Selasa, 06 Juli 2010

Senandung Lara

Title : Senandung Lara
Author : Sweety Qliquers
Genre : Romance 21+
Production : www.rainlovers86.blogspot.com
Production Date : 25 Mei 2010 – 09.37 AM
Cast :
Kim So Eun as Kang Hye Na
* Kekasih Seo Dong Chan
* Kejiwaannya terganggu setelah mengetahui kekasihnya, Seo Dong Chan ternyata telah memiliki istri dan hanya berpura-pura untuk mencintainya

Kim Bum as Seo Dong Chan
* Kekasih Kang Hye Na
* Menginginkan Papi Kang Hye Na untuk menanda tangani Kontrak proyek besar di perusahaan kontraktor dimana ia bekerja

Gong Yoo as Lee Tae Yoon
* Sahabat Seo Dong Chan
* Kakak Yeo Eui Joo
* Diminta Seo Dong Chan untuk membantu rencananya, menjadi kakak Seo Dong Chan untuk menjadi wali pernikahannya dengan Kang Hye Na

Gook Ji Yun as Yeo Eui Joo
* Adik Lee Tae Yoon
* Ingin membongkar semua kebohongan Seo Dong Chan pada Kang Hye Na

Lee Min Ho (Cameo)
* Anak buah Pak Ahn Jae Wook-Papi Kang Hye Na
* Mengenal dengan baik sosok Seo Dong Chan

Ahn Jae Wook (Cameo)
* Papi Kang Hye Na
* Berusaha mencari tahu keberadaan Seo Dong Chan, setelah ia menghilang dan menyakiti Kang Hye Na-Anaknya

Lee Bo Young (Cameo)
* Mami Kang Hye Na
* Merasa sedih melihat kejiwaan Kang Hye Na-anaknya terganggu karena ditipu oleh Seo Dong Chan-kekasih Kang Hye Na





Senandung Lara
(Sweety Qliquers)

Dengan riang, Kang Hye Na mendendangkan lagu ‘Nuansa Bening’ nya Vidi Aldiano. Tas batiknya dilemparkan ke sofa. Mami geleng-geleng kepala melihat tingkah putri tunggalnya itu.

“Hye Na, “ panggilnya. “Hari ini banyak pelanggan, ya?”

“Tidak, mi..” Hye Na mencopot sepatunya.

“Kalau tidak, Kenapa kau, gembira sekali?” tanya mami penasaran. Diambilnya tas Batik Hye Na dan diletakkannya di atas meja.

“Ah, mami..mau tahus aja.” Wajah ayu Hye Na menghangat tiba-tiba. Aneh!

“Ooo….mami tahu sekarang. Pasti tadi kau bertemu Seo Dong Chan.” Mami tersenyum menggoda.

“Ih, mami sok tahu!” Hye Na tersipu. Wajahnya memerah dadu. Mami tertawa.

“Ya tahu. Mami ‘kan pernah muda, “ katanya.

Hye Na senyum-senyum saja mendengar ucapan mami. Dibenaknya terbayang kembali pertemuannya dengan Dong Chan di salon kecantikannya.

“Hye Na,” Dong Chan berdiri di ambang pintu ketika dia sedang sibuk membereskan alat-alat make up. Tiga orang anak buahnya sudah pulang lebih dulu. Hari itu salonnya memang agak sepi. Mungkin, karena tanggal tua sehingga orang segan mengeluarkan uang untuk mempercantik diri.

“Dong Chan, ada apa kau kemari?“ Hye Na berkata riang.

“Aku merindukanmu.” Sahut Dhika kalem. Hye Na mencibir.

“Uh, bukannya kemarin kita baru ketemu.” Ujarnya manja.

“Iya, tapi aku masih merindukanmu.” Dhika menghampiri Hye Na, memeluk gadis itu dari belakang. “Sudah selesai membereskan alat-alat itu?” bisiknya di telinga Hye Na.

“Sudah,“ manja, Hye Na menyandarkan kepalanya di dada Dhika.

“Hye Na,“ Jemari Dong Chan membelai rambut lurus Hye Na. “Ada kabar gembira untukmu.”

“Apa itu?” Hye Na memutar tubuhnya, melepaskan pelukan Dong Chan.

“Bulan depan aku akan melamarmu.”

“Oh….secepat itu?!” Seru Hye Na. Matanya yang indah berseri-seri bahagia.

“Setengah tahun kita pacaran. Memang belum terlalu lama tapi…aku sudah tak sabar ingin segera bertunangan denganmu.” Dong Chan mempermainkan jemari Hye Na.

Hye Na tidak menjawab. Dia merasa inilah kebahagiaan yang paling sempurna dalam hidupnya. “Aku bahagia sekali, Dong Chan. “ Bisiknya.

“Tapi….,”

“Terlalu cepat?” potong Dong Chan. Hye Na mengangguk.

“Hye Na,” Dong Chan menatap Hye Na lembut. “Aku benar-benar mencintaimu dan aku takut suatu saat kau berpaling pada lelaki lain. Jadi….aku ingin kepastianmu. Dengan melamarmu, aku merasa tenang dan yakin bahwa kau memang mencintaiku.”

Hye Na terdiam. Dalam hati dia membenarkan ucapan Dong Chan. Yah, diapun amat menyayangi Dong Chana dan tak ingin kehilangan sosok tegap Dong Chan.

“Aku akan mengenakan gaun terindah pada hari kau datang melamarku.” Ujar Hye Na tiba-tiba.

“Terima kasih, Hye Na.” Dong Chan merengkuh Hye Na. Hye Na tersenyum dalam rengkuhan kukuh Dong Chan. Ada butir bening menetes di pipinya. Air mata bahagia.

“Aku ingin kau memakai gaun warna biru.” Dong Chan menghapus bening di sudut mata Hye Na dengan jemarinya. Hye Na mengangguk. “Ya, warna kesayanganmu.”

“Aduh, kenapa kau jadi melamun?” Suara mami menyentakkan lamunan Hye Na.

“Ah…. Mamiii….” Hye Na tersenyum malu. Mami tertawa.

“Ayo, tadi Dong Chan bilang apa?” Mami mengedipkan mata.

Sekali lagi Hye Na tersenyum malu. “Dong Chan …ingin melamar Hye Na…,” pelan suara Hye Na.

Mami pura-pura batuk menggoda. “Mami setuju. Kapan Dong Chan datang?”

“Bulan depan.”

“Yah, nanti mami bicarakan hal ini dengan papi.”

“Makasih mi…” Hye Na mengecup pipi mami.

***

Di depan rumah bercat kuning muda, Dong Chan menghentikan langkah. Dia memijit bel yang terletak di samping pintu pagar. Sesaat kemudian, seorang pria berusia sekitar tigapuluh tahun nongol di teras rumah.

“Dong Chan!” seru pria itu, lalu bergegas melangkah ke halaman. “Angin apa yang membawamu kemari?” tanyanya sambil membuka pintu pagar.

“Angin ribut.” Gurau Dong Chan.

“Well, ada perlu apa?” tanya pria itu lagi setelah mereka duduk di ruang tamu.

“Begini, Tae Yoon…” Dong Chan buka suara. “Bulan depan aku akan melamar Hye Na.”

“Sejauh itu permainanmu, Dong Chan?” Ujar Lee Tae Yoon terkejut.

Dong Chan mengangguk. “Demi uang,“ katanya tenang.

“Lalu isterimu?”

“Ini kan cuma sandiwara, Tae Yoon.” Tukas Dong Chan tertawa. “Setelah aku berhasil membujuk papi Hye Na agar mau menandatangani kontrak besar dengan perusahaan tempatku bekerja, maka secara perlahan aku akan menghindari Hye Na dan akhirnya…” Dong Chan menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. “Putus Hubungan!” Dia mengelus-elus dagunya.

“Dasar ular kau!” Tae Yoon tertawa mendengar ucapan Dong Chan. Dirogohnya saku celananya. “Rokok?” Dia menyodorkan Sampoerna miliknya.

Dong Chan menggeleng. “Untuk saat ini aku puasa dulu. Hye Na tidak suka cowok perokok.” Katanya. Tae Yoon tertawa. Dia menyalakan pemantik dan membakar ujung rokoknya.

“Sekarang, katakan apa yang bisa kubantu?” Tanya Tae Yoon.

“Kau harus pura-pura menjadi kakakku yang sengaja datang mewakili kedua orang tuaku.”

Tae Yoon bersiul. ”Bukan main!” Serunya. “Kau benar-benar licik!”

“Bagaimana? Kau mau menolongku?” tanya Dong Chan.

“Oke, asal….” Tae Yoon mengedipkan mata. Dong Chan tersenyum mengerti.

“Soal money? Jangan takut.” Katanya tertawa. “Ini, aku bayar separuh dulu.” Dong Chan memberikan selembar cek.

“Kenapa tidak uang tunai?” Tae Yoon menjentikkan abu rokoknya.

“Sudahlah, jangan rewel. Percayalah padaku, Cek ini tidak kosong.” Ujar Dong Chan lalu memasukkan cek tersebut ke saku baju Tae Yoon.

Beberapa saat lamanya Dong Chan dan Tae Yoon sibuk membicarakan rencana mereka. Yeo Eui Joo, adik Tae Yoon yang terbangun dari tidur siangnya karena mendengar kedatangan Dong Chan, menguping pembicaraan mereka. Kamar tidurnya yang tidak jauh dari ruang tamu membuatnya dapat menangkap dengan jelas suara Dong Chan dan Tae Yoon.

Sungguh, dia tak menyangka kalau Dong Chan, teman kakaknya itu sampai hati menipu seorang gadis. Di balik ketampanan dan keramahannya, ternyata Dong Chan adalah seorang penipu. Dia tak lebih dari serigala berbulu domba. Dan, Tae Yoon, kakaknya mengapa dia mau membantu rencana Dong Chan? Uang! Lagi-lagi karena uang! Ugh! Tiba-tiba dia merasa muak dengan kedua orang itu.

Aku harus menolong gadis yang bernama Hye Na itu, pikir Eui Joo. Tapi, bagaimana caranya? Dia tidak mungkin mencegah kakaknya agar tidak membantu Dong Chan. Tae Yoon pasti tak segan-segan menampar pipinya bila tahu usahanya hendak digagalkan. Akh, Eui Joo memeluk bantal gulingnya. Seandainya papa dan mama masih ada, tentu Tae Yoon tidak seperti itu. Sebagai seorang pengangguran, dia mau melakukan pekerjaan apa saja. Tak peduli apakah itu merugikan orang lain atau tidak. Dan, Eui Joo tak berdaya menghadapi ulah kakaknya.

Tapi… Hye Na ….Entah mengapa, Eui Joo merasa harus menolong gadis itu. Tadi, Dong Chan menyebut-nyebut nama sebuah salon kecantikan. Katanya, salon itu milik Hye Na. Eui Joo pernah mendengar nama salon itu dari Goo Hye Sun, kawannya yang menjadi pelanggan di salon tersebut.

***

Salon sudah sepi. Seperti biasa, Hye Na menyuruh anak buahnya pulang lebih dulu. Sedangkan, dia sendiri sibuk menghitung penghasilannya hari itu. Dia baru saja hendak menyimpan Buku Catatannya ke dalam laci ketika dilihatnya sabrina berdiri di ambang pintu.

“Maaf,“ kata Eui Joo tersenyum. “Kau yang bernama Hye Na?” tanyanya.

“Ya, benar.” Hye Na mengangguk.

“Saya Yeo Eui Joo,” Tangan Eui Joo terulur. Hye Na membalas uluran tersebut.

“Silakan duduk. Ada yang bisa dibantu?” tanya Hye Na ramah.

“Terima kasih,” Eui Joo meletakkan pantatnya di sebuah kursi. Hye Na ikut duduk di kursi satunya lagi. “Ada perlu apa ya?” tanya Hye Na lagi.

“E…,” Eui Joo tergagap tapi detik selanjutnya dia dapat bercerita dengan lancar. Hye Na mendengarkan dengan tenang. Perasaannya tak menentu antara percaya dan tidak.

“Begitulah, saya cuma ingin mengingatkanmu.” Eui Joo mengakhiri ceritanya.

“Terima kasih atas kebaikanmu.” Hye Na berusaha tersenyum.

“Percayalah, saya tidak mengada-ngada.” Kata Eui Joo lagi. Dia menangkap sinar mata Hye Na yang meragukan ceritanya. “Lee Tae Yoon kakak saya pasti akan berpura-pura sebagai….”

“Maaf, sudah pukul lima.” Hye Na meraih tas batiknya. “Saya harus pulang ke rumah.”

Eui Joo bangkit berdiri. Tersenyum kecewa karena merasa ceritanya tidak dipercaya. Tapi, dia harus bagaimana lagi? Hh, semoga gadis ini mau merenungkan ceritanya tadi. Harapnya dalam hati.

“Kalau begitu, saya juga permisi.” Katanya kemudian lalu beranjak keluar.

Pulang dari salon, Hye Na membanting tubuh semampainya di tempat tidur. Dia berusah mengenyahkan galau yang melanda hatinya. Rasanya sulit mempercayai kata-kata gadis bernama Yeo Eui Joo itu. Dong Chan begitu baik, lembut dan penuh pengertian. Pasti, gadis itu cuma ingin memisahkan Dong Chan dari dirinya.

Dia pasti iri melihat kemesraan sikap Dong Chan padaku, batin Hye Na.

Ingatan Hye Na lalu berkelana ke masa setahun silam. Dong Chan, pemuda tampan yang bekerja di perusahaan kontraktor, suatu hari datang ke rumah. Dengan sopan, dia mengatakan ingin bertemu dengan papi Hye Na. Katanya, dia rekan bisnis papi. Waktu itu, Hye Na sendiri yang membukakan pintu untuk Dong Chan. Dan, senyum simpatik Dong Chan telah membuatnya jatuh ke dunia asmara pada pandang pertama.

Dong Chan yang tampan itu mengaku sebagai putera seorang pengusaha kaya. Kedua orang tuanya lebih sering berada di Amerika untuk mengurus usaha mereka di sana. Dia sendiri bekerja di sebuah perusahaan di Surabaya. Padahal, ayahnya ingin agar Dong Chan memimpin perusahaannya tapi dia menolak. Alasannya ingin mandiri.

Hari-hari selanjutnya Dong Chan datang bukan untuk urusan bisnis saja dengan papi, tapi juga untuk bertemu Hye Na. Tak terlukiskan betapa bahagianya Hye Na ketika Dong Chan mengungkapkan isi hatinya. Apalagi, papi dan mami memberi lampu hijau. Mereka juga menyukai Dong Chan yang tampan, baik hati dan selalu sopan terhadap orang tua.

“Hye Na,” ketukan di pintu menyentakkan Hye Na.

“Ada apa, mi?” Hye Na beranjak bangun dan membuka pintu.

“Kenapa kau, pulang dari salon langsung ke kamar?” Mami menatap Hye Na heran. “Kenapa? Tidak enak badan, ya?’

“Ah, tidak ada apa-apa mi…. Cuma capek sedikit.” Ujar Hye Na. Dia tak ingin mami tahu apa yang telah diceritakan Eui Joo. Toh, belum tentu cerita itu benar. Dan, dia yakin Eui Joo pasti berdusta.

“Jangan suka memaksakan diri.” Mami menasihati. “Mami ‘kan sudah bilang, kau tidak perlu buka salon. Papi ‘kan masih bisa memenuhi kebutuhanmu.”

Hye Na tersenyum mendengar kata-kata mami. Wanita tercinta itu memang sangat memanjakannya. Dulu, waktu dia berniat membuka salon, mami melarang keras.

“Uh, mami! Kalau tidak boleh buka salon, percuma saja Hye Na kursus kecantikan. Ilmunya tidak dipakai ” Begitu yang diucapkan Hye Na untuk menundukkan hati mami. Dan, akhirnya, Hye Na yang menang.

“Hye Na,” tegur mami. “Hayo, melamunkan Dong Chan, ya?”

Hye Na tergugu. “Ah, tidak mi. “ Katanya seraya meninggalkan mami.

***

Hye Na sedang bercakap-cakap dengan Dong Chan di ruang tamu kala bel berbunyi.

“Ada tamu.” Kata Hye Na lalu bergegas ke luar. Seorang pemuda berdiri di depan pintu pagar. Mengangguk hormat pada Hye Na. “Pak Ahn Jae Wook ada, Non?” tanyanya.

“Kau siapa, ya?” Hye Na balik bertanya.

“Saya Lee Min Ho. Karyawan pak Ahn Jae Wook yang ditugaskan ke Busan dan baru saja kembali ke Seoul.” Jawab pemuda itu sopan.

“Oh…..,” Hye Na manggut-manggut. Dia memang pernah mendengar kalau papi mengutus anak buahnya ke Busan. “Tapi, papi sedang pergi. “ Katanya.

“Siapa, Hye Na?” Dong Chan menghampiri Hye Na.

“Ini…,” Belum selesai Hye Na berkata, Lee Min Ho sudah tersenyum pada Dong Chan.

“Dong Chan,“ sapanya ramah. “Apa kabar?”

“Baik,“ sahut Dong Chan berusaha tersenyum ramah. Padahal, hatinya sudah deg-degan. Hye Na yang melihat keduanya saling mengenal, segera membukakan pintu pagar. Lee Min Ho menyalami Dong Chan.

“Sejak kapan kau ke Jakarta, Dong CHan? Isterimu tidak diajak? Sedang apa kau disini? Kau kenal pak Ahn Jae Wook ya?” tanya Min Ho beruntun membuat tangan Dong Chan gatal ingin membekap mulut pemuda itu. Tapi, sudah terlambat…. Hye Na sudah mendengar semuanya.

“Isterinya?” Hye Na menatap Min Ho, heran.

“Ya, kenapa?“ Min Ho balas bertanya.

“Kau sudah mempunyai isteri, Dong Chan?” Tanpa mengacuhkan Min Ho, Hye Na memandang Dong Chan tak percaya.

“Hye Na …itu…” Dong Chan terbata. Seperti maling ketangkap basah, wajahnya pucat, bibirnya kelu.

“Tidak! Kau…kau…pembohong! Aku BENCIIII kau!” Hye Na berteriak lalu berlari masuk ke dalam rumah.

“Hye Na!” Dong Chan menyusul. Di ruang tamu, dia berhasil mencekal lengan Hye Na.

“Hye Na, dengar dulu!” serunya.

“Lepaskaaan!“ Teriak Hye Na marah. “Dasar penipu!”

“Hye Na!”

“Hye Na, ada apa nak?” Mami yang sedang sibuk di dapur menghampiri mereka.

“Mami,” Hye Na menubruk mami, memeluknya erat. “Dia penipu, Mi! Hye Na benci! Benci!”

Mami menatap Dong Chan tajam, minta jawaban. Dong Chan yang merasa topengnya sudah terbuka segera meninggalkan rumah Hye Na. Dia tak ingin mendengar Hye Na menceritakan kebusukannya pada maminya.

***

Hye Na tersenyum menatap foto Dong Chan. Jemarinya membelai bingkai foto itu. “Dong Chan, aku merindukanmu….Hi hi hi….” Gadis itu cekikikan. Dia mengecup foto itu berkali-kali. “Dong Chan, sayang…kau tampan sekali! Kau seperti buaya. Hi hi hi…..”

“Hye Na,“ Mami memanggil Hye Na. Dibukanya pintu kamar.

“Dong Chan mana, Mi?” Hye Na membuka pintu sambil melongokan kepala ke luar, memandang ruang tengah. “Dia mau melamar Hye Na. Dia pasti datang, iya kan Mi?” tanyanya seperti orang linglung.

Mami mengangguk. Sekuat tenaga dia menahan butiran bening yang mendesak tak sabar ingin keluar dari kelopak matanya. Anakku, batinnya pedih. Mengapa nasibmu semalang ini? Oh, Tuhan…apa dosa kami?

“Mi…” Hye Na menarik lengan mami. “Mana Dong Chan?”

“Hye Na,“ Mami membelai rambut Hye Na. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi bibirnya terasa beku. Ditatapnya wajah Hye Na. Ah, wajah ayu itu kini seperti tanpa cahaya kehidupan. Rambutnya yang sebahu awut-awutan. Aneka pita warna warni menghiasi rambut itu. Gaun biru muda yang dikenakan Hye Na juga lusuh. Setiap kali mami selesai menyeterika gaun itu, Hye Na akan mengambilnya dan mengenakannya lagi. Dia menolak memakai pakaian lain.

“Dong Chan jelek!” Tiba-tiba Hye Na berteriak. “Bajingan! Brengsek kau, Dong Chan!” Dia menuding-nuding foto Dong Chan lalu tertawa geli. “Kau sudah mempunyai isteri, Dong Chan! Kau sudah menikah ya? Hi hi hi…”

“Hye Na,” Mami memeluk Hye Na dengan hati teriris. Hye Na, mengapa kau jadi seperti ini? Bisik hatinya. Sesaat, pikirannya melayang ke masa tiga bulan yang lalu.

Sejak Hye Na mengetahui siapa Dong Chan sebenarnya, dia berubah menjadi gadis pemurung. Kerjanya setiap hari duduk memandangi foto Dong Chan. Papi berusaha mencari Dong Chan dan meminta penjelasannya karena Hye Na tidak mau mengatakan apapun. Dia hanya bilang kalau Dong Chan sudah punya isteri. Tapi, Dong Chan seperti lenyap dari muka bumi. Bahkan, isterinya pun tidak tahu kemana Dong Chan pergi.

“Hye Na, sudahlah...” Kata mami berusaha menghibur Hye Na. Tapi, Hye Na tak memberi reaksi. Dia memeluk mami dan menangis. Semua usaha mami dan papi untuk mengusir dukanya tidak berhasil. Hingga suatu senja, Hye Na tiba di puncak kesedihannya. Rasa sakit hati, kecewa menusuk-nusuk kalbunya. Selaksa sesal juga menghantamnya karena tidak mempercayai ucapan Eui Joo. Meski dalam hati, dia bersyukur karena Dong Chan belum berhasil membujuk papi untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja, namun kesedihannya tak dapat dibendung. Betapa tidak, dia sangat mencintai Dong Chan. Baginya, Dong Chan adalah segalanya. Tetapi realitas begitu kejam.

Dan, Hye Na tidak kuat menghadapinya. Dia pun menjerit, menangis dan mengobrak-abrik benda-benda yang ada di kamarnya. Papi dan mami berusaha menenangkannya tapi Hye Na semakin beringas sampai akhirnya dia letih sendiri.

“Hi hi hi….” Tawa Hye Na membuyarkan lamunan mami. Dengan lesu, mami melepaskan pelukannya. Wanita yang rambutnya mulai memutih itu beranjak meninggalkan Syafa. Syafa berhenti tertawa dan mulai bersenandung. Begitu lirih dan sedih seolah mencerminkan lara di hatinya.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar