Sabtu, 31 Juli 2010

Aku & Pengemis Tua


Matahari semakin meninggi di petala langit. Sinarnya terasa membakar. Tubuhku sudah terasa panas karena hampir setengah hari aku berada di bawah teriknya. Sungguh sangat melelahkan bagiku bekerja seperti ini, setiap hari harus menengadahkan tangan untuk mencari sesuap nasi agar bisa bertahan hidup.

Kalian pasti berpikir aku seorang pengemis! Tebakan kalian tidak salah. Namun, tak sepenuhnya benar. Setiap hari aku memang mencari uang, tapi bukan untukku. Karena aku sama sekali tak butuh uang, juga tak butuh makan dan minum. Aku bisa bertahan hidup tanpa itu semua.

Kalian sekarang pasti berpikir aku ini manusia atau bukan? Karena tak mungkin manusia tak butuh makan dan minum, karena itu merupakan kebutuhan vital manusia setiap hari!

Oke! Sekarang aku akan memperkenalkan siapa diriku. Karena aku tak ingin membuat kalian terus menebak-nebak. Aku hanyalah sebuah gayung lusuh dari plastik yang tak berharga dan aku bekerja setiap hari untuk seorang pengemis tua, dan ialah majikanku.

Sekarang aku yakin, kalian pasti sudah bisa membayangkan seperti apa sosokku. Dan mungkin di antara kalian ada yang pernah melihatku di pasar, di depan masjid, atau mungkin di halte bus atau di tempat ramai lainnya bersama dengan majikanku, seorang pengemis tua.

Aku juga tak enak, tak memperkenalkan siapa nama majikanku pada kalian. Nama majikanku Pak Sabar. Seperti namanya ia memang benar-benar sabar, tak pernah mengeluh dengan nasib yang menimpanya. Dan karena kalian sudah mengenal kami berdua aku akan melanjutkan ceritaku.

Pak Sabar membawaku berteduh di bawah pohon ketapang yang rimbun yang ditanam pemerintah dipingir-pinggir jalan, dengan tujuan untuk mengurangi dampak global warming. Ia menghempaskan berat badannya ke akar yang menonjol keluar dan bersandar di pohon itu. Kakinya menggelosor lurus. Ia letakkan buntalan dari sarung lusuh yang berisi pakaian bekas yang masih layak pakai di sisinya. Nafasnya turun naik tak beraturan. Keringat membanjiri tubuh ringkihnya, meresapi baju kumal yang ia kenakan. Ia tampak kelelahan.

Pak Sabar melepaskan topi tua yang terbuat dari anyaman purun yang menaungi kepalanya. Sisi-sisinya terlihat sobek tak beraturan, mungkin karena lapuk, hancur sendiri dimakan waktu. Ia kibaskan topi itu ke udara tepat di depan wajahnya, untuk mengusir gerah dan keringat.

Ia tersenyum menatapku, aku pun membalas senyumnya. Ia hentikan kesibukan mengipasi wajahnya, meraihku dan meletakkannya di pangkuannya. Ia meraup uang yang kugenggam, kemudian menghitungnya.

“Satu.....dua....tiga......” sampai koin terakhir. Ia kembali tersenyum, tampak puas dengan penghasilan yang didapat.

“Alhamdulillah....” katanya, lirih. Aku pun senang karena bisa membantunya.

Allahu akbar.... Allahu akbar...! suara azan zuhur terdengar menggema dari menara-menara masjid. Pak Sabar bergegas menyampirkan buntalan ke bahunya. Bangkit, dan tak lupa meraihku. Ia seret langkah kakinya dengan cepat menuju masjid. Aku semakin kagum dengan Pak Sabar, walaupun ia hanya seorang pengemis, namun tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim.

Ia segera mengganti baju lusuhnya dengan sarung dan baju koko yang ada dalam buntalan, yang ia dapat dari belas kasihan orang. Dan menunaikan shalat zuhur berjamaah. Sementara aku menunggu di sudut masjid.

***

Malam semakin larut ditelan gelap. Rembulan seakan-akan enggan berbagi cahaya, hanya sesekali mengintip malu dari balik awan hitam. Mendung. Sebentar lagi hujan. Cahaya kilat sesekali melintasi petala langit. Disambut tawa petir yang menggelegar.

Pak Sabar mempercepat langkahnya, walaupun dengan terseok-seok membawa tubuh ringkihnya. Aku tahu ia tak ingin basah kuyup, dan cepat-cepat mencari tempat berteduh karena langit telah sampai pada titik bosannya menumpahkan titik-titik air yang menjarum. Tubuh tuanya tak akan mampu bertahan terkena hujan, maka ia putuskan untuk berteduh di emperan toko yang ia lewati.

Hujan semakin deras, ditingkahi dentuman-dentuman petir dan kilat yang menyambar, ditambah hembusan angin yang membuat suasana terasa mencekam. Pak Sabar menggigil kedinginan memeluk kedua kakinya, tubuhnya ia sandarkan pada rolling door toko. Ia tahu hujan seperti ini tak akan cepat reda. Maka ia kembali memutuskan untuk tidur di sini malam ini. Tak mungkin mencari masjid dalam kondisi seperti ini.

“Bangun....bangun...!” kudengar suara teriakan nyaring di dekatku. Kubuka mataku. Huff. Cahaya menelisik masuk menerpa mataku. Aku kaget karena hari sudah pagi. Biasanya sebelum matahari terbit Pak Sabar membangunanku untuk menemaninya shalat subuh. Rupanya rasa dingin tadi malam membuat Pak Sabar tertidur lelap dipeluk mimpi. Kupicingkan mataku untuk melihat dengan jelas siapa yang tadi berteriak-teriak mengganggu istirahatku.

“Bangun...cepat bangun...!” orang itu kembali berteriak sambil menyepakkan kakinya ke tubuh Pak Sabar. Wajahnya terlihat sangar dengan kumis melintang di antara hidung dan bibirnya.

“Cepat bangun, pergi dari sini, aku mau membuka tokoku....!” pemilik toko itu mengibaskan tangannya mengusir Pak Sabar dengan aksen yang semakin meninggi.

Pak Sabar bangkit perlahan, ia juga terlihat kaget sama seperti aku. Bukan karena pemilik toko itu mengusirnya, melainkan karena ia melewatkan kewajibannya sebagai Muslim. Namun, aku tahu Pak Sabar pasti membayarnya dengan mengqadhanya. Ia tak ingin meremehkan shalat. Setelah menyampirkan buntalan ke bahunya yang ia jadikan bantal, ia beranjak pergi. Tapi ia lupa membawaku.....

“Hei, Pak Tua! Bawa juga barangmu ini!” seru pemilik toko itu lagi sambil menendang tubuhku dengan kasar sehingga aku terpelanting jauh.

“Jangan coba-coba lagi untuk tidur di depan tokoku....” ancamnya dengan menudingkan tangan ke arah Pak Sabar.

Keterlaluan! Benar-benar keterlaluan pemilik toko ini. Tak bisakah ia bersikap ramah dan menyerahkanku dengan baik. Andai saja aku bisa melawan, pasti kubalas kekasarannya. Eh, kenapa aku jadi marah-marah. Sabar-sabar. Tubuhku terasa nyeri. Pak Sabar buru-buru memungutku. Mengusap-usap, menyingkirkan debu yang menempel ditubuhku. Matanya menatapku sedih, seolah meminta maaf, karena ia lupa membawaku.

Pak Sabar bergegas meninggalkan tempat ini, karena tak ingin mendengar caci-maki dan sumpah serapah. Aku masih bisa melihat pemilik toko itu menatap kami dengan sinis, sebelum berbalik membuka rolling door-nya.

Aku tak tahu ke mana lagi Pak Sabar membawaku, karena memang kami tak punya tempat tinggal, jadi ke mana pun ia melangkah kuharap ia terus membawaku. Kutatap wajah tirusnya yang kian menghitam. Oh, sungguh kasihan aku melihatnya. Membayangkan kejadian barusan, aku jadi teringat peristiwa satu tahun lalu...

“Aku sudah tak tahan lagi hidup bersama Bapak...!” cecar Bu Sabar tanpa menaruh rasa hormat lagi pada suaminya yang baru pulang di pagi ini, mata suaminya kelihatan mengantuk karena bergadang semalaman.

“Maksud Ibu apa?” sahut Pak Sabar datar.

“Aku ingin cerai, aku sudah tak tahan, punya suami yang tiap hari pulang pagi, mabuk, berjudi, atau mungkin selingkuh dengan wanita lain....”

“Jaga mulut kamu! Aku ini suami kamu!” Pak Sabar mulai terpancing emosi, karena kata-kata kasar istrinya, tangannya sudah ia ayunkan ke udara.

“Tampar, Pak! Tampar...!” Bu Sabar malah menawarkan pipinya ke depan, menantang. Namun Pak Sabar urung, apa yang dikatakan istrinya memang benar. Perlahan tangannya kembali lurus ke bawah. Bu Sabar tahu suaminya tak akan pernah sanggup menyakitinya, karena sangat menyayanginya. Tapi yang ia tak tahan dengan kelakuan buruk suaminya, sehingga ia mengambil keputusan ini...

“Bapak bilang suami.....” Bu Sabar tersenyum sinis, tapi lebih bersifat ejekan. “Suami macam apa yang kerjaan cuma keluyuran tak karuan, bisanya cuma menghamburkan uang di meja judi, mabuk tiap malam. Apa ada Bapak pernah memikirkan aku, anak kita. Hah...!” lanjutnya memelototkan mata kepada suaminya. Pak Sabar hanya tertunduk mendengarkan amarah istrinya. Ia malu. Matanya berkaca-kaca

“Apa Bapak pernah memikirkan, bagaimana capeknya aku, mencari uang untuk menghidupi keluarga kita? Aku sudah cukup bersabar menghadapi kelakuan Bapak selama ini...”

“ Jadi Ibu mau berpisah dengan Bapak?” Pak Sabar mendongakkan kepalanya.

“ Iya...”

Pak Sabar berpikir sejenak sebelum mengiyakan. Ia tahu ini adalah keputusan yang berat untuknya. Namun, ia harus segera menjawabnya. Ia tak ingin tetangga di sebelah mendengar pertengkaran ini, karena ia tahu istrinya akan terus berkoar sebelum keinginannya dikabulkan.

“Kalau itu yang ingin Ibu inginkan, baiklah. Tapi izinkan Bapak untuk melihat anak kita...”

“Tidak perlu. Dia masih tidur,” jawab Bu Sabar ketus. “lebih baik Bapak cepat angkat kaki dari rumah ini, sebelum Dhea anak kita melihatnya...” Bu Sabar menudingkan tangannya ke arah pintu. “Dan ingat, jangan membawa barang apapun dari rumah ini, karena dulu Bapak datang ke sini tidak membawa apa-apa!”

Sebenarnya langkah kakinya berat untuk meninggalkan rumah ini, terlebih lagi berpisah dari istri dan anaknya. Ia kembali mematung di halaman, berbalik menatap rumah yang ditinggalinya bertahun-tahun. Sementara Bu Sabar berkacak pinggang di bibir pintu.

“Ngapain lagi Bapak di situ. Cepat pergi...!” Bu Sabar tiba-tiba meraihku yang sedang memperhatikannya bersama temanku, ember dan air, di teras rumah. Namun, sial bagiku. Aku disambitkan ke arah Pak Sabar yang berdiri di halaman. Tubuhku mengenai wajahnya, hingga terdengar bunyi mengaduh kesakitan. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, hingga ia membawaku bersamanya. Meninggalkan istrinya dengan sumpah serapah yang tak karuan. Ia tak ingin istrinya semakin kalap. Masih sempat kulihat seorang anak kecil muncul dari balik pintu. Bu Sabar berlutut di hadapannya. Entah apa yang dibicarakan, detik kemudian mereka berbalik menutup pintu.

Pak Sabar tak tahu harus ke mana, karena ia tak punya keluarga di kota ini. Keluarganya jauh di Kalimantan, tentu ia tak akan bisa pulang karena tak punya uang banyak. Ia terus melangkah dengan hati yang galau, aku terombang ambing di pegangan tangannya.

Tujuh hari sudah kami telantar di jalanan. Sisa uang yang masih tersisa di celananya kini telah habis untuk makan. Hanya dari masjid-masjid kami menumpang untuk tidur. Selama berada dalam masjid, jiwa Pak Sabar merasa tenang. Ia merenung, bahwa selama ini ia tak pernah ke masjid untuk shalat. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia shalat. Ia melupakan akhirat hanya karena mabuk akan kenikmatan dunia. Sungguh ia sangat menyesal. Ia ingin bertobat.

Bibirnya bergetar mengucap kalimat tasbih saat sujud, butiran-butiran penyesalan mengalir membasahi sajadah. Baru kali ini, ia benar-benar merasa dekat dengan Sang Khalik. Dalam doa pun tak henti ia mengulang-ulang pintanya agar dosanya diampuni. Ia juga menyesal atas perbuatannya selama ini terhadap keluarganya, ia tak mencari nafkah, tak memperhatikan istri dan anaknya. Padahal itu adalah kewajiban kepala keluarga.

Ia tak ingin larut dalam penyesalan, biarlah semua itu menjadi pelajaran berharga untuknya. Ia juga harus bekerja untuk bertahan hidup, bukankah bekerja juga ibadah asal niatnya karena Allah. Ia mencoba menawarkan diri ke rumah-rumah untuk memperoleh pekerjaan. Tapi usahanya tak membuahkan hasil. Ia juga mendatangi pengurus-urus masjid untuk menjadi takmir, tapi penolakan kembali terjadi karena masjid yang ia datangi sudah ada takmirnya.

Ia rebahkan tubuhnya di teras masjid, untuk meringankan pegal di kakinya karena telah jauh berjalan. Ke mana pun ia pergi, ia tak pernah lupa membawaku, entah kenapa. Mungkin aku ini dianggap sebagai teman senasib yang sama-sama terusir. Tubuhku juga terasa nyaman saat menyentuh ubin putih masjid. Dingin, itulah yang kurasakan. Aku juga tahu Pak Sabar juga menikmatinya, terdengar dari desahan nafasnya yang nyaman.

“Lapar, Pak....lapar...” sebuah suara mengusik ketenangan kami. Pak Sabar bangkit dari rebahnya. Seorang wanita tua dengan pakaian cumpang-camping dan lusuh, tubuhnya kelihatan dekil, berdiri dengan menengadahkan tangan di hadapan kami.

“Lapar, Pak....lapar...sudah tiga hari belum makan...” lanjutnya lagi dengan mengiba. Pak Sabar sebenarnya kasihan melihat wanita tua yang ada di hadapannya. Tapi apa yang bisa ia berikan, ia pun tak punya apa-apa. Selama ini ia juga bisa makan dari belas kasihan orang lain. Wanita tua itu kemudian menjauh dengan gontai. Pak Sabar memandang dengan iba.

Ia mencoba merebahkan kembali tubuhnya. Namun, belum sempurna rebahnya ia kembali bangkit dengan cepat. Matanya terlihat berbinar, seperti menemukan sesuatu yang berharga.

“Bagaimana kalau aku juga mengemis seperti dia...” lirihnya sambil berpikir memegang dagunya. “Ya, lebih baik aku mengemis, untuk bisa bertahan hidup di kota ini, dari pada aku menjadi pencopet.....”

Ia kemudian menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu ia ingin mengajakku mengemis bersamanya. Mungkin ia telah putus asa untuk mencari pekerjaan yang tak kunjung didapatnya, sehingga ia memutuskan untuk menjadi pengemis. Tapi itu lebih baik daripada mencuri, atau bekerja sebagai orang terhormat, namun hakikatnya tak lebih dari seorang perampok.

“Uhhuuuk...uhhuukkk....” suara batuk Pak Sabar membuyarkan khayalanku. Aku mencoba mengenali sampai di mana sudah Pak Sabar membawaku. Ternyata dekat di halte bus, banyak orang-orang berdiri menunggu bus selanjutnya, ada yang ingin pergi ke kantor, sekolah, dan tempat-tempat lainnya.

Pak Sabar langsung beraksi menyodorkan tubuhku ke hadapan mereka dengan muka yang memelas, agar mereka kasihan mau memberikan sedikit rupiah. Tak sedikit orang yang memalingkan muka, dan mencoba menghindar. Mereka tak tahu, bahwa harta yang ia miliki itu ada hak orang-orang seperti Pak Sabar. Namun, ada juga orang yang berbelas kasihan memberikan sedikit rezekinya. Pak Sabar lantas mendoakannya agar pintu rezeki selalu dibukakan Allah. Ia tersenyum sambil mengamini.

Pak Sabar segera menyingkir, ia tak ingin ditabrak orang-orang yang berebut ke badan besi yang sudah berhenti di depan halte. Sang kondektur berkoar-koar nyaring sebelum bus itu kembali berjalan. Pak Sabar menatapku sambil tersenyum, hanya beberapa rupiah yang ada di genggamanku, namun ia tetap bersyukur.

Di seberang jalan, terlihat dua orang pengemis lain sedang berebut menengedahkan tangan pada orang yang berpakaian parlente. Kelihatannya ia seorang dermawan, terlihat dari besarnya nominal yang diberikan. Dua pengemis itu terlihat sumringah menerimanya. Kemudian berlalu sambil berkata-kata di antara mereka.

Pak Sabar yang melihatnya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, ia ingin mengejar orang yang berpakaian parlente tadi sebelum kembali menaiki mobilnya, dengan harapan juga bisa mendapatkan uang seperti dua pengemis tadi. Ia bergegas menyeberang, matanya hanya terfokus pada orang itu, tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Baru beberapa langkah ia berjalan. Tiba-tiba terdengar suara gesikan keras roda di aspal

Ciiiiiiiiiittt.........duuummmm......! Pak Sabar terpelanting dan jatuh ke aspal, aku terlepas dari pegangannya, tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Darah pekat merembes dari kepalanya dan mengalir sampai ke tubuhku. Tubuhnya terlihat mengejang, mengelepak bagai ayam yang disembelih. Orang-orang seketika berkerumun dengan riuh. Ada yang mencoba membantu, ada juga yang sekadar melihat. Seorang wanita dan anak kecil perempuan menyeruak ke depan. Aku mengenalnya. Itu Bu Sabar dan Dhea. Setelah melihat orang yang terkapar, matanya terlihat membulat dengan raut wajah kaget, kemudian menarik tangan anaknya keluar dari kerumunan. Masih sempat kudengar gumaman mereka..

“ Ibu...Ibu... itu tadi kan Ayah...”

“Ayahmu bukan seorang pengemis..... ayahmu sudah lama meninggal....”

Dhea masih mencoba memandang ke arah kerumunan, matanya terlihat berkaca-kaca, tarikan keras ibunya memaksanya untuk terus menjauh. Kasihan sekali Pak Sabar, bu Sabar benar-benar membencinya, bahkan saat Pak Sabar yang sedang menghadapi sakaratul maut, Bu Sabar tetap tak peduli. Padahal Pak Sabar telah berubah, namun nasib saja yang membuatnya seperti ini. Hatiku terasa miris melihat ini semua.

Sebuah ambulan membawa tubuh beku Pak Sabar. Keruman orang telah bubar. Yang tersisa hanya pakaian lusuh yang menghambur serta genangan pekat yang memerah, kini aku sendiri tergeletak di pinggir jalan, aku tak tahu apakah nasibku juga akan sama seperti Pak Sabar?

Dari kejauhan kulihat seorang tergopoh-gopoh menuju ke arahku, pakaiannya lusuh dengan keranjang dari anyaman bambu bertengger di belakangnya. Sebilah batang besi kecil di tangannya, dengan ujung setengah melingkar terombang-ambing mengikuti irama tubuhnya. Beberapa saat kemudian aku telah berpindah ke keranjang di belakangnya. Betapa kagetnya aku, ternyata aku bertemu dengan teman-teman baru, namun aneh wajah mereka terlihat sedih, tak sedikitpun terlihat senyum. Aku menyesal bertanya kenapa mereka sedih. Detik kemudian aku sama seperti mereka. Sedih. Kami akan dihancurkan dan dilebur untuk dibuat sosok baru. Ternyata nasibku lebih tragis daripada Pak Sabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar