Jumat, 06 Agustus 2010

Kasih Di Antara Remaja (Jilid 3)


Tentu pembaca sudah dapat menduga siapa adanya gadis cantik lincah, mudah menangis mudah tertawa ini. Dia adalah Cia Bi Eng, puteri Cia Sun yang baru berusia tiga bulan ketika ayah bundanya meninggal dalam keadaan yang amat mengerikan. Semenjak itu dia dan kakaknya, Cia Han Sin, dirawat dengan amat teliti dan penuh kasih sayang oleh uwak Lui.

Ketika Bi Eng baru berusia setengah tahun, beberapa bulan semenjak peristiwa mengerikan itu terjadi di puncak Min-san, pada suatu hari Lim-ong monyet betina tua datang terhuyung-huyung menggendong seekor monyet kecil. Ia menurunkan monyet kecil itu di dekat Han Sin, kemudian monyet tua itu roboh, berkelonjotan dan …… mati! Uwak Lui menangis melihat ini karena monyet itu adalah peliharaan Cia Sun yang amat disayang.

Semenjak monyet itu mencuri huncwe, ia tidak kelihatan lagi dan pada hari itu ia datang-datang membawa seekor monyet jantan kecil dan mati di situ. Bangkai monyet itu dikubur tidak jauh dari makam Cia Sun dan isterinya, sedangkan monyet kecil itu lalu menjadi kawan bermain Han Sin dan Bi Eng. Uwak Lui memberinya nama Siauw-ong (raja kecil) untuk disesuaikan dengan nama monyet tua Lim-ong (raja hutan).

Uwak Lui menganggap dua orang anak itu seperti anaknya sendiri. Ia merawat mereka penuh kasih sayang, malah dengan bayaran mahal ia mendatangkan seorang guru untuk mengajar mereka. Semenjak kecil, Han Sin, ternyata amat suka membaca buku, terutama cerita-cerita kuno dan kitab-kitab filsafat amat menarik hatinya. Sampai jengkel uwak Lui harus memenuhi permintaannya, mencari dan membeli kitab-kitab itu.

Baik ada Thio sianseng, guru anak-anak itu yang sebetulnya adalah seorang terpelajar, seorang siucai yang tinggal di kampung dan tidak mau menerima jabatan pemerintah yang diam-diam dibencinya. Memang hanya orang-orang yang berjiwa rendah saja yang tidak membenci pemerintah penjajahan seperti pemerintah Boan-cu pada waktu itu. Lima tahun kemudian setelah dua orang anak itu cukup pandai membaca menulis sehingga tidak ada yang harus diajarkan lagi, Thio sianseng meninggalkan puncak itu.

Han Sin benar-benar luar biasa. Ia amat tekun membaca kitab-kitab. Bahkan kitab-kitab filsafat yang berat-berat, yang akan memusingkan otak orang-orang tua kalau membacanya, telah ia baca dan renungkan di waktu ia baru berusia belasan tahun! Ia tekun sekali dan inilah keistimewaannya, berbeda dengan Bi Eng yang tidak sabaran belajar, gadis lincah gembira yang suka bermain di udara bebas, tidak seperti Han Sin yang mengeram diri di dalam kamarnya, berkawan puluhan kitab-kitabnya!

Selain suka membaca kitab, juga Han Sin wataknya pendiam, sabar, namun di dalam diamnya ini ada semacam pengaruh dan wibawa yang amat kuat dalam sinar mata maupun suaranya yang halus. Bi Eng amat bengal, tidak takut siapa-siapa, bahkan uwak Lui seringkali dibantahnya, apalagi pelayan-pelayan lain. Akan tetapi menghadapi kakaknya yang amat dicintainya itu, ia amat penurut. Uwak Lui sendiri amat menghormat tuan muda Han Sin yang selamanya tidak pernah bohong, tidak pernah menjengkelkan hatinya karena sikapnya yang halus dan sopan, dan tidak banyak rewel.

Jangankan manusia, bahkan seekor binatang kera seperti Siauw-ong, yang seperti juga Bi Eng tidak takuti siapa-siapa, menghadapi Han Sin menjadi mati kutunya, amat takut dan amat taat. Mungkin pengaruh dan wibawa yang keluar dari diri Han Sin itu tidak hanya karena pembawaan pribadinya, akan tetapi adalah karena ia suka sekali bersiulian (bersamadhi) yang ia pelajari menurut petunjuk kitab-kitab kuno itu. Dengan latihan siulian yang tanpa kenal lelah, secara tidak disadarinya Han Sin telah melatih tenaga dalam dan tenaga batinnya, mempunyai hawa tian-tan yang kuat dan darahnya mengalir bersih sedangkan tulang-tulangnya menjadi kuat dan bersih pula.

Sebetulnya Han Sin orangnya juga amat peramah, mudah tersenyum jarang bermuram, apalagi marah. Akan tetapi perasaan hatinya tidak pernah tergores pada mukanya yang amat tampan itu, selalu tenang, sabar dan tak banyak cakap.

Itulah sebabnya mengapa Bi Eng lebih sering bermain-main dengan Siauw-ong, monyet itu. Dan di dalam pergaulan sehari-hari ini terdapat suatu keanehan. Seringkali Bi Eng melihat Siauw-ong mencak-mencak seperti orang main silat, memukul sana sini dan kakinya bergeser ke sana sini secara teratur. Ia menamakan ini “tari monyet” dan sebagai seorang anak yang tidak mempunyai kawan lain, iapun meniru-niru tarian monyet ini, meniru-niru gerak gerik Siauw-ong, memukul ke sana ke mari, menggeser kaki ke sana ke sini, malah kadang-kadang meniru-niru tarikan muka monyet itu, memoncong-moncongkan mulutnya yang mungil, malah meniru suara monyet yang cecowetan tidak karuan itu. Dasar Bi Eng bocah centil dan lincah.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah gerakan ilmu silat keluarga Cia yaitu ilmu silat Thian-te-kun! Monyet kecil itu dahulu meniru-niru gerakan yang suka “dimainkan” oleh Lim-ong dan sekarang Bi-eng malah belajar ilmu silat keturunan keluarganya dari monyet kecil itu! Benar-benar hal yang amat aneh. Sudah tentu saja gerakan-gerakan ilmu silat itu sudah kacau tidak karuan dan sudah menyeleweng jauh dari pada gerakan aslinya, namun tetap saja masih memperlihatkan kelincahan dan kecepatan yang membuat monyet kecil itu memiliki kecepatan melebihi monyet lainnya.

Ternyata bahwa pengemis aneh dahulu itu, Ciu-ong Mo-kai, agaknya melupakan janjinya karena selama belasan tahun itu baru dua kali ia mengunjungi puncak Min-san. Yang terakhir ketika Han Sin berusia sepuluh tahun dan Bi Eng berusia delapan tahun. Dua orang anak itu menyebutnya “Taisu”, ikut-ikut sebutan yang dipergunakan oleh uwak Lui kepada pengemis tua itu. Mereka hanya mengenal pengemis itu sebagai “guru besar” yang amat ditakuti oleh Uwak Lui

Setelah dua orang anak itu berusia belasan tahun, baru uwak Lui bercerita kepada mereka tentang kematian ayah bunda mereka. Dua orang anak itu menangis sedih mendengar cerita itu. Akan tetapi ada perbedaan besar antara Han Sin dan Bi Eng ketika mendengar bahwa orang tua mereka mati terbunuh orang yang tidak ketahuan siapa. Han Sin hanya menarik napas panjang dan berkata,

“Bagaimana di dunia ini ada orang begitu jahatnya membunuh ayah dan ibu? Apa kesalahan ayah dan ibu?”

Sebaliknya Bi Eng berdiri dengan kedua tangan terkepal, mukanya merah dan matanya mendelik. “Aku harus mencari penjahat-penjahat pembunuh ayah ibu! Mereka itu harus dihancurkan kepalanya!”

Han Sin memandang adiknya dengan mata penuh teguran, “Bi Eng, apa yang kau katakan itu?”

Bi Eng sadar kembali dan menundukkan mukanya. Air mata mengalir di sepanjang pipinya. “Sin-ko, ayah ibu dibunuh orang, apakah kita akan diam saja?”

Han Sin memeluk adiknya dan menghapus air mata dari pipi adiknya itu, “Percayalah, adikku. Orang yang jahat akhirnya tentu akan menerima hukumannya!”

Demikianlah, sampai berusia lima belas tahun, Bi Eng selalu masih tetap panas hatinya kalau teringat akan kematian ayah bundanya. Tidak ada cita-cita lain di dalam hatinya melainkan mencari musuh-musuh itu dan membalas dendam. Sebaliknya, Han Sin lebih banyak bersembunyi di dalam kamarnya dan tak seorangpun tahu apa yang dilakukan orang muda pendiam itu.

Kita kembali ke dalam taman di belakang gedung, di mana Bi Eng bermain-main dengan Siauw-ong. Sampai hampir satu jam monyet dan gadis itu mencak-mencak di bawah pohon. Akhirnya Bi Eng menjadi lelah dan jemu. Ia berhenti, duduk di atas sebuah batu putih dan mengikatkan pita pada rambutnya.

“Siauw-ong, ah, aku lelah sekali …..!” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Monyet kecil itu masih saja mencak-mencak sambil cecowetan, agaknya gembira bukan main.

Tiba-tiba ada sinar putih melayang, menyambar ke arah gadis yang masih duduk dan menyusuti peluh dari lehernya dengan sehelai saputangan itu.

“Awas ular!” terdengar seruan orang dan pandang mata Bi Eng yang awas memang tadi melihat sinar putih itu belang-belang hitam seperti seekor ular yang menyambar ke arah kepalanya. Karena ia seringkali melakukan “tari monyet”, otomatis kepalanya mengelak dan ular yang menyambarnya itu tidak mengenainya. Ular belang itu terus merayap dan merambat ke pohon yang tumbuh di situ.

“Aneh …. heran sekali …..! dari mana kau belajar semua ini?” terdengar suara yang tadi berseru dan dari balik batu muncullah Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa.

Untuk sesaat Bi Eng berdiri bingung. Memang ia masih terkejut karena diserang ular tadi dan sekarang tahu-tahu di depannya berdiri seorang pengemis tua yang memegang tempat arak sambil tertawa-tawa. Ia bertemu dengan pengemis tua ini ketika ia berusia sepuluh tahun, akan tetapi karena keadaan pengemis yang amat aneh ini, ia masih teringat.

“Taisu ……,” katanya perlahan.

“Ah, kau Bi Eng,” Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Bagus,! Bagus! Tidak keliru pandanganku dahulu. Kau berbakat baik sekali dan kiranya sekarang sudah terlampau lambat aku membuang-buang waktu. Mulai saat ini kau harus rajin-rajin belajar ilmu silat yang hendak kuturunkan semua padamu.”

Bi Eng sudah dapat menenangkan pikirannya dan ia kini memandang kepada pengemis itu dengan mata terbelalak. “Apa …. apa katamu? Menjadi muridmu ……?”

Ciu-ong Mo-kai mengangguk lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya. Heran sekali, belasan tahun telah lewat namun tidak kelihatan ada perubahan sedikitpun juga pada diri pengemis tua ini. Padahal dalam waktu belasan tahun itu telah terjadi banyak sekali hal kepadanya dan di dunia kang-ouw telah mengalami perubahan hebat. Selain itu, juga kakek jembel ini telah mempertinggi ilmu kepandaiannya sehingga kalau dibandingkan dengan lima belas tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sudah naik dua tiga tingkat lagi.

Bi Eng menatap pengemis itu dengan matanya yang bagus, dipandangi kakek itu dari kanan kiri, dari atas bawah dan tiba-tiba ia tertawa terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan.

“Hik hik hik ….!”

Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya dan berusaha membuka matanya yang sipit itu selebar mungkin. “Kau …. kaukah yang tertawa tadi?”

SAMBIL menahan tawanya Bi Eng mengangguk, matanya berseri nakal. Dari belakang batu besar terdengar suara ketawa lain, suara ketawa cecowetan dari monyet kecil! Tadi ketika ada ular menyambar, monyet ini yang paling takut terhadap ular, sudah lari tunggang langgang bersembunyi di balik batu besar. Baru setelah mendengar Bi Eng tertawa, monyet ini berani muncul!

Ciu-ong Mo-kai makin penasaran. Dia, tokoh terbesar dari selatan yang dianggap raja oleh puluhan ribu pengemis, sekarang ditertawakan seenaknya oleh seorang gadis muda dan monyetnya.

“Apa-apaan kau tertawa?” bentaknya.

Sambil menahan geli hatinya, Bi Eng menjawab,

“Taisu yang baik, apakah aku mau kau hajar …….. mengemis dan minum arak?”

Ciu-ong Mo-kai membelalakkan matanya lagi dan sudah siap-siap hendak memaki marah kepada bocah yang dianggapnya kurang ajar sekali itu. Akan tetapi melihat senyum yang wajar, sinar mata yang penuh kejujuran memandang kepadanya, tahulah ia bahwa gadis itu tidak berpura-pura, melainkan bicara sejujurnya. Sebaliknya dari marah, ia lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya lagi dari guci arak.

Tiba-tiba ia menoleh dan mulutnya menyemburkan arak dari mulutnya. Ular belang yang tadi naik ke pohon, dan pada saat itu merayap turun lagi terkena semburan arak itu dan jatuh dengan kepala hilang karena kepala itu telah hancur terkena semburan arak!

Tentu saja Bi Eng menjadi heran dan kaget sampai mengeluarkan seruan kecil. Ciu-ong Mo-kai berpaling kepadanya. “Ha ha ha, Bi Eng anak baik, apa katamu sekarang?”

Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya yang cantik. “Taisu, aku tidak suka belajar membunuh ular. Apa sih artinya membunuh ular, apalagi kalau menggunakan arak? Melihat ularnya aku jijik, minum araknyapun tidak suka.”

Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kata-kata ini menunjukkan bahwa Bi Eng memang sama sekali tidak tahu akan ilmu silat. Bagi yang mengerti akan ilmu silat, tentu saja demonstrasi membunuh ular dengan semburan arak itu sudah cukup membuktikan bahwa pengemis tua ini memang lihai sekali.

“Ha ha, bocah bodoh. Kau kira kebisaanku hanya minum arak dan membunuh ular belaka? Lihat ini?” Ia melangkah maju dan sekali kakinya terayun, batu hitam di belakangnya yang sebesar gentong dan beratnya tidak kurang dari lima ratus kati telah ditendangnya sampai terlempar sejauh lima tombak lebih! “Apa kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini?”

Bi Eng membelalakkan matanya. “Untuk apa? Batu baik-baik ditempatnya kok ditendang pergi! Aku tidak mau melakukan hal itu, tiada gunanya, malah merusak taman yang indah.”

Untuk sejenak Ciu-ong Mo-kai tercengang. Tak disangkanya gadis yang lincah gembira ini demikian polosnya. Kembali ia mendemonstrasikan tenaganya. Dengan telapak tangan kiri, ditamparnya batu putih sampai hancur berkeping-keping.

“Ahaiii ….. kau kuat sekali, taisu. Akan tetapi aku tidak mau menjadi tukang pukul batu.”

Ciu-ong Mo-kai sampai hampir menangis saking jengkelnya. Mukanya menjadi merah dan diminumnya araknya sampai ia tersedak-sedak. “Bocah gemblung, bocah goblok! Kau berbakat baik tapi buta. Seribu orang ngimpi-ngimpi ingin menjadi muridku, semua kutolak. Akan tetapi kau malah mentertawakan aku, setan!”

“Aku tidak mentertawakan kau, taisu. Jangan kau marah, ya? Cuma saja, untuk apa aku menjadi muridmu kalau hanya diberi pelajaran membunuh ular, menendang batu hitam dan memukul hancur batu putih?” Pertanyaan ini keluar dari hati yang polos dan begitu jujur sehingga saking bingungnya Ciu-ong Mo-kai menjatuhkan diri di atas tanah, bengong tak tahu harus berkata apa.

“Laginya, taisu,” kata pula Bi Eng sambil ikut-ikutan duduk di atas tanah depan pengemis itu. “Menurut kata Sin-ko, orang belajar ilmu silat hanya mendatangkan malapetaka, menimbulkan kerusuhan dan membuat orang jadi suka berkelahi saja. Tidak baik menurut kata Sin-ko dan Sin-ko memang benar.”

Ciu-ong Mo-kai melongo. “Mengapa benar?”

Gadis itu menggoyang pundak. “Sin-ko selalu memang benar.”

“Siapa itu Sin-ko?” tanya pula kakek itu penuh curiga. Jangan-jangan ada orang luar yang mempengaruhi anak ini, pikirnya. Kalau benar begitu, harus kuhajar!

“Sin-ko adalah kakakku, masa taisu sudah lupa lagi?

Ciu-ong Mo-kai makin terheran. “Kau maksudkan Cia Han Sin?” Melihat gadis itu mengangguk, ia bengong. Bagaimana putera Cia Sun, cucu pahlawan besar Cia Hui Gan, keturunan orang-orang gagah yang menggegerkan dunia kang-ouw, seorang pemuda pula, bisa bicara seperti itu? Apakah sudah lupa akan ayah bundanya yang terbunuh orang? Teringat akan ini, tiba-tiba ia mendapatkan jalan untuk menggerakkan hati gadis ini agar suka menjadi muridnya.

“Eh, Bi Eng. Tahukah kau kenapa ayah bundamu mati?”

Bi Eng memandang dengan matanya yang tajam dan diam-diam Ciu-ong Mo-kai kagum dan terkejut juga melihat sepasang mata yang luar biasa tajam dan liarnya ini.

“Kata uwak Lui, ayah dan ibu mati dibunuh orang,” jawabnya dan dalam suaranya terkandung kemarahan yang ditahan-tahan. “Hanya belum diketahui siapa-siapa penjahat -penjahat celaka itu.”

Mendengar suara ini, Ciu-ong Mo-kai melompat berdiri dan menari girang. Ternyata gadis ini mengandung dendam yang hebat akan kematian ayah bundanya! “Nah, ….. nah …. anak baik. Apakah kau tidak ingin mencari pembunuh-pembunuh ayah bundamu dan membalas dendam?”

“Siapa mereka?” Tiba-tiba Bi Eng juga meloncat bangun dan lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai terkejut melihat betapa gerakan gadis itu amat cepat dan ringan, terlalu cepat bagi seorang gadis yang tak pernah belajar silat. Tadipun ketika melihat gadis ini menari-nari dengan monyet kecil, ia sudah terheran karena mengenal dasar-dasar ilmu silat keluarga Cia. Tadi dialah yang menyambit dengan ular sambil memberi peringatan karena hendak menguji dan betul saja, gadis itu cukup lincah untuk mengelak.

“Siapa mereka bisa dicari. Akan tetapi tahukah bahwa siapapun juga mereka itu, mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan kau hanya akan mengantar nyawa kalau kau tidak memiliki kepandaian silat tinggi! Ayoh, sekarang jawab. Mau tidak kau menjadi muridku? Aku akan memberi pelajaran ilmu silat sehingga kelak kalau kau bisa mendapatkan musuh-musuh besar itu kau dapat membalas dendam atas kematian ayah bundamu!”

Bi Eng menundukkan mukanya. Benar juga ucapan kakek ini. Kalau orang sudah bisa membunuh ular begitu gampang, menendang dan memukul batu, tentu ia memiliki tenaga besar. Kalau dia bisa memiliki tenaga seperti itu, kelak kepala orang-orang yang membunuh ayah bundanya akan dapat ia hancurkan.

“Aku mau, taisu, akan tetapi ………!”

“Tapi apa lagi?” Ciu-ong Mo-kai tak sabar.

Bi Eng menoleh ke belakang. “Siauw-ong, ke sinilah kau!” serunya dan monyet kecil itu yang sejak tadi mengintai dari balik batu besar, mendengar panggilan Bi Eng barulah berani keluar dan berindap-indap menuju ke tempat itu.

“Taisu, aku mau jadi muridmu belajar silat asal Siauw-ong juga kau terima menjadi muridmu.”

Pengemis tua itu melengak, akan tetapi melihat monyet itu atas isyarat Bi Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut di depannya, ia tersenyum. “Baiklah, dia boleh belajar mengawanimu, akan tetapi aku tidak mau menjadi gurunya.”

Bi Eng berseri wajahnya. “Asal dia boleh sama-sama belajar, cukuplah, Dan lagi ……..”

“Masih ada lagi?” Ciu-ong Mo-kai membentak jengkel. “Ayoh katakan, syarat gila apalagi yang hendak kau ajukan? Benar-benar runyam, bukan gurunya yang mengajukan syarat, malah muridnya. Murid macam apa kau ini?”

“Taisu, kalau aku belajar ilmu silat, Sin-ko juga harus belajar. Apa lagi dia laki-laki, dia harus menjadi muridmu pula.”

Ciu-ong Mo-kai ragu-ragu. Memang sudah sepatutnya kalau ia memberi pelajaran pula kepada puteranya Cia Sun itu, akan tetapi sebetulnya dahulu ia mengharapkan Cia Han Sin akan menjadi ahliwaris ilmu silat keluarga Cia. Ia lebih suka kepada Bi Eng, merasa lebih berjodoh menjadi guru anak ini. Semenjak Bi Eng masih bayi perasaan ini sudah berada dihatinya.

“Hemm, terserah padanya. Boleh saja kalau dia suka. Sebetulnya kau lebih berjodoh menjadi muridku,” jawabnya lalu menegak araknya.

“Taisuhu, kau hendak mengajar ilmu silat kepada Bi Eng untuk apa?” tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Han Sin sambil membawa sebuah kitab tebal.

“Sin-ko kau di sini juga? Lihat, taisuhu hendak mengajar kita. Dia kuat sekali, Sin-ko. Ular dibunuhnya dengan semburan arak, batu-batu besar ditendang jauh dan dipukul hancur,” kata Bi Eng dengan wajah girang sambil menghampiri kakaknya dan menggandeng tangan kanan kakaknya dengan penuh kasih sayang.

Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya mendengar teguran tadi dan ia menengok. Dilihatnya bahwa Han Sin telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tinggi sedang, malah agak kurus, wajahnya tampan sekali dan mulutnya tersenyum tenang. Akan tetapi ketika pandang mata pengemis tua ini bertemu dengan pandang mata Han Sin, Ciu-ong Mo-kai terkejut sekali. Tadi ia sudah kagum melihat sinar mata Bi Eng yang amat tajam, akan tetapi sekarang bertemu pandang dengan pemuda ini, ia merasa seakan-akan matanya pedas dan terpaksa ia mengejap-ngejapkan mata karena tidak tahan lagi.

“Ayaaa ……..! serunya perlahan. Mata seperti itu hanya dimiliki orang yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu lweekang! Ia teringat akan ini dan kembali ia menggunakan kekuatan matanya menatap wajah dan sinar mata pemuda itu. Ia melihat pemuda itu memandangnya tenang saja, akan tetapi mata itu! Mata itu mencorong dan mengandung daya kekuatan yang luar biasa sekali, membuat Ciu-ong Mo-kai sampai menitikkan dua airmata ketika ia bertahan untuk tidak berkejap! Akhirnya ia tundukkan mukanya dengan penuh keheranan dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, pengemis itu menenggak lagi araknya.

“Sin-ko, taisu hendak mengajar ilmu silat kepada kita agar kita memiliki kepandaian untuk kelak mencari pembunuh-pembunuh ayah-ibu dan membalas dendam!” terdengar lagi ucapan Bi Eng penuh gairah dan mata yang bening itu memandang wajah kakaknya dengan seri gembira.

Han Sin menarik napas panjang dan mengelus-elus pundak adiknya. “Eng-moi, hanya jurang kesengsaraanlah yang dituju oleh langkah kaki yang terikat oleh dendam dan benci. Pembunuh-pembunuh orang tua kita memang telah melakukan perbuatan yang jahat dan buruk. Akan tetapi bukan kita hakimnya. Biarlah hidup mereka kelak menjadi hakim bagi mereka sendiri.”

Ciu-ong Mo-kai melongo mendengar ucapan yang bagi Bi Eng sudah tidak asing lagi itu. Memang biasa Han Sin bicara penuh kesabaran, penuh filsafat-filsafat dari kitab-kitabnya. Ketika Ciu-ong Mo-kai melirik ke arah kitab di tangan pemuda itu, tahulah ia bahwa saking banyak membaca kitab tanpa ada yang memberi petunjuk, agaknya pemuda ini telah menjadi kutu buku dan jalan pikirannya terkurung seluas lembaran-lembaran bukunya saja.

“Omongan apa itu?” bentaknya. “Pembunuh adalah orang jahat dan kiranya bukan orang tua-tua kalian saja terbunuh, penjahat-penjahat harus dibasmi dan kalau tidak memiliki kepandaian, bagaimana bisa membasminya? Harimau tanpa gigi dan kuku, mana bisa menjaga kulitnya? Manusia tanpa kepandaian, apa bedanya dengan monyet? Han Sin, kau selalu tinggal di sini, tidak tahu keadaan di dunia ramai. Ketahuilah bahwa di sana, siapa lemah dia terhina.”

Han Sin memandang kepada pengemis tua itu dengan tenang dan tersenyum. “Taisu, maaf kalau aku terpaksa membantah pandangan taisu. Menurut pendapatku yang bodoh, membasmi kejahatan tak dapat dilakukan dengan kekerasan, melainkan dengan kebenaran dan cinta kasih. Harimau menjaga kulit dengan gigi dan kuku, akan tetapi manusia menjaga namanya dengan pribudi baik, bukan dengan pukulan dan tendangan. Orang terhina atau tidak bukan karena kepandaiannya, melainkan karena sikapnya, karena wataknya.”

Untuk sejenak mata pengemis itu terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak. Suara ketawanya yang penuh tenaga khikang itu sampai bergema di seluruh puncak. Siauw-ong sampai lari terbirit-birit ketakutan sambil menutupi telinganya. Akan tetapi melihat betapa Han Sin dan Bi Eng tidak lari, iapun merayap-rayap kembali lagi sambil memandang ke arah pengemis itu dengan takut-takut.

“Ha ha ha ha! Kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya bahwa ucapan ini keluar dari mulut putera keluarga Cia, cucu pahlawan rakyat Cia Hui Gan yang gagah perkasa, putera Cia Sun pendekar budiman yang terkenal di seluruh dunia! Lebih pantas keluar dari mulut seorang hwesio yang alim. Ha ha ha!”

“Taisu, omongan Sin-ko adalah betul sekali. Kenapa kau mentertawainya?” Bi Eng membela kakaknya. Ia amat cinta kepada kakaknya ini, maka tidak senang ia melihat kakaknya ditertawai orang.

“Cia Han Sin, lihat baik-baik. Adikmu ini lebih wajar, lebih gagah menuruni sifat keluargamu. Melihat kakaknya diserang oleh tertawaan, ia sudah marah dan hendak membela. Andaikata kau diserang orang jahat dengan pukulan, bagaimana adikmu akan membelamu kalau dia tidak mempunyai kepandaian silat?”

“Adikku pemarah, harap taisu maafkan,” kata Han Sin merendah.

“Sayang ….. kau anak baik terlalu tenggelam di antara kitab-kitabmu. Orang sabar dan mengalah adalah baik sekali. Akan tetapi kalau berlebihan, ada bahayanya menjadi pengecut dan menjadi orang yang tidak tahu akan harga diri dan kehormatan. Han Sin, kalau semua orang baik seperti kau sikapnya, mana bisa muncul patriot-patriot, mana bisa muncul orang-orang gagah, dan mana bisa negara dan bangsa menjadi kuat? Mengelus dada menerima nasib mengandalkan kesabaran dan mengalah bukanlah laku yang budiman! Melihat orang jahat tanpa berusaha membasminya, sama saja dengan membantu orang jahat itu! Rakyat kita sengsara, apa lagi pada waktu ini sedang ditindas oleh pemerintah penjajah. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membela mereka, siapa lagi? Para dewata takkan mampu mengangkut mereka dari lembah kesengsaraan.”

Han Sin mengerutkan kening. Inilah kata-kata baru yang belum pernah ia jumpai dalam kitab-kitabnya. Akan tetapi ia tidak membantah, hanya mendengarkan terus dan sepasang matanya yang luar biasa itu menatap wajah Ciu-ong Mo-kai yang tidak kuat lama-lama menentang pandang matanya.

“Memang tidak seharusnya orang yang berkepandaian itu berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi, mengalah dan sabarpun ada batasnya dan harus lihat-lihat kepada siapa kita berhadapan. Kalau kau melihat rakyat dirampoki para penjahat yang mengandalkan ketajaman golok dan kekerasan tangan, apa yang hendak kau perbuat? Apakah kau akan mendatangi perampok-perampok itu dan menggunakan kata-kata indah berfilsafat yang kau petik dari kitab-kitabmu? Ah, kau akan ditertawai, malah mungkin akan dibacok mati. Menghadapi kejahatan seperti itu, jalan satu-satunya hanyalah membasmi mereka dan untuk dapat melakukan ini, kau harus memiliki kepandaian silat untuk melawan mereka, kau masih dapat membujuk mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Akan tetapi, tanpa mengalahkan dulu mereka, mana mereka sudi menurut nasehatmu?”

Han Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa. Memang selama belasan tahun ini ia mengeram diri dalam kamar bersama kitab-kitabnya, maka alam pikirannya seluruhnya dipengaruhi oleh filsafat-filsafat kuno. Akan tetapi setelah mendengar ucapan Ciu-ong Mo-kai sebentar saja ia sudah dapat menangkap isinya dan dapat membenarkannya.

“Baiklah, moi-moi. Kau boleh belajar ilmu silat dari taisu,” katanya sambil memegang lengan adiknya.

“Siauw-ong juga,” adiknya berkata manis.

“Siauw-ong? Han Sin tersenyum. “Tanpa belajar ia sudah pandai bersilat.”

“Dan kau juga, koko,” kata Bi Eng manja sambil menarik tangan kakaknya.

“Aku ……..?”

“Ya, kalau kau tidak mau, akupun tidak mau.”

Han Sin kewalahan. Ia sudah menyetujui adiknya belajar silat. Kalau dia menolak, berarti dia menarik kembali persetujuannya.

“Baiklah, baiklah, Aku akan mencatat semua pelajaran itu.”

Pada saat itu, Siauw-ong sibuk mencokel-cokel tanah di belakang batu hitam yang besar. Dia tadi melihat seekor jengkerik di belakang batu. Ketika hendak ditangkap, jengkerik itu masuk ke dalam lubang dan dicokel-cokelnya tanah untuk menangkap jengkerik. Batu besar itu berada di tanah yang miring dan tidak disangka sama sekali ketika bawahnya dicokel-cokel, tiba-tiba batu itu menggelinding turun dan akan menimpa monyet itu.

Siauw-ong memekik keras dan cepat meloncat lari. Celakanya, ia lari ke bagian bawah sehingga terus dikejar batu besar yang menggelinding cepat sekali.

Han Sin berada terdekat dari tempat itu. Pemuda ini, di luar sangkaan sama sekali dan amat mengejutkan hati Ciu-ong, melompat ke depan dan tangan kanannya mendorong batu besar yang sedang menggelinding cepat mengejar Siauw-ong.

“Han Sin, jangan!” Ciu-ong Mo-kai berseru keras mencegah karena ia maklum bahwa batu besar yang menggelinding itu mengandung tenaga ratusan kati dan Han Sin pemuda lemah itu tentu akan patah tulang lengannya kalau berani mendorong untuk mencoba menolong monyet itu. Sambil berseru mencegah iapun berkelebat ke arah batu itu.

Bukan main herannya hati Ciu-ong Mo-kai ketika melihat betapa batu besar itu menggelimpang, terlempar oleh dorongan kedua tangan Han Sin dan karenanya menyelamatkan Siauw-ong. Makin heran dan terkejut lagi hati pengemis tua itu ketika ia memukul batu itu, batu menjadi hancur dan ternyata bahwa di bagian dalam batu besar itu sudah remuk sebelum ia memukulnya! Hebat sekali! Benarkah Han Sin tidak hanya mendorong batu itu terpental, malah dengan dorongannya itu biarpun batu masih utuh akan tetapi di sebelah dalamnya sudah remuk? Tak mungkin! Untuk memukul hancur batu itu, dia Ciu-ong Mo-kai masih sanggup lakukan, akan tetapi mendorong batu begitu saja dan membikin remuk bagian dalam batu itu, hemmm, kiranya hanya dapat dilakukan oleh orang yang tenaga lweekangnya sudah hampir sempurna!

Selagi Ciu-ong Mo-kai tertegun menatap batu yang sudah hancur itu, tiba-tiba Bi Eng menjerit dan menangis. Ia cepat menengok dan melihat Han Sin sudah menggeletak pingsan, wajahnya pucat sekali! Bi Eng menubruk kakaknya, mengangkat kepala Han Sin ke atas pangkuan dan sambil menangis panik memanggil-manggil, “Sin-ko ….! Sin-ko …., kau kenapakah, Sinko? Bangunlah …….!”

“Bi Eng, tenanglah. Dia tidak apa-apa, coba kau lepaskan dan biarkan dia berbaring hendak ku periksa!” kata Ciu-ong Mo-kai dengan suara keren. Bi Eng menurut, melepaskan kepala Han Sin dari atas pangkuannya dan ia berlutut di pinggir memandang dengan cemas.

Siauw-ong juga datang mendekat dan mengeluarkan bunyi lirih seperti orang menangis ketika melihat Han Sin tak bergerak, telentang pucat seperti mayat.

Ciu-ong Mo-kai menghampiri Han Sin dan melakukan pemeriksaan, menekan urat nadi dan meraba dada. Alangkah kagetnya ketika dari tubuh pemuda itu memancar hawa yang membuat ia tergetar dan terpaksa ia mengerahkan tenaga lweekangnya untuk menahan datangnya hawa yang merupakan tenaga dahsyat yang berbahaya itu. Ia lalu menekan pusar pemuda itu dan makin besar keheranannya. Ternyata pemuda ini memiliki kekuatan besar dalam tubuhnya. Hawa dalam tubuhnya panas dan kuat sekali. Jalan darahnya bersih dan tulang-tulangnya sempurna. Hebat! Dari mana pemuda ini bisa mendapatkan kekuatan seperti ini?

“Tenaga tian-tan di pusarnya telah terlatih kuat, malah ia sudah dapat memusatkan hawa dan jalan darahnya,” pikirnya terheran sambil meraba-raba. “Pantas saja tadi dorongannya dapat membikin remuk bagian dalam batu itu. Agaknya dia ini tanpa disengaja telah melatih diri dengan semacam lweekang yang mujizat dan ia menjadi seorang ahli lweekeh tanpa ia sadari sendiri. Karena dasarnya tidak terlatih dan ia tidak tahu cara mempergunakannya, maka tadi tenaga lweekang yang ia gunakan di luar kesadarannya dalam usahanya menolong monyet, membalik dan melukai dirinya sendiri.”

Sampai lama Ciu-ong Mo-kai termenung. Benar-benar telah terjadi sesuatu yang hebat. Putera keluarga Cia tanpa disadarinya sendiri telah memiliki modal ilmu kepandaian yang mujizat, dan anak ini sama sekali tidak suka akan ilmu silat. Aneh sekali. Dengan penuh ketelitian pengemis sakti itu lalu mengurut dada Han Sin, membuka jalan darah di sana sini untuk menormalkan kembali gunjangan hebat yang timbul dari tenaga dahsyat yang dikeluarkan oleh Han Sin tanpa disadarinya itu. Kemudian ia menghancurkan sebuah pil merah dengan arak dan menuangkan arak itu ke dalam mulut Han Sin.

Akhirnya pemuda itu siuman dan bangun sambil terbatuk-batuk. Begitu ingat lalu mencari monyetnya. Melihat Siauw-ong duduk di situ dengan muka sedih akan tetapi dalam keadaan selamat, Han Sin berkata perlahan.

“Berbahaya sekali batu itu, Siauw-ong. Lain kali jangan nakal kau. Untung kau tidak tertimpa batu.”

Saiuw-ong nampak girang, melompat dan duduk di pangkuan pemuda itu. Bi Eng juga girang. Dengan air mata berlinang ia memegang tangan kakaknya.

“Sin-ko, kau tadi pingsan dan baiknya ada taisu yang menolongmu sampai kau bisa sembuh kembali.”

Han Sin memandang kepada Ciu-ong dengan bertanya. Memang ia tidak ingat akan apa-apa yang terjadi dengan dirinya dan tidak tahu pula sebabnya ia sampai pingsan.

“Han Sin, sekali lagi terbukti bahwa pandanganku tentang ilmu silat lebih cocok. Kau tadi melihat Siauw-ong terancam bahaya, lalu cepat berusaha menolong dan mendorong batu ………”

“Bagaimana Siauw-ong bisa selamat?” Han Sin memotong, kini terheran setelah teringat semua akan peristiwa tadi.

“Kau mendorong batu malah roboh pingsan dan batu itu dipukul hancur oleh taisu,” kata Bi Eng.

“Nah, terbuktilah, Han Sin. Andaikata kau memiliki ilmu silat, tentu kau dapat menolong Siauw-ong atau siapa saja yang terancam bahaya, bukan? Juga, andaikata kau telah mempelajari ilmu silat, tentu kau takkan pingsan. Eh, apakah kau belum pernah belajar silat?” tanya Ciu-ong Mo-kai sambil menatap tajam dengan pandang mata mengukur dan menyelidik.

Han Sin menggeleng kepala. “Kesukaanku satu-satunya hanya belajar memahami kitab-kitab.” Kemudian ia bertanya, “Mengapa taisu bertanya begitu?”

“Karena kau memiliki keberanian dan kegagahan, tidak mengenal tenaga sendiri dengan nekat mendorong batu untuk menolong Siauw-ong,” jawab Ciu-ong menyimpang dan memancing.

“Aku ngeri dan kasihan melihat Siauw-ong akan tertimpa batu, maka tanpa ingat kelemahan sendiri aku berusaha menolongnya,” jawab Han Sin dan ucapan ini demikian sungguh-sungguh sehingga kini yakinlah Ciu-ong Mo-kai bahwa pemuda ini memang betul-betul tidak mengerti bahwa dia mempunyai tenaga lweekang dan hawa sakti (Sin-kang) di dalam tubuhnya yang mujizat.

Tiba-tiba Siauw-ong mengeluarkan seruan seperti ketakutan dan Ciu-ong Mo-kai yang sudah memiliki pendengaran tajam sekali menangkap suara beberapa orang mendaki puncak itu. Siauw-ong dapat mencium bau mereka dan Ciu-ong dapat menangkap tindakan kaki mereka. Han Sin dan Bi Eng tidak mendengar apa-apa maka mereka heran melihat Siauw-ong cecowetan seperti ketakutan.

“Ada orang datang, ” kata Ciu-ong dan mereka semua berdiri. Siauw-ong segera meloncat ke pundak Han Sin sambil menyembunyikan mukanya di belakang kepala pemuda itu.

Betul saja, tak lama kemudian muncullah tiga orang laki-laki dari balik batu-batu putih. Mereka ini adalah tiga orang yang bertubuh tinggi besar, bermuka gagah dan kepala mereka terbungkus kain panjang yang dilibat-libatkan. Di Punggung mereka tampak gagang pedang dengan ronce-ronce merah.

Begitu tiba di situ, tiga orang itu memandang ke arah Cia Han Sin dan Cia Bi Eng dengan pandang mata tajam menyelidiki, lalu melirik tak acuh kepada pengemis tua, kemudian sekilas mereka memandang ke arah gedung besar keluarga Cia.

Han Sin sebagai tuan rumah, segera melangkah maju dan menuju kepada tiga orang laki-laki asing itu. “Sam-wi datang ke sini hendak mencari siapakah?” Suaranya tenang dan penuh hormat.

Tiga orang itu saling pandang, lalu bicara pendek dalam bahasa yang tidak mengerti oleh Bi Eng maupun Ciu-ong Mo-kai. Akan tetapi, alangkah kagetnya Ciu-ong Mo-kai ketika Han Sin menjawab orang-orang itu dengan bahasa asing yang sama! Ternyata bahwa orang-orang itu adalah bangsa Hui yang bicara dalam bahasa Hui.

Han Sin ketika “bertapa” di dalam kamarnya selama belasan tahun ini, tidak saja mempelajari filsafat dari kitab-kitab kuno, juga ia telah mempelajari bahasa-bahasa asing yang macam-macam, diantaranya bahasa Hui. Tentu saja Bi Eng tidak merasa heran karena ia sudah tahu dan percaya penuh akan kepintaran kakaknya yang dianggapnya bisa segala itu! Maka ia memandang dengan kagum dan bangga.

Tiga orang Hui nampak tercengang akan tetapi seorang di antara mereka yang berkumis pendek lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku dan lambat, “Hemm, kiranya kau mengerti juga bahasa kami? Kalau begitu, tak usah kami memperkenalkan diri lagi. Kami memang bangsa Hui dan kedatangan kami ini hendak mencari anak-anak keturunan Cia Sun.”

Mendengar ini, Bi Eng melangkah maju dan berkata gembira, “Akulah anak Cia Sun, dia ini yang pintar adalah kakakku, namanya Cia Han Sin dan aku bernama Cia Bi Eng. Kakek ini adalah guru kami, namanya …… namanya ….. biasanya disebut taisu!” Bi Eng memang belum tahu nama gurunya.

Wajah tiga orang berubah, kelihatan beringas. Yang berkumis pendek kini menoleh dan menghadapi Ciu-ong Mo-kai dengan sikap mengancam. Karena diperkenalkan sebagai guru dua orang anak itu, kini ia tidak memandang tak acuh lagi.

Kawan-kawan, tangkap dua anak kambing itu, biar aku mengusir anjing gembala ini!” katanya. Karena ia bicara dalam bahasa Hui, Ciu-ong Mo-kai tidak mengerti artinya, akan tetapi ia sudah siap siaga maka ketika si kumis itu menerjangnya dengan pedang dihunus, ia dapat mengelak dengan mudah. Dari sambaran pedang ia mendapat kenyataan bahwa orang Hui ini lihai juga, maka pengemis sakti itu khawatir sekali akan keselamatan dua orang muridnya.

Ia menggerakkan guci araknya menangkis pedang sambil menyemburkan arak ke arah muka si kumis. Terdengar suara keras dan pedang itu terlepas jauh. Akan tetapi si kumis dapat mengelak dari serangan semburan arak dan tiba-tiba tangan kirinya melayang, memukul ke arah dada dengan telapak tangan dimiringkan. Pukulannya keras sekali dan angin pukulannya menunjukkan kekuatan lweekang yang hebat.

Ciu-ong Mo-kai mengangkat tangan menangkis. Dua lengan yang kuat bertemu dan si Kumis terlempar ke belakang, terhuyung-huyung dan mengeluh kesakitan.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan ketika Ciu-ong Mo-kai memutar tubuh untuk menolong dua orang muridnya, ia melihat dua orang Hui yang hendak menangkap Han Sin dan Bi Eng, juga terlempar ke belakang, jatuh dan bangun lagi sambil memegangi tangan kanan mereka yang sudah patah-patah tulangnya.

Si Kumis berseru dalam bahasa Hui mengajak kawan-kawannya lari dan tanpa menoleh lagi ketiganya lari sifat kuping, meloncat-loncat di atas batu putih. Ciu-ong Mo-kai hendak mengejar, akan tetapi Han Sin menahan, “Suhu, biarkanlah mereka pergi. Kelak mereka akan menyesal sendiri atas perbuatan-perbuatan mereka yang tidak selayaknya.”

Ciu-ong Mo-kai tertegun. Baru kali ini ia diperintah orang dan orang itu adalah ….. muridnya sendiri! Akan tetapi karena terlalu heran melihat dua orang tadi yang dari gerakan-gerakannya ia dapat menduga tidak kalah pandai dari pada si kumis, ternyata terpukul mundur sampai patah-patah tulangnya, ia segera menoleh dan menghampiri Han Sin.

“Yang dua orang tadi itu ….. bagaimana mereka tidak jadi menangkap kalian?” tanyanya.

Han Sin kelihatan bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Bi Eng yang tertawa geli sambil berkata, “Suhu, dua orang itu adalah badut-badut yang lucu. Mereka tadinya hendak menangkap aku dan Sin-ko. Akan tetapi Sin-ko membentak mereka supaya jangan kurang ajar. Eh, dibentak begitu saja mereka lalu lari terbirit-birit. Entah ia takut akan bentakan Sin-ko ataukah takut melihat Siauw-ong dipundak Sin-ko meringis hendak menggigit mereka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar