dia sekarang. Aku seperti manusia nomaden yang hobi berpindah-pindah tempat. Bukan untuk berburu musim, namun untuk mengenali kembali diriku. Sejenak aku di Piramida Mesir, sejengkal kemudian aku berada di Tembok Berlin, Menara Eiffel, Kabah atau Taj Mahal untuk kembali ke Borobudur. Setiap hari aku wisata gratis. Ubab bukan lagi manusia yang membutuhkan kapal terbang, kapal laut dan kereta untuk berpindah tempat. Aku melakukannya seusai menikmati ektase persenggamaan dengan Tuhan, di atas pesujudan malam, ketika kebanyakan santri menikmati hiburan mereka dalam mimpi.

Usia Abah Yai yang melebihi kepala enam, membuat semakin tak berdaya mengajar di pondok, baik kitab maupun Al-Quran. Jadwal talaqqi beliau, semenjak terserang stroke dua bulan terakhir, kini banyak digantikan oleh ustadz-ustadz senior. Aku yang anak Kiai, sudah lama mondok di sini, dan katanya berilmu ladunni, tidak pernah ditarik menjadi badalsak karepe dewe. Ah, tak usah memusingkan itu, toh setiap malam aku bisa jalan-jalan bebas sendirian, tanpa ikatan identitas sebagai guru ngaji. (pengganti) Abah Yai. Barangkali karena aku yang bandel dan suka

“Gus, jenengan ditimbali Abah Yai.”

Pagi yang mengagetkan. Tiga bulan tak menyapa, tiba-tiba ada acara pemanggilan tak terduga. Dag-dig-dug, perasaan tak menentu bergelayut. Dalam tradisi pondok, Abah Yai tidak akan memanggil santri kalau tidak ada urusan yang penting.

“Ada apa ya, Kang?” tanya yang tak mungkin dapat jawaban.

Sejenak aku berganti gamis. Dengan pakaian rapi aku menghadap Abah Yai yang terbaring lemah.

“Gus, kamu sakau, kamu mabuk Tuhan,” suara tua itu menghenyakkan. Aku masih menundukkan kepala.

“Tolong dikendalikan!”

“Afwan, Abah.”

“Abah tahu perkembangan terakhirmu, meskipun kau tidak mengetahuinya. Abah juga tahu perasaanmu kepada istri muda Abah. Abah sengaja menikahinya untukmu.”

“Ya, Gus, Abah menjauhkan wanita yang kau cintai, selama sebulan, dan kemudian menikahinya hanya untuk megukur seberapa besar cintamu kepadanya dibanding kepada Allah.”

“Kenapa harus menikahinya?”

“Karena dengan begitu kau tidak akan berani bertanya kepada Abah.”

Hening menenangkan pembicaraan. Aku masih tertunduk dengan ketegunan dan keterkejutan bercampur kekecewaan.

“Abah melihat sakaumu kepada Rosa tertuang dalam sakaumu kepada Allah. Kau membuka pintu makrifat melalui perempuan dan khusnudzdzan kepada gurumu. Ketulusan hatimu tak bermuara pada kemarahan kepada orang lain. Abah berikan Rosamu, untukmu.”

“Hamba semakin tidak mengerti maksud Abah.”

“Iya, tiga bulan lalu, Abah menikahinya, sekarang Abah ceraikan ia. Kuserahkan sepenuhnya untuk kau nikahi. Aku thalaq bain ia. Jaga dia ya, Gus.”

Aku diam, sungguh tak paham.

“Sekarang juga kau nikahi Rosa. Abah hanya merawatnya utukmu. Tidak ada kewajiban iddah untuknya, karena Abah belum dukhul kepadanya. Dia masih perawan. Belum Abah sentuh. Tapi Abah minta, setelah menikahi mantan istri muda Abah itu, kau harus menjadi badal Abah untuk meneruskan perjuangan Islam di pondok Bahjatul Wasail ini. Kau bukan anak Abah, juga tidak mungkin menjadi menantu Abah. Agar ada ikatan darah-batin, Abah menikahi Rosa untukmu, anakku. Gus Ubab akan menjadi suami dari mantan istri Abah.”

Aku tercenung. Aku akan menjadi keluarga ndalem, bukan santri ndalem lagi.

Ketika Aku Ingin Dihargai


Debu serta merta terangkat dikibaskan air yang kujatuhkan dari gayung. Seember air yang sengaja kuangkat dari kamar mandi tadi telah habis untuk membasahi tanah yang kering. Pekarangan dan jalan di depan rumah Bibi kini basah dan kelihatan segar dibanding tadi. Pun aku merasakan kesegaran itu. Bahagia rasanya bisa membagikan secuil kesejukan walau hanya untuk sebidang tanah yang pastinya merasakan kekeringan yang sangat akibat dihantam kemarau panjang.

“Ibu itu siapa sih, Bi?”

Kuarahkan telunjukku kepada seorang wanita yang baru saja melintas dari hadapanku. Seketika hatiku rusuh pasca berlalunya Ibu tadi. Dengan gaya yang kunilai pongah ia tak sedikitpun sudi menolehkan wajah kepada kami yang tak lain adalah saudaranya. Kukatakan kami adalah saudara, karena kami bertetangga.

Masih dengan sapu lidi di tangannya, Bibi menggerakkan leher sedikit agar mata kepalanya menangkap sosok yang baru saja melewati jalan depan rumah.

“Bu Cindy.”

Bibi menatapku sembari menerka apa yang tengah kupikirkan setelah ia menangkap wajah cemberutku yang terpampang sesaat.

“Kenapa?”

“Apa memang wajahnya selalu jutek gitu, Bi?”

Bibi seolah tak mendengar. Ia terus saja menyapu sampah di pekarangan hingga ke bibir jalan sambil sesekali mencabuti rumput-rumput yang mulai muncul dari tanah.

“Udah hampir sebulan Dini di sini, tetangga dan sekitar rumah kita semuanya udah Dini kenal. Kalau kebetulan ada yang berpapasan dengan Dini, mereka semuanya kelihatan ramah. Ada yang langsung negur, kasih senyum, ngganggukin kepala… Tapi Ibu itu… nggak pernah tuh. Jangankan tegur sapa, senyum bahkan noleh aja dia nggak mau, Bi.”

Wajah Bibi bersimbah senyum.

“Itu cuma perasaan kamu aja, Din.”

Cuma perasaanku? Atau tepatnya, aku berprasangka buruk kepada Bu Cindy. Benarkah?

Bukan hanya sekali dua kali senyum yang kusemburkan kepadanya tak beroleh sambutan, sapaan yang kugulirkan tak mendapat sahutan, bahkan kepala yang kuanggukkan demi rasa hormat kepadanya malah dibalas aksi buang muka yang melukai hati.

Apakah aku terlalu jelek untuk dilihat? Atau aku pernah melakukan kesalahan sedemikian besar kepadanya sehingga ia kelihatannya terlalu jijik melihatku. Entahlah. Tapi yang jelas, aku semakin sentimen dengan gayanya dan mulai terjebak dalam penyakit hati yang kronis, berprasangka buruk tentangnya.

***

Deru motor matic terdengar dari kejauhan. Sejenak kemudian kenderaan roda dua itu berlalu dari depan rumah. Pengendaranya adalah seorang wanita berambut ikal membonceng anak bungsunya berumur sekitar enam tahunan. Seperti biasa, dia lewat dengan tatapan lurus tanpa berniat sedikitpun menginfakkan senyum apalagi sapaan kepadaku dan Bibi yang tengah menikmati udara sore di halaman. Padahal tatapan mataku terus tertuju kepadanya, bersiap-siap jika sejurus pandangannya menyinggahi kami, maka akan kukembangkan senyum dan menganggukan kepala untuknya.

“Kerjaannya apa emang, Bi?”

Rasa kesal kembali menyambangi begitu mendapati sikapnya yang seolah tak melihat kami.

“Ibu rumah tangga aja.” Bibi tersenyum dengan kesewotanku.

“Cuma Ibu rumah tangga?”

Bibi mengangguk. “Ya. Tapi suaminya orang hebat. Orangtuanya juga.”

“Rumahnya yang paling besar itu kan, Bi?”

Kuarahkan telunjuk ke bangunan mentereng berjarak lima rumah dari rumah Bibi.

“Benar.”

Cap kesombongan yang kulekatkan pada diri Bu Cindy menyuruhku untuk mendalami keseluruhan tentang dirinya. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan dia seperti itu. Kenapa Bu Indah, Bu Tari, Bu Ema dan semua tetangga lainnya bisa menerimaku dan menghargaiku juga Bibi dengan baik. Beda total dengan Bu Cindy.

“Cuma Ibu rumah tangga tapi kok segitu sombongnya ya, Bi?

“Sombong gimana maksud kamu?”

“Apa Bibi nggak ngerasa, kita dibedakan dengan yang lain.” Kehempaskan tubuhku pada sandaran bangku. “Kalau Dini perhatikan sikap Bu Cindy kepada tetangga yang lain, sangat beda dengan cara dia memandang kita.”

Kulirik Bibi. Dia tetap serius dengan kain sulamannya. Tapi aku tau yakin, dia tetap mendengarkan semua keluh ocehanku dengan cermat.

“Emang Bibi pernah minjam uang sama dia? Atau Bibi pernah melakukan kesalahan yang besar sama dia? Atau mungkin Bibi ada sengketa dengan dia di masa muda dulu? Kenapa dia selalu cemberut dan tak pernah senyum sama kita?” Kugelontorkan sejumlah tanya kepada Bibi.

Bibi tak berekspresi. Beliau tetap fokus pada jarum yang menusuki kain di tangannya.

“Kita nggak bisa memaksakan seseorang untuk berlaku baik dan sopan kepada kita kan, Din?”

Akhirnya Bibi menimpali gerutuanku setelah cukup lama ku terdiam menimbang tanya dan jawab sendiri perihal Bu Cindy.

“Ya, Bi. Tapi setidaknya dia jangan pasang muka seram gitu dong.”

Bibi menyusun perkakas sulamannya. Konsentrasinya barangkali hilang dengan ceceran tanyaku.

“Udah lebih 12 tahun Bibi mengontrak rumah ini. Dan selama itu pula Bibi bertetangga dengan Bu Cindy. Tadinya Bibi juga seperti kamu, apa ada yang salah sampai-sampai Bu Cindy seolah tak memandang kita, tak menganggap kita.”

“Jadi, Bibi juga ngerasain yang sama?”

“Tadinya.” Bibi memasang wajah arifnya. “Tapi lambat laun Bibi bisa mengerti.”

“Kenapa, Bi?”

Tak sabar aku mendengarkan uraian Bibi.

“Dia memang seperti itu sifatnya.”

“Ah, tak mungkin.”

Aku tak puas dengan jawaban Bibi.

“Bibi punya salah apa mungkin sama dia? Atau Bibi pernah pinjam uang sama dia dan belum Bibi lunaskan?”

Bibi menggeleng. “Biarpun hidup Bibi pas-pasan, Bibi tidak pernah ngutang, apalagi sama Bu Cindy. Bibi juga merasa tak pernah melakukan kesalahan sama dia, dan kalaupun Bibi pernah berbuat salah, Bibi sudah berulang-ulang menjabat tangannya dan meminta maaf langsung. Agar jika mungkin ada kesalahan yang pernah Bibi perbuat kepadanya, semua bisa pupus.”

Pandangan Bibi menerawang di antara dedaunan pohon jambu biji yang bergoyang dihantam angin.

“Pada akhirnya Bibi sadar, buat apa sibuk dalam alam prasangka kita tentang orang. Toh kita tidak pernah merepotkan dia, tidak meminta uang sama dia, jadi buat apa dipikirkan. Hanya menambah beban sendiri kan ?” Bibi menaikkan alisnya.

Aku tersadar, lalu mengangguk membenarkan pendapat Bibi.

“Dini cuma heran, Bi. Setiap kali Dini pergi ke warung atau ke tempat lain, ketemu dengan Bu Cindy, dia bisa ramah sama orang-orang, ketawa lepas sama mereka, tapi kok ngelihat Dini, seperti ngelihat hantu atau apa gitu…”

“Tapi kamu nggak ada rugi kan, walaupun dia nggak menegur kamu?”

Aku mengangguk. “Tapi kalau damai, rukun, dan kompak antar tetangga, kan lebih nyaman, Bi.”

“Itu mau kita, Din. Maunya Bu Cindy nggak demikian. Menurut Bibi, kamu tak perlu terprovokasi dengan sikapnya. Tetaplah bersikap dan berbuat seperti biasa, seperti sikap kamu kepada yang lainnya. Tetaplah kembangkan senyum, tetaplah menyapa dan berikan apa yang biasa kamu berikan kepada orang lain, tak perlu mengikuti perlakuannya kepada kamu. Kalau kamu mengimbangi sikapnya, kamu otomatis menjadi sama seperti dia kan?”

Kulebarkan bibir. Sedikit terpaksa mengamini nasihat Bibi.

***

Lebih sebulan sudah aku tinggal di rumah Bibi. Selama itu pula aku telah menjalani profesi baruku. Setelah lulus dalam seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil yang kuikuti beberapa bulan lalu, aku telah mempersiapkan segalanya termasuk pindah tempat tinggal. Untuk jangka waktu yang belum bisa dipastikan, aku harus menumpang tinggal di rumah Bibi, karena kebetulan aku ditempatkan Pemerintah bertugas di wilayah yang dekat dari rumah Bibi. Sehingga mau tak mau, aku harus rela meninggalkan istanaku selama ini, rumah Ayah dan Ibu.

Sebelumnya sebenarnya Ayah sudah menawariku untuk mengurus penempatanku di daerah perkotaan yang masih bisa dijangkau dari rumah. Namun aku mementahkan tawaran itu. Aku tak keberatan ditempatkan di mana pun. Di tempat terpencil seperti apapun, akan aku terima.

Itu sudah konseksuensinya. Aku sudah menandatangani surat pernyataan bahwa akan bersedia ditempatkan dimanapun di seluruh wilayah Indonesia. Maka tak mungkin aku akan mengingkari janji itu. Aku rela menjadi abdi negara yang dilemparkan kemana-mana meski di daerah yang terisolir sekalipun, karena sudah terkontrak sampai usiaku 60 tahun nanti, untuk melakukan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabku.

Beruntungnya, begitu aku menerima surat tugas, ternyata lokasiku bekerja tidak jauh dari kediaman Bibi Mila, adik kandung ayah yang tinggal di pinggiran kota. Sehingga aku tidak perlu sibuk dengan urusan mencari tempat dimana akan tinggal. Ayah dan Ibu tidak merasa khawatir, Bibi dan Paman pun turut senang karena kemunculanku menambah jumlah penghuni rumah mereka. Kehadiranku diharapkan memupus kerinduan mereka terhadap buah hati yang tak kunjung datang.


“Wah, kamu makin kelihatan cakep dengan seragam itu, Din.”

Bibi tiba-tiba telah hadir di sisiku. Ikut memandangiku yang telah dibaluti seragam berwarna khas pegawai pemerintah, hasil kerjanya selama beberapa hari ini.

“Ini karena Bibi yang jahit. Kalau yang jahit orang lain belum tentu sebagus ini. Bibi kan tau selera Dini yang gimana.”

Bibi terlihat gembira karena kepuasan yang terungkap dalam pujianku barusan.

“Andai Bibi kamu punya modal, udah jadi … apa namanya …desainer kondang ya, Din.”

Paman menyambung dari meja makan. Kalimatnya tidak jelas terdengar karena mulutnya masih penuh mengunyah sarapan.

“Ntar Dini promosiin deh hasil kerja Bibi ke teman-teman kerja Dini. Biar tangan terampil Bibi lebih sibuk nanti ngerjain pesanan.”

“Kalau Bibi banyak pesanan, sibuk, capek, bisa-bisa Bibi kamu lupa dan nggak sempat masak lauk yang lezat untuk kita dong, Din.”

Paman meneguk air hangat dari cangkir besarnya.

“Ya, tapi kan Bapak nggak perlu kerja sampe mati-matian di sawah sana kalau Ibu bantuin kerja cari uang.”

Bibi mengerling manja kepada suaminya.

“Udah siang nih.” Aku baru menyadari waktu berlalu tanpa mau berkompromi denganku yang tetap asyik mematut diri di depan cermin.

“Dini berangkat, Paman, Bi.”

Kuciumkan tangan pasangan suami istri itu ke jidatku.

“Hati-hati di jalan, Din.” Pesan Paman kubalas anggukan dan senyum.


Kulangkahkan kaki kanan dengan mantap setelah membaca doa. Hari masih pagi, jalanan pun masih terlihat lembab oleh siraman embun yang belum habis terkikis sinar matahari. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk tiba di sekolah tempat aku harus melaksanakan tugasku. Masih bisa santai.

Sebagai guru, yang pantasnya menjadi teladan bagi anak-anak didiknya, aku harus berupaya tiba lebih awal dari pada siswa. Aku membiasakan diri disiplin agar anak-anak itu turut mengikuti kebiasaanku. Datang tepat waktu dan menghelakan adat telat. Sangat tidak logis jika aku menyuruh mereka datang pada jamnya, sedang aku sendiri mencontohkan hal yang menyalah. Maka dari itu, aku selalu berusaha untuk menjadi model yang layak untuk ditiru oleh para anak didikku.


“Berangkat, Bu Dini?” sapa Bu Ema dan ibu-ibu lainnya yang tengah sibuk di warung Bu Kodir memilih dan memilah bahan mentah apa yang akan disiapkan untuk makanan hari ini.

“Ya, Bu. Mari.”

Kukembangkan senyum semekar mungkin agar Bu Ema dan yang lainnya merasa nyaman dan senang dengan sikap ramahku.

Aku berusaha berjalan sebiasa mungkin. Kiranya konsentrasiku sedikit oleng dan mempengaruhi langkah-langkah kakiku. Bisik-bisik ibu-ibu tadi sempat kutangkap walau terdengar agak samar. Aku beroleh pujian dari mereka. Otomatis telingaku terangkat. Mereka bilang, beruntungnya punya anak sepertiku, masih muda belia, berumur 20 tahun, sudah memegang ijazah sarjana, langsung lulus dalam ujian penyaringan CPNS, tentunya bermasa depan cemerlang nantinya. Dan ada lagi yang bikin aku salah tingkah, mereka bilang aku cantik, maka sewajarnya dan patut diperebutkan untuk dijodohkan dengan anak lelaki mereka. Weleh… weleh… indahnya puji-pujian itu.

Tapi di warung Bu Kodir tadi ada Bu Cindy. Apa dan bagaimana ya, responnya? Postif atau negatifkah? Jika mengingat sikapnya selama ini kepadaku, pasti dia tidak akan terima orang-orang mendengungkan hal baik tentangku. Tentunya dia… astaghfirullah… aku berburuk sangka terhadap Bu Cindy.


***

Daun-daun kering yang bergantung di pepohonan terjungkal berguguran, jatuh dan mengotori halaman rumah di sore yang cerah. Baru saja Bibi menyapu halaman rumah tadi, tapi noda-noda daun berwarna kuning dan cokelat itu kembali berserakan seperti belum dibersihkan.

“Kotor lagi, Bi.”

Aku berniat mengutip daun-daun yang telah rontok itu agar kembali bersih, tapi suara Bibi menghalauku untuk melakukannya.

“Udah, Din. Biarin aja. Kamu ke mari sebentar, ada yang nyariin nih.”

Alisku bertaut ketika mendapati sosok Bu Cindy telah berdiri penuh senyum di samping Bibi.

“Tadi saya lagi iseng nyoba resep bolu bertabur buah dari teman. Jadi saya mau minta tolong sama tetangga-tetangga termasuk Bu Mila dan …”

“Dini.” Kuanggukkan kepala, masih dengan bingung yang menyergap.

“Ya, Dini. Kira-kira nanti rasanya kurang enak, tolong kasih saran sama saya.”

Drastis berubah. Tak salah lihatkah aku dengan sikapnya yang baru saja ia tunjukkan.

“Permisi, Bu Mila, Dini.”

“Ya, Bu.” Kekembangkan senyum guna mencairkan kebengonganku.

“Terima kasih banyak.” Kompak kata-kata itu muncrat dari mulutku juga Bibi.

Kupandangi Bibi penuh arti. Sedang Bibi sepertinya sudah memahami arti dari bahasa tubuhku.

“Siang sebelum kamu pulang ngajar tadi, Bu Tari, Bu Ema dan yang lainnya bertandang ke rumah kita. Terus mereka cerita, tadi pagi kamu jadi bahan ceritaan di warung. Bu Cindy kelihatannya sangat serius mendengarkan semua cerita tentang kamu. Sesekali dia menanyakan kebenaran cerita itu, seolah dia tidak yakin akan keberadaan kamu, Din. Bu Ema yang sudah tau banyak tentang kamu, ya menceritakan kamu apa adanya.”

“Terus, apa hubungannya sama bolu ini, Bi?”

Bibi tertawa renyah.

“Desa ini berpenghuni orang-orang terpandang dan berpunya. Satu-satunya orang yang mengerjakan sawah orang, ya cuma pamanmu. Bapak-bapak yang lain punya usaha-usaha sendiri yang jauh lebih hebat bahkan kebanyakan dari mereka sudah punya karyawan dari desa seberang. Bu Cindy mungkin merasa kita bukan levelnya, makanya selama ini dia tidak sudi bertetangga dan berbaikan dengan kita. Tapi begitu tahu kamu, keponakan Bibi adalah seorang yang berpendidikan dan berilmu, sudah punya pekerjaan yang baik pula, dia menampikkan sikapnya selama ini. Mungkin sekarang dia mulai menganggap dan memperhitungkan kita, Din.”

Aku terpaku menekuri kalimat-kalimat Bibi.

“Kamu bisa mengambil pelajaran dari ini semua, Din. Karena kesungguhanmu belajar dan memanfaatkan waktu, di usia yang muda belia kamu bisa mengambil apa yang tidak bisa diraih oleh semua orang. Kamu punya sesuatu yang diandalkan. Keputusanmu untuk menjauhkan diri dari kebiasaan berleha-leha yang pada umumnya menjangkiti para remaja kota telah menuai hasil.”

Senyum getirku hadir. Teringat akan letihnya usahaku dalam mengejar nilai-nilai terbaik dalam setiap mata kuliah. Pontang panting aku berjuang sepenuh tenaga dan pikiran demi mengejar target, lulus kuliah selekas-lekasnya disamping ragam olimpiade dan lomba yang begitu banyak kuikuti. Wajib bagiku membuang niat untuk menyisakan sebongkah waktu untuk kata santai.

Ijazah Sarjana Pendidikan kuterima nyaris bersamaan dengan pemerintah kabupaten DS mengeluarkan pengumuman penerimaan pegawai. Aku turut dalam jajaran pendaftar. Mengingat banyaknya saingan aku belajar keras agar bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan nantinya. Mengingat cara belajarku yang ngotot, aku pastikan bahwa aku adalah pelamar yang paling sibuk membahas soal-soal yang diprediksi akan keluar dalam ujian.


“Ini buktinya, Din. Dengan ilmu yang menempelimu, jejeran prestasi yang kamu genggam, sangat mujarab memposisikan dirimu dan keluarga kamu di tempat yang terhormat dan berharga di mata orang. Penilaian dari Allah adalah memang yang terutama, tapi penilaian dari masyarakat bukan berarti tak perlu diperhitungkan, bukan?”

Benarlah kiranya kata-kata Bibi. Kita hanya dipandang orang jika memiliki sesuatu yang bisa diandalkan. Maka berusahalah memiliki apa yang membuat kita dipandang dan dihargai orang.

My Brother


Malam kian meradang. Merembesi kebisuan antara aku dan dia; seseorang yang harus kuakui sebagai adik, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau.

Aku memalingkan wajah ke luar jendela. Mencekam. Hanya bunyi serangga malam yang berderit mengikuti ritme jantung yang berdetak semakin kencang.

"Jadi apa mau lu?" ujarku dengan nada sedatar mungkin. Tapi gagal. Debur yang berasal dari dalam, tak bisa tertutupi.

Sosok di depanku menyorot tajam, tak ubah seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Aku melenguh. Diam. Lalu berkata lagi.

"Sekali lagi lu kayak gini, gue nggak akan nolongin lu."

Aku masuk ke dalam kamar. Membanting pintu sekeras mungkin. Hening. Hanya bunyi serangga malam yang terdengar.
***

"Jadi pergi mengantar adikmu, Bram?" Ibu melirikku.

Aku menghentikan aktivitas menyedok nasi dari dalam magic jar.
"Tergantung nanti Bu," ujarku.

Dari sudut mata, aku melihat raut ketidakpuasan Ibu. Begitulah Ibu dari dulu. Sejak aku merantau dan SMA di Lampung sampai kembali lagi ke Serang untuk kuliah, Ibu selalu begitu. Membela Arul daripada aku.

"Kasihan adikmu, kalau sampai tidak diantarkan nanti kenapa-kenapa."

Kali ini aku benar-benar menghentikan aktivitas sarapanku. Pergi meninggalkan Ibu yang tergugu di meja makan.

"Kamu itu, Bram, selalu begitu. Diajak ngomong sama orangtua malah pergi. Anak jaman sekarang semakin susah dikasih tau," Ibu meracau sesuatu.

Tak kuladeni. Pasti akhirnya akan ada airmata yang mengalir dari dua bola matanya yang berbinar dan selalu siap memberi kehangatan. Sayangnya bukan untukku, tapi untuk Arul, adikku.

Aku tidak mau kejadian setahun lalu terjadi lagi. Hanya orang bodohlah yang membiarkan dirinya terjerumus hingga dua kali ke dalam lubang yang sama.

***

"Kenapa lagi lu?"

Tak ada jawaban. Lagi-lagi hanya sorot mata elang siap menerkam mangsa yang kudapat. Aku melempar pandang ke arah lain. Percuma. Kalaupun pertanyaanku diteruskan, lagi-lagi akan diakhiri airmata. Bukan dari sudut mata elangnya, tapi dari sepasang mata Ibu, yang pastinya akan semakin membuatku tak tega.

"Gue butuh duit," ia bekata datar.

Kulirik wajahnya yang tak berekspresi. Tubuhku yang remuk redam setelah seharian beraktivitas mengerjakan tugas kuliah yang masih padat, karena aku masih semester dua, hilang dalam sekejap.

Darahku mendidih. Tanganku langsung terkepal. Berani-beraninya dia berkata seperti itu. Baru saja minggu kemarin dia meminta uang, sekarang dia meminta lagi. Sebelum sumpah serapah berhamburan dari mulutku, langkah gontai Ibu terdengar mendekati kami.

"Adikmu butuh duit, Nak, buat nebus motor yang ditilang polisi," jelas Ibu.

Aku menggeleng kecil. Seperti biasa, Ibu akan selalu membelanya. padahal jika Ibu tahu siapa dia yang sebenarnya, Ibu pasti akan lebih memilih membelaku.

Kepalan tanganku terbuka perlahan. Bulu kudukku meremang seiring cairan hangat yang menggumpal di sudut mata. Aku hanya menekuri keramik putih yang menemani rumah ini sejak dua puluh tahun lalu. Aku mendesah, setidaknya aku tidak seburuk nasib sang keramik, yang hanya menerima takdir sebagai material yang harus rela dan mau diinjak siapapun dan dikotori benda apapun di atasnya.

Aku memejamkan mata. Berharap cairan hangat yang menggumpal di sudut mata itu pergi. Lalu kutatap keduanya bergantian. Aku memutuskan hanya akan mengatakan satu kata.

"Berapa?" aku memandangi rautnya yang tak berekspresi. Lalu berganti pada wajah Ibu yang penuh harap.

"Sejuta."

Aku tercengang. "Kebanyakan."

Hening.

“Gue butuh segitu. Dan gue tahu, lu nerima banyak duit dari Ayah.” Kalimat yang cukup panjang bagi seorang Arul yang tingkahnya tak bisa ditebak.

“Jadi?!” wajahku pias. Aku teringat buku rekening yang tergeletak di atas bedcover dan kartu ATM yang raib beberapa hari lalu. Ya Tuhan, benar-benar bandit kecil yang menyebalkan.

***

Sejak Ayah dan Ibu memilih berpisah, karena merasa tidak cocok satu sama lain--sebuah alasan klise sebenarnya--aku memang sering mendapat transferan uang dari Ayah. Ayah saat ini berada di Dubai, menjalani tugas sebagai pegawai pemerintah yang diperbantukan di kedutaan besar Indonesia di sana.

Tapi sebenarnya aku tahu, bukan itu masalah utama yang membuat mereka berpisah. Tapi Arul. Lagi-lagi dia. Ayah sangat jengkel karena Ibu selalu membela tingkah Arul yang urakan. Kerap Ibu membenarkan perilaku Arul yang suka tawuran, merokok, dan ugal-ugalan. Gonta ganti pacar adalah kebejatan utama yang menurut Ibu sangat biasa. Ibu pun selalu hadir jika ada panggilan dari sekolah yang komplain terhadap kenakalan Arul.

Dan Ibu, selalu mengkambinghitamkan aku, yang menurutnya terlalu disayang Ayah. Sebuah alasan payah untuk seseorang yang melahirkanku dengan seluruh nyawanya.

Pikiran itu terus mengelayutiku saat aku menjalankan motor di Jalan Ahmad Yani, jalan protokol yang menghubungkan pusat kota dan pemerintahan di Serang. Aku terkesiap, langsung mengerem mendadak motor saat puluhan pelajar tumpah ke jalan dan berkejar-kejaran di perempatan jalan. Lampu merah menyala. Dan beragam kendaraan menumpuk di sana. Para pengemudi yang duduk manis di atas kendaraan masing-masing, hanya bisa berharap cemas dan mendoakan tawuran itu segera sirna. Dua kubu saling melemparkan makian dan berbagai benda melayang ke udara. Sabuk penuh paku dan benda tajam mengacung dengan bebasnya.

Di sela puluhan pelajar, ada sosok yang kukenal. Sosok yang menyebalkan yang sialnya masih memiliki keturunan darah yang sama denganku. Tubuhnya yang kurus nampak lunglai siang itu, seolah siap kapan saja tertiup angin. Dan anehnya, wajah Ibu terbayang di sana.

Dan sebelum polisi berduyun datang dan berhasil memboyongnya keluar dari kerumunan dan menjebloskannya ke balik jeruji yang pengap, aku langsung meningkatkan laju motor ke arah dia. Dalam sekali hentakan, tubuh yang ringkih seakan tanpa tenaga itu berhasil kuraih dan kududukkan di jok belakang.
Dan secepat kilat, aku melajukan motor seperti orang kesetanan. Berharap para pria berseragam cokelat susu dilengkapi senjata berupa pentungan itu tak dapat mengejarku.

Dalam deru angin yang menampar kasar tubuhku, kudengar sebuah bisikan. Bisikan milik seseorang yang harus kusebut adik. “Mengapa kau menolongku,” ujarnya dengan intonasi yang sedikit lebih hangat dibanding sebelumnya, sehangat cairan hangat yang merembesi tubhuhnya yang langsung terasa ke tubuhku karena ia berpegangan erat.

“Because I’m your brotha, Guys!” jawabku. Sebuah jawaban yang mengalir begitu saja diiringi senyuman tipis yang aku tak tahu bermakna apa.

Catatan Mudik


Nenekku adalah tetanggaku. Rumah kami hanya terpaut sekitar lima meter, maka dalam empat lima langkah, dua tiga lompatan kecil, dan beberapa siulan ceria, aku bisa mencapainya dengan mudah. Seperti sekarang ini, mbah putriku tersayang sedang duduk di atas kursi tua, di serambi rumahnya yang teduh, sedang aku lesehan di atas tegel. Pagi itu bukan pagi yang biasa kulalui. Pagi itu aku bisa bersama beliau karena aku sedang mudik, biasanya aku tinggal di Jogja karena di sanalah aku bekerja.

Desaku, salah satu bagian kecil dari Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, masih terjaga keasriannya. Meskipun beberapa rumah penduduk sudah agak bergaya modern, namun hampir setiap rumah memiliki kebun dan pekarangan yang hijau. Maka berada di desaku yang sunyi sepi di minggu pagi, bisa jadi merupakan kemewahan tersendiri bagiku.

Kadang-kadang keheningan lebih terasa nikmat daripada riuh suara manusia yang yang tak berisi. Sedetik dua detik aku memperhatikan sosok keriput itu. Tongkat penunjuk jalannya dengan setia ia pegang, kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri seolah menikmati buaian angin sepoi-sepoi. Rambutnya yang baru saja dikeramasi dibiarkannya menjuntai, bersilang sila antara yang hitam dan kelabu. Bibirnya mengulum senyum. Aku berusaha menerjemahkan sebab musabab senyum itu, apakah karena efek suara burung tekukur milik kakek yang berkicau ceria? Ah.. mungkin tidak dengan volume optimal seperti yang tertangkap oleh telinga sehatku karena yang pasti, indera pendengarannya telah berkurang secara bertahap. Sebuah proses menua yang lambat yang bahkan kau tak pernah bisa benar-benar menyadarinya.

Suatu hari kau sedang merayakan ulang tahun sweet seventeen yang penuh gejolak dinamika dunia remaja. Belajar, kuliah, mencinta, patah hati lalu kau dituntut untuk menikah ketika usiamu dua puluh lima. Ketika anak-anakmu lulus kuliah, kau mendapati diri berumur lima puluh. Lalu tanpa peringatan yang jelas fungsi organ-organ dalammu mulai berkurang. Kalau tidak terlalu stres karena hipertensi, biasanya terserang diabetes karena terlalu bahagia.

Dari sangkar burung tekukur pandanganku beralih menuju rimbun bunga sepatu dan melati dan asoka dan bougenville di pekarangan berpagar pohon beluntas. Seekor.. oh tidak.. dua ekor kupu-kupu bermotif hitam merah seperti spiderman dan yang lain belang-belang mirip zebra cross sedang menari-nari mengelilingi sekuntum bunga berwarna merah jambu. Mungkin tak pernah mereka sadari cumbuan-cumbuan mereka, kepakan-kepakan sayap ritmis mereka bersimbiosis mutualisme menghasilkan proses penyerbukan. Mekanisme alam ini terbingkai dengan sempurna, dengan bantuan cahaya yang tertangkap oleh lensa mata, yang memfokuskannya dengan ketepatan yang luar biasa menuju retina. Lalu retina mataku dengan secara cerdas mengirimkan pesan visual melaui saraf-saraf optikus menuju otak, kemudian jadi faham lah aku akan segala bentuk-bentuk benda-benda indah itu.

Nenekku... tidak dapat menikmati semua itu dengan caraku. Ia buta.

Namun itu tidak mengurangi kharismanya.

“Ibumu nyayur apa, Nduk?” sapaan semacam itu wajib ketika kami duduk berdua bercengkerama. Bukan topik yang penting memang, namun apa yang kau harapkan dari seorang wanita tua tunanetra yang jarang bersua dengan orang-orang?

“Bikin sop buntut, Mbah..”

“Apa?! Mawut?”

“Sop buntut, Mbaaah!!” aku berteriak tanpa bermaksud membentak.

“Owh.. oseng jamur to. Terus lauknya apa?”

Aku pun tidak berniat untuk memperpanjang perkara sop buntut itu, khawatir tidak kunjung selesai.

“Lauknya telur goreng sama rambak. Mbah mau aku ambilkan?”

Menggeleng.

“Tadi sudah makan nasi goreng buatan Mbah Kakung. Ambillah di dapur kalau mau.”

“Nggak, Mbah. Rahmi udah kenyang.”

Lalu diam.

Kali ini beberapa burung prenjak yang membuat gaduh, berpindah-pindah dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Salah satu ranting itu telah tua dan mengering, maka patah lah ia, dan jatuh di atas kaki kodok mungil berwarna hijau. Sang kodok melotot menahan sakit sambil berusaha melepaskan kakinya dari ranting nakal itu.

Aku tertawa kecil melihatnya. Lalu sekali lagi iba dan menyesal karena tidak bisa menikmatinya bersama-sama dengan Mbah putri. Dunianya gelap dan aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan hal tersebut. Yang bisa kulakukan hanya sesekali menemaninya mengobrol, secara rutin memotong kuku-kuku panjangnya, dan memaklumi segala tingkahnya yang kadang susah untuk dimengerti. Hal-hal kecil yang bisa dilakukan, namun entah mengapa tidak begitu terpikirkan oleh anak-anak Mbah yang masih serumah dengannya.

Om Fajar masih relatif muda, 28 tahun, dan sering keluar malam, bersenang-senang dengan kawan-kawannya satu desa, membuat hati Mbah putri tidak tenang menungguinya setiap malam, berharap bungsunya itu tidak macam-macam dalam bergaul. Sedang bulik Siti memiliki hati yang keras dan hanya mementingkan kesibukannya sebagai guru Sekolah Menengah Umum. Permintaan-permintaan kecil Mbah Putri ia anggap sebagai rengekan manja khas anak kecil. Suami bulik Siti adalah seorang kontraktor yang suka bertugas keluar kota, ia jarang di rumah sehingga tidak faham, tepatnya tidak begitu perduli dengan kondisi rumah. Satu-satunya anak Mbah yang sudah menikah hanya ibuku. Maka jadilah aku cucu satu-satunya, cucu kesayangannya.

Alih-alih diperhatikan barang sedikit, malah omelan-omelan sengit yang didapat Mbah Putri, terutama oleh Bulik Siti yang galaknya minta ampun. Aduhai.. haruskah masa tua Mbah diisi dengan perkataan-perkataan menyakitkan? Tidak pantas kah ia diperlakukan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang?

Memang sih, aku sering mendengar perkataan orang-orang, bahwa Mbah Putri yang dulu lain dengan yang sekarang. Dulu ia kejam, sering membentak anak-anaknya termasuk ibuku. Bahkan katanya, suatu kali ia tega memukul anak kecil tetangga sebelah hanya karena si anak mencuri beberapa butir melinjo yang jatuh di kebun belakang.

Namun lihatlah ia sekarang. Ia bahkan bisa dengan mudahnya menikmati simfoni alam. Kadang-kadang ia terhenyak mendengar ciap-ciap suara anak ayam yang berusaha berlindung di bawah eraman induknya. Kadang-kadang ia mengelus rambutku, dan berkata seandainya ia bisa melihat rupa cucunya yang sudah dewasa ini. Terakhir kali, wajahku yang terekam olehnya adalah balita montok dengan rambut ikal dan pipi gembul. Setelah itu, glaucoma merampas penglihatannya.

Aku bukan balita lagi. Aku sudah dewasa, dua puluh lima tahun. Dan akan semakin dewasa. Lalu nanti akan menjadi tua.

Menjadi tua. Itulah yang seringkali kupikirkan ketika duduk bersanding dengan Mbah Putri. Suatu saat nanti aku akan seperti beliau. Lalu, apa yang akan aku lakukan kemudian?

“Mbah, seperti apa rasanya menjadi tua itu?” pertanyaan spontan, meski setelah kupikir, rasanya kejam juga menanyakannya kepada Mbah Putri.

Dua tiga kali aku harus mengulang, baru Mbah paham apa yang kumaksudkan. Satu hal yang kupelajari adalah kesabaran dalam menghadapi kejamnya sang waktu menggerogoti segala yang ada di tubuhmu. Pendengaran, penglihatan, dan gigi sehat sudah bukan barang murah meriah lagi.

Mbah putri mendesah beberapa kali. Pertanyaan itu seolah terdengar absurd baginya.

“Hemm.. bagaimana ya? Kadang-kadang rasanya takut.”

“Takut? Takut kenapa, Mbah?”

“Takut tiba-tiba mati.”

“Ah.. Mbah jangan ngomong kayak gitu.”

“Bukan maksudku takut pada kematian itu sendiri, Nduk cah ayu. Tapi Mbah takut mati dalam keadaan dibenci, atau tidak dihormati oleh anak-anak Mbah.”

Aku terpana.

Tidak tahu harus berkata bagaimana.

“Kenapa bisa begitu, Mbah?”

“Apa?!”

“Kenapa bisa begitu? Nggak ada kok yang membenci Mbah.”

“Kau tahu kan, Om Fajar sama Bulik Siti…”

“Aku yakin Ibu, Bulik Siti, sama Om Fajar, semua mencintai Mbah. Hanya saja, mereka ngga tahu bagaimana mengungkapkannya.” Potongku cepat.

“Kamu sekarang pintar ngomong, Nduk.” Mbah tersenyum teduh, lalu seketika kemudian getir.

“Mbah orang desa, Nduk. Kadang juga ndak tahu gimana cara mendidik anak. Mungkin Mbah banyak salah sama mereka waktu dulu mereka masih kecil-kecil. Mbah sekarang hanya belajar menjadi ikhlas. Apa lagi yang bisa Mbah lakukan sekarang selain nerimo ing pandum sama banyak nyembah marang Gusti Allah.”

Aku bertanya-tanya, pernahkah Mbah memiliki ambisi-ambisi tertentu ketika ia masih muda? Pernahkah ia tertarik pada seni tertentu? Pernahkah ia mati-matian mencapai sesuatu? Lalu bagaimana jika segala sesuatu terjadi diluar keinginannya?

“Kamu harus nerimo, harus syukur, harus ikhlas. Kamu boleh nyari uang sebanyak-banyaknya, nuntut ilmu setinggi-tingginya, lalu berkarir sepuas-puasnya. Namun kamu harus eling, Nduk, Yang Maha Kuasa yang menentukan segala-galanya. Segalanya tunduk pada kuasanya.”

Si kodok yang tadi berkutat melepaskan diri dari jepitan ranting seketika berhasil bebas. Ia terlihat berusaha mengatur nafasnya. Ia masih terengah-engah ketika seekor ular sawah menelannya bulat-bulat.

“Suatu saat semua orang pasti mati.” Wanita tua itu berkata pelan.

Sejak aku telah bisa berpikir, aku memahami teori itu sejelas mengeja huruf-huruf abjad pada masa Taman Kanak-Kanak. Semua benda yang bernafas akan mengalami kematian. Lalu kenapa? Aku bukan seorang kriminal, atau perampok, atau pembunuh atau psikopat. Aku bukan orang yang harus segera tobat dengan terburu-buru karena telah melakukan dosa-dosa besar.

“Tidak semua dosa kelihatan dengan gamblang.” Seolah-olah Mbah bisa membaca fikiranku.

“Maksudnya apa, Mbah?”

“Sombong, iri, dengki. Tidak kentara, namun sedikit demi sedikit bisa menggerogoti imanmu.”

Tidak, aku tidak memiliki segala sifat jelek itu, batinku protes.

Benarkah? Sahut hatiku yang lain.

Lalu aku teringat tempat kerjaku, wadah berkarirku, sebuah Perusahaan Industri Obat. Awalnya, aku diterima sebagai staff di bagian Produksi, lalu aku berambisi secepatnya menjadi supervisor. Nah, sekarang aku telah menjadi supervisor, dan terobsesi untuk menjadi Kepala Cabang. Aku tidak akan heran jika suatu saat nanti aku berambisi menjadi presiden. Mustahil aku tak pernah sombong, atau iri, atau dengki, meski rasa itu hanya sebesar biji partikel atom.

Jam telah menunjuk angka delapan lebih lima menit. Masih terlalu pagi untuk berpikir seberat ini. Aku memperbaiki dudukku agar nyaman. Aku membenahi rok-ku sampai menutup mata kaki. Aku mematut-matut jilbabku, siapa tahu rusak atau miring ke kanan kiri. Aku melihat Mbah tenang-tenang saja. Untuk apa memperhatikan penampilan pada usia sesenja itu? Baju yang melekat di bajunya adalah kemeja lusuh yang kancing paling atasnya telah lepas, dan bawahannya serupa rok span berkain kasar, membungkus kulitnya yang keseluruhannya keriput. Jika telapak tanganku yang masih halus dan padat aku sandingkan dengan telapak tangannya yang kisut dan berwarna menyerupai tanah, maka semakin tampak lah rupa ketidakabadian.

Lalu kami kembali diselimuti keheningan. Kadang diselingi suara alam. Jangkrik, tekukur, tokek, seolah berlomba menunjukkan suara siapa yang paling apik. Mereka tidak sadar, bahwa tiap dari mereka telah dikaruniai suara khas yang memiliki keunikannya sendiri-sendiri.

Seekor walang sangit melompat dengan bersemangat di atas daun pisang, Daun pisang itu melorot, dan membuat tetes-tetes embun sisa tadi malam meluncur jatuh mencium tanah, yang segera disesap oleh beberapa ekor burung dara. Setelah dirasa cukup, ditambah dengan riuhnya suara bebek yang berasal dari pematang sawah, burung-burung dara tersebut terbang dengan kepayahan, salah satu dari mereka mendekati sarangnya dan bertengger disitu. Kepalanya agak mendongak keatas seolah berandai-andai ia bisa terbang lebih tinggi dari tempatnya bernaung. Langit menjawabnya dengan silaunya sinar mentari pagi. Sebatas itulah penglihatanku, meskipun aku bisa memperkirakan, bahwa diatas langit itu masih ada langit. Lalu di atasnya masih ada langit lagi.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Mbah Putri memberikan petuah-petuahnya. Bahkan di setiap kepulanganku, merupakan fragmen yang mengusung satu tema yang diulang-ulang. Mbah Putri akan bercerita tentang Om Fajar, Bulik Siti, harapan-harapannya di masa lalu, kemudian sabar, syukur, ikhlas, nerimo... Sedangkan tingkah polah makhluk alam khas pedesaan akan melengkapi cerita tersebut dengan cara yang tak pernah membosankan.

Pulang ke desa selalu membuat ambisi-ambisiku mereda. Entahlah, seolah bersinggungan dengan kesederhanaan berpikir Mbah Putri, dan lukisan alam yang tintanya masih segar, membuatku kembali mengingat darimana segala berasal. Darimana aku berasal, darimana kesuksesanku berasal, darimana orang-orang yang kusayangi berasal, dan darimana pemahaman berasal.

Dan aku pun semakin sering ingin mudik.

Perempuan Pencari Daun


Bulan purnama sempurna. Langit masih membentangkan jubah hitam raksasanya. Titik-titik putih serupa butiran garam menaburi permukaannya. Sebagian besar bebas tak beraturan. Sebagian lagi bergerombol membentuk lukisan maha sempurna. Noktah-noktah putih itu terangkai menyerupai cincin, layang-layang, gubug penceng, dan bentuk-bentuk unik yang susah terlukiskan. Sungguh, betapa maha agung pelukisnya. Mencipta selangit keajaiban langit semesta kala dini hari.

Fajar menyingsing. Di tepi jalan raya, tepatnya di bawah pohon beringin, berdiri tegak seorang perempuan bertubuh kurus dan tinggi. Sebuah selendang panjang lusuh mengalung di lehernya. Karti namanya. Usianya kurang lebih empat puluh tahunan. Tangannya terlihat sibuk membenahi kain yang menabiri rambut hitam-putihnya yang menyembul beberapa helai dari pelipisnya. Matanya lurus ke jalan beraspal, sambil sesekali menengok ke arah kanan. Ia menahan napas. Sudah dua truk besar lewat di depannya. Selepas subuh biasanya jalan raya memang sudah ramai dengan mobil-mobil pengangkut barang dagangan. Kali ini sebuah mobil pick-up. Tanpa diminta mobil tersebut berhenti persis di depan Karti. Perempuan itu layaknya rambu merah menyala, menyetop mobil yang lazim untuk mengangkut barang. Bukan manusia. Bibir Karti yang semula terkatup kini terbuka. Agak samar gigi-giginya terlihat. Tertawa lega tanpa ada suara. Bahwa pagi ini ia tidak tertinggal lagi seperti kemarin.

Di belakang kepala pick-up telah duduk enam perempuan. Empat diantaranya lebih muda. Berumur antara tiga puluh tahun hingga tiga puluh enam tahun. Masing-masing Dijah, Romlah, Parni dan Parsih. Sedangkan dua perempuan lainnya sebaya dengan Karti. Namanya Wakijah dan Aminah.

“Ayo, Yu Karti, cepet naik! Nanti keburu terang,” seru seorang perempuan berkulit sawo matang.

“Iya, Jah,” jawab Karti. Tangan kanannya menggenggam tali. Tali itu kemudian ia lilitkan pada galah yang tadi ia sandarkan ke batang pohon beringin yang tegak di sebelah kirinya. Pada ujung galah itu sengaja diselipkan sebuah pisau. Sebelum naik ke badan pick-up, Karti mengulurkan galahnya kepada perempuan yang dipanggil Jah olehnya. Dijah menyambutnya lantas meletakkan galah itu bersama galah miliknya dan milik teman-temannya. Karti naik dengan menenteng kantong plastik yang berisi botol air minum, bekal makan siang dan sarapannya yang belum sempat ia makan tadi. Ia akan memakannya nanti bersama teman-temannya dalam perjalanan menuju hutan.

Karti dan teman-temannya tiba di hutan ketika sinar matahari menerobos celah dedaunan. Berbanjar pohon besar dengan batang bulat lurus menyambut langkah Karti dan keenam teman-temannya. Batang-batangnya lurus, bebas cabang atau jerangkah hingga mencapai dua puluh meteran. Ialah pohon jati. Daun-daunnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan dengan tangkai yang pendek. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya. Bunga majemuk terletak dalam malai besar, yang berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota enam sampai tujuh buah, keputih-putihan. Berumah satu. Buah berbentuk bulat agak gepeng, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji dua sampai empat, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil.

Perempuan-perempuan itu akan beraksi dengan senjatanya. Bukan sebilah pedang ataupun senapan berlaras. Namun, mereka hanya berbekal buluh panjang dengan pisau yang diselipkan pada ujungnya. Untuk menebas daun-daun sumber kehidupan mereka yang sangat berharga. Lembar demi lembar daun penyambung nyawa mereka.

Mentari mulai terik ketika para pemetik daun mulai menjelajah masuk ke tengah hutan. Sebuah rongga hutan kecil nan liar. Hutan yang luput dikelola pemerintah. Setelah menempuh perjalanan dengan jalan kaki berkilo-kilo, kerongkongan Karti terasa kering hampir mencekik lehernya. Karti segera membuka kantong bekalnya. Ia meneguk air putih hingga tersisa setengah botol. Temannya yang lain juga melakukan hal yang sama.

“Yu Karti, sampeyan dengar suara-suara itu nggak?” tanya Romlah setengah berbisik di sela-sela suara tegukan air dan dengung suara mesin.

“Iya, Yu, kayak suara mesin pemotong kayu. Jangan-jangan... “ timpal Dijah diiringi getaran kecil yang diduga dihasilkan dari tumbangnya sebuah pohon.

“Benar, itu memang suara mesin pemotong kayu. Nggak salah lagi kamu, Jah!” sela Aminah. Diikuti pandangan heran dan anggukan kepala perempuan yang lainnya. Mesin itu mendengung lagi.

“Sepertinya di ujung sana.” Tunjuk Karti. “Ayo, kita lihat sama-sama!”

“Nggak salah lagi. Bagaimana ini? Tiga pohon sudah ambruk. Bagaimana kalau mereka menebang semua pohon? Kita kasih makan apa anak-anak kita?” lanjut Aminah panik melihat tiga buah gelondongan kayu yang terbaring beku, menangis karena tercerai dari akarnya yang tak berdaya.

“Siapa tiga laki-laki itu ya? Menurutku mereka bukan orang asli sini. Mungkin mereka orang kota ya, Rom?” terka Dijah diikuti kepala Romlah yang mengangguk mengiyakannya.

Teman-teman Karti sibuk mengomentari apa yang mereka lihat. Sementara itu Karti terpaku melihat salah seorang dari tiga laki-laki asing itu. Laki-laki yang sedang memeriksa tiap gelondongan kayu yang telah terpisah dari akarnya. Tidak salah lagi. Tanpa sadar senyum Karti merekah. Meski hatinya bergemuruh keruh. Karti yakin sekali jika laki-laki yang berada di depan matanya itu adalah...

***

Dari pagi hingga pagi lagi. Bagaimana tidak. Selepas subuh ia harus berangkat ke hutan hingga tengah hari baru pulang. Kemudian istirahat sebentar. Selepas ashar ia kembali lagi dan baru pulang ke rumah hingga pukul dua dini hari. Istirahat sebentar, memasak untuk keluarganya lalu setelah subuh berangkat lagi. Begitulah seterusnya.Walaupun demikian letihnya, ia masih bersyukur. Sekarang ia dan teman-teman sesama pencari daun tidak lagi bersusah payah jalan kaki untuk sampai ke hutan seperti yang pernah dijalani oleh Karti kecil dan ibunya. Mereka menyewa sebuah mobil pick-up yang saban hari mau antar-jemput ke hutan. Per harinya paling tidak Karti harus mendapatkan seribu lembar daun jati. Setelah itu ditata dan diikat dengan tali untuk dijual ke pasar. Satu ikat biasanya dijual seharga tiga ribu rupiah. Per ikat biasanya berisi 30-35 lembar. Biasanya rata-rata dalam sehari terjual 50 ikat. Jika dikalikan berarti rata-rata mendapat 150 ribu per hari. Itu masih dikurangi transport mobil pick-up saat mengantar ke hutan dan ke pasar. Jika ditotal Karti bisa meraup 70-80 ribu per hari. Namun untuk mengantongi uang sejumlah itu ia harus benar-benar bekerja keras dan rela jarang bertemu dengan keluarganya. Kendati demikian Karti sangat khawatir akhir-akhir ini penggunaan daun seratus persen digusur oleh keberadaan kertas maupun plastik yang mulai merajai pasar. Di sisi lain penggunaan daun jati masih kalah pamor dengan daun pisang. Daun jati dianggap kuno dan kurang fleksibel.

“Ti, Ti, daun jati itu sudah kuno. Nggak elegan. Aku udah pesan kotak nasi yang cantik. Ada hiasannya juga lho, Ti. Jadi maaf aja ya, Ti. Mulai sekarang aku berhenti langganan daun jatimu,” ujar Bu RT yang dulu biasa langganan daun jati pada Karti tiap mau hajatan.

“Nggak ilegal ya Bu?” desis Karti manggut-manggut menirukan kata yang telah disebut Bu RT tadi. Bu RT cengar-cengir mendengar Karti salah menirukan kata “elegan”.

Dewasa ini orang-orang memang lebih suka mengkonsumsi segala sesuatu yang instan. Dari segi bungkus hingga isi makanan itu. Untuk pembungkus misalnya, mereka lebih memilih plastik, kotak kardus, aluminium foil, kertas minyak, stereofoam dan masih banyak lagi jenisnya. Ironisnya kulit-kulit binatang yang tidak halal andil juga untuk pembungkus makanan instan. Benar-benar mengerikan. Diakui memang produk-produk tersebut memang lebih praktis dan cepat. Namun, mereka tidak menyadari sampah-sampah yang dihasilkan dari produk-produk tersebut. Karti sudah tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Ia juga sedih memikirkan penebangan hutan secara liar marak terjadi belakangan ini. Hal itu membuat Karti dan teman-teman harus bekerja ekstra untuk mencari dan mengumpulkan helai demi helai daun jati. Sebab itulah satu-satunya cara mereka untuk bertahan hidup.

Karti dan daun-daun jati memang tidak pernah bisa terpisahkan. Semenjak kecil ia telah berteman karib dengan dedaunan itu. Dari sekedar membantu ibunya mengumpulkan daun jati di hutan dengan jalan kaki berkilo-kilo meter hingga menghitung lembar demi lembarnya untuk ditukar rupiah di pasar. Setelah tumbuh dewasa dan kedua orangtuanya meninggal ia juga masih mengandalkan helai-helai daun itu untuk menghidupi kedua adiknya yang masih kecil. Hingga sekarang, ternyata kehidupannya masih tidak jauh-jauh dengan daun jati. Sebagai orang tua tunggal, ia harus menghidupi Joko anak semata wayangnya. Tak terkecuali dua adiknya Tinah dan Ragil yang masih bergantung pada hasil keringatnya. Nasibnya yang sial tidak membuat Karti menelantarkan keluarganya. Meskipun laki-laki yang ia nikahi telah merusak masa depan dan semua cita-citanya.

Habis manis sepah dibuang. Begitulah kira-kira nasib yang dikandung badan Karti. Karti masih mengingat betul pertemuan pertama antara dirinya dan pemuda kota itu. Pengusaha kayu yang mengaku masih bujang itu telah menawan hatinya. Kartono nama laki-laki itu. Nama yang sekarang masih terukir indah di hatinya. Masih melekat di setiap hembus nafasnya. Walaupun kehinaan selalu mencaci dirinya. Menganiaya batinnya.

Entah mengapa Karti merasa cocok dengan pemuda itu. Apalagi umurnya waktu itu sudah hampir kepala tiga. Tanpa pikir panjang pernikahan mereka akhirnya dilangsungkan dengan sederhana. Pada mulanya hidup mereka sejahtera. Tidak ada penyimpangan ataupun sesuatu yang ganjil. Memasuki satu tahun usia pernikahan mereka prahara itu datang. Saat itu perasaan Karti begitu terharu dan bahagia. Sudah hampir enam minggu ia telat datang bulan. Tubuhnya terasa pegal-pegal. Karti memutuskan untuk pergi ke tukang urut atau ke dukun bayi. Pada saat itu di kampungnya memang belum ada bidan atau semacamnya. Namun sewaktu ia pulang dan tidak sabar ingin membagi sebuah kabar gembira kepada suaminya, ternyata suaminya telah pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit ataupun sepucuk surat. Meninggalkan Karti yang kini telah berbadan dua. Pupus sudah semesta asanya. Entah mengapa pada hari yang sama Karti juga kehilangan adik perempuannya Tinah yang baru berumur delapan belas tahun. Pergi tanpa pamit atau kabar. Seperti hilang ditelan bumi.

***

Perasaan Karti tidak karuan. Buncah oleh setitik rasa yang menyempil jauh di sudut hatinya. Tidak bisa disangkal lagi. Rasa itu masih setia menguntitnya. Meski ia mencoba menepis sekuat tenaga. Bertahun-tahun laki-laki di depannya itu menyulut api kebencian yang membara di matanya. Namun, biar bagaimanapun laki-laki itu adalah seseorang yang kerap dipertanyakan oleh anaknya. Yang hingga kini tak pernah mampu ia jawab. Karti sudah tidak sabar lagi ingin mendengar alasan suaminya mengapa meninggalkan dirinya tanpa jejak. Mengklarifikasi kabar yang pernah berhembus di masyarakat. Bahwa sejatinya Karti adalah istri kedua, istri simpanan, atau apalah mereka menyebutnya.

Karti memberanikan diri melangkah menghampiri tiga laki-laki di seberang. Teman-teman Karti hanya mengekor di belakang. Tak ada salah satu pun dari perempuan itu yang protes. Kelihatannya mereka sama sekali tidak mengenali sang pengusaha kayu yang bertahun-tahun lalu pernah tinggal di desa mereka. Mereka pangling. Karto yang sekarang, gemuk dan terlihat tua. Gurat-gurat di wajahnya jelas terlihat. Kulitnya yang dulu bersih kini agak legam. Jauh sekali dengan dulu ketika masih muda.

“Mas Karto?” seru Karti tanpa mempedulikan bisik-bisik temannya. Orang yang dipanggil terkejut dan menoleh. Teman-teman Karti saling berpandang-pandangan.

“Mas, masih ingat aku?” tanya Karti. Muka Karto merah padam. Ia tidak mungkin melupakan perempuan yang ada di depannya itu.

“Siapa, Yu? Yu Karti kenal dia?” bisik Dijah di telinga Karti. Karti mengabaikannya. Ia lalu menghampiri lelaki itu. Karto tetap membisu.

“Mas, mau menengok anak kita? Kenapa dulu Mas tinggalkan aku begitu saja? Jelaskan padaku, Mas!” Kesal Karti mengguncang-guncang bahu suaminya.

Karto menepis tangan Karti dengan kasar. Karti tidak mau kalah. Ia mencengkeram lengan Karto dengan sekuat tenaga. Pada waktu yang sama muncullah seorang anak perempuan dan seorang wanita muda. Si bocah yang kurang lebih berusia enam tahun itu dengan riangnya berlari membawa boneka panda. Diikuti wanita cantik yang kira-kira berumur seperempat abad. Keduanya menghampiri Kartono.

“Mas Karto, ada apa, Mas?” tukas wanita muda itu yang ternyata sangat dikenali Karti. Perlahan Karti melepas cengkeramannya demi melihat wanita muda tersebut.

“Yu Karti, maafkan aku!” Isak Tinah yang langsung ditarik kasar oleh Karto. Tinah ingin sekali menjelaskan semuanya. Tentang semua kebohongannya dan kebejatan Karto yang telah ia ketahui. Sebenarnya Karto memiliki banyak istri di kota. Waktu itu Tinah diiming-imingi sebuah pekerjaan di kota. Karto bersedia mengantarnya dengan syarat tidak mengatakan hal ini pada kakaknya. Namun apa yang terjadi sungguh menyakitkan. Tinah sama sekali tidak keberatan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tapi ia tidak bisa terima menjadi pembantu rumah tangga istri-istri Karto di kota. Betapa remuk hatinya. Ia harus bilang apa sama Yu Karti, kakaknya. Ia sama sekali tidak diperbolehkan pulang. Buntutnya Tinah dipaksa Karto untuk menjadi budak seksnya. Begitu juga perlakuan dari istri-istri Karto yang kasar. Tinah benar-benar disiksa lahir batin.

Ketiganya pergi meninggalkan Karti tanpa sepatah kata. Tanpa sepengetahuan Karto, Tinah menyelipkan sesuatu dalam genggaman Karti yang langsung digenggam erat Karti. Salah satu anak buah Karto menghampiri Karti dan teman-temannya.

“Kalian mau ngapain di sini!” bentak anak buah Karto. “Kalian siapa? Hutan ini telah dibeli oleh Pak Tono. Jadi kalian tidak boleh seenaknya mengambil apapun di sini. Ambil ini, dan jangan pernah menginjak tempat ini lagi.” Ketus anak buah Tono seraya menghamburkan uang ratusan ribu ke muka Karti. Lalu beringsut meninggalkan perempuan-perempuan pemburu daun.

“Mas Kartooooo...” teriak Karti ingin mengejar langkah Kartono dan Tinah yang semakin mengecil. Karti melihat Tinah menengok ke belakang. Teman-teman Karti mencoba menahannya.

“Sudahlah, Yu, sabar, ikhlaskan saja. Ayo kita pulang,” bujuk Dijah.

“Tinah, adikku.” gumam Karti. “Ti.. Ti.. Tinaaaah... Mas Kartooo... tunggu...!” pekiknya lagi hingga wajahnya panas memucat. Dibukanya kertas itu dengan putus asa. Karti buta huruf. Satu per satu teman Karti disodori lipatan kertas itu. Aminah, Wakijah, Romlah, Parni, dan Parsih geleng-geleng kepala. Mereka sama sekali tidak pernah mengenyam bangku sekolahan. Satu-satunya harapan adalah Dijah.

“Jah, tolonglah aku.” Karti memelas.

“Akan kucoba, Yu,” sahut Dijah disambut binar di wajah Karti. Dijah memang sempat sekolah hingga kelas dua SD. Setelah itu orangtuanya tidak mampu lagi membiayainya.

Dijah mulai mengeja pelan huruf demi huruf pada kertas di tangannya. Kadang-kadang Karti membuat jeda untuk menahan air matanya. Menata hatinya. Membuat Dijah lupa sampai baris berapa ia mengeja. Lalu berkali-kali Dijah mengulangi deretan huruf yang sebenarnya tadi sudah ia baca. Karti terisak ketika Dijah mengakhiri surat itu. Dan galah-galah bambu itu seakan murka dan tiba-tiba terlepas begitu saja dari tangan-tangan kokoh para perempuan pemburu daun jati. Pisau yang terselip di antara ujung-ujungnya dengan lihai menebas satu persatu pucuk-pucuk daun jati dari rantingnya. Merontokkan semua daunnya tanpa tersisa. Daun-daun jati luruh berguguran dari pohonnya. Beterbangan menyapu uang-uang kertas yang berserakan di tanah. Melumat Karti dan keenam temannya. Batang-batang pohon tumbang di mana-mana. Lekap-lekup membahana. Perlahan pandangan Karti memudar. Pohon-pohon jati itu tiba-tiba berebut memeluk tubuhnya yang lunglai.

Aku & Pengemis Tua


Matahari semakin meninggi di petala langit. Sinarnya terasa membakar. Tubuhku sudah terasa panas karena hampir setengah hari aku berada di bawah teriknya. Sungguh sangat melelahkan bagiku bekerja seperti ini, setiap hari harus menengadahkan tangan untuk mencari sesuap nasi agar bisa bertahan hidup.

Kalian pasti berpikir aku seorang pengemis! Tebakan kalian tidak salah. Namun, tak sepenuhnya benar. Setiap hari aku memang mencari uang, tapi bukan untukku. Karena aku sama sekali tak butuh uang, juga tak butuh makan dan minum. Aku bisa bertahan hidup tanpa itu semua.

Kalian sekarang pasti berpikir aku ini manusia atau bukan? Karena tak mungkin manusia tak butuh makan dan minum, karena itu merupakan kebutuhan vital manusia setiap hari!

Oke! Sekarang aku akan memperkenalkan siapa diriku. Karena aku tak ingin membuat kalian terus menebak-nebak. Aku hanyalah sebuah gayung lusuh dari plastik yang tak berharga dan aku bekerja setiap hari untuk seorang pengemis tua, dan ialah majikanku.

Sekarang aku yakin, kalian pasti sudah bisa membayangkan seperti apa sosokku. Dan mungkin di antara kalian ada yang pernah melihatku di pasar, di depan masjid, atau mungkin di halte bus atau di tempat ramai lainnya bersama dengan majikanku, seorang pengemis tua.

Aku juga tak enak, tak memperkenalkan siapa nama majikanku pada kalian. Nama majikanku Pak Sabar. Seperti namanya ia memang benar-benar sabar, tak pernah mengeluh dengan nasib yang menimpanya. Dan karena kalian sudah mengenal kami berdua aku akan melanjutkan ceritaku.

Pak Sabar membawaku berteduh di bawah pohon ketapang yang rimbun yang ditanam pemerintah dipingir-pinggir jalan, dengan tujuan untuk mengurangi dampak global warming. Ia menghempaskan berat badannya ke akar yang menonjol keluar dan bersandar di pohon itu. Kakinya menggelosor lurus. Ia letakkan buntalan dari sarung lusuh yang berisi pakaian bekas yang masih layak pakai di sisinya. Nafasnya turun naik tak beraturan. Keringat membanjiri tubuh ringkihnya, meresapi baju kumal yang ia kenakan. Ia tampak kelelahan.

Pak Sabar melepaskan topi tua yang terbuat dari anyaman purun yang menaungi kepalanya. Sisi-sisinya terlihat sobek tak beraturan, mungkin karena lapuk, hancur sendiri dimakan waktu. Ia kibaskan topi itu ke udara tepat di depan wajahnya, untuk mengusir gerah dan keringat.

Ia tersenyum menatapku, aku pun membalas senyumnya. Ia hentikan kesibukan mengipasi wajahnya, meraihku dan meletakkannya di pangkuannya. Ia meraup uang yang kugenggam, kemudian menghitungnya.

“Satu.....dua....tiga......” sampai koin terakhir. Ia kembali tersenyum, tampak puas dengan penghasilan yang didapat.

“Alhamdulillah....” katanya, lirih. Aku pun senang karena bisa membantunya.

Allahu akbar.... Allahu akbar...! suara azan zuhur terdengar menggema dari menara-menara masjid. Pak Sabar bergegas menyampirkan buntalan ke bahunya. Bangkit, dan tak lupa meraihku. Ia seret langkah kakinya dengan cepat menuju masjid. Aku semakin kagum dengan Pak Sabar, walaupun ia hanya seorang pengemis, namun tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim.

Ia segera mengganti baju lusuhnya dengan sarung dan baju koko yang ada dalam buntalan, yang ia dapat dari belas kasihan orang. Dan menunaikan shalat zuhur berjamaah. Sementara aku menunggu di sudut masjid.

***

Malam semakin larut ditelan gelap. Rembulan seakan-akan enggan berbagi cahaya, hanya sesekali mengintip malu dari balik awan hitam. Mendung. Sebentar lagi hujan. Cahaya kilat sesekali melintasi petala langit. Disambut tawa petir yang menggelegar.

Pak Sabar mempercepat langkahnya, walaupun dengan terseok-seok membawa tubuh ringkihnya. Aku tahu ia tak ingin basah kuyup, dan cepat-cepat mencari tempat berteduh karena langit telah sampai pada titik bosannya menumpahkan titik-titik air yang menjarum. Tubuh tuanya tak akan mampu bertahan terkena hujan, maka ia putuskan untuk berteduh di emperan toko yang ia lewati.

Hujan semakin deras, ditingkahi dentuman-dentuman petir dan kilat yang menyambar, ditambah hembusan angin yang membuat suasana terasa mencekam. Pak Sabar menggigil kedinginan memeluk kedua kakinya, tubuhnya ia sandarkan pada rolling door toko. Ia tahu hujan seperti ini tak akan cepat reda. Maka ia kembali memutuskan untuk tidur di sini malam ini. Tak mungkin mencari masjid dalam kondisi seperti ini.

“Bangun....bangun...!” kudengar suara teriakan nyaring di dekatku. Kubuka mataku. Huff. Cahaya menelisik masuk menerpa mataku. Aku kaget karena hari sudah pagi. Biasanya sebelum matahari terbit Pak Sabar membangunanku untuk menemaninya shalat subuh. Rupanya rasa dingin tadi malam membuat Pak Sabar tertidur lelap dipeluk mimpi. Kupicingkan mataku untuk melihat dengan jelas siapa yang tadi berteriak-teriak mengganggu istirahatku.

“Bangun...cepat bangun...!” orang itu kembali berteriak sambil menyepakkan kakinya ke tubuh Pak Sabar. Wajahnya terlihat sangar dengan kumis melintang di antara hidung dan bibirnya.

“Cepat bangun, pergi dari sini, aku mau membuka tokoku....!” pemilik toko itu mengibaskan tangannya mengusir Pak Sabar dengan aksen yang semakin meninggi.

Pak Sabar bangkit perlahan, ia juga terlihat kaget sama seperti aku. Bukan karena pemilik toko itu mengusirnya, melainkan karena ia melewatkan kewajibannya sebagai Muslim. Namun, aku tahu Pak Sabar pasti membayarnya dengan mengqadhanya. Ia tak ingin meremehkan shalat. Setelah menyampirkan buntalan ke bahunya yang ia jadikan bantal, ia beranjak pergi. Tapi ia lupa membawaku.....

“Hei, Pak Tua! Bawa juga barangmu ini!” seru pemilik toko itu lagi sambil menendang tubuhku dengan kasar sehingga aku terpelanting jauh.

“Jangan coba-coba lagi untuk tidur di depan tokoku....” ancamnya dengan menudingkan tangan ke arah Pak Sabar.

Keterlaluan! Benar-benar keterlaluan pemilik toko ini. Tak bisakah ia bersikap ramah dan menyerahkanku dengan baik. Andai saja aku bisa melawan, pasti kubalas kekasarannya. Eh, kenapa aku jadi marah-marah. Sabar-sabar. Tubuhku terasa nyeri. Pak Sabar buru-buru memungutku. Mengusap-usap, menyingkirkan debu yang menempel ditubuhku. Matanya menatapku sedih, seolah meminta maaf, karena ia lupa membawaku.

Pak Sabar bergegas meninggalkan tempat ini, karena tak ingin mendengar caci-maki dan sumpah serapah. Aku masih bisa melihat pemilik toko itu menatap kami dengan sinis, sebelum berbalik membuka rolling door-nya.

Aku tak tahu ke mana lagi Pak Sabar membawaku, karena memang kami tak punya tempat tinggal, jadi ke mana pun ia melangkah kuharap ia terus membawaku. Kutatap wajah tirusnya yang kian menghitam. Oh, sungguh kasihan aku melihatnya. Membayangkan kejadian barusan, aku jadi teringat peristiwa satu tahun lalu...

“Aku sudah tak tahan lagi hidup bersama Bapak...!” cecar Bu Sabar tanpa menaruh rasa hormat lagi pada suaminya yang baru pulang di pagi ini, mata suaminya kelihatan mengantuk karena bergadang semalaman.

“Maksud Ibu apa?” sahut Pak Sabar datar.

“Aku ingin cerai, aku sudah tak tahan, punya suami yang tiap hari pulang pagi, mabuk, berjudi, atau mungkin selingkuh dengan wanita lain....”

“Jaga mulut kamu! Aku ini suami kamu!” Pak Sabar mulai terpancing emosi, karena kata-kata kasar istrinya, tangannya sudah ia ayunkan ke udara.

“Tampar, Pak! Tampar...!” Bu Sabar malah menawarkan pipinya ke depan, menantang. Namun Pak Sabar urung, apa yang dikatakan istrinya memang benar. Perlahan tangannya kembali lurus ke bawah. Bu Sabar tahu suaminya tak akan pernah sanggup menyakitinya, karena sangat menyayanginya. Tapi yang ia tak tahan dengan kelakuan buruk suaminya, sehingga ia mengambil keputusan ini...

“Bapak bilang suami.....” Bu Sabar tersenyum sinis, tapi lebih bersifat ejekan. “Suami macam apa yang kerjaan cuma keluyuran tak karuan, bisanya cuma menghamburkan uang di meja judi, mabuk tiap malam. Apa ada Bapak pernah memikirkan aku, anak kita. Hah...!” lanjutnya memelototkan mata kepada suaminya. Pak Sabar hanya tertunduk mendengarkan amarah istrinya. Ia malu. Matanya berkaca-kaca

“Apa Bapak pernah memikirkan, bagaimana capeknya aku, mencari uang untuk menghidupi keluarga kita? Aku sudah cukup bersabar menghadapi kelakuan Bapak selama ini...”

“ Jadi Ibu mau berpisah dengan Bapak?” Pak Sabar mendongakkan kepalanya.

“ Iya...”

Pak Sabar berpikir sejenak sebelum mengiyakan. Ia tahu ini adalah keputusan yang berat untuknya. Namun, ia harus segera menjawabnya. Ia tak ingin tetangga di sebelah mendengar pertengkaran ini, karena ia tahu istrinya akan terus berkoar sebelum keinginannya dikabulkan.

“Kalau itu yang ingin Ibu inginkan, baiklah. Tapi izinkan Bapak untuk melihat anak kita...”

“Tidak perlu. Dia masih tidur,” jawab Bu Sabar ketus. “lebih baik Bapak cepat angkat kaki dari rumah ini, sebelum Dhea anak kita melihatnya...” Bu Sabar menudingkan tangannya ke arah pintu. “Dan ingat, jangan membawa barang apapun dari rumah ini, karena dulu Bapak datang ke sini tidak membawa apa-apa!”

Sebenarnya langkah kakinya berat untuk meninggalkan rumah ini, terlebih lagi berpisah dari istri dan anaknya. Ia kembali mematung di halaman, berbalik menatap rumah yang ditinggalinya bertahun-tahun. Sementara Bu Sabar berkacak pinggang di bibir pintu.

“Ngapain lagi Bapak di situ. Cepat pergi...!” Bu Sabar tiba-tiba meraihku yang sedang memperhatikannya bersama temanku, ember dan air, di teras rumah. Namun, sial bagiku. Aku disambitkan ke arah Pak Sabar yang berdiri di halaman. Tubuhku mengenai wajahnya, hingga terdengar bunyi mengaduh kesakitan. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, hingga ia membawaku bersamanya. Meninggalkan istrinya dengan sumpah serapah yang tak karuan. Ia tak ingin istrinya semakin kalap. Masih sempat kulihat seorang anak kecil muncul dari balik pintu. Bu Sabar berlutut di hadapannya. Entah apa yang dibicarakan, detik kemudian mereka berbalik menutup pintu.

Pak Sabar tak tahu harus ke mana, karena ia tak punya keluarga di kota ini. Keluarganya jauh di Kalimantan, tentu ia tak akan bisa pulang karena tak punya uang banyak. Ia terus melangkah dengan hati yang galau, aku terombang ambing di pegangan tangannya.

Tujuh hari sudah kami telantar di jalanan. Sisa uang yang masih tersisa di celananya kini telah habis untuk makan. Hanya dari masjid-masjid kami menumpang untuk tidur. Selama berada dalam masjid, jiwa Pak Sabar merasa tenang. Ia merenung, bahwa selama ini ia tak pernah ke masjid untuk shalat. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia shalat. Ia melupakan akhirat hanya karena mabuk akan kenikmatan dunia. Sungguh ia sangat menyesal. Ia ingin bertobat.

Bibirnya bergetar mengucap kalimat tasbih saat sujud, butiran-butiran penyesalan mengalir membasahi sajadah. Baru kali ini, ia benar-benar merasa dekat dengan Sang Khalik. Dalam doa pun tak henti ia mengulang-ulang pintanya agar dosanya diampuni. Ia juga menyesal atas perbuatannya selama ini terhadap keluarganya, ia tak mencari nafkah, tak memperhatikan istri dan anaknya. Padahal itu adalah kewajiban kepala keluarga.

Ia tak ingin larut dalam penyesalan, biarlah semua itu menjadi pelajaran berharga untuknya. Ia juga harus bekerja untuk bertahan hidup, bukankah bekerja juga ibadah asal niatnya karena Allah. Ia mencoba menawarkan diri ke rumah-rumah untuk memperoleh pekerjaan. Tapi usahanya tak membuahkan hasil. Ia juga mendatangi pengurus-urus masjid untuk menjadi takmir, tapi penolakan kembali terjadi karena masjid yang ia datangi sudah ada takmirnya.

Ia rebahkan tubuhnya di teras masjid, untuk meringankan pegal di kakinya karena telah jauh berjalan. Ke mana pun ia pergi, ia tak pernah lupa membawaku, entah kenapa. Mungkin aku ini dianggap sebagai teman senasib yang sama-sama terusir. Tubuhku juga terasa nyaman saat menyentuh ubin putih masjid. Dingin, itulah yang kurasakan. Aku juga tahu Pak Sabar juga menikmatinya, terdengar dari desahan nafasnya yang nyaman.

“Lapar, Pak....lapar...” sebuah suara mengusik ketenangan kami. Pak Sabar bangkit dari rebahnya. Seorang wanita tua dengan pakaian cumpang-camping dan lusuh, tubuhnya kelihatan dekil, berdiri dengan menengadahkan tangan di hadapan kami.

“Lapar, Pak....lapar...sudah tiga hari belum makan...” lanjutnya lagi dengan mengiba. Pak Sabar sebenarnya kasihan melihat wanita tua yang ada di hadapannya. Tapi apa yang bisa ia berikan, ia pun tak punya apa-apa. Selama ini ia juga bisa makan dari belas kasihan orang lain. Wanita tua itu kemudian menjauh dengan gontai. Pak Sabar memandang dengan iba.

Ia mencoba merebahkan kembali tubuhnya. Namun, belum sempurna rebahnya ia kembali bangkit dengan cepat. Matanya terlihat berbinar, seperti menemukan sesuatu yang berharga.

“Bagaimana kalau aku juga mengemis seperti dia...” lirihnya sambil berpikir memegang dagunya. “Ya, lebih baik aku mengemis, untuk bisa bertahan hidup di kota ini, dari pada aku menjadi pencopet.....”

Ia kemudian menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu ia ingin mengajakku mengemis bersamanya. Mungkin ia telah putus asa untuk mencari pekerjaan yang tak kunjung didapatnya, sehingga ia memutuskan untuk menjadi pengemis. Tapi itu lebih baik daripada mencuri, atau bekerja sebagai orang terhormat, namun hakikatnya tak lebih dari seorang perampok.

“Uhhuuuk...uhhuukkk....” suara batuk Pak Sabar membuyarkan khayalanku. Aku mencoba mengenali sampai di mana sudah Pak Sabar membawaku. Ternyata dekat di halte bus, banyak orang-orang berdiri menunggu bus selanjutnya, ada yang ingin pergi ke kantor, sekolah, dan tempat-tempat lainnya.

Pak Sabar langsung beraksi menyodorkan tubuhku ke hadapan mereka dengan muka yang memelas, agar mereka kasihan mau memberikan sedikit rupiah. Tak sedikit orang yang memalingkan muka, dan mencoba menghindar. Mereka tak tahu, bahwa harta yang ia miliki itu ada hak orang-orang seperti Pak Sabar. Namun, ada juga orang yang berbelas kasihan memberikan sedikit rezekinya. Pak Sabar lantas mendoakannya agar pintu rezeki selalu dibukakan Allah. Ia tersenyum sambil mengamini.

Pak Sabar segera menyingkir, ia tak ingin ditabrak orang-orang yang berebut ke badan besi yang sudah berhenti di depan halte. Sang kondektur berkoar-koar nyaring sebelum bus itu kembali berjalan. Pak Sabar menatapku sambil tersenyum, hanya beberapa rupiah yang ada di genggamanku, namun ia tetap bersyukur.

Di seberang jalan, terlihat dua orang pengemis lain sedang berebut menengedahkan tangan pada orang yang berpakaian parlente. Kelihatannya ia seorang dermawan, terlihat dari besarnya nominal yang diberikan. Dua pengemis itu terlihat sumringah menerimanya. Kemudian berlalu sambil berkata-kata di antara mereka.

Pak Sabar yang melihatnya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, ia ingin mengejar orang yang berpakaian parlente tadi sebelum kembali menaiki mobilnya, dengan harapan juga bisa mendapatkan uang seperti dua pengemis tadi. Ia bergegas menyeberang, matanya hanya terfokus pada orang itu, tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Baru beberapa langkah ia berjalan. Tiba-tiba terdengar suara gesikan keras roda di aspal

Ciiiiiiiiiittt.........duuummmm......! Pak Sabar terpelanting dan jatuh ke aspal, aku terlepas dari pegangannya, tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Darah pekat merembes dari kepalanya dan mengalir sampai ke tubuhku. Tubuhnya terlihat mengejang, mengelepak bagai ayam yang disembelih. Orang-orang seketika berkerumun dengan riuh. Ada yang mencoba membantu, ada juga yang sekadar melihat. Seorang wanita dan anak kecil perempuan menyeruak ke depan. Aku mengenalnya. Itu Bu Sabar dan Dhea. Setelah melihat orang yang terkapar, matanya terlihat membulat dengan raut wajah kaget, kemudian menarik tangan anaknya keluar dari kerumunan. Masih sempat kudengar gumaman mereka..

“ Ibu...Ibu... itu tadi kan Ayah...”

“Ayahmu bukan seorang pengemis..... ayahmu sudah lama meninggal....”

Dhea masih mencoba memandang ke arah kerumunan, matanya terlihat berkaca-kaca, tarikan keras ibunya memaksanya untuk terus menjauh. Kasihan sekali Pak Sabar, bu Sabar benar-benar membencinya, bahkan saat Pak Sabar yang sedang menghadapi sakaratul maut, Bu Sabar tetap tak peduli. Padahal Pak Sabar telah berubah, namun nasib saja yang membuatnya seperti ini. Hatiku terasa miris melihat ini semua.

Sebuah ambulan membawa tubuh beku Pak Sabar. Keruman orang telah bubar. Yang tersisa hanya pakaian lusuh yang menghambur serta genangan pekat yang memerah, kini aku sendiri tergeletak di pinggir jalan, aku tak tahu apakah nasibku juga akan sama seperti Pak Sabar?

Dari kejauhan kulihat seorang tergopoh-gopoh menuju ke arahku, pakaiannya lusuh dengan keranjang dari anyaman bambu bertengger di belakangnya. Sebilah batang besi kecil di tangannya, dengan ujung setengah melingkar terombang-ambing mengikuti irama tubuhnya. Beberapa saat kemudian aku telah berpindah ke keranjang di belakangnya. Betapa kagetnya aku, ternyata aku bertemu dengan teman-teman baru, namun aneh wajah mereka terlihat sedih, tak sedikitpun terlihat senyum. Aku menyesal bertanya kenapa mereka sedih. Detik kemudian aku sama seperti mereka. Sedih. Kami akan dihancurkan dan dilebur untuk dibuat sosok baru. Ternyata nasibku lebih tragis daripada Pak Sabar.