Sabtu, 31 Juli 2010

Foto Tua


Laki-laki itu begitu terkejut dan merasa terpukul ketika berhasil dirogohnya sebuah dompet kumal dan meraih sebuah kertas foto yang telah kusam. Sebuah foto hitam putih. Dia tak habis pikir kenapa semuanya terjadi begitu tiba- tiba. Tak sekali pun dia menduga bahwa foto itu akan terdapat pada sebuah mayat yang sekarang berada di depannya.

Dia berusaha memutar otaknya, mengingat-ingat di mana dia pernah menemuinya. Tiba- tiba senyumnya mengembang ketika berhasil mengingatnya, meski harus bersusah payah. Tapi itu hanya sementara mengingat kertas foto yang berhasil ditemuinya dan sekarang telah dipegangnya. Diam- diam matanya mulai memerah. Dia mulai menangis tersedu-sedu. Foto itu adalah foto kecilnya, foto saat dia masih suka hanya pakai celana pendek. Memang gambarnya telah usang, warnanya telah kabur dan terdapat lecet di sana- sini. Mungkin karena sudah termakan masa atau terlalu sering dipeluk dan diciuminya sambil mengalirkan air mata. Tapi siapa yang akan lupa jika itu adalah gambar sendiri?
"Ibu..." desisnya parau.

Ditatapnya kembali mayat itu lekat-lekat. Wajah yang lamat-lamat tak begitu asing baginya. Wajah yang tiba- tiba datang dari masa lalunya. Namun wajah itu telah begitu kaku dan terdiam pasi. Meski tak mengurangi sinarnya yang masih memancar dalam senyum simpul yang tak tersampaikan. Diam- diam dia merasa berdosa karena telah lama meninggalkannya. Tanpa satu kabar pun.

***

Dia baru tahu ketika sebulan yang lalu ada seorang nenek tua dengan baju batik kumalnya, yang sebenarnya sempat menyita pikirannya, di sebuah terminal bis ketika dia menunggu seorang temannya dan berleha-leha di lobi ruang tunggu. Mungkin nenek itu memang sengaja atau mungkin tidak sama sekali ketika harus berlama-lama memutarinya atau mondar-mandir di dekatnya. Begitu pikir. Tak ada yang dilakukannya kecuali hanya mondar-mandir sambil sekilas meliriknya dan sesekali mencari-cari sesuatu di tong sampah yang juga tidak jauh dengannya berada. Kadang-kadang dia merasa lucu ketika nenek itu harus berulangkali mengaduk-aduk isi tong sampah namun tetap tak ada yang berhasil ditemukannya.

Baginya nenek itu hanyalah sebagian orang yang tak begitu berarti, makanya dia tak begitu mempedulikan. Tapi bukan berarti dia tak peduli. Dia memberikan beberapa lembar uang ribuan ketika nenek itu mulai mendekat padanya. Dia tak menolak. Memang harus dia akui bahwa sorot matanya yang kilau begitu menghunjam ketika harus bertatapan. Seperti mata itu hadir dari masa lalunya. Mata yang begitu penuh dengan kasih sayang dan pengertian yang mendalam.

Sejenak dia merasa terpojokkan, seperti diterjang badai yang lama terpendam dan bergemuruh dalam-dalam. Nafasnya terasa terganjal hingga membuatnya terbatuk-batuk dalam, meski tetap dia tahan.

Sesekali dia merasa merinding dan sedikit gentar ketika sorot matanya seperti sedang mengeluarkan lahar kerinduan dan menghujaninya. Meski dia tak tahu untuk apa. Dia tak menemukan cara untuk keluar. Dia betul-betul merasa terpojokkan. Terkadang dia tak mengerti sendiri, kenapa harus tertunduk pada seorang gembel dan kenapa harus timbul perasaan aneh. Padahal menurutnya tak ada hubungan apa di antara mereka. Tapi jujur saja, diam-diam dia sebenarnya mulai penasaran. Sekilas mata itu seperti mata ibunya–yang telah begitu lama ditinggalkannya. Mungkin sejak kecil-yang tiba- tiba hadir dan memanggil-manggilnya. Itulah sebabnya dia tak mau beranjak dari tempat duduknya seandainya teman yang ditunggunya tak segera datang dan memanggilnya sambil langsung nimbrung di sampingnya. Dia terkejut.

"Maaf membuat kamu menunggu lama."

Yang disapanya hanya terdiam dan memalingkan pandangannya dari nenek itu. Dia tersenyum simpul sambil berusaha mengambil nafas sedalam-dalamnya, berusaha mengusir penasaran dalam benaknya, lalu menghempaskannya kuat-kuat. Dia menyambut uluran tangannya itu dengan pikiran masih kosong.

"Kita langsung ke rumahmu?"

Sebelum dia berhasil menjawab pertanyaannya, tiba- tiba seperti ada pikiran baru yang melesat dan merasuki benak temannya itu. Tanpa menunggu jawaban dia langsung nyerocos kembali tanpa memperhitungkannya lagi.

"Bagaimana jika kita mampir ke warung dulu, kayaknya perutku sudah lapar ne. Lagi pula kan aku bisa menikmati sebagian kotamu sebelum kita sampai. Katanya pecel di sini nikmat lho."

Seperti dia sudah tahu betul kota itu dan nasi pecel khasnya. Dia hanya tersenyum. Lantas mau apa lagi kan dia tak minta pertimbangan? begitu pikirnya.

"Okelah."

Kembali dia melirikkan sudut matanya ke arah nenek itu yang sudah mulai sibuk membalik-balik sesuatu. Darahnya kembali mendesir ketika mereka sempat kembali bertatapan.

"Ah, tak mungkin," desisnya lirih. Ibuku tak seperti dia. Dia mencoba menghibur dirinya yang tiba-tiba merindukan dan merasa bersalah kepada ibunya.

Dengan secepat kilat mereka berkelebat mengendarai motor bermerek Honda keluaran terbaru itu. Setelah selesai makan, mereka langsung pulang. Di rumah kembali bayangan nenek itu berkelebat seperti halimun yang begitu cepat dan menghantamnya. Setelah mengantarkan temannya kembali ke terminal, saat kunjungannya untuk melepas rindu telah usai dan hendak pulang, tiba- tiba dia melihat nenek itu kembali dengan tatapan yang meledak-ledak seperti hendak menerkam. Senyumnya mengembang meski agak sumbing. Kembali dia tergeragap dan hampir terbatuk karena pernafasannya yang tersendat.

Sepertinya nenek itu bangun dari duduknya di tepi jalan di bawah rindang naungan pohon asam. Dia ingin mengejarnya sambil sesekali dia melihat kertas lusuh yang berukuran empat kali enam yang baru kemudian hari dia ketahui, itu adalah dirinya. Namun dia telanjur jauh dibawa lari motornya di antara para pejalan, angkot, dan pengendara mobil pribadi. Sesekali di liriknya dari kaca sepion yang berdiri kokoh di antara sisi- sisi kemudinya. Nenek itu telah mengecil seperti menjongkok melepas lelah dan menahan ketuaannya. Sebenarnya ingin dia berhenti dan kembali tapi ada pikiran lain yang melarangnya.

"Sudahlah dia kan bukan apa-apa kamu. Pekerjaanmu lebih penting!"

Sekilas dia kembali teringat pada ibunya, jauh di pedalaman sana. Seorang ibu yang begitu saja ditinggalakannya tanpa memberi kabar sedikit pun. Entah apakah beliau masih ada. Dia mendesah pasrah. Dia hanya begitu merasa berdosa ketika harus meninggalkannya tanpa kabar apa pun ketika hidupnya mulai berbahagia. Ketika Suminah, telah menjadi istrinya. Ketika pada saat itu usahanya mulai berbunga. Entah gengsi atau terlalu sibuk. Dia juga tak tahu pasti. Pada saat itu dia cuma tidak mau mengingat asalnya. Namun sekarang bayangan itu kembali berkelebat seiring tatapan tajam nenek itu. Galau bercampur rindu.

Dia kembali mengebut sepedanya meski tetap ada rasa yang sulit dia tebak pada nenek tua itu. Memang sebagai pengusaha, dia sibuk. Apa lagi akhir- akhir ini ada banyak permintaan yang baru dari kliennya dan otomatis harus segera ditanggapi jika usahanya tak ingin bangkrut. Jam di tangannya sudah menunjukkan pada angka sembilan, yang artinya rapat sudah hampir dimulai. Mungkin sudah banyak yang datang dari tim manajer dan stafnya.

***

Sebenarnya malam itu dia ingin istirahat total. Dia ingin melepas penat dan lelah sehabis rapat tadi siang di kantornya. Beberapa masalah menyangkut kelanjutan jalannya perusahaan telah dia selesaikan meski memakan banyak waktu dan pikiran . bayangan nenek itu kembali datang seperti memberondong dan menodong. Dia mengingat- ingat nenek itu lekat- lekat, seperti dia memang pernah begitu akrab. Tapi kapan? Pikirannya terus diperasnya. Apakah dia ibuku? Dia mulai bimbang.

"Sudahlah...istirahat saja dulu, Mas."

Dia terkejut melihat istrinya telah berada tepat di sampingnya. Sepertinya dia memang telah menangkap gelagatnya dan keruh raut mukanya yang mulai tadi menyinggahiya. Dia berusaha tersenyum namun masih terasa hambar. Mungkin dia telah betul- betul memikirkannya. Mata itu semakin membesarkan rindunya. Ya, rindu pada sosok yang telah lama di tinggalkannya. Dia hanya melirik istrinya yang sedang menyandarkan tubuhnya pada senderan sofa. Sejenak montok payudaranya yang hanya terbalut baju tidur longgar dan tipis itu membuatnya bergairah namun nenek itu kembali mengganggu pikirannya. Seperti dia sedang memanggil-manggil dirinya.

"Jangan terlalu banyak pikiran, Mas. Besok kan hari Minggu jadi libur. Lebih baik kita manfaatkan waktu lowong itu untuk bersantai. Dan sekarang sepertinya mas terlalu capek. Lebih baik kita tidur saja."

Mata bertemu mata dan pandangan berburu pandangan. Menghunjam dan saling berlarian. Berebutan memasuki sebuah alam dalam bening mata masing-masing. Dia raih kepala istrinya yang terjuntai di sandaran. Sekejap kilat dikecupnya kening istrinya itu. Dia tersenyum dan istrinya pun juga tersenyum. Sejenak dia rebahkan kepalanya ke dada suaminya sebelum akhirnya direnggut oleh suaminya dan dengan segera dia telah berdiri di depannya. Dengan penuh rasa tanya dia memandang mata suaminya.

"Malam-malam begini mau ke mana, Mas?"

"Aku masih ada urusan yang belum terselesaikan."

"Urusan kantor?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Sudahlah nanti saja."

Istrinya terdiam patuh. Hanya sesekali dia menggigit bibirnya sendiri, khawatir akan terjadi sesuatu dengan suaminya. Apa lagi dia kan masih payah. Itu terlihat jelas dari kedua matanya yang keruh dan merah. Bukan marah tapi kurang tidur saja. Dia mengajukan untuk menemaninya. "Tidak usah," jawabnya tegas. Sempat dia bingung terhadap dirinya sendiri, kenapa dia harus keluar, kenapa dia harus memikirkan nenek itu pula, padahal lebih baik tidur di rumah bersama istrinya. Sesungging senyum tertancap lekat- lekat di kedua bibirnya. Dia kembali teringat mata itu. Ya, mata masa laluku. Mata yang telah sekian lamanya ku sia-siakan. Pikirnya.

Udara begitu dingin menyengat kulitnya yang sedikit meriang, tapi tak begitu tajam mengingat jaket kulit hitamnya yang membalut tak begitu lekat pada tubuhnya yang sedang. Dia tarik motornya agak santai. Pelan-pelan. Matanya sibuk menyapu sekitar dan trotoar. Saiapa tahu dia akan ketemu nenek itu di sana. Tuhan memang seniman yang tak terduga1. Di sebuah jalan menikung, tepatnya jalan yang tak begitu dapat penerangan. Sesosok tubuh terkulai tepat di atas aspal pinggir kiri jalan.

Sebenarnya agak keder juga berhenti di sana, apa lagi suasananya malam hari yang tak menutup kemungkinan sebuah pancingan perampokan, seperti yang sering terjadi akhir- akhir ini. Tapi melihat batik yang membalut tubuhnya yang sekejap terkena sorot lampu sepedanya tadi, dia jadi bimbang dan akhirnya berhenti juga di sana.

Didekatinya pelan-pelan tanpa menghilangkan kewaspadaan. Namun beberapa meter sebelum akhirnya dia sampai, dia melihat darah yang berceceran. Segera dia hampiri dengan setengah berlari. Betul dia korban tabrak lari. Hampir saja dia berteriak ketika diketahuinya nenek itu tak lagi bernafas kasar. Dia sudah meninggal.

"Ibu!!!"

Dia kembali memanggil nama yang telah lama dia tinggalkan. Nama yang karena keegoisannya dia tinggal sendiri di sebuah kampung jauh di sana. Dan ternyata tanpa dia sadari Tuhan telah mempertemukannya kembali, meski tak dapat lagi dia melihat senyumnya. Di sini. Di sebuah jalan menikung yang tak ada orang mengetahui. Sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar