Kamis, 19 Agustus 2010

Iljimae (Episode 1)


Cerita ini dimulai saat Iljimae hendak menyusup ke dalam istana dan mencuri benda pusaka di dalamnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya seorang laki-laki gempal, teman Iljimae.

"Woi, sangat tidak mungkin melewati dinding setinggi ini!" protes teman Iljimae yang lain, seorang laki-laki kurus berkumis.

"Benar." ujar temannya yang lain, laki-laki berambut panjang dan mengenakan ikat kepala. "Tidak mungkin kau bisa masuk ke tempat itu. Kau harus mengubah rencanamu."

"Tidak ada tempat di muka bumi ini yang tidak bisa kumasuki." ujar seorang laki-laki berbaju hitam. "Karena aku adalah Iljimae."

"Minggir, minggir... Aku harus cepat, jika tidak es ini akan meleleh!" seru seorang pengantar es. Beberapa penjaga hendak menghentikannya. "Aku mendapat perintah untuk mengisi es di ruang es."

"Malam ini ada larangan bagi siapa saja untuk masuk dan keluar istana. Kau harus menunggu sampai besok pagi." ujar pengawal.

"Besok pagi?" seru pengantar es. "Tidak bisa! Es ini bisa mencair!"

Pengawal itu menyerah dan menyuruh anak buahnya memeriksa si pengantar es dan barang bawaannya.

"Ada masalah apa?" tanya pengantar es.

"Situasi sedang gawat. Iljimae akan merampok malam ini." kata pengawal.

Salah satu pengawal melihat sebuah es yang berwarna merah. "Kenapa es ini berwarna merah?" tanyanya.

"Itu arak Bokbunja yang telah membeku sepanjang musim salju di dekat sungai Daedong." kata si pengantar es. "Itu adalah arak spesial untuk menyambut Utusan Thanh yang akan datang besok."

Pengawal pengizinkan pengantar es itu masuk. Ia menarik gerobaknya menuju ruang es dan memecahkan es yang berwarna merah. Ternyata di dalam es itu tersimpan pakaian dan topengnya. Pengantar es itu adalah Iljimae.

Iljimae menyusup masuk ke gedung tempat disimpannya barang pusaka kerajaan. Tidak ada seorang pengawal pun yang melihatnya menuju ke sana.

Iljimae sampai di ruangan besar tempat pusaka itu tersimpan. Ternyata sudah ada banyak pengawal yang bersembunyi di sana. Iljimae bertarung melawan mereka semua. Ia mematikan lilin, membuat para pengawal bingung, tidak tahu harus menyerang kemana.

Ruangan gelap beberapa saat. "Semuanya! Nyalakan lilin!"

Iljimae bertarung dengan salah satu pengawal. Iljimae kalah. Pengawal yang lain maju hendak menangkapnya. "Aku ingin melihat wajahmu!" ujar kepala pengawal. "Buka topengnya!"

Salah satu pengawal maju dan membuka topeng Iljimae. Ternyata itu bukanlah Ijimae.

"Orang tadi adalah Iljimae!" seru Iljimae palsu.

Kepala pengawal dan anak buahnya keluar dan menemukan benda pusaka sudah dicuri.

Iljimae melarikan diri keluar dari istana. Ia sampai disuatu tempat yang dipenuhi oleh bunga Maehwa (sejenis bunga sakura). Ia menatap bunga itu dengan sedih dan teringat masa kecilnya yang tragis.

~~~~~ MASA LALU ILJIMAE ~~~~~

"Geom," panggil ayahnya ketika Geom sedang memandang bunga Maehwa. "Begitu banyak bunga yang cantik, kenapa kau menyukai bunga Maehwa?"

Geom tersenyum dan berbalik. "Karena bunga Maehwa mirip bunga Sakura, tapi tidak semewah bunga Sakura. Bunga Maehwa seperti bunga Jasmine, tapi tidak kelihatan menyedihkan seperti bunga Jasmine. Karena itulah aku menyukainya dan menganggap bunga Maehwa adlah bunga paling cantik diantara bunga yang lain."

Geom melihat ayahnya melukis. (Duh, belum apa-apa udah mau nangis..)

Keluarga bahagia, begitulah keluarga Geom kecil. Geom memiliki segalanya. Ia memiliki ayah dan ibu yang baik. Ia memliki seorang kakak perempuan yang baik dan cantik. Ia juga memiliki kekayaan materi.

"Apa benar kau melihatnya?"

"Benar, Tuan. Ia memiliki warna merah cerah dan kelihatan sangat megah." kata seorang pria buta.

"Bagamana kau bisa melihat itu semua?" tanya seorang pria berpakaian pengawal. Ia bernama Chun, pengawal Raja.

"Tidak lama setelah aku lahir, aku kehilangan pengelihatanku karena suatu penyakit. Tapi sebagai gantinya, aku bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Aku bisa melihat itu dengan jelas." kata pria buta. "Ia memiliki hati yang hangat, layaknya matahari yang menyinari masyarakat."

Pria buta itu berjalan pergi.

"Ia melihat apa yang seharusnya tidak dilihat." kata seorang pria, yang tidak lain adalah sang Raja. "Aku juga mendengar apa yang seharusnya tidak didengar."

Chun mengangguk, tanda paham. Ia mengejar si pria buta dan membunuhnya.

Setelah itu, mereka pergi menuju ke desa dimana si pria buta tinggal dan membunuh semua orang yang tinggal di sana. Istri si pria buta berhasil lolos dan membawa kabur kedua anaknya.

Istri pria buta itu meminta putra sulungnya lari dan menjaga adiknya, Bong Soon.

Para pembunuh berhasil mengejar istri pria buta itu dan membunuhnya.

Geom berjalan-jalan di pasar dan melihat-lihat barang di sana. Tiba-tiba seorang gadis kecil memegang bajunya dan meminta uang darinya.

"Aku tidak punya uang. Pergi!" ujar Geom seraya menarik tangannya dari pegangan gadis kecil itu, membuat gadis itu terjatuh dan menangis.

"Bong Soon, kau tidak apa-apa?" tanya kakak Bong Soon yang tiba-tiba datang. Ia berdiri dan menarik baju Geom. "Apa menjadi orang kaya membuatmu merasa hebat?"

"Maafkan aku." kata Geom. "Aku tidak bermaksud membuat dia jatuh."

Pengawal Geom datang dan mengusir kedua anak itu. Ayahnya datang dan mengajak Geom pergi. "Ayo, Geom."

Ja Dol menemani ibunya mengantar hasil jahitan ke pasar. Karena ibunya ingin pergi ke suatu tempat untuk mengambil kain yang akan dijahit, ia meminta Ja Dol menunggunya di pasar.

Tiba-tiba terdengar suara keramaian. Ada pertunjukkan di pasar. Ja Dol berlari ingin melihat pertunjukkan itu. Tidak sengaja ia menabrak seorang anak bangsawan (bernama Shi Wan), namun tetap berlari pergi. Shi Wan kesal dan berniat memberi Ja Dol pelajaran.

Shi Wan mencuri perhiasan milik ayah Geom dan meletakkannya di tas Ja Dol. Dari seberang, teman Shi Wan berteriak-teriak. "Maling! Maling! Ada maling! Ada maling di sana!" teriaknya seraya menunjuk ke arah Ja Dol dan ayah Geom.

Para polisi datang dan menangkap Ja Dol. Ja Dol bingung kenapa ada perhiasan itu di tasnya.

"Kudengar ayahnya juga seorang pencuri." ujar Shi Wan memprovokasi.

"Ayahku bukan pencuri!" ujar Ja Dol.

Ja Dol dibawa pergi oleh polisi, namun Geom menghalangi mereka. "Tunggu!" panggilnya. "Aku ingin melihat tangannya." Geom melihat tangan Ja Dol dan tersenyum. Ia lalu menunjukkan perhiasan ayahnya pada polisi. "Disini ada bubuk berwarna putih. Coba kau rasakan."

Polisi itu menjilat sedikit bubuk putih itu. "Ini manis." katanya.

"Ini gula yang berasal dari kue." kata Geom. "Ayah, izinkan aku melihat tangan Ayah." Ayah Geom menunjukkan tangannya. "Lihat, di tangan ayahku juga tidak ada bubuk putih. Lalu tangan siapa yang ada bubuk putih?"

Polisi itu bingung.

Geom menunjuk ke arah Shi Wan. "Tuan muda di sana, tunjukkan tanganmu!"

Di tangan Shi Wan memang ada bubuk putih. Ia pergi melarikan diri.

Ja Dol sangat berterima kasih pada Geom. "Terima kasih Tuan Muda. Siapa namamu?"

"Namaku Lee Geom." jawab Geom.

"Lalu Tuan, siapa nama Anda?" tanya Ja Dol pada ayah Geom.

Ayah Geom tertawa. "Aku? Hahaha.. Namaku Lee Won Ho."

"Aku pasti akan membayar kebaikan kalian." kata Ja Dol.

"Tidak perlu." Won Ho berkata bijak. "Tumbuhlah menjadi anak yang berbudi luhur. Itulah yang kuminta. Benar, Geom?"

"Ja Dol! Kau tidak apa-apa?" Ibunya tiba-tiba berlari datang.

"Aku tidak apa-apa ibu. Mereka menyelamatkan aku."

Ibu Ja Dol menoleh hendak berterima kasih, namun ia terkejut melihan Won Ho.

"Apa ia putramu?" tanya Won Ho pada ibu Ja Dol. Ibu Ja Dol tidak menjawab dan membawa Ja Dol pergi.

Shi Wan datang lagi ketika Geom dan ayahnya sedang makan. Ia marah karena mereka melindungi Ja Dol. "Apa kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah putra Lord Byun Shik."

"Putra Byun Shik?" tanya Wan Ho, tidak terkejut sama sekali. "Pulang dan katakan pada ayahmu bahwa putranya bertemu dengan Lee Won Ho."

"Baik. Aku akan menyampaikan pesanmu." ujar Shi Wan angkuh.

Geom sangat kesal melihatnya. Ia menyerang Shi Wan dan memukul pipinya. Shi Wan itu menangis.

Berbeda dengan Lee Won Ho yang menghormati semua orang tanpa memandang status, Byun Shik adalah seorang pejabat pemerintah yang semena-mena kepada orang yang statusnya berada di bawahnya. Keluarganya angat menyukai kemewahan dan kekayaan.

Shi Wan datang sambil menangis. Ia adalah putra kesayangan Byun Shik. Shi Wan mengatakan bahwa yang memukulnya adalah putra Lee Won Ho.

Byun Shik kesal setengah mati, namun tidak bisa melakukan apa-apa.

"Kenapa kau begitu takut pada Lee Won Ho itu?" tanya istrinya.

"Ia memiliki hubungan yang aneh dengan Yang Mulia. Ia adalah penyelamat Yang Mulia." kata Byun Shik.

Istri Byun Shik terkejut. "Jadi, Shi Wan mengganggu seorang pahlawan? Apa yang akan terjadi pada kita?"

Byun Shik menyuruh istrinya membungkus batu amber. "Aku harus menyelesaikan ini. Jika tidak, jangan menyebut aku Byun Shik!"

Byun Shik mengajak keluarganya berkunjung ke rumah Lee Won Ho, nmaun Shi Wan menolak. Akhirnya, Byun Shik terpaksa pergi sendirian, ditemani oleh putri kecilnya, Eun Chae.

Eun Chae adalah putri Byun Shik yang sangat baik hati. Dengan senang hati, ia menemani ayahnya pergi untuk meminta maaf.

Ibu Ja Dol membasuh kaki putranya. Ia teringat masa lalunya saat ia masih menjadi pelayan Lee Won Ho. Lee Won Ho pernah membasuh kakinya. Dulu, mereka adalah sepasang kekasih.

Eun Chae dan Byun Shik menemui Lee Won Ho. Eun Cha meminta maaf mewakili kakaknya.

"Mengapa kau yang datang kesini dan meminta maaf?" tanya Won Ho.

"Ayah menghukum kakakku. Kakinya dipukul oleh ayah." kata Eun Chae berbohong. "Kaki kakak masih sakit, jadi ia tidak bisa datang untuk meminta maaf. Aku yang mewakilinya untuk meminta maaf."

"Ia masih kecil, tapi bicaranya halus sekali." ujar Won Ho. "Kau memiliki putri yang cerdas." Terlihat sekali kalau Lee Won Ho tidak senang menerima kedatangan Byun Shik.

Byun Shik meminta Eun Chae keluar, kemudian memberikan sebuah batu amber pada Won Ho. Won Ho marah karenanya. Ia bukanlah tipe orang yang bisa disogok dengan hadiah.

Eun Chae berjalan-jalan di kebun Maehwa milik keluarga Lee. Ia melihat seekor burung terbang ke salah satu pohon di dekat pagar. Ia hendak naik ke pohon itu untuk melihat.

"Siapa kau, Nona?" terdengar suara Geom dari belakang. Eun Chae terkejut dan terjatuh.

"Maafkan aku. Burung itu bernyanyi sangat merdu, aku hanya ingin mendengar dari dekat." ujar Eun Chae.

Geom naik ke pohon itu dan mengulurkan tangannya untuk membantu Eun Chae naik. "Kau dengar?"

"Ya." jawab Eun Chae. "Burung apa itu?"

"Burung itu disebut burung hitam." jawab Geom.

"Burung hitam? Suaranya seperti peluit." kata Eun Chae.

"Tapi, burung itu sangat menyedihkan. Burung hitam hanya muncul saat bunga Maehwa sedang mekar. Mereka selalu berada disekitar bunga Maehwa."

"Kenapa?" tanya Eun Chae.

"Karena mereka punya kisah yang sangat tragis." kata Geom. Ia menatap Eun Chae, tapi tiba-tiba Byun Shik memanggil Eun Chae dan mengajaknya pulang. Byun Shik terlihat marah.

That's the first love at the first sight of both Geom and Eun Chae.

Lee Won Ho menemui Raja. "Apa kau ingat? Dulu ketika kita merayakan keberhasilan pemberontakan, kita juga membersihkan pedang di sungai ini. Jika kita tidak memberontak, Gwang Hae pasti masih duduk di tahtanya dan negara ini tidak akan menjadi seperti sekarang." kata Raja. "Kalau dipikir lagi, Gwang Hae sepertinya pilihan yang lebih baik."

"Sebenarnya, kebijakan Gwang Hae dalam menjaga perdamaian antara Dinasti Myung dan Ho Kim adalah keputusan yang tepat." ujar Lee Won Ho jujur. "Dengan melakukan itu, ia bisa mencegah terjadinya pemberontakan. Nyawa para penduduk juga tidak terancam bahaya."

"Kau benar." kata Raja.

"Sekarang belum terlambat." Won Ho melanjutkan. "Kita harus memdirikan Chosun yang kuat agar semua orang bisa hidup dengan damai. Yang Mulia, tolong penuhi janji kita dulu."

"Hanya kau yang berani berkata begitu padaku." kata Raja. "Seperti yang dikatakan orang-orang, hubungan darah adalah hal yang penting."

Raja memanggil Byun Shik. "Tiga hari lagi, aku ingin membunuh semua pengkhianat yang berusaha mengembalikan kekuasaan pada Gwang Hae. Lee Won Ho adalah salah satu pengkhianat itu."

Byun Shik terkejut. "Lee... Lee Won Ho?"

"Benar." kata Raja. "Buatlah seakan-akan Lee Won Ho yang memimpin pemberontakan."

"Bagaimana aku melakukannya?" tanya Byun Shik. Raja tidak mengatakan apapun, namun Byun Shik sudah mengerti. "Baik."

Ja Dol diledek oleh teman-temannya, yang mengatakan kalau ayahnya adalah seorang pencuri. "Ayahku bukan pencuri!" teriaknya. Ia melihat ayahnya, Swe Dol, dari jauh. "Kau bukan pencuri kan?"

"Tentu saja bukan." kata ayahnya, berbohong.

Ja Dol menjadi tenang. Ia dan Swe Dol berjalan-jalan. "Ja Do, aku merasa sedih untukmu. Maafkan aku karena tidak memiliki uang. Maafkan aku karena tidak bisa memberimu makanan yang enak. Maafkan aku, Putraku."

"Tidak, ayah." ujar ja Dol. "Kau adalah ayah yang paling kusayangi sepanjang hidupku."

"Benarkah?"

Ja Dol mengangguk. "Aku akan menjadi anak yang berbudi luhur agar bisa membuat hidup ayah lebih baik. Tapi apa yang harus aku lakukan?"

"Kau harus belajar." kata Swe Dol. "Kau tidak boleh menjadi seperti aku. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu menjadi orang yang berbudi."

Byun Shik memanggil Swe Dol datang dan memberinya sejumlah uang. Ia juga menyerahkan selembar kertas. "Kau hanya perlu mengubur kertas ini dibawah rumah itu." kata Byun Shik. "Setelah kau berhasil melakukannya, aku akan membayarmu dua kali lipat."

"Aku hanya perlu menguburnya?" tanya Swe Dol. Byun Shik mengangguk.

Malam itu, Swe Dol keluar diam-diam dari kamarnya. Ja Dol menyadari kepergiannya dan mengikutinya. Ia ingin tahu apakah ayahnya benar-benar pencuri atau bukan.

Swe Dol mengendap-endap masuk ke rumah keluarga Lee. Ia hendak mengubur kertas itu dibawah rumah keluarga Lee, namun ia penasaran dan membuka kertas itu. Karena ia tidak bisa membaca, maka ia tidak mengerti apa isinya. Namun kertas itu tertulis dengan darah. "Ini sangat aneh." pikir Swe Dol. Ia langsung menemui Byun Shik.

"Apa kau sudah menguburnya?" tanya Byun Shik.

Swe Dol menyerahkan kertas itu kembali kepada Byun Shik. "Aku tidak bisa membaca, jadi aku tidak tahu apa isinya. Tapi aku tidak bisa melakukannya."

Pengawal Byun Shik menangkap Swe Dol dan memukulinya.

Ja Dol, yang sejak tadi mengikuti ayahnya, ditangkap oleh pengawal Byun Shik.

Karena dipukuli habis-habisan, Swe Dol akhirnya menyerah. Ia bersedia mengubur kertas itu. Namun tangannya patah. Untuk menyelamatkan ayahnya, Ja Dol berteriak dan mengatakan kalau ia yang akan melakukannya. Ja Dol mengubur kertas itu di bawah rumah keluarga Lee dan berlari pergi. Sebelum pergi, ia sempat terlihat oleh kakak Geom, Yeon.

Setelah Ja Dol berhasil melakukan tugasnya, ia dikurung bersama ayahnya. Byun Shik menyuruh orang untuk membunuh mereka. Salah satu pelayan Byun Shik berlari ke rumah Swe Dol dan memberi tahu ibu Ja Dol, Dan Ee.

Dan Ee memohon pada Byun Shik untuk mengampuni suami dan anaknya. Namun Byun Shik menolak.

"Anak itu, adalah putra kandungmu!" teriak Dan Ee. "Apa kau lupa? 10 tahun yang lalu?"

"Aku tidak lupa." jawab Byun Shik.

"Apa kau ingin membunuh putramu sendiri?!"

Ja Dol diangkat menjadi putra Byun Shik dan tinggal di rumahnya. Swe Dol melihat kepergian anaknya dan menangis. "Ini adalah hal yang baik." ujarnya menghibur diri. "Maafkan aku... Ja Dol..."

Yeon bercerita bahwa tadi malam ia melihat seorang anak kecil masuk ke rumah mereka. Tapi tidak ada satu barang pun yang hilang. Geom kesal mendengarnya. Ia meminta ayahnya mengajarkan bela diri agar ia bisa melindungi keluarganya dari pencuri.

"Geom, menurutmu, apa arti sebuah pedang?" tanya Wan Ho. "Ada dua jenis pedang. Yang satu digunakan untuk membunuh. Yang satu lagi digunakan untuk menyelamatkan. Aku berharap kau tidak akan pernah menyentuh pedang dalam hidupmu, namun bila itu terjadi, kau harus menggunakan pedang untuk membebaskan orang lain. Kau mengerti?"

"Ya, Ayah!"

Malam itu, orang-orang suruhan Raja menyelinap masuk ke rumah keluarga Geom.

Saat itu, Wan Ho baru selesai menemani Geom belajar. Wan Ho mengetahu kedatangan orang-orang itu. Ia menggendong dan menyembunyikan Geom di dalam lemari.

"Geom, tetaplah disitu dan jangan bergerak." ujar Wan Ho. "Dan jangan bersuara."

"Ayah.."

Wan Ho memberikan perhiasan miliknya pada Geom agar anak itu tenang. "Benda ini bisa mengusir roh jahat dan melindungimu."

Geom ketakutan.

"Geom... Apapun yang terjadi, kau harus meneruskan hidup."

"Ayah..." Geom mulai panik.

"Jawab aku! Katakan kau akan terus hidup!"

"Ya, Ayah..."

Wan Ho membelai wajah Geom, kemudian menutup pintu lemari itu dan menguncinya dari luar.

Wan Ho mengambil pedangnya. Tiga orang pengawal kepercayaan Raja muncul di hadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar