Sabtu, 31 Juli 2010
Cantik
"Sebenarnya kita mau ke mana, Ki?"
Kiki hanya diam seribu bahasa. Diacuhkannya semua pertanyaanku sehingga aku bertanya lagi, entah untuk keberapa kalinya.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, La..."
Entah mengapa perasaanku jadi kurang enak. Aku yakin, Kiki tidak akan mungkin membawaku ke tempat yang aneh-aneh. Tapi dia akan membawaku ke mana? Masih menjadi sebuah pertanyaan yang besar.
Sesaat kemudian ia memarkirkan motor vario-nya ke tempat parkir motor.
Aku terkejut bukan main.
"Kiki. Apa yang akan kamu lakukan?"
Menanggapi pertanyaanku Kiki hanya tersenyum simpul.
"Ayo masuk ke dalam, La!"
Aku menunduk. Mengikuti semua titahnya.
Memasuki sebuah tempat yang asing, meski aku telah beratus kali melihatnya, membuatku sedikit canggung dan kaku. Terlebih aku memang awam sama sekali dengan tempat ini atau tempat lain sejenisnya.
"Saya mau konsul dengan dokter Denok. Bisa, Mbak?"
Seorang resepsionis melayani dengan ramah. Kulitnya yang putih mulus membuatku berpikir. Benarkah ia seorang pegawai resepsionis di tempat ini?
"Ada. Silakan ambil nomor antrian dan menunggu di waiting room..."
Klik. Pegawai itu menyerahkan kembali kartu member Kiki.
Kekagumanku tidak berhenti sampai di situ. Saat di waiting room pun aku bertemu dengan orang yang rupawan, jumlahnya kira-kira sekitar sepuluh orang. Dengan santai Kiki mengambil duduk di ujung sudut ruang, berdekatan dengan kolam ikan.
"Sambil menunggu kita bisa pesan sesuatu, La. Kamu mau apa?"
Aku bingung. Semua nama makanan atau minuman yang berada di buku menu sama sekali tak pernah kudengar. Mataku memandang mulai dari nama makanan hingga minuman. Pasrah! Hingga akhirnya aku menemukan nama sebuah minuman yang pernah aku dengar: Orange Juice! Hanya itu kira-kira. Tapi, tunggu dulu! Kuarahkan bola mataku ke sisi kanan menu. Sebuah label harga yang menurutku lumayan gila!
"Ki, apa aku tidak salah lihat. Harga orange juice saja empat puluh ribu?"
"Ini tempat berkelas, La. Mau air putih ya? Kalau air putih harganya cuma dua puluh ribu!"
Aku mengernyitkan dahi. Itu sudah cukup untuk uang makanku selama satu hari.
"Tenang, La! Aku yang akan membayarnya!"
Kini giliran Kiki untuk memeriksakan diri. Tidak seperti kebanyakan pasien yang akan menemui dokter pada umumnya, dia malah tertawa sumringah.
"Mbak tidak ikut masuk?"
Mataku terperanjat. Seorang ibu bertanya padaku. Kira-kira usianya sekitar empat puluhan tahun.
"Ah tidak Bu. Saya hanya mengantar..."
"Kenapa tidak ikut? Bagus loh perawatan di tempat ini! Pengeluaran yang kita lakukan impas dengan hasil yang kita terima! Hehehe..."
"Oh..." Gumamku.
"Tiga bulan yang lalu saya melakukan micro abrasion. Hasilnya lihat sendiri..."
Ia menunjukkan kulit wajahnya yang nyaris tanpa noda dan bintik hitam. Mulus.
"Mumpung masih muda rawat baik-baik wajah kita. Ketika tua kita akan tahu bagaimana hasilnya. Coba Mbak pikir baik-baik. Apa yang harus dilakukan nenek-nenek agar kerutannya hilang?" Ia bertanya padaku.
Kali ini tatapannya lebih serius. Mengamati semua bagian dari wajahku. Rasanya aku ingin menutup wajahku dengan majalah atau kerudung.
"Sayang sekali jika seusia Mbak ini jerawatan. Apalagi sampai menumpuk seperti tumpukan sampah!"
Kuraba dengan hati-hati. Sebuah ganjalan yang selalu menggangguku saat aku sujud. Rasa senut-senut itu tidak bisa lenyap. Bulatan itu makin bundar dan membesar. Makin menjadi-jadi malah. Sret, kututup jerawat yang sudah seminggu bersarang di keningku dengan kerudung.
"Banyak sekali masalah wanita yang berkaitan dengan wajah. Maka dari itu saya rajin ikut produk dan perawatan baru..."
Aku hanya manggut-manggut.
"Selain itu, Mbak...." Tiba-tiba terputus kata-katanya. Membuatku makin penasaran,
"Biar yang di rumah tidak main mata! Itu penting lho, Mbak!"
"Coba tebak. Berapa usia saya?" Ia mencoba mengalihkan ke topik yang lain.
Kali ini aku sedikit memutar otak. Seandainya jawabku meleset sudah pasti aku yang malu. Bisa jadi si Ibu marah padaku.
"Ah, saya tidak tahu, Bu... takut salah!"
Kuteguk beberapa kali minuman berharga selangit itu. Rasanya tak jauh berbeda dengan jus jeruk yang biasa aku beli di ujung jalan kampus. Harganya, jauh berbeda! Cuma tiga ribu perak. Tiga belas kali lebih murah.
"Tebak sajalah!" Ia memaksa.
Akhirnya aku mengalah. Bismillah...
"Tiga puluh delapan!"
Di luar dugaan. Ibu itu tertawa tiada henti.
"Wah, Mbak! Ada-ada saja! Mana mungkin?"
Aku makin bingung. Adakah yang salah?
"Usia saya sudah lima puluh tahun. Heheee."
Untuk kesekian kali ia tertawa lagi. Senyumnya makin berbinar.
☼☼☼
Mataku terbelalak. Pikiranku menerawang. Berusaha untuk mencari sebuah jawaban. Adakah yang salah dengan duniaku selama ini?
Kuraih cermin kecil berbingkai merah. Kupandangi setiap bagian dari wajahku. Mata, alis, bibir, pipi, hingga akhirnya berhenti pada beberapa bagian yang menjadi fokus. Dahi dan daguku. Beberapa jerawat telah duduk rapi dan memerah.
"Duh, kau harus kuhabisi!" kataku.
"Jangaaannn!"
Nania. Tetangga kamarku berteriak.
"Bahaya Mbak Dila! Bisa-bisa jerawatnya makin parah!"
Aku terhenti sejenak.
Kemudian Nania mendekatiku. Dielusnya wajahku.
"Ini wajah yang cantik. Setiap wanita dilahirkan dalam keadaan cantik..."
Bisa-bisanya dia berkata begitu. Bukankah dia dua tahun di bawah angkatanku. Dengan kata lain dia adalah juniorku!
"Jerawat itu muncul karena banyak faktor, Mbak! Bisa karena kita salah kosmetik, alergi atau karena kita malas cuci muka! "
Salah kosmetik, alergi makanan? Apa lagi ini! Mana mungkin orang yang tidak pernah ber-make up salah pakai kosmetik? Kalau tidak pernah cuci muka memang iya.
"Tidak ada salahnya kalau sekali-kali Mbak melakukan perawatan... kalau aku emang nggak sering-sering banget, Mbak!"
"Maksudmu?"
"Ya paling satu bulan sekali. Paling cuma buat facial sama body message treatment saja! Hehe. Sebisa mungkin perawatan lain aku lakukan sendiri, Mbak. Tapi kalau aku sedang di rumah... wah, bisa sebulan empat kali. Mamaku cerewet banget soal penampilan..."
"Oh, begitu..." Kupegang jerawat-jerawatku yang kini mulai muncul lagi.
☼☼☼
"Ini dia Mbak. Salon ini lumayan murah kok. Nggak semahal salonnya Mbak Kiki."
Sebuah salon di gang sempit. Kira-kira hanya berukuran lima meter. Meski begitu pengunjung yang datang lumayan banyak. Sampai-sampai aku harus mengantri.
"Apa keistimewaan salon ini, Na?"
"Mbak lihat saja-lah!"
Benar. Aku mulai mengamati semua kegiatan yang sedang terjadi. Mulai dari facial wajah hingga ibu-ibu paruh baya yang disuntik oleh sesuatu, aku kurang tahu cairan apa yang dimasukkan ke dalam kulitnya itu.
"Kalau yang itu, Na!" aku menunjuk ke arah ibu-ibu yang di suntik tadi.
"Oh itu. Dia lagi di-Botox Mbak. Biar wajahnya tetap mulus. Bebas kerutan."
Mataku terkesima. Apakah tidak sakit menyuntik wajah? Padahal saat ke dokter saja aku ogah-ogahan jika harus disuntik. Entahlah.
"Mbaknya mau perawatan?"
"Tidak." Kataku.
Sejurus kemudian aku merasa ada sesuatu yang janggal. Kuperhatikan baik-baik seseorang yang bertanya padaku tadi. Pakaiannya yang sedikit ketat serta rambut yang berwarna kemerahan saat terkena pantulan cahaya. Tak ada yang aneh.
Tapi tunggu dulu! Postur tubuhnya sedikit kekar. Siapa itu? Aku memasang mata tanpa berkedip. Astaga, ada laki-laki di ruang sempit ini. Ah, bukan! Dia pegawai salon di tempat ini. Tapi mengapa harus laki-laki?
"Na, kenapa ada laki-laki di tempat ini?"
Lugu. Mungkin itu yang ada dibenak Nania. Sambil tersenyum ia menjawab pertanyaanku.
"Itu Jeng Endrah. Pegawai profesional salon ini. Justru salon ini terkenal karena orang itu, Mbak!"
"Endrah. Hmmm... nama yang janggal..." Aku menerka-nerka.
"Nama aslinya Endra. Itu sebelum dia menjadi pegawai salon. Saat itu ia menjadi tukang parkir salon terkenal. Makanya ia banting setir dengan menjadi pegawai salon. Ia mengikuti pelatihan kecantikan dimana-mana. Karena bingung mencari model akhirnya ia menggunakan dirinya sendiri sebagai modelnya. Hasilnya, wajahnya kinclong. Tanpa kumis dan jenggot. Cantik bukan?"
Cerita panjang lebar Nania malah membuyarkan niatku untuk menuntaskan jerawat di salon. Aku merasa jijik. Bagaimana pun wajah adalah sesuatu yang private. Tidak seharusnya disentuh oleh laki-laki. Dengan alasan apapun aku tetap tidak suka!
☼☼☼
"Bagaimana terapi jerawatnya? Kalian jadi ke salon Boncez?"
Ninung cengar-cengir melihat wajahku sayu. Aku diam. Hanya Nania yang masih bercerita panjang tentang pengalamannya yang ditangani langsung oleh ahli kecantikan, Jeng Endrah.
"Pokoknya tidak rugi kalau urusan wajah langsung disentuh oleh ahlinya!" Kata Nania dengan bangga.
"Aku tahu. Beberapa waktu lalu Sofia temanku juga menceritakan Jeng Endrah. Dengan sedikit treatment, semacam facial begitu. Semua bintik hitam di wajahnya lenyap!"
Nania mengerlingkan mata kirinya. Aku tidak bisa menangkap apa artinya sinyal bahasa tubuh itu. Yang jelas malam ini aku hanya ingin di kamar. Sendirian.
☼☼☼
Wajahmu mengalihkan duniaku...
Nyanyian senandung pujian akan kecantikan. Hampir setiap hari Kiki memutar lagu itu di winampnya dengan keras-keras. Mungkin lagu itu begitu mengilhaminya untuk tampil cantik setiap hari.
"Masih bermasalah dengan jerawat-jerawatmu, La?"
Aku mengangguk. Sambil kutunjukkan bentol-bentol yang beranak pinak.
"Kalau kamu nggak suka ke salon. Mending pakai punyaku aja. Aku ada obat anti jerawat. Dijamin aman dan manjur!"
"Betul-betul..." Nania dan Ninung mengamini kata-kata Kiki.
"Baiklah. Aku akan coba!"
Sebenarnya aku tak begitu yakin dengan keampuhan obat jerawat. Merek apapun. Hampir setiap produk anti jerawat yang aku lihat di televisi aku beli dan kucoba. Hasilnya tetap sama. Jerawat tetap bertahan. Bahkan aku menganggapnya makin subur. Seolah tamanan yang dipupuk.
Akhirnya aku jatuh bosan. Menyerahkan jerawat pada waktu dan Tuhan! Cara yang menurutku paling ampuh dan mujarab untuk menghentikan penderitaan tiada berujung ini.
☼☼☼
"Oh, jerawat-jerawatku yang makin hari makin menjadi..."
Sebuah kalimat lagu sendu kunyanyikan. Lirih. Begitu mengena dan syahdu. Sungguh, bentolan kecil ini mengganggu setiap langkahku. Sampai-sampai sholat pun aku tak tenang karenanya.
"Ohhhh...."
Kembali kuhadapkan wajahku dengan cermin kecil berbingkai merah. Tonjolan itu makin membesar dan nampak dengan jelas.
"Makanya jangan memendam sesuatu!"
"Mbak Nila... Kapan Mbak datang?"
Kehadiran Mbak Nila secara tiba-tiba mengagetkanku.
"Pagi tadi. Itu si Kiki lagi sakit. Katanya aku disuruh datang. Tapi nggak boleh ngomong Mama."
"Memangnya Kiki sakit apa, Mbak?"
Segera kusingkirkan cermin dari tanganku. Kembali kurapikan rambutku. Sengaja aku membuat poni agar jerawat di dahi tertutupi.
"Yah, apalagi kalau nggak karena masalah krisis pede!"
Mbak Nila hanya mendesah. Rasanya keadaaan Kiki memang parah. Pantas saja, selama tiga hari ini Kiki tidak keluar kamar. Ia hanya mengurung diri.
"Mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur."
"Nasi? Maksud Mbak apa?"
Air mata Mbak Nila menetes. Matanya memerah. Sembab. Isak tangisnya mulai terdengar. Hanya diam. Itu yang kukerjakan.
"Obsesi Kiki... hiks...hiks..."
Kata-katanya patah. Dengan hati-hati ia melanjutkan.
"Ah, Kiki terlalu terobsesi untuk jadi.... Sudahlah..."
"Mbak Nilaaa.........."
Terdengar jeritan dari kamar Kiki.
Aku luluh. Melihat Kiki pingsan di lantai kamarnya. Wajahnya penuh dengan bentol-bentol merah dan biru. Di rak bukunya penuh dengan berbagai macam kosmetik yang tak kutahu nama dan jenisnya.
Nania dan Ninung saling berpandangan. Sementara Iza hanya diam. Membujur kaku. Ia hanya bisa melihat Kiki dari balik daun pintu.
Nyaris aku pingsan. Tersadar aku masih memiliki sesuatu yang sangat berharga. Kuelus jerawatku dengan penuh kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar