Sabtu, 31 Juli 2010

Perempuan Pencari Daun


Bulan purnama sempurna. Langit masih membentangkan jubah hitam raksasanya. Titik-titik putih serupa butiran garam menaburi permukaannya. Sebagian besar bebas tak beraturan. Sebagian lagi bergerombol membentuk lukisan maha sempurna. Noktah-noktah putih itu terangkai menyerupai cincin, layang-layang, gubug penceng, dan bentuk-bentuk unik yang susah terlukiskan. Sungguh, betapa maha agung pelukisnya. Mencipta selangit keajaiban langit semesta kala dini hari.

Fajar menyingsing. Di tepi jalan raya, tepatnya di bawah pohon beringin, berdiri tegak seorang perempuan bertubuh kurus dan tinggi. Sebuah selendang panjang lusuh mengalung di lehernya. Karti namanya. Usianya kurang lebih empat puluh tahunan. Tangannya terlihat sibuk membenahi kain yang menabiri rambut hitam-putihnya yang menyembul beberapa helai dari pelipisnya. Matanya lurus ke jalan beraspal, sambil sesekali menengok ke arah kanan. Ia menahan napas. Sudah dua truk besar lewat di depannya. Selepas subuh biasanya jalan raya memang sudah ramai dengan mobil-mobil pengangkut barang dagangan. Kali ini sebuah mobil pick-up. Tanpa diminta mobil tersebut berhenti persis di depan Karti. Perempuan itu layaknya rambu merah menyala, menyetop mobil yang lazim untuk mengangkut barang. Bukan manusia. Bibir Karti yang semula terkatup kini terbuka. Agak samar gigi-giginya terlihat. Tertawa lega tanpa ada suara. Bahwa pagi ini ia tidak tertinggal lagi seperti kemarin.

Di belakang kepala pick-up telah duduk enam perempuan. Empat diantaranya lebih muda. Berumur antara tiga puluh tahun hingga tiga puluh enam tahun. Masing-masing Dijah, Romlah, Parni dan Parsih. Sedangkan dua perempuan lainnya sebaya dengan Karti. Namanya Wakijah dan Aminah.

“Ayo, Yu Karti, cepet naik! Nanti keburu terang,” seru seorang perempuan berkulit sawo matang.

“Iya, Jah,” jawab Karti. Tangan kanannya menggenggam tali. Tali itu kemudian ia lilitkan pada galah yang tadi ia sandarkan ke batang pohon beringin yang tegak di sebelah kirinya. Pada ujung galah itu sengaja diselipkan sebuah pisau. Sebelum naik ke badan pick-up, Karti mengulurkan galahnya kepada perempuan yang dipanggil Jah olehnya. Dijah menyambutnya lantas meletakkan galah itu bersama galah miliknya dan milik teman-temannya. Karti naik dengan menenteng kantong plastik yang berisi botol air minum, bekal makan siang dan sarapannya yang belum sempat ia makan tadi. Ia akan memakannya nanti bersama teman-temannya dalam perjalanan menuju hutan.

Karti dan teman-temannya tiba di hutan ketika sinar matahari menerobos celah dedaunan. Berbanjar pohon besar dengan batang bulat lurus menyambut langkah Karti dan keenam teman-temannya. Batang-batangnya lurus, bebas cabang atau jerangkah hingga mencapai dua puluh meteran. Ialah pohon jati. Daun-daunnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan dengan tangkai yang pendek. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya. Bunga majemuk terletak dalam malai besar, yang berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota enam sampai tujuh buah, keputih-putihan. Berumah satu. Buah berbentuk bulat agak gepeng, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji dua sampai empat, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil.

Perempuan-perempuan itu akan beraksi dengan senjatanya. Bukan sebilah pedang ataupun senapan berlaras. Namun, mereka hanya berbekal buluh panjang dengan pisau yang diselipkan pada ujungnya. Untuk menebas daun-daun sumber kehidupan mereka yang sangat berharga. Lembar demi lembar daun penyambung nyawa mereka.

Mentari mulai terik ketika para pemetik daun mulai menjelajah masuk ke tengah hutan. Sebuah rongga hutan kecil nan liar. Hutan yang luput dikelola pemerintah. Setelah menempuh perjalanan dengan jalan kaki berkilo-kilo, kerongkongan Karti terasa kering hampir mencekik lehernya. Karti segera membuka kantong bekalnya. Ia meneguk air putih hingga tersisa setengah botol. Temannya yang lain juga melakukan hal yang sama.

“Yu Karti, sampeyan dengar suara-suara itu nggak?” tanya Romlah setengah berbisik di sela-sela suara tegukan air dan dengung suara mesin.

“Iya, Yu, kayak suara mesin pemotong kayu. Jangan-jangan... “ timpal Dijah diiringi getaran kecil yang diduga dihasilkan dari tumbangnya sebuah pohon.

“Benar, itu memang suara mesin pemotong kayu. Nggak salah lagi kamu, Jah!” sela Aminah. Diikuti pandangan heran dan anggukan kepala perempuan yang lainnya. Mesin itu mendengung lagi.

“Sepertinya di ujung sana.” Tunjuk Karti. “Ayo, kita lihat sama-sama!”

“Nggak salah lagi. Bagaimana ini? Tiga pohon sudah ambruk. Bagaimana kalau mereka menebang semua pohon? Kita kasih makan apa anak-anak kita?” lanjut Aminah panik melihat tiga buah gelondongan kayu yang terbaring beku, menangis karena tercerai dari akarnya yang tak berdaya.

“Siapa tiga laki-laki itu ya? Menurutku mereka bukan orang asli sini. Mungkin mereka orang kota ya, Rom?” terka Dijah diikuti kepala Romlah yang mengangguk mengiyakannya.

Teman-teman Karti sibuk mengomentari apa yang mereka lihat. Sementara itu Karti terpaku melihat salah seorang dari tiga laki-laki asing itu. Laki-laki yang sedang memeriksa tiap gelondongan kayu yang telah terpisah dari akarnya. Tidak salah lagi. Tanpa sadar senyum Karti merekah. Meski hatinya bergemuruh keruh. Karti yakin sekali jika laki-laki yang berada di depan matanya itu adalah...

***

Dari pagi hingga pagi lagi. Bagaimana tidak. Selepas subuh ia harus berangkat ke hutan hingga tengah hari baru pulang. Kemudian istirahat sebentar. Selepas ashar ia kembali lagi dan baru pulang ke rumah hingga pukul dua dini hari. Istirahat sebentar, memasak untuk keluarganya lalu setelah subuh berangkat lagi. Begitulah seterusnya.Walaupun demikian letihnya, ia masih bersyukur. Sekarang ia dan teman-teman sesama pencari daun tidak lagi bersusah payah jalan kaki untuk sampai ke hutan seperti yang pernah dijalani oleh Karti kecil dan ibunya. Mereka menyewa sebuah mobil pick-up yang saban hari mau antar-jemput ke hutan. Per harinya paling tidak Karti harus mendapatkan seribu lembar daun jati. Setelah itu ditata dan diikat dengan tali untuk dijual ke pasar. Satu ikat biasanya dijual seharga tiga ribu rupiah. Per ikat biasanya berisi 30-35 lembar. Biasanya rata-rata dalam sehari terjual 50 ikat. Jika dikalikan berarti rata-rata mendapat 150 ribu per hari. Itu masih dikurangi transport mobil pick-up saat mengantar ke hutan dan ke pasar. Jika ditotal Karti bisa meraup 70-80 ribu per hari. Namun untuk mengantongi uang sejumlah itu ia harus benar-benar bekerja keras dan rela jarang bertemu dengan keluarganya. Kendati demikian Karti sangat khawatir akhir-akhir ini penggunaan daun seratus persen digusur oleh keberadaan kertas maupun plastik yang mulai merajai pasar. Di sisi lain penggunaan daun jati masih kalah pamor dengan daun pisang. Daun jati dianggap kuno dan kurang fleksibel.

“Ti, Ti, daun jati itu sudah kuno. Nggak elegan. Aku udah pesan kotak nasi yang cantik. Ada hiasannya juga lho, Ti. Jadi maaf aja ya, Ti. Mulai sekarang aku berhenti langganan daun jatimu,” ujar Bu RT yang dulu biasa langganan daun jati pada Karti tiap mau hajatan.

“Nggak ilegal ya Bu?” desis Karti manggut-manggut menirukan kata yang telah disebut Bu RT tadi. Bu RT cengar-cengir mendengar Karti salah menirukan kata “elegan”.

Dewasa ini orang-orang memang lebih suka mengkonsumsi segala sesuatu yang instan. Dari segi bungkus hingga isi makanan itu. Untuk pembungkus misalnya, mereka lebih memilih plastik, kotak kardus, aluminium foil, kertas minyak, stereofoam dan masih banyak lagi jenisnya. Ironisnya kulit-kulit binatang yang tidak halal andil juga untuk pembungkus makanan instan. Benar-benar mengerikan. Diakui memang produk-produk tersebut memang lebih praktis dan cepat. Namun, mereka tidak menyadari sampah-sampah yang dihasilkan dari produk-produk tersebut. Karti sudah tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Ia juga sedih memikirkan penebangan hutan secara liar marak terjadi belakangan ini. Hal itu membuat Karti dan teman-teman harus bekerja ekstra untuk mencari dan mengumpulkan helai demi helai daun jati. Sebab itulah satu-satunya cara mereka untuk bertahan hidup.

Karti dan daun-daun jati memang tidak pernah bisa terpisahkan. Semenjak kecil ia telah berteman karib dengan dedaunan itu. Dari sekedar membantu ibunya mengumpulkan daun jati di hutan dengan jalan kaki berkilo-kilo meter hingga menghitung lembar demi lembarnya untuk ditukar rupiah di pasar. Setelah tumbuh dewasa dan kedua orangtuanya meninggal ia juga masih mengandalkan helai-helai daun itu untuk menghidupi kedua adiknya yang masih kecil. Hingga sekarang, ternyata kehidupannya masih tidak jauh-jauh dengan daun jati. Sebagai orang tua tunggal, ia harus menghidupi Joko anak semata wayangnya. Tak terkecuali dua adiknya Tinah dan Ragil yang masih bergantung pada hasil keringatnya. Nasibnya yang sial tidak membuat Karti menelantarkan keluarganya. Meskipun laki-laki yang ia nikahi telah merusak masa depan dan semua cita-citanya.

Habis manis sepah dibuang. Begitulah kira-kira nasib yang dikandung badan Karti. Karti masih mengingat betul pertemuan pertama antara dirinya dan pemuda kota itu. Pengusaha kayu yang mengaku masih bujang itu telah menawan hatinya. Kartono nama laki-laki itu. Nama yang sekarang masih terukir indah di hatinya. Masih melekat di setiap hembus nafasnya. Walaupun kehinaan selalu mencaci dirinya. Menganiaya batinnya.

Entah mengapa Karti merasa cocok dengan pemuda itu. Apalagi umurnya waktu itu sudah hampir kepala tiga. Tanpa pikir panjang pernikahan mereka akhirnya dilangsungkan dengan sederhana. Pada mulanya hidup mereka sejahtera. Tidak ada penyimpangan ataupun sesuatu yang ganjil. Memasuki satu tahun usia pernikahan mereka prahara itu datang. Saat itu perasaan Karti begitu terharu dan bahagia. Sudah hampir enam minggu ia telat datang bulan. Tubuhnya terasa pegal-pegal. Karti memutuskan untuk pergi ke tukang urut atau ke dukun bayi. Pada saat itu di kampungnya memang belum ada bidan atau semacamnya. Namun sewaktu ia pulang dan tidak sabar ingin membagi sebuah kabar gembira kepada suaminya, ternyata suaminya telah pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit ataupun sepucuk surat. Meninggalkan Karti yang kini telah berbadan dua. Pupus sudah semesta asanya. Entah mengapa pada hari yang sama Karti juga kehilangan adik perempuannya Tinah yang baru berumur delapan belas tahun. Pergi tanpa pamit atau kabar. Seperti hilang ditelan bumi.

***

Perasaan Karti tidak karuan. Buncah oleh setitik rasa yang menyempil jauh di sudut hatinya. Tidak bisa disangkal lagi. Rasa itu masih setia menguntitnya. Meski ia mencoba menepis sekuat tenaga. Bertahun-tahun laki-laki di depannya itu menyulut api kebencian yang membara di matanya. Namun, biar bagaimanapun laki-laki itu adalah seseorang yang kerap dipertanyakan oleh anaknya. Yang hingga kini tak pernah mampu ia jawab. Karti sudah tidak sabar lagi ingin mendengar alasan suaminya mengapa meninggalkan dirinya tanpa jejak. Mengklarifikasi kabar yang pernah berhembus di masyarakat. Bahwa sejatinya Karti adalah istri kedua, istri simpanan, atau apalah mereka menyebutnya.

Karti memberanikan diri melangkah menghampiri tiga laki-laki di seberang. Teman-teman Karti hanya mengekor di belakang. Tak ada salah satu pun dari perempuan itu yang protes. Kelihatannya mereka sama sekali tidak mengenali sang pengusaha kayu yang bertahun-tahun lalu pernah tinggal di desa mereka. Mereka pangling. Karto yang sekarang, gemuk dan terlihat tua. Gurat-gurat di wajahnya jelas terlihat. Kulitnya yang dulu bersih kini agak legam. Jauh sekali dengan dulu ketika masih muda.

“Mas Karto?” seru Karti tanpa mempedulikan bisik-bisik temannya. Orang yang dipanggil terkejut dan menoleh. Teman-teman Karti saling berpandang-pandangan.

“Mas, masih ingat aku?” tanya Karti. Muka Karto merah padam. Ia tidak mungkin melupakan perempuan yang ada di depannya itu.

“Siapa, Yu? Yu Karti kenal dia?” bisik Dijah di telinga Karti. Karti mengabaikannya. Ia lalu menghampiri lelaki itu. Karto tetap membisu.

“Mas, mau menengok anak kita? Kenapa dulu Mas tinggalkan aku begitu saja? Jelaskan padaku, Mas!” Kesal Karti mengguncang-guncang bahu suaminya.

Karto menepis tangan Karti dengan kasar. Karti tidak mau kalah. Ia mencengkeram lengan Karto dengan sekuat tenaga. Pada waktu yang sama muncullah seorang anak perempuan dan seorang wanita muda. Si bocah yang kurang lebih berusia enam tahun itu dengan riangnya berlari membawa boneka panda. Diikuti wanita cantik yang kira-kira berumur seperempat abad. Keduanya menghampiri Kartono.

“Mas Karto, ada apa, Mas?” tukas wanita muda itu yang ternyata sangat dikenali Karti. Perlahan Karti melepas cengkeramannya demi melihat wanita muda tersebut.

“Yu Karti, maafkan aku!” Isak Tinah yang langsung ditarik kasar oleh Karto. Tinah ingin sekali menjelaskan semuanya. Tentang semua kebohongannya dan kebejatan Karto yang telah ia ketahui. Sebenarnya Karto memiliki banyak istri di kota. Waktu itu Tinah diiming-imingi sebuah pekerjaan di kota. Karto bersedia mengantarnya dengan syarat tidak mengatakan hal ini pada kakaknya. Namun apa yang terjadi sungguh menyakitkan. Tinah sama sekali tidak keberatan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tapi ia tidak bisa terima menjadi pembantu rumah tangga istri-istri Karto di kota. Betapa remuk hatinya. Ia harus bilang apa sama Yu Karti, kakaknya. Ia sama sekali tidak diperbolehkan pulang. Buntutnya Tinah dipaksa Karto untuk menjadi budak seksnya. Begitu juga perlakuan dari istri-istri Karto yang kasar. Tinah benar-benar disiksa lahir batin.

Ketiganya pergi meninggalkan Karti tanpa sepatah kata. Tanpa sepengetahuan Karto, Tinah menyelipkan sesuatu dalam genggaman Karti yang langsung digenggam erat Karti. Salah satu anak buah Karto menghampiri Karti dan teman-temannya.

“Kalian mau ngapain di sini!” bentak anak buah Karto. “Kalian siapa? Hutan ini telah dibeli oleh Pak Tono. Jadi kalian tidak boleh seenaknya mengambil apapun di sini. Ambil ini, dan jangan pernah menginjak tempat ini lagi.” Ketus anak buah Tono seraya menghamburkan uang ratusan ribu ke muka Karti. Lalu beringsut meninggalkan perempuan-perempuan pemburu daun.

“Mas Kartooooo...” teriak Karti ingin mengejar langkah Kartono dan Tinah yang semakin mengecil. Karti melihat Tinah menengok ke belakang. Teman-teman Karti mencoba menahannya.

“Sudahlah, Yu, sabar, ikhlaskan saja. Ayo kita pulang,” bujuk Dijah.

“Tinah, adikku.” gumam Karti. “Ti.. Ti.. Tinaaaah... Mas Kartooo... tunggu...!” pekiknya lagi hingga wajahnya panas memucat. Dibukanya kertas itu dengan putus asa. Karti buta huruf. Satu per satu teman Karti disodori lipatan kertas itu. Aminah, Wakijah, Romlah, Parni, dan Parsih geleng-geleng kepala. Mereka sama sekali tidak pernah mengenyam bangku sekolahan. Satu-satunya harapan adalah Dijah.

“Jah, tolonglah aku.” Karti memelas.

“Akan kucoba, Yu,” sahut Dijah disambut binar di wajah Karti. Dijah memang sempat sekolah hingga kelas dua SD. Setelah itu orangtuanya tidak mampu lagi membiayainya.

Dijah mulai mengeja pelan huruf demi huruf pada kertas di tangannya. Kadang-kadang Karti membuat jeda untuk menahan air matanya. Menata hatinya. Membuat Dijah lupa sampai baris berapa ia mengeja. Lalu berkali-kali Dijah mengulangi deretan huruf yang sebenarnya tadi sudah ia baca. Karti terisak ketika Dijah mengakhiri surat itu. Dan galah-galah bambu itu seakan murka dan tiba-tiba terlepas begitu saja dari tangan-tangan kokoh para perempuan pemburu daun jati. Pisau yang terselip di antara ujung-ujungnya dengan lihai menebas satu persatu pucuk-pucuk daun jati dari rantingnya. Merontokkan semua daunnya tanpa tersisa. Daun-daun jati luruh berguguran dari pohonnya. Beterbangan menyapu uang-uang kertas yang berserakan di tanah. Melumat Karti dan keenam temannya. Batang-batang pohon tumbang di mana-mana. Lekap-lekup membahana. Perlahan pandangan Karti memudar. Pohon-pohon jati itu tiba-tiba berebut memeluk tubuhnya yang lunglai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar