Kamis, 05 Agustus 2010

Kasih Di Antara Remaja (Jilid 1)


“KANDA Cia Sun ……! Kanda …… tunggulah …..!!” Suara wanita ini terdengar amat memilukan hati penuh permohonan dan kehancuran hati.

“Balita, perempuan rendah. Pergilah kau, jangan ganggu aku!” terdengar suara laki-laki menjawab penuh kegemasan dan kebencian.

“Kanda Cia Sun ……. ohhh ….. kanda Cia Sun …… Ingatlah anakmu ini ……” Suara wanita ini sekarang bercampur tangis.

Kalau ada orang lain berada di dalam hutan itu, tentu dia akan menjadi seram dan takut, mengira bahwa itu adalah suara iblis-iblis hutan. Memang aneh. Suaranya terdengar dekat, bergema di seluruh hutan, baik suara wanita maupun suara pria itu. Akan tetapi orang-orangnya tidak kelihatan.

Setelah sunyi beberapa lamanya, akhirnya terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Penunggangnya seorang laki-laki tampan tegap, gagah perkasa dan dipundaknya duduk seekor monyet kecil yang sudah tua. Monyet betina ini agaknya sudah biasa ikut tuannya menunggang kuda. Tubuhnya tegak tidak bergoyang biarpun tuannya membalapkan kuda itu. Sebentar-sebentar monyet itu menengok ke belakang dan akhirnya mengeluarkan bunyi cecowetan seperti ketakutan.

Yang ditakuti oleh monyet itu adalah seorang wanita muda berlari cepat sekali, mengejar dari belakang. Wanita ini masih muda dan cantik jelita. Rambutnya panjang halus dan amat hitam, riap-riapan karena tidak terpelihara dan ikatan rambutnya agaknya terlepas sehingga rambut itu tertiup angin, berkibar di belakang kepalanya. Dia memondong seorang bayi perempuan yang usianya baru beberapa bulan.

Baru mendengar suara mereka tadi saja yang amat nyaring dan bergema di dalam hutan sedangkan orang-orangnya masih jauh, sudah dapat diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga khikang mereka membuat suara mereka terdengar sampai jauh. Apalagi sekarang, melihat wanita muda itu berlari cepat sekali sehingga bisa menyusul larinya kuda yang dibalapkan, benar-benar luar biasa sekali.

Orang muda itu masih mencoba untuk menangkan perlombaan lari itu, namun wanita yang menggendong anak itu lebih cepat lagi bagaikan terbang saja larinya dan di sebuah tikungan dia telah dapat menyusul, mendahului kuda dan sekali mengangkat tangan menahan kepala kuda. Binatang itu berhenti berlari.

Monyet yang duduk di pundak orang muda itu mengeluarkan pekik ketakutan dan dari atas pundak ia meloncat ke sebuah cabang pohon yang terdekat. Adapun orang muda itu dengan muka merah dan mata melotot lalu melompat turun.

“Perempuan hina, kau mengejar-ngejarku mau apakah?” bentaknya

Sambil menangis wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan orang muda itu, memegangi sepatunya.

“Sun-ko …… pujaan hatiku ….. di dunia ini hanya kau seorang yang kucinta. Sun-ko, kasihanilah aku, kasihanilah anakmu ini ….. bawa aku serta, biar aku akan menjadi bujangmu, menjadi pelayan di rumahmu. Biar aku akan merawat isteri dan anak-anakmu …… asal aku selalu bisa berdekatan dengan kau …..,” ratap tangis itu tentu akan melumpuhkan kekerasan hati pria. Namun laki-laki yang bernama Cia Sun itu malah memperlihatkan muka penuh kebencian.

Wanita ini memang cantik sekali. Usianya juga tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Rambutnya yang kini tidak digelung riap-riapan karena terlepas ikatannya, menutupi sebagian lehernya yang berkulit putih kekuningan. Rambut yang panjang, gemuk dan hitam sekali. Mukanya manis dan tidak akan membosankan siapa saja yang memandangnya, dengan sepasang mata lincah dan bening, tajam ujungnya membuat lirikan mata seperti itu setajam tusukan pedang, hidungnya mancung dan bibirnya merah segar tanpa gincu. Karena tadi berlari cepat, sepasang pipinya yang putih halus itu agak kemerahan dan rambut di dekat telinganya yang agak basah terkena peluh itu menambah manisnya. Keindahan tubuhnya muda dibayangkan karena pakaiannya robek di sana sini. Namun orang muda berusia tiga puluh tahun itu tidak menghiraukan semua keindahan ini, agaknya malah tidak melihat kecantikan wanita ini yang dalam pandangan matanya malah merupakan seorang wanita jahat yang menyeramkan.

“Siluman betina!” makinya marah. “Jangan coba menipuku. Anak ini bukan anakku! Kau kira aku tidak tahu? Untuk menuruti nafsu jahatmu, kau mempergunakan ilmu siluman membuat aku lupa diri, kemudian kau malah tidak segan-segan untuk membunuh suamimu. Cih, perempuan macam apa kau ini? Anak ini bukan anakku dan aku Cia Sun telah bersumpah selama hidupku takkan sudi berdekatan denganmu. Pergilah!”

“Kanda Cia Sun ……., begitu kejamkah hatimu? Biarlah, kalau kau tidak mau mengaku menjadi ayah anak ini … tidak apa, asal aku kau bolehkan selalu dekat denganmu. Aku ….. aku cinta padamu, Sun-ko ….., aku cinta padamu dengan seluruh jiwaku ……” Kembali wanita itu memeluk kedua kaki Cia Sun dan kini malah menciumi kaki itu.

Cia Sun menjadi makin marah. Digerakkan kaki kanannya dan ditendangnya wanita itu. Tendangan yang keras sekali, dilakukan oleh seorang ahli silat kelas tinggi. Kalau orang lain yang terkena tendangan ini, tentu akan mati di saat itu juga. Akan tetapi wanita itu hanya terlempar dan berjungkir balik dengan anak bayinya masih dalam pondongan. Jangankan terluka, menangispun tidak anak bayi itu! Kembali wanita itu maju berlutut.

“Kanda Cia Sun, aku benar-benar cinta padamu. Lebih baik mati dari pada harus berpisah darimu …..”

“Kalau begitu mampuslah!” Cia Sun melangkah maju dan mengerahkan tenaganya memukul dengan tangan kiri ke arah kepala wanita itu. Pukulan ini bukan sembarangan pukulan, melainkan pukulan dengan gerak tipu yang disebut Bu-siong-phak-houw (Bu-siong menghantam macan). Dilakukan dengan tenaga ratusan kati dan kiranya kepala seekor macan akan pecah kalau terkena pukulan ini. Namun wanita itu hanya mengangkat lengan melindungi kepalanya dan ketika kepalan laki-laki itu bertemu dengan lengannya, Cia Sun mengeluh kesakitan dan terhuyung mundur ke belakang. Ia menghela napas dan memaki,

“Memang kau siluman! Ilmu kepandaianmu amat tinggi, luar biasa sekali, akan tetapi kau pergunakan untuk hal-hal yang tidak patut. Balita, jangan kau ganggu aku. Kau kembalilah kepada bangsamu, di sana kau adalah puteri yang dimuliakan orang. Kenapa kau begitu gila hendak mengejar-ngejar aku dan rela menjadi bujang?”

“Sun-ko, sudah kukatakan tadi. Aku cinta kepadamu dan cintaku inilah yang membuat aku akan merasa jauh lebih berbahagia menjadi bujangmu dari pada menjadi seorang puteri akan tetapi jauh darimu. Sun-ko ……, kau bawalah aku. Selain menjadi bujang, akupun sanggup membelamu, sanggup melindungimu dari semua musuh-musuhmu.”

Cia Sun kelihatan bimbang. Akan tetapi ia teringat akan isterinya. Terbayang wajah isterinya yang lembut, isterinya yang dikasihinya sepenuh jiwa. Tidak tega ia menyakiti hati isterinya dengan mengambil seorang selir seperti iblis wanita ini. Hatinya mengeras kembali.

“Tidak, sekali lagi tidak! Biarpun kau hendak membunuhku sekarang juga aku tidak sudi berdekatan denganmu. Pergilah! Di mana ada perempuan yang lebih tak tahu malu seperti engkau? Aku tidak sudi padamu, Balita!” Setelah berkata demikian, Cia Sun mencengklak kudanya lagi dan membalapkan kudanya. Monyet kecil tua yang sejak tadi menongkrong di atas dahan, sekarang meloncat amat ringannya di atas pundak Cia Sun.

Wanita cantik jelita yang disebut Balita itu bangun berdiri, wajahnya pucat, matanya sayu. Ia berdiri seperti patung, ia hendak mengejar lagi, akan tetapi tiba-tiba anak yang digendongnya menangis keras. Berubahlah raut wajah wanita ini. Mata yang tadi sayu sekarang menjadi beringas, mulut yang tadinya seperti hendak menangis dan bermohon minta dikasihani itu, sekarang tersenyum pahit, menyeringai menyeramkan. Sepasang matanya berkilat memandang bayangan Cia Sun yang membalapkan kudanya.

Tangan kanan wanita ini bergerak memukul ke depan. Terdengar ringkik kuda mengerikan dan kuda itu terguling roboh. Cia Sun terlempar jauh dan baiknya dia memiliki kepandaian tinggi sehingga dengan cara membuat poksai (salto) sampai tiga kali ia dapat berdiri di atas tanah dengan selamat. Monyet di pundaknya sudah meloncat lebih dulu dengan sigapnya.

Cia Sun membalikkan tubuh dan memandang ke arah Balita yang tersenyum lebar, malah kini wanita ini tertawa merdu namun baginya menyeramkan sekali seperti mendengar siluman tertawa. Tanpa banyak cakap lagi Cia Sun lalu menggerakkan kaki melarikan diri dari situ, diikuti oleh monyetnya. Ia masih mendengar suara ketawa Balita yang disusul kata-kata mengejek,” Laki-laki tidak berjantung! Kalau aku menghendaki nyawamu, apa sukarnya? Akan tetapi, membunuhmu pun masih belum cukup untuk membalas hinaan dan sakit hati yang kau jatuhkan kepadaku. Hi hi, Cia Sun, kau tunggulah saja pembalasanku!” Setelah tertawa lagi cekikikan, tiba-tiba wanita itu lalu menangis sedih sambil menyusui anaknya. Benar-benar lakunya seperti seorang yang sudah miring otaknya.

“Hi hi hik, Cia Sun. Aku memang cinta padamu, sangat cinta padamu karena kau tampan dan gagah. Kau tidak mau mengakui anak ini …. ha ha, memang bukan anakmu. Tapi kau berani menolakku …. setelah kau berhasil menjatuhkan hatiku. Awas kau ….. awas binimu dan anak-anakmu ……” Demikianlah, wanita itu sambil menyusui anaknya bicara seorang diri dan tertawa-tawa.

Adapun Cia Sun bersama monyet kecil sudah lari jauh menuju ke puncak-puncak bukit di luar hutan. Sambil berlari cepat, ia juga bicara seorang diri, atau sebetulnya ia bicara kepada monyet yang kini sudah nongkrong lagi di pundaknya.

“Lim-ong (raja hutan), kepandaian siluman betina itu benar-benar luar biasa sekali. Sayang dia jahat ….. ah, mulai saat ini kita harus waspada, dialah orang yang paling berbahaya di antara semua orang yang memusuhiku.”

Monyet itu menggerakkan bibir dan mengeluarkan suara cecowetan, seakan-akan ia mengerti akan maksud kata-kata tuannya ini dan ikut pula berprihatin. Setelah melakukan perjalanan cepat, menjelang senja Cia Sun dan monyetnya telah tiba di sebuah puncak yang penuh batu-batu putih. Pemandangan di daerah ini indah sekali dan ditengah-tengah puncak, di antara batu-batu putih itu berdiri dengan megahnya sebuah bangunan rumah.

Lim-ong meloncat turun dari pundak tuannya dan keduanya lalu mendaki puncak, meloncat-loncat di atas batu-batu putih dengan gesitnya. Dari gerak Cia Sun yang tidak kalah gesitnya dari pada monyetnya ketika berlompatan di antara batu-batu putih itu, dapat diketahui bahwa kepandaian orang gagah ini sebenarnya sudah tinggi sekali.

Ketika Cia Sun sudah mendekati gedung itu, dua orang laki-laki berpakaian pelayan berseru girang dan tak lama kemudian bergema di dalam gedung seruan-seruan, “Cia-enghiong datang!”

Seorang wanita muda yang cantik berlari keluar sambil memondong seorang anak perempuan yang masih bayi, di belakangnya tampak seorang pengasuh memondong seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Inilah isteri Cia Sun bersama dua orang anaknya. Dengan wajah berseri dan mata basah saking terharu dan bahagia, isteri muda itu menyambut kedatangan suaminya.

Monyet itu mendahului tuannya berlari ke depan, lalu berlutut di depan nyonya Cia seperti orang memberi hormat. Kemudian ia berjingkrak-jingkrak kegirangan melihat Cia Sun memegang tangan isterinya dan menciumi kepala anak perempuannya yang berusia tiga bulan itu. Dalam kebahagiaan pertemuan ini, awan gelap menyelimuti wajah Cia Sun karena ketika mencium kepala anak perempuannya ia teringat akan anak perempuan dalam gendongan Balita tadi.

“Ayah …….!” Anak laki-laki yang digendong oleh pengasuh tadi berseru dan seruan ini mengusir pergi awan gelap dari wajah Cia Sun. Ia mengulurkan kedua tangannya dan menggendong anak sulungnya.

“Han Sin, kau rindu kepada ayahmu?” tanyanya sambil mencium pipi anak laki-laki itu yang tertawa-tawa gembira. Keluarga bahagia ini lalu berjalan memasuki gedung dengan lambat, diikuti oleh para pelayan yang juga menjadi gembira sekali melihat tuan mereka kembali dengan selamat. Si monyet kecil mendahului mereka masuk sambil berjingkrak kegirangan.

Siapakah sebetulnya Cia Sun ini dan siapa pula puteri yang bernama Balita itu?

Cia Sun bukanlah orang sembarangan. Ketika masih kecil, baru setengah dewasa, ia telah ikut berjuang di samping ayahnya yang menjadi seorang kepercayaan pemimpin barisan petani Lie Cu Seng. Ayah Cia Sun bernama Cia Hui Gan, seorang ahli silat kelas satu yang dengan gagah beraninya bersama putera tunggalnya berjuang membantu Lie Cu Seng berperang melawan orang-orang Mancuria yang dibantu oleh pengkhianat Bu Sam Kwi.

Biarpun akhirnya bala tentara rakyat di bawah pimpinan Lie Cu Seng dapat dihancurkan oleh tentara Mancu yang dibantu pengkhianat Bu Sam Kwi, namun para patriot Han masih terus melakukan perlawanan dan merupakan pengganggu-pengganggu yang memusingkan kerajaan baru yang didirikan oleh bangsa Mancu itu ialah Kerajaan Cheng. Orang-orang gagah yang tadinya menjadi pembantu-pembantu perjuangan melawan penjajah dari utara itu, diam-diam tersebar dan masih menaruh kebencian terhadap pemerintah baru.

Cia Hui Gan ayah Cia Sun, adalah seorang di antara orang-orang gagah ini. Biarpun telah mengalami kegagalan dalam perang, namun dia tidak menghentikan perjuangannya. Di samping memusuhi pembesar-pembesar dan penjilat-penjilat kerajaan baru, Cia Hui Gan tiada hentinya mengulurkan tangan membela kepentingan rakyat yang tertindas. Ia tidak segan-segan membunuh orang-orang jahat yang menindas rakyat, merampok bangsawan-bangsawan pengkhianat yang telah menjadi anjing penjilat kerajaan Cheng dan membagi-bagikan hasil perampokan itu kepada orang-orang miskin. Pendeknya, Cia Hui Gan terkenal sebagai seorang pendekar rakyat yang amat terkenal. Semua ini ia kerjakan dengan bantuan putera tunggalnya, Cia Sun yang dalam usia belasan tahun sudah mengalami banyak pertempuran.

Akhirnya Cia Hui Gan tewas dalam sebuah pertempuran ketika dikeroyok oleh jagoan-jagoan pemerintah Cheng. Cia Sun yang sejak kecil memang sudah tidak beribu lagi, berhasil melarikan diri. Pemuda inipun melanjutkan sepak terjang ayahnya, malah lebih hebat lagi karena sesungguhnya Cia Sun telah mewarisi semua kepandaian ayahnya. Sebagai seorang pemuda berdarah panas, sepak terjangnya melebihi ayahnya dan sebentar saja ia amat terkenal, dipuji-puji rakyat yang menerima bantuannya, akan tetapi juga dimusuhi oleh orang-orang jahat, terutama sekali pemerintah Cheng. Pemerintah sampai mengumumkan hadiah besar bagi siapa yang berhasil membawa kepala Cia Sun.

Cia Sun membangun sebuah rumah gedung yang kuat dan indah di sebuah puncak pegunungan Min-san yang terletak di daerah utara Se-cuan. Dalam usia dua puluh lima tahun ia menikah dengan seorang gadis dari keluarga Lie. Isterinya cukup maklum siapa adanya suaminya ini, maka dia tidak mengeluh kalau suaminya itu meninggalkannya sampai beberapa bulan. Bahkan diam-diam dia membantu suaminya dengan bersikap manis budi dan memuji perjuangan suaminya sebagai seorang pendekar.

Setelah Cia Sun menikah tiga tahun lamanya, ia dikurnia seorang putera yang ia beri nama Cia Han Sin dan kini sudah berusia dua tahun. Setahun setelah puteranya lahir terjadilah urusan dengan Balita yang amat memusingkan otaknya.

Ketika itu seperti biasanya, kembali ia merantau untuk melakukan tugasnya sebagai seorang pendekar. Kali ini ia pergi ke daerah pegunungan Tapa-san karena mendengar bahwa sering kali di daerah itu terjadi kejahatan, perampokan dan penggangguan terhadap penduduk oleh serombongan orang-orang bersuku bangsa Hui. Dikawani oleh Lim-ong, monyet kecil yang dipeliharanya semenjak monyet itu masih muda sekali, ia berangkat menunggang kuda ke daerah itu melakukan penyelidikan.

Betul saja. Segerombolan orang Hui terdiri dari seratus orang lebih melakukan penindasan dan perampokan kepada orang-orang Han yang hidup sebagai petani di daerah itu. Seperti biasa, Cia Sun segera menggulung lengan baju turun tangan. Akan tetapi kali ini ia kecelik. Rombongan orang Hui itu dipimpin oleh seorang perempuan muda cantik jelita bernama Balita yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Dalam pertempuran hebat Cia Sun tertawan oleh Balita yang jatuh hati melihat pemuda gagah perkasa dan tampan ini. Balita menawan Cia Sun dan membujuk rayu orang muda ini. Akan tetapi Cia Sun bukan sembarang laki-laki yang suka bermain gila dengan wanita, maka dengan berkeras ia menolak dan tidak sudi melayani niat busuk dari puteri bangsa Hui itu.

Akan tetapi ia belum mengenal siapa Balita. Wanita muda ini biarpun cantik jelita sekali dan amat menarik hati, mempunyai watak kasar, dan di samping ilmu silatnya yang tinggi sekali, dia juga seorang ahli dalam pembuatan racun-racun jahat. Dengan senyum manis dan kerling mata memikat, Balita mempergunakan ramuan obat yang ia masukan dalam arak sehingga ketika Cia Sun meminumnya, orang muda ini menjadi lupa diri, lupa daratan dan dalam keadaan tidak sadar dikuasai oleh pengaruh minuman mujijat, akhirnya ia tunduk kepada Balita dan melakukan apa saja yang dikehendaki puteri Hui itu.

Tiga hari kemudian tiba-tiba seorang laki-laki bangsa Hui yang bertubuh tinggi besar bermuka buruk, berusia empat puluh tahun lebih melompat masuk ke dalam kamar sambil membawa sebatang golok. Datang-datang ia menyerang Cia Sun sambil memaki-maki. Dengan cepat Cia Sun mengelak dan terdengar bentakan keras ketika Balita melayang ke depan sambil menendang laki-laki tinggi besar itu. Laki-laki itu terlempar dan goloknya terlepas dari tangannya.

Namun ia masih melotot dan kini ia memaki Balita. “Perempuan rendah! Selama menjadi isteriku, entah sudah berapa kali kau berlaku serong. Akan tetapi selama kau bermain gila dengan bangsa sendiri, aku tidak perduli amat karena memang aku tahu bahwa dibalik kecantikan dan kelihaianmu, kau hanyalah perempuan yang berwatak kotor. Biarpun begitu sekarang kau bermain gila dengan seorang Han. Bagaimana aku bisa mendiamkannya begitu saja? Jahanam Han ini harus mampus!”

“Anjing tak tahu diri! Orang macam kau berani bertingkah di depanku? Ayoh pergi, jangan ganggu kami!” Balita membentak dan pada saat itu baru terbuka mata Cia Sun. Tadinya ia memang sudah menyesal sekali setelah sadar dan insyaf akan perbuatannya sendiri melanggar kesusilaan, akan tetapi kemenyesalannya tidak sehebat sekarang ini setelah ia mendengar bahwa perempuan puteri Hui ini ternyata sudah bersuami! Ia merasa malu, merasa rendah dan tak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu, laki-laki bangsa Hui yang tinggi besar itu menudingkan telunjuknya kepada Balita, “Balita, andaikata kau tak boleh dicegah, tergila-gila kepada orang Han ini, setidaknya jangan kau lakukan dalam keadaan seperti sekarang. Ingat akan kandunganmu ……. jangan kau cemarkan anakku yang kau kandung ……!” Kata-kata ini belum habis karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tewas di saat itu juga, terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan Balita dengan gemasnya.

“Jangan hiraukan orang gila ini,” katanya halus sambil memeluk Cia Sun yang kelihatannya pucat sekali.

Akan tetapi Cia Sun memberontak dan memukul ke arah dada perempuan itu dengan maksud membunuh. Ia merasa ngeri mendengar ucapan orang Hui tadi, merasa ngeri akan perbuatannya sendiri yang ia anggap amat memalukan dan terkutuk.

“Persetan kau perempuan busuk!” katanya.

Balita mengelak akan tetapi tidak balas menyerang. Makian Cia Sun dan sikapnya yang berbalik membenci itulah yang membuat Balita merasa terpukul dan hanya berdiri dengan muka pucat. Bahkan kedua kakinya lemas tak dapat menyusul Cia Sun yang telah melompat keluar dan melarikan diri.

Demikianlah Cia Sun yang gagal dalam membasmi orang-orang Hui malah sebaliknya dia terlibat urusan memalukan dengan Balita, telah berhasil melarikan diri dan kembali ke Min-san. Semenjak itu ia merasa berduka dan menyesal kalau teringat akan perbuatannya dengan Balita yang ia lakukan di luar kesadarannya itu. Berjina dengan isteri orang, isteri orang yang telah mengandung pula! Alangkah rendahnya! Alangkah kejinya. Apa lagi kalau ia teringat betapa suami Balita sampai tewas karena gara-gara dia menuruti kemauan Balita yang amat busuk, Cia Sun merasa makin terpukul dan malu hatinya.

Setelah ia berhasil menghindarkan diri dari Balita yang tidak berhasil mencari-cari Cia Sun. Sampai pada suatu hari itu, seperti yang telah dituturkan di permulaan cerita ini, tiba-tiba saja Balita muncul sambil menggendong seorang anak bayi yang dikatakannya adalah puterinya! Tentu saja ia marah sekali karena ia tahu bahwa anak itu adalah anak suami Balita. Ia tahu bahwa Balita membohong, menggunakan anak itu untuk menjatuhkan hatinya, untuk mengikatnya. Namun sebagai seorang gagah, ia tidak sudi menerima permintaan Balita.

Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan. Balita hanya membunuh kuda tunggangan Cia Sun namun tidak mengganggu laki-laki yang berhasil melarikan diri bersama keranya, pulang ke rumahnya di puncak Min-san.

****

Tiga hari kemudian.

Semalaman tadi anak Cia Sun yang kecil, yang diberi nama Cia Bi Eng, menangis terus, rewel tidak karuan sebabnya. Cia Sun dan isterinya sampai menjadi bingung karenanya, karena anak itu tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sesuatu. Akan tetapi rewel terus tidak seperti biasanya.

Menjelang pagi barulah anak itu dapat tidur dan Cia Sun yang semalaman tidak dapat tidur, sekarang duduk bersamadhi mengumpulkan ketenangan. Sesungguhnya hatinya tidak tenang karena ia seperti mendapat firasat tidak baik dengan adanya kerewelan anaknya itu. Akan terjadi hal apakah? Ia teringat akan Balita dan mulai merasa khawatir kalau-kalau puteri Hui itu menjadi nekat dan menyerbu ke situ.

“Betapapun jadinya, aku akan melawannya mati-matian,” pikirnya.

Memang ternyata terbukti apa yang ia khawatirkan, pada keesokan harinya terjadi sesuatu. Akan tetapi bukan Balita yang datang, melainkan orang-orang lain yang menjadi musuh ayahnya, juga menjadi musuhnya. Seorang pelayan datang melapor bahwa di luar datang empat orang aneh yang hendak berjumpa dengan Cia-enghiong.

Dengan tenang dan waspada Cia Sun keluar menjumpai tamu-tamunya. Sesampai di luar, ia melihat tiga orang hwesio gundul yang berwajah bengis dan bertubuh kekar. Ia segera mengenal hwesio-hwesio ini sebagai Thian-san Sam-sian (Tiga Dewa dari Gunung Thian-san). Tiga orang hwesio ini adalah musuh-musuh ayahnya yang pernah dikalahkan ayahnya ketika terjadi bentrokan antara Cia Hui Gan dan Thian-san Sam-sian. Urusannya tidak begitu besar. Seorang murid dari tiga orang hwesio ini terluka oleh Cia Hui Gan ketika melakukan kejahatan di kaki gunung Thian-san dan Thian-san Sam-sian membela muridnya itu. Setelah dikalahkan, mereka mengancam kelak akan mencari Cia Hui Gan untuk membuat perhitungan.

Cia Sun mengenal mereka karena dahulu ketika pertempuran itu terjadi, ia memang menyaksikannya, hanya ketika itu ia baru berusia empat belas tahun dan tidak ikut dalam pertempuran. Sekarang melihat kedatangan mereka setelah belasan tahun lewat, ia dapat menduga bahwa mereka tentu akan membalas dendam. Akan tetapi ia tidak takut dan memandang mereka dengan tenang.

Ketika ia memandang orang keempat, ia mengerutkan kening dan merasa heran siapa adanya orang ini. Tadi sekilas pandang ia berdebar juga karena menyangka dia itu Balita. Orang ini adalah seorang wanita yang cantik juga dan seperti juga Balita, dia mengendong seorang bayi perempuan! Akan tetapi bedanya, biarpun wanita ini juga cantik dan sebaya dengan Balita, jelas bahwa dia ini adalah seorang wanita bangsa Han dan mukanya yang cantik itu agak pucat seperti seorang yang menderita penyakit berat.

Cia Sun menjura kepada tiga orang hwesio sambil berkata, “Kiranya Thian-san Sam-sian yang datang mengunjungi tempat tinggalku yang buruk. Selamat Datang!”

Tiga orang hwesio itu saling pandang, agaknya lupa siapa adanya orang muda yang tampan dan gagah ini. Seorang di antara mereka yang tertua, lalu mengangkat tangan balas menghormat sambil berkata, “Pinceng bertiga datang untuk menjumpai Cia Hui Gan. Harap kau minta ia keluar.”

Cia Sun menggeleng kepala, “Sayang permintaan sam-wi losuhu tak mungkin dapat dilaksanakan karena orang yang sam-wi cari telah lama meninggal dunia.”

Kembali tiga orang hwesio ini saling pandang, nampaknya kecewa sekali, “Kalau sicu (tuan gagah) ini siapakah dan bagaimana dapat mengenal pinceng bertiga?”

“Aku adalah puteranya, namaku Cia Sun. Ada keperluan apakah gerangan maka sam-wi jauh-jauh datang dari Thian-san untuk mencari mendiang ayahku,” tanya Cia Sun, pura-pura tidak tahu akan urusannya.

Tiba-tiba wanita yang mengendong anak itu melangkah maju dan suaranya terdengar lemah namun penuh kemarahan. “Aya ……. kiranya inikah yang bernama Cia Sun, manusia sombong yang mengandalkan kepandaian sendiri untuk membunuh orang?”

Cia Sun terkejut. Dia tidak mengenal wanita ini dan tidak tahu apakah yang menyebabkan nyonya muda ini datang-datang marah kepadanya. Ia cepat menjura dan bertanya.

“Toanio ini siapakah dan apa sebabnya toanio mengatakan aku sombong dan membunuh orang?”

Wanita itu tersenyum mengejek dan jari telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah muka Cia Sun. “Orang she Cia, apakah kau sudah lupa kepada Phang Kim Tek yang kaubunuh di I-kiang?”

Tentu saja Cia Sun masih ingat akan Phang Kim Tek di I-kiang. Seorang tuan tanah yang amat kejam yang menggunakan kekayaan dan kekuasaannya menjadi tuan tanah dan raja kecil di dusun sebelah selatan I-kiang. Dengan kejam tuan tanah ini memeras tenaga rakyat petani, bahkan menggunakan kekuasaannya untuk merampas sedikit tanah yang dimiliki beberapa orang petani miskin.

Sebagai seorang pendekar, melihat kejadian tidak adil ini Cia Sun turun tangan sehingga ia bentrok dengan tuan tanah Phang Kim Tek yang dibantu kaki tangannya. Dalam pertempuran ini Phang Kim Tek tewas olehnya. Ia telah mendengar bahwa isteri Phang Kim Tek adalah seorang wanita yang amat lihai, yang dijuluki Ang-jiu Toanio (Nyonya Tangan Merah), yang dalam kekejaman dan kelihaiannya malah lebih hebat dari pada tuan tanah itu. Akan tetapi pada waktu pertempuran terjadi, nyonya itu sedang mengandung tua, maka tidak dapat keluar membantu suaminya. Sekarang, setengah tahun setelah peristiwa itu terjadi, tiba-tiba nyonya ini muncul membawa puterinya yang baru berusia tiga bulan untuk membalas dendam!

Cia Sun melirik ke arah tangan kanan yang menudingkan telunjuk kepadanya. Ia melihat bahwa tangan itu memang mengeluarkan cahaya kemerahan sampai di pergelangan tangan dan diam-diam ia terkejut. Benar-benar inilah Ang-jiu Toanio dan ia dapat menduga apa artinya warna merah pada tangan itu. Dia adalah ahli Ang-see-chiu (Tangan Pasir Merah) yang amat keji dan lihai!

Cepat ia menjura lagi dan berkata sambil tersenyum tenang, “Ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan Ang-jiu Toanio! Toanio yang baik, urusan dengan mendiang suamimu itu adalah kesalahan suamimu sendiri yang tidak ingat akan tenaga buruh tani yang membantunya mengumpulkan harta kekayaan. Biarpun suamimu memiliki sawah lebar, kalau tidak ada bantuan tenaga buruh tani, mana bisa dia mengerjakan sendiri sawahnya yang demikian luas? Akan tetapi sebaliknya dari membalas jasa para petani miskin, suamimu malah menindas mereka. Karena itu, kematian suamimu adalah karena kesalahan sendiri. Maka harap toanio suka menimbang dengan adil dan suka menghabiskan perkara itu.”

Sepasang mata Ang-jiu Toanio bernyala. “Jahanam keparat! Kau telah membunuh suamiku, membuat anakku ini menjadi anak yatim dan kau menyuruh aku menghabiskan urusan itu? Cia Sun, kalau dahulu aku tidak sedang mengandung, kiranya bukan suamiku yang tewas, melainkan kau. Sekarang bersiaplah kau menerima pembalasanku!” Sambil berkata demikian, Ang-jiu Toanio lalu menurunkan anaknya di pinggir, kemudian ia melompat maju menghadapi Cia Sun.

Pendekar ini menarik napas panjang, maklum bahwa urusan ini harus diselesaikan dengan adu kepandaian. Diam-diam ia merasa kasihan kepada wanita ini yang baru saja melahirkan anak harus bertanding dengannya. Akan tetapi ia tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya. Dengan tenang iapun memasang kuda-kuda dan bersikap waspada.

“Kalau demikian kehendakmu, silahkan toanio!”

Ang-jiu Toanio mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dengan ganasnya. Kedua tangannya terkepal erat dan menjadi makin merah warnanya. Kemudian ia menyerang dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin saking kerasnya. Cia Sun bersikap tenang akan tetapi hati-hati sekali karena maklum bahwa kepandaian wanita ini lebih lihai dari pada kepandaian Phang Kim Tek. Beberapa pukulan yang menyerangnya bertubi-tubi ia elakkan dengan lincah tanpa balas memukul. Pukulan keenam yang datangnya cepat mengarah ke dadanya dan tak mungkin dielakkan, terpaksa ia tangkis. Ia mengerahkan tenaga lweekang kepada lengannya, maklum tangan merah adalah tangan yang sudah dilatih hebat dan tenaga pukulannya mengandung hawa beracun yang dapat merusak jalan darah.

“Plak ……!” Ketika kedua tangan itu bertemu, Cia Sun merasa lengannya panas sekali, akan tetapi ia berhasil menangkis keras membuat lawannya terpental mundur. Wajah Ang-jiu Toanio makin pucat karena dari tangkisan ini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang Cia Sun amat tinggi sehingga mampu menolak kembali pukulan Ang-see-jiu.

“Kalau bukan kau, tentu aku yang menggeletak di sini!” nyonya muda itu berteriak dan dengan nekat lalu menyerang lagi, lebih ganas dan lebih cepat dari yang sudah-sudah.

Menghadapi serangan bertubi-tubi ini, terpaksa Cia Sun mengeluarkan kepandaiannya dan mainkan ilmu silat Thian-te-kun, sambil mengerahkan tenaga Pek-kong-jiu. Inilah kepandaian warisan ayahnya, kepandaian dari keluarga Cia yang membuat ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang pendekar yang sukar menemui tandingan.

Ang-jiu Toanio sebenarnya bukan seorang lemah dan dalam hal ilmu silat, kiranya takkan mudah bagi Cia Sun untuk mengalahkannya. Boleh dibilang mereka berimbang, baik dalam kegesitan maupun kehebatan tenaga. Akan tetapi nyonya muda ini baru tiga bulan melahirkan anak dan selain tenaganya belum pulih juga agaknya di dalam tubuhnya terkandung penyakit yang dapat dilihat dari wajahnya yang selalu pucat. Maka kini menghadapi Cia Sun ia merasa berat sekali sehingga dalam jurus ke lima puluh, ia telah menjadi lelah sekali. Gerakannya menjadi lambat dan ia terdesak hebat. Baiknya Cia Sun bukan seorang yang berhati kejam. Kalau pendekar ini menghendaki, tentu ia bisa membuat lawannya tidak berdaya dengan pukulan-pukulan maut, akan tetapi sebaliknya Cia Sun hanya mendesaknya agar kehabisan tenaga dan suka menyerah.

“Toanio, kenapa kau mendesak terus? Sudahlah, habiskan urusan ini,” ia mencoba untuk membujuk.

Akan tetapi lawannya menjadi makin bernafsu.

“Aku belum mampus, jangan kira aku takut!” bentak Ang-jiu Toanio dan nyonya muda ini mengumpulkan tenaga terakhir untuk menyerang terus.

Cia Sun mencari akal. “Toanio, apakah kau tidak kasihan kepada anakmu?” Demikian akhirnya ia berkata. “Kalau kau tewas, siapa yang akan memeliharanya?”

Ucapan ini benar-benar tepat sekali, merupakan ujung pisau berkarat yang menikam jantung. Nyonya muda itu mengeluarkan keluhan perlahan dan pukulan-pukulannya menjadi ragu-ragu. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya lagi dan menyerang terus.

Pada saat itu, kebetulan sekali ada seekor semut menggigit kaki bayi itu yang menjadi kesakitan dan menangis keras. Mendengar tangis bayinya, makin tidak karuan hati Ang-jiu Toanio.

“Toanio, anakmu menangis minta tetek, masa kau masih terus berkelahi mati-matian?” kembali Cia Sun mendesak dengan omongannya.

Dari mulut Ang-jiu Toanio keluar rintihan dan tiba-tiba nyonya muda ini melompat mundur, menyambar anaknya dan lari dari situ sambil berseru, “Cia Sun, kau tunggu saja sampai anakku besar dan tidak membutuhkan aku lagi. Aku akan kembali dan mencarimu!” Setelah berkata demikian, sambil menangis penuh dendam sakit hati, nyonya muda itu memondong anaknya pergi.

Cia Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Sebuah urusan rumit telah dapat dipecahkan, tinggal urusan kedua, yaitu menghadapi tiga orang hwesio dari Thian-san itu.

Ketika tadi pertempuran berjalan, tiga orang hwesio itu menonton dengan penuh perhatian. Sekarang mereka maju menghadapi Cia Sun lagi dan hwesio tertua yang bernama Gi Thai Hwesio berkata memuji,

“Omitohud, Cia-sicu benar-benar gagah perkasa, tidak kalah oleh ayahnya. Benar-benar mengagumkan.”

“Losuhu terlalu memuji. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Thian-san Sam-sian yang nama besarnya telah bergema di seluruh pojok jagat. Losuhu telah melihat sendiri bahwa aku tidak suka akan adanya permusuhan-permusuhan, maka apabila losuhu datang dengan maksud baik, silahkan masuk sebagai tamu-tamuku yang terhormat.”

“Hemm, orang she Cia, agaknya kau sombong dengan kemenanganmu tadi,” potong Gi Hun Hwesio, orang kedua di antara tiga hwesio itu. “Ayahmu telah menghina pinceng bertiga. Biarpun sekarang dia telah mati, masih ada kau anaknya yang harus membayar hutangnya kepada kami.” Sambil berkata demikian Gi Hun Hwesio sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan tasbeh di tangan kiri, sepasang senjata Thian-san Sam-sian yang membuat nama mereka terkenal. Gerakan ini diturut oleh dua orang saudaranya dan mereka membuat gerakan segi tiga mengurung Cia Sun.

Cia Sun masih berlaku tenang. Ia tidak gugup sama sekali menghadapi musuh-musuh ayahnya ini.

“Sam-wi losuhu, harap sam-wi ingat bahwa permusuhan antara sam-wi dengan mendiang ayah adalah karena kesalahan murid sam-wi sendiri. Muridmu telah melakukan pelanggaran sebagai murid orang-orang beribadat, telah menjadi seorang jai-hoa-cat (bangsat pemetik bunga) yang merusak anak bini orang. Sudah sepatutnya kalau ayah turun tangan membasminya. Sam-wi tidak menghukum murid murtad, sebaliknya memusuhi ayah, bukankah itu salah dan tidak sesuai dengan kedudukan sam-wi sebagai hwesio-hwesio beribadat?”

Mendengar ucapan ini, Gi Hun Hwesio dan Gi Ho Hwesio tidak dapat menahan kemarahannya. Serentak keduanya hendak menyerang, akan tetapi Gi Thai Hwesio yang lebih sabar memberi isyarat mencegah kedua orang sutenya (adik seperguruannya). Kemudian ia berkata kepada Cia Sun. “Omitohud, ucapan Cia-sicu gagah benar. Salah atau tidaknya murid kami adalah urusan kami untuk memutuskan, akan tetapi ayahmu telah berlaku lancang membunuhnya. Bukankah itu sama saja dengan tidak memandang kepada kami dan menghina kami? Akan tetapi, ayahmu telah meninggal dunia dan karena itu kalau saja sicu suka berdamai, pinceng bertiga pun tidak akan terlalu mendesakmu untuk membayar hutang ayahmu.”

Cia Sun dapat menangkap maksud tertentu dalam ucapan ini. Dia seorang yang gagah dan jujur, maka tidak menyukai segala sikap plintat-plintut. Katanya tegas.

“Terserah kepada sam-wi losuhu. Apakah yang sam-wi maksudkan dengan perdamaian? Bagaimana caranya?

Gi Thai Hwesio tertawa, menutupi rasa malu dan sungkan-sungkan. Kemudian setelah menarik napas panjang, ia berkata lagi.

“Omitohud, sicu terlalu tergesa, baiklah pinceng terangkan. Kami bertiga tidak akan mendesakmu dan menghabiskan urusan dengan ayahmu yang sudah mati kalau kau mau menyerahkan surat wasiat dari pemberontak Lie Cu Seng kepada kami.”

Cia Sun mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. “Surat wasiat Lie Cu Seng?” Lie Cu Seng adalah seorang pahlawan rakyat, seorang pejuang pemimpin barisan tani dan kawan seperjuangan Cia Hui Gan, ayahnya. Mendengar tiga orang hwesio ini menyebut nama Lie Cu Seng sebagai pemberontak, tahulah Cia Sun dengan orang-orang macam apa ia berhadapan. Akan tetapi ia masih menahan sabar dan bertanya dengan heran tadi karena memang ia tidak pernah mendengar tentang surat wasiat itu.

“Harap sicu jangan berpura-pura. Lie Cu Seng telah merampok harta kekayaan Kaisar Beng-tiauw dan membawa harta kekayaan itu ketika melarikan diri dari kota raja. Sebelum mati dia meninggalkan surat wasiat tentang harta benda itu. Mendiang ayahmu adalah tangan kanan Lie Cu Seng, maka sudah tentu surat wasiat itu terjatuh ke dalam tangannya. Setelah ayahmu meninggal kepada siapa lagi surat wasiat itu terjatuh kecuali kepadamu?”

Herannya Cia Sun bukan kepalang. Memang cerita ini ada kemungkinannya benar, akan tetapi ia betul-betul tidak pernah mendengar tentang itu. Ayahnya tidak pernah bercerita tentang surat wasiat itu. Ia mulai mengingat-ingat. Peninggalan ayahnya tidak banyak, hanya pakaian dan barang-barang seperti cawan arak, cangkir minum, guci arak, dan pipa panjang kesayangan ayahnya menghisap tembakau. Tidak ada surat wasiat! Barang-barang itu memang masih ia simpan bersama pakaian-pakaian sebagai peringatan, ia taruh di meja sembahyang ayahnya. Di mana ada surat wasiat?

“Aku tidak tahu menahu tentang surat wasiat ….” ia berkata perlahan.

“Sicu tidak perlu membohong, dan kamipun tidak memerlukan pengakuan sicu. Yang terpenting, sicu suka memberikan atau tidak?”

CIA SUN tiba-tiba tertawa mengejek. “Baik, sam-wi losuhu. Lepas dari pada tahu atau tidaknya aku tentang surat wasiat itu, aku ingin sekali mengetahui. Sam-wi adalah tiga orang hwesio tua yang sepatutnya melakukan hidup suci dan beribadat, melepaskan diri dari ikatan duniawi, kenapa sam-wi mencari surat wasiat tentang harta karun? Apakah kalau sudah mendapatkan harta karun, sam-wi lalu hendak memelihara rambut dan berubah menjadi hartawan-hartawan?”

Merah muka tiga orang hwesio itu. Inilah penghinaan yang amat besar, mereka anggap penghinaan karena memang cocok sekali dengan idam-idaman hati mereka. Siapa orangnya tidak kepingin kaya raya, pikir mereka membela diri.

“Cia-sicu, tak usah banyak komentar. Pendeknya kau berikan atau tidak surat wasiat Lie Cu Seng itu?”

Sebagai jawaban, Cia Sun meloloskan pedangnya dan melintangkan senjata ini di depan dadanya. “Sekali lagi kutekankan, Thian-san Sam-sian. Aku Cia Sun bukan seorang yang suka membohong. Aku tidak pernah mendengar atau melihat surat wasiat yang kalian maksudkan itu. Terserah mau percaya atau tidak.”

“Kalau begitu kau harus membayar hutang ayahmu!” Sambil berkata demikian Gi Thai Hwesio mulai menyerang, diikuti oleh dua orang sutenya. Penyerangan mereka teratur dan amat kuat, merupakan barisan Sha-kak-tin (Barisan segi tiga) yang berbahaya.

Akan tetapi Cia Sun adalah seorang pendekar yang sudah banyak mengalami pertempuran, ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan ia sudah memiliki ketenangan. Selama ia menghadapi musuh-musuh yang amat banyak, baru sekali karena kepandaian puteri Hui itu memang luar biasa dan aneh. Kini menghadapi keroyokan Thian-san Sam-sian, ia bisa berlaku tenang dan pedang ia gerakan cepat memutari tubuhnya merupakan benteng kuat melindungi tubuh sambil kadang-kadang sinar pedangnya menyelonong ke kanan kiri untuk mengirim serangan-serangan yang tak kalah hebatnya.

Pertempuran kali ini malah lebih hebat dari pada tadi ketika Cia Sun melawan Ang-jiu Toanio. Empat batang pedang berkilauan saling sambar di antara sambaran tiga buah tasbeh yang bergulung-gulung sinarnya. Selama menanti sampai belasan tahun semenjak dikalahkan oleh Cia Hui Gan, Thian-san Sam-sian telah melatih diri dengan tekun, maka kepandaian mereka kalau dibandingkan dengan dahulu ketika menghadapi ayah Cia Sun, sekarang mereka telah menjadi lebih kuat dan lihai.

Namun, Cia Sun juga telah mendapatkan kemajuan sehingga pada saat itu tingkat ilmu silatnya sudah melampaui tingkat ayahnya. Maka pertempuran ini adalah pertempuran mati-matian yang membuat tubuh mereka lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka. Hanya debu mengebul ke atas dan para pelayan menjauhkan diri dengan muka pucat.

Kera kecil yang sudah sejak tadi muncul, mengeluarkan bunyi cecowetan dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang bersilat. Kera inipun bukan kera sembarangan karena sudah dapat menggerak-gerakan ilmu silat yang sering ia lihat kalau tuannya, Cia Sun, berlatih. Akan tetapi menghadapi tiga orang hwesio yang demikian lihai, tentu saja ia tidak berani mendekat, hanya ribut sendirian bersilat melawan angin sambil mengeluarkan bunyi seakan-akan menjagoi tuannya dan memaki-maki tiga orang hwesio itu.

Sebetulnya kalau melawan seorang di antara tiga hwesio itu, tentu Cia Sun akan menang. Tingkat kepandaiannya masih lebih menang setingkat dari pada seorang di antara mereka. Akan tetapi dikeroyok tiga, ia sibuk juga dan terdesak hebat. Monyet peliharaannya, Lim-ong, makin ribut. Agaknya binatang ini mengerti bahwa tuannya terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya. Monyet ini sudah terlampau sering ikut tuannya merantau dan menyaksikan Cia Sun bertempur, maka matanya menjadi awas dan ia dapat melihat keadaan pertempuran.

Pada suatu saat, pedang di tangan Gi Thai Hwesio dan tasbeh di tangan Gi Hun Hwesio menyambar dengan cepat dan berbareng ke arah tubuh Cia Sun. Pendekar ini cepat menggunakan pedangnya, sekali tangkis ia dapat membikin terpental dua senjata ini. Akan tetapi pada saat itu, Gi Ho Hwesio menyerangnya dengan sambaran tasbeh ke arah kepala dan tusukan pedang ke arah perut. Monyet kecil menjerit ngeri.

Cia Sun merendahkan tubuhnya dan melintangkan pedang. Tasbeh melayang melewati atas kepalanya dan pedangnya bentrok dengan pedang lawan. Pada saat berikutnya Gi Thai Hwesio dan Gi Hun Hwesio sudah menyerangnya lagi, membuat ia kewalahan dan meloncat ke sana sini sambil menangkis dengan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Namun tetap saja pundak kirinya terkena sambaran tasbeh di tangan Gi Thai Hwesio. Biarpun ia tidak sampai terluka karena keburu mengerahkan tenaga lweekang ke arah pundaknya, namun ia merasa pundaknya sakit sekali dan gerak-gerakannya menjadi kurang lincah karenanya. Dengan terpukulnya pundak kirinya Cia Sun menjadi semakin terdesak dan keadaannya benar-benar berubah berbahaya.

“Orang she Cia, apakah kau masih membandel?” tanya Gi Thai Hwesio, membujuk karena melihat pihaknya terdesak.

“Aku tidak tahu tentang surat wasiat!” kata Cia Sun sambil memutar pedang menghalau hujan senjata.

“Kau memang sudah bosan hidup!” kata Gi Hun Hwesio membentak dan kini tiga orang hwesio itu mengerahkan tenaga memperkuat serangan. Cia Sun terhuyung mundur, kedudukannya berbahaya sekali dan gerakan pedangnya sudah lemah.

Tiba-tiba terdengar angin bersiutan dan tiga orang hwesio itu mengeluarkan suara kaget sambil melompat mundur terhuyung-huyung. Tiga buah pisau kecil runcing telah menancap di pundak mereka, pundak sebelah kanan dan tepat sekali mengenai urat besar membuat tangan kanan mereka lumpuh. Mereka menjadi pucat dan tahu bahwa Cia Sun dibantu orang pandai.

“Kami akan kembali lagi …..!” Gi Thai Hwesio menggerutu sambil pergi dari situ diikuti oleh dua orang sutenya. Mereka maklum bahwa untuk melawan terus percuma saja setelah mereka menderita luka yang cukup hebat itu, maka sebelum pembantu Cia Sun muncul dan mendatangkan kerugian yang lebih besar lagi kepada mereka, lebih dulu paling baik mereka angkat kaki.

Cia Sun maklum bahwa ia dapat bantuan orang. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan muka girang seperti monyetnya yang sekarang bertepuk-tepuk tangan melihat tiga orang lawan tuannya itu melarikan diri. Ia mengenal pisau-pisau kecil itu. Mengenal pisau yang merupakan hui-to (pisau terbang) ini yang lihainya bukan kepalang. Ia tahu siapa penyambitnya dan karenanya, biarpun ia telah dibebaskan dari bahaya maut, mukanya malah menjadi suram.

Dugaannya tidak meleset. Terdengar anak kecil menangis dan muncullah Balita mengendong anaknya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar