Selasa, 27 Juli 2010

The Painter Lady (Part 3)


Part 3
Cerita Dari Masa Silam

China. Dinasti Tang.
Tahun ke-8 pemerintahan Kaisar Gaozhong. Tahun 658 Masehi.

Dua puluh tiga tahun sebelum pertemuan segitiga Zhang Rui, Yingying dan Biarawati Huiqing di Kuil Awan Terang. Di sebuah taman rumah mewah di bilangan Chang’an, dua orang pria paruh baya bermain xiangqi.

“Zhao Ji, kau jangan sengaja mengalah satu biji dariku. Aku tadi sudah menghitung. Aku memberimu keuntungan dua biji. Jadi kali ini kau pasti menang.”

Pria yang bernama Zhao Ji itu tertawa terkekeh-kekeh. Dia mengelus janggutnya yang putih sambil berujar, “Memang sulit berkelit dari ahli strategi. Kau telah mengaturnya sejak dari awal.”

Temannya yang juga telah beruban dan berjanggut putih mendengus. “Sebab kau selalu tampak bodoh padahal sesungguhnya kau bisa mengalahkanku.”

Zhao Ji tertawa terbahak-bahak, “Baik. Baik. Aku sungguh beruntung punya teman baik sepertimu. Jendral Zheng Yue yang hebat, setia kawan namun tidak arogan.”

Kedua pria itu sama-sama tertawa. Mereka membubarkan biji-biji xiangqi dari papan catur. Zhao Ji menghitung biji xiangqinya. Zheng Yue memperhatikan ketelatenan sahabatnya seraya bergumam,

“Kau sungguh orang yang telaten. Juga memegang teguh prinsip. Sudah enam tahun kau sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di istana lagi.”

Zhao Ji memandang Zheng Yue dengan suram. “Aku tak akan pernah menginjak istana meski Yang Mulia Kaisar sendiri memanggilku – jika wanita itu masih di sana!” Dia lalu lanjut menghitung biji xiangqi

Zheng Yue mendesah. “Semua orang tahu kalau Yang Mulia tergila-gila pada wanita itu hingga mengangkatnya sebagai permaisuri. Sekarang jika Yang Mulia sakit, wanita itulah yang melaksanakan tugas-tugasnya.”

“Tunggu saja setelah Yang Mulia wafat. Wanita itu akan mengumumkan dirinya sebagai Kaisar Wanita!”

“Hus! Kau tak boleh bicara seperti itu. Seberani-beraninya Permaisuri Wu, dia tak akan pernah melanggar peraturan yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Sejak dahulu, Kaisar hanya boleh lelaki. Mana ada wanita yang bisa menjadi kaisar?”

“Dia sanggup membunuh anaknya sendiri. Mengapa tak bisa mengangkat dirinya sebagai Kaisar Wanita jika Yang Mulia mangkat?”

“Tapi, harus kuakui, Permaisuri Wu sebenarnya administrator yang hebat, saudaraku. Dia menghormati pejabat yang kompeten dan berusaha bertindak adil. Kurasa dia wanita yang memiliki kemampuan pria dalam memimpin.”

“Huh! Tunggu saja setelah beberapa tahun nanti. Para pejabat kompeten itu akan disingkirkannya. Yang menentangnya akan dibunuhnya .Dan seluruh pos penting dalam pemerintahan akan diisi sanak keluarganya!”

Zhao Ji terdiam dan tak mau melanjutkan perdebatannya dengan Zheng Yue. Kedua orang ini telah bersahabat sejak usia muda. Meski keduanya lalu berkarir di tempat berbeda - Zheng Yue di militer dan Zhao Ji di akademi seni rupa kerajaan, keduanya tetap berhubungan baik. Hanya saja belakangan, keduanya berselisih paham mengenai Permaisuri Wu, istri kedua Kaisar Tang Gaozong.

Zheng Yue mulai pro Permaisuri Wu. Zhao Ji sebaliknya. Dia termasuk salah satu pejabat yang menentang Kaisar Gaozong mengangkat Selir Wu sebagai Maharani menggantikan Permaisuri Wang yang dieksekusi. Kaisar tak mengindahkan keberatan para pejabatnya sehingga sebagai bentuk protes, Zhao Ji mundur dari posisinya sebagai guru besar di akademi seni rupa kerajaan dan bersumpah tak akan pernah menginjakkan kaki ke istana lagi.

Sejak mundur dari jabatannya, Zhao Ji tinggal di rumahnya dan menjalani hari-hari tuanya. Sesekali, dia tetap gusar bila mengingat protesnya yang dibaikan Kaisar Gaozong dulu. Panggilan dari istana berkali-kali datang di kediamannya. Tapi Zhao Ji tetap bersikukuh pada sumpahnya untuk tidak masuk istana selama Permaisuri Wu masih menjadi Maharani. Dan Zheng Yue, telah berkali-kali datang berkunjung serta berusaha membujuknya berubah pikiran. Tapi gagal.

Suasana selalu menjadi agak kisruh jika keduanya membicarakan Permaisuri Wu. Untunglah hari itu, seorang anak perempuan berusia enam tahun berlari-lari memasuki taman sambil membawa layang-layang berbentuk ikan mas di tangannya.

“Kakeeeek…,” seru anak perempuan itu. Dia menghampiri Zhao Ji. Menggelayut manja di lengan pria itu sambil menunjukkan layang-layangnya.

“Kakek, lihat!” kata anak perempuan itu dengan suara beningnya. “Aku telah selesai melukis layang-layangmu.”

Wajah Zhao Ji yang tadinya keras, melunak melihat anak perempuan itu. Dia mengelus kepalanya dan mengamati layang-layang di tangannya. Layang-layang ikan mas itu dilukis amat elok dengan warna-warni cerah: merah, kuning dan sedikit bercak hitam di beberapa sisi.

“Hm, hasilnya memang bagus. Ziwei memang cucuku yang pintar,” puji Zhao Ji.

Anak perempuan itu tersenyum puas. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Zhao Ji. Melihat keakraban itu membuat Zheng Yue agak iri.

“Ah, seandainya saja aku punya cucu perempuan secantik dan sepintar Ziwei, hari tuaku pasti lebih berwarna,” keluh Zheng Yue. “Tapi yang kupunya justru dua cucu lelaki yang tak berguna.”

“Kau tak boleh mengatakan kedua cucu lelakimu tak berguna,” tegur Zhao Ji. “Bagaimanapun, anak lelaki adalah pelanjut nama keluarga. Apalagi cucu pertamamu, Zheng Yun. Dia anak yang cerdas dan berbakat. Suatu hari dia akan menjadi pejabat Wu yang cemerlang seperti Kakek dan Ayahnya.”

Zheng Yue mendesah. Dan Zhao Ji bisa memahami perasaannya. Zheng Yue adalah pejabat Wu-militer. Saat ini dia adalah Wakil Perdana Menteri Kiri. Zheng Yue hanya punya seorang putra, Zheng Shao. Dan Zheng Shao punya dua putra dari istri-istri berlainan.

Zheng Yun, putra pertama Zheng Shao dari istri pertamanya tahun itu berusia tiga belas. Dia pemuda yang cerdas, berwajah cemerlang dan patuh kepada orang tua. Menurut Zhao Ji, Zheng Yun kelak akan tumbuh sebagai lelaki sempurna dengan masa depan cerah.

Anak kedua Zheng Shao: Zheng Xing, lahir dari selir. Tahun ini usianya sepuluh tahun. Ketika bayi dia pernah terserang polio sehingga kakinya pincang sebelah. Pertumbuhan Zheng Xing juga terhambat dan mentalnya agak terbelakang. Zhao Ji bukannya mengutuk anak itu. Tapi sulit diramalkan ketika dewasa Zheng Xing akan seperti apa.

Zhao Ji sendiri juga hanya punya seorang putra, Zhao Li. Dan dari putranya itu, Zhao Ji punya sepasang cucu lelaki dan perempuan: Zilong serta Ziwei. Setahu Zheng Yun, Zhao Ji sangat menyayangi Ziwei karena hanya dia satu-satu cucunya yang mewarisi bakat melukisnya. Zhao Li meniti karir di kementerian pajak. Zilong sepertinya akan mengikuti jejaknya. Kedua ayah-putra ini bisa melukis tapi tak serius menekuninya. Hanya Ziwei yang benar-benar berbakat seperti kakeknya.

Zheng Yue mengamati Ziwei yang tengah bercengkerama dengan Zhao Ji. Anak perempuan itu begitu manis dan pintar. Ketika dewasa dia pasti akan menjadi gadis yang sangat cantik dan istri yang baik. Zheng Yue teringat pada cucu tertuanya, Zheng Yun. Kedua anak ini akan cocok bila berpasangan.

“Saudaraku, Zhao Ji,” kata Zheng Yue tiba-tiba. “Tiba-tiba terbesit keinginan dalam benakku untuk menjodohkan Zheng Yun-ku dengan cucumu, Ziwei.”

Zhao Ji terkejut. “Benarkah yang kau katakana barusan?” tanyanya tak percaya. “Ziwei sungguh beruntung jika mendapatkan Zheng Yun sebagai calon suaminya.”

“Jadi kau setuju, saudaraku?” Zheng Yue berharap.

“Tentu saja. Mengapa tidak?”

Perasaan lega memenuhi Zheng Yue. “Baiklah, nanti sekembalinya aku ke rumah, akan kukirim sekeping leontin Zheng Yun kepada Ziwei sebagai tanda pertunangan. Dan untuk saat ini, bolehkan aku meminta layangan itu sebagai ‘barang bukti’ pertunangan dari sini?”

Zhao Ji tertawa. “Tentu saja boleh.” Dia berpaling kepada Ziwei, “Cucuku, berikan layanganmu kepada Jendral Zheng.”

“Kenapa?” Ziwei kecil keberatan karena layangan itu dia lukis untuk kakeknya kini harus diberikan kepada orang lain.

“Turuti saja kata-kata Kakek. Setelah dewasa, kau akan tahu.”

Maka Ziwei pun menyerahkan layang-layangnya kepada Zheng Yue.

***
Tujuh tahun kemudian…

Dinasti Tang.
Tahun ke-15 pemerintahan Kaisar Gaozong. Tahun 665 Masehi.

Sudah dua hari ini Zhao Ziwei bersedih. Dia tak bersemangat melakukan apapun. Wajahnya selalu murung..

Ulang tahun ketigabelasnya baru saja lewat seminggu. Lalu tiba-tiba, kedua orang tuanya memberitahu bahwa dia harus segera bersiap untuk pergi ke rumah keluarga Zheng.

Jendral Zheng Yue adalah sahabat kakek Ziwei, Zhao Ji. Dan saat ini sang Jendral tengah terbaring sakit. Khawatir tak bisa melihat Ziwei lagi sebelum meninggal sementara pernikahan Ziwei dan cucunya masih setahun, Zheng Yue meminta Ziwei mengunjunginya. Itu berarti, Ziwei akan tinggal di rumah keluarga Zheng selama beberapa waktu.

Ziwei tak menyangka kalau layangan yang diberikan kepada Jendral Zheng tujuh tahun sebelumnya merupakan simbol perjodohan. Ziwei juga tidak pernah menduga kalau keesokan harinya, sebuah leontin giok berhuruf ‘Yun’ dikalungkan ke lehernya sebagai tanda dirinya telah terikat pertunangan dengan Zheng Yun, cucu sang Jendral.

“Almarhum kakekmu telah menyetujui perjodohan ini. Oleh sebab itu sebagai cucu yang berbakti, kau harus melaksanankannya,” demikian kata Zhao Li.

“Mulai sekarang kau harus bertindak sebagai wanita dewasa. Jangan kekanak-kanakan lagi. Kau harus belajar menjadi seorang istri yang baik, mengerti?” Nyonya Zhao Li menasihati putrinya.
Perjodohan, pertunangan dan keberangkatan ke rumah keluarga Zheng membuat Ziwei tertekan. Meski dulu sering bertemu dengan Jendral Zheng Yue ketika kakeknya masih hidup, Ziwei sama sekali belum pernah bertemu dengan cucu sang jendral. Keluarganya selalu berkata kalau tunangannya seorang pemuda tampan dan cerdas. Namun tetap saja bagi Ziwei, Zheng Yun itu orang asing.

Keresahan Ziwei semakin menjadi-jadi pada hari keberangkatannya. Hatinya amat berat ketika harus meniniggalkan rumah sehingga sarapannya pun sulit ditelan. Ziwei khawatir dia tak bisa melihat Ayah-Ibunya lagi. Begitu pula dengan kakaknya, Zilong.

“Ayo, makanlah. Kau harus makan yang banyak agar tak terlalu kurus untuk menjadi mempelai,” goda Zilong pagi itu. Sejak dulu dia terkenal suka menggoda adiknya yang dua tahun lebih muda itu.

Ziwei mulai menangis.

“Hei, hei. Kau jangan menangis Ziwei. Kalau kau menangis, matamu seperti persik bengkak dan kau tampak jelek sekali. Calon suamimu akan ketakutan bila melihatmu,” kata Zilong pura-pura serius.

Air mata Ziwei mengalir. Zhao Li terpaksa harus menegur Zilong agar berhenti mengganggu Ziwei.

Ketika akan menaiki tandu, Ziwei kembali terisak dan memeluk ibunya. Di sini, Nyonya Zhao Li juga tak bisa menahan tangisnya karena harus berpisah dari putri semata wayangnya.

“Aku sesungguhnya tak rela membiarkanmu pergi kesana. Tapi, inilah jalan hidup yang akan ditempuh masing-masing anak. Sampai di usia tertentu, kau akan pergi dari orang tua dan saudara-saudaramu untuk merintis jalanmu sendiri.”

Ziwei masuk ke dalam tandu. Keluarganya berdiri di depan tandunya sewaktu tirainya tertutup. Tandu mulai berangkat. Sepanjang perjalanan Ziwei menangis dan baru berhenti di dekat rumah keluarga Zheng.

Sesampainya di tujuan, tirai tandu diangkat dan Ziwei turun. Dia melihat sebuah gapura pualam berdiri kokoh di depan gerbang keluarga Zheng. Ukuran gerbangnya dua kali lebih besar dari gerbang rumah Ziwei. Pintu,atap dan dindingnya pun kelihatan lebih berat serta tebal. Pahatan-pahatan naga, singa-singa dan lukisan-lukisan dewa penjaga gerbang terasa begitu angker.

Dengan perasaan takut-takut, Ziwei melewati gapura dan gerbang sambil menundukkan kepala. Sesampainya di ruang dalam, Ziwei mengangkat kepalanya dengan ragu-ragu. Ada begitu banyak orang berkumpul di halaman keluarga Zheng. Mereka pastinya para pelayan rumah besar itu karena Ziwei bisa mendengar bisik-bisik mereka,

“Ini tunangan Tuan Muda Yun. Coba lihat. Masih muda sekali.”

“Ya, tapi sangat cantik.”

“Dia cucu pelukis Zhao Ji. Kudengar dia pandai melukis juga. Tangannya pasti halus dan lentik.”

Ziwei tidak berkata apapun dan terus berjalan mengikuti beberapa pelayan pria serta wanita senior hingga ke paviliun Jendral Zheng. Paviliun sang jendral tua bertingkat dua dengan taman di depannya. Paviliun dan taman itu dikelilingi pula dinding polos berwarna putih.

Ziwei menaiki tangga menuju lantai dua paviliun yang cukup besar itu. Kamar sang jendral tua terletak di sana. Ketika memasuki kamar tersebut, Ziwei melihat banyak orang berkumpul di sekeliling ranjang. Tak satupun dari mereka dikenal Ziwei.

Seorang pria yang seusia ayahnya mengisyaratkan Ziwei agar mendekati ranjang. “Kemarilah Nak,” katanya ramah.

Dengan perlahan-lahan, Ziwei menghampiri ranjang. Di sana, Zheng Yue tergolek lemah dan setengah sadar.

“Ayah, calon istri Zheng Yun sudah datang,” bisik pria itu yang ternyata adalah Zheng Shao, calon ayah mertua Ziwei.

Zheng Yue merespons perkataan Zheng Shao. Dia berbalik ke arah Ziwei dengan pandangan nanar. Diulurkannya tangannya dan Ziwei menggenggamnya.

Seorang wanita menghampiri Ziwei dan berbisik di telinganya, “Katakan sesuatu… Panggil kakek…”

Ziwei menurut. “Kakek…,” panggilnya. “Kakek, aku datang…”

Zheng Yue bergumam tak jelas. Dia memejamkan mata lalu pingsan.

***
Zheng Yun berjalan menuju kamarnya sendirian. Wajah tampannya terlihat keruh. Kakeknya koma lagi. Tapi tabib berkata ini mungkin titik balik menuju kesembuhannya.

Semenjak terjatuh dalam acara berburu kerajaan seminggu yang lalu, keadaan Zheng Yue melemah dan tidak menunjukkan tanda-tanda pulih. Dia sering mengigau melihat kawan lamanya, Zhao Ji. Dan ketika siuman, Zheng Yue cemas kalau tak bisa melihat calon cucu menantunya lagi, Zhao Ziwei - karena merasa malaikat maut akan segera menjemputnya.

Itu sebabnya Ziwei diminta datang untuk menemui Zheng Yue dan tinggal selama beberapa waktu. Dan pada hari ini, untuk pertama kalinya Zheng Yun melihat calon istrinya.

Gadis itu melangkah masuk ke dalam kamar dengan takut-takut. Dia mendekati ranjang kakeknya dengan ragu-ragu. Ziwei masih begitu belia dan rapuh. Dan dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Zheng Yun di sana.

Dan Zheng Yun belum pernah melihat kecantikan seperti paras Ziwei dimanapun. Wajahnya lonjong, terlihat semakin panjang karena rambutnya yang hitam tergerai di kedua sisi bahunya. Hidungnya lurus dan bibir penuh.

Tapi mata Ziwei-lah yang paling menarik perhatian Zheng Yun. Sepasang mata besar dengan alis indah melengkunginya. Sewaktu mereka diperkenalkan akhirnya, Zheng Yun melihat mata Ziwei berkilauan. Mungkin Ziwei habis menangis. Zheng Yun menduga, Ziwei merasa sedih karena harus meninggalakan rumahnya dan tinggal di rumah baru yang hampir semua penghuninya tak dikenal.

Zheng Yun memasuki kamar dan menutup rapat pintu. Dia butuh waktu menyendiri sebentar. Di kamarnya, di atas ranjang berukir, tergantung sebuah layang-layang berbentuk ikan mas dengan warna-warni merah, kuning dan bercak-bercak kehitaman. Zheng Yun menurunkannya. Mengamatinya. Tujuh tahun lalu, kakeknya pulang dari kediaman Zhao Ji dan memberikannya layangan itu.

“Siapa yang membuat layangan ini Kakek? Komposisi warnanya indah sekali.”

“Calon istrimu yang melukisnya.”

“Calon istri? Seperti apakah dia?”

“Oh, dia sangat cantik. Dan pandai melukis. Nah, karena kau telah memperoleh layangannya, sekarang maukah kau memberikan kepingan giokmu kepadanya sebagai balasan?”

“Jadi kami bertukar barang, begitu?” tanya Zheng Yun. “Baiklah.” Dia pun menyerahkan kepingan giok berhuruf ‘Yun’ yang dipakai sebagai hiasan sabuknya.

Zheng Yun mengelus layangan ikan mas dalam tangannya. Dia teringat mata Ziwei tadi. Sepasang mata itu seolah menggambarkan keseluruhan diri gadis itu. Kemudaan, kecemasan serta kelembutannya. Dan bagi Zheng Yun itu sudah cukup membuatnya mengetahui perasaannya terhadap Ziwei.

Dia telah jatuh cinta kepada mempelai ciliknya - pada pandangan pertama.

***
Semua penghuni rumah Zheng berusaha membuat Ziwei merasa betah.
Zheng Shao bukan orang yang banyak banyak bicara. Namun dia senantiasa menanyakan keadaan Ziwei setiap kali bertemu. Nyonya Pertama Zheng, Ibu Zheng Yun, juga baik dan ramah. Dia selalu bertanya ini-itu tentang keperluan Ziwei dan memenuhinya.

Nyonya Kedua, Ibu Zheng Xing juga baik terhadap Ziwei. Menurut Ziwei dia wanita dengan perasaan rendah diri yang besar. Mungkin karena pengaruh melahirkan anak cacat di keluarga Zheng. Para pelayan menghormati Ziwei. Mereka memanggilnya dengan sebutan Zhao Xiaojie - Nona Zhao.

Kesehatan Zheng Yue pelan-pelan membaik setelah kedatangan Ziwei. Ziwei menemaninya nyaris sepanjang hari. Membantu menjaga serta merawatnya. Ketika keadaannya lebih baik dan dia sudah bisa bicara jelas, Zheng Yue berkata pada Ziwei,

“Pernikahanmu dengan Zheng Yun mesti dipercepat. Segera begitu aku sembuh. Aku tak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Tapi, aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku mati.”

Ziwei tidak berkomentar apa-apa. Hanya saja pipinya menghangat dan rasanya semakin panas – terlebih jika Zheng Yun juga berada di tempat yang sama dan mendengar perkataan sang kakek.

Satu-satunya hal yang dirindukan Ziwei semenjak tinggal di rumah keluarga Zheng adalah melukis. Pada suatu siang ketika Zheng Yue sedang tertidur, Zi Wei berdiri di balkon paviliun dan memandang ke bawah. Tembok putih yang mengelilingi paviliun tampak begitu polos. Ziwei merasa tembok itu begitu hampa mengelilingi taman yang tidak terlalu berbunga.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Ziwei. Bagaimana jika melukis pohon-pohon persik yang tengah berbunga di dinding-dinding tersebut? Bunga-bunga itu bermekaran, berwarna merah muda memenuhi dahan-dahan coklat.

Ziwei jadi sering memandang dinding-dinding itu berlama-lama. Dia membayangkan pola-pola pohon persik tercetak di dinding tersebut. Zheng Yue memergoki kesenangan Ziwei tersebut suatu hari.

“Apa yang kau lihat, Ziwei?” tanyanya.

“Aku sedang melihat dinding-dinding itu,” jawab Ziwei.

“Kenapa? Terlalu polos ya? Mungkin sekarang kau tengah membayangkan untuk melukisnya seperti kakekmu melukis beberapa dinding di rumahmu.”

“Ya…,” Ziwei mengangguk.

“Kalau begitu, mengapa tak kau lakukan? Lukislah dinding-dinding itu.”

“Kakek memperbolehkan?”

“Tentu saja. Aku akan minta kepada kepala pelayan untuk menyiapkan segala peralatanmu. Lagipula, menemaniku seharian di sini pasti membosankan. Kau perlu melakukan hal lain yang membuatmu lebih bersemangat. Cucu menantuku yang baik, kakek juga akan merasa senang jika melihatmu melakukan hal-hal yang kau sukai.”

Jadi Ziwei melukis dinding-dinding itu. Dia mulai melakukannya sekitar jam sembilan pagi setiap hari. Ziwei sangat bersemangat melukis hingga kadang-kadang ia bekerja sampai malam.

Zheng Yun menjadi instruktur muda di akademi militer kerajaan. Dia juga masih belajar strategi perang dan catatan-catatan sejarah di sana. Biasanya Zheng Yun berangkat pagi dan baru kembali ke rumah lewat tengah hari. Sehabis makan siang, dia suka membawa bacaannya ke paviliun kakeknya. Dia akan duduk di satu sisi dekat dinding. Bukunya terbuka, tapi Ziwei tahu Zheng Yun hanya pura-pura membaca. Dia lebih sering mendapati Zheng Yun tengah memandanginya.

“Kalau kau terus memandangiku Kakak Yun, aku tidak bisa bekerja dengan baik,” tegur Ziwei.

Sambil tertawa, mata Zheng Yun kembali ke bukunya. Tapi itu tak berlangsung lama. Dia kembali curi-curi melihat Ziwei. Dia mengagumi kelincahan gadis itu melukis dinding-dinding seolah-olah sedang menari.

Zheng Xing juga biasa bergabung bersama mereka. Dia berjalan tertatih-tatih menyeret sebelah kakinya yang pincang. Berdiri diam di dekat Ziwei sambil mengamatinya melukis untuk waktu yang lama. Orang-orang mengira Zheng Xing yang pertumbuhannya terlambat itu anak bodoh. Suatu hari, Zheng Xing berkata,

“Nona Zhao, kau memang gadis yang sangat cantik hingga kakakku jatuh cinta setengah mati padamu.”

Ziwei amat terkejut dengan perkataan itu hingga menjatuhkan kuasnya.

“Adik, kau jangan bicara begitu,” tegur Zheng Yun. Dia maju membungkuk memungut kuas Ziwei. Ketika menyerahkannya, pandangan keduanya bertemu. Ziwei menerima kuas dan cepat-cepat membuang muka. Dia tak sanggup melihat Zheng Yun lama-lama.

“Nah, coba lihat. Kakakku memandangmu dengan penuh perasaan,” lanjut Zheng Xing lagi.

Ziwei merasa dadanya bergemuruh. “Adik, kau jangan menggoda Ziwei lagi. Dia tak suka…,” didengarnya Zheng Yun kembali menegur Zheng Xing.

“Tapi kau suka, kan?” Zheng Xing terkekeh-kekeh. Sikapnya lebih mirip bocah lelaki ketimbang pemuda lima belas tahun. “Kau suka melihat Nona Zhao salah tingkah dengan senyum malu-malunya bila digoda denganmu…”

Wajah Zheng Yun memerah. Rahasianya dikuak Zheng Xing. Dia berkata panik, “Ziwei, jangan dengarkan dia. Adikku ini, dia ngawur.”

Ziwei mencoba terus berkonsentrasi pada lukisannya enggan melihat ke arah Zheng Yun maupun Zheng Xing.

“Tapi aku senang jika kau menjadi istri kakakku, Nona Zhao,” ujar Zheng Xing kemudian. “Kau kelihatannya baik hati. Kelak kau tak akan mengusirku keluar dari rumah ini meski aku bukan orang berguna.”

Ziwei berhenti melukis dan melihat Zheng Xing. Tiba-tiba, Ziwei merasa dari balik tubuhnya yang cacat, Zheng Xing tak sebodoh perkiraan orang.

“Aku mungkin tak pernah menikah,” lanjut Zheng Xing setengah melamun. “Tak ada wanita yang mau denganku. Aku juga keberatan jika Mak Comblang yang mengatur perjodohan membohongi gadis-gadis tentang kondisiku.”

“Maka untuk selamanya aku akan tinggal di rumah ini sampai aku mati. Dan hanya kakakku, Zheng Yun yang menjadi penerus keluarga ini. Dia cerdas, tampan, begitu sempurna dan menjadi kebanggaan keluarga Zheng. Kelak jika semua orang tua telah meninggal, dialah yang berkewajiban mengurusku. Aku selalu berharap semoga kakak iparku kelak adalah wanita baik yang tidak menganggapku sebagai beban di rumah ini. Dan kau adalah wanita baik, Nona Zhao.”

Ziwei menyimak setiap kata Zheng Xing. Zheng Xing yang malang, kesepian dan tersisihkan. Bagaimanapun usaha Zheng Yun membesarkan hati adiknya, Zheng Xing selalu menyadari kalau kakaknya jauh lebih unggul darinya. Ziwei merasa prihatin. Mengapa terkadang kehidupan terasa begitu tidak adil bagi beberapa orang?

***
Dinding-dinding berlukis yang mengitari paviliun Zheng Yue diselesaikan Ziwei dalam empat belas hari. Hasilnya sangat menakjubkan.

Kesehatan Zheng Yue maju dengan pesat. Dia sudah bisa berjalan mengelilingi paviliunnya. Tempat yang paling disukainya adalah dinding-dinding berlukis. Setiap kali melihat dinding-dinding tersebut dia selalu memuji Ziwei. Dan Zheng Yun yang mendengarnya semakin bangga dengan tunangan ciliknya.

Menjelang sebulan Ziwei tinggal, keluarga Zheng kedatangan tamu agung. Tamu itu ialah Maharani Wu – permaisuri Kaisar Tang Gaozong!

Maharani Wu tinggal di Luoyang. Dia khusus datang ke Chang’an untuk menjenguk Zheng Yue. Permaisuri Wu sangat memperhatikan para menteri – terutama yang berada di kubunya. Meski Zheng Yue tidak terang-terangan menyatakan diri sebagai pengikut Permaisuri Wu, tapi karena sikapnya yang tidak pernah bermusuhan, Permaisuri Wu menganggap Zheng Yue berada di pihaknya.

Permaisuri Wu merasa penting merangkul Zheng Yue. Jabatan Zheng Yue saat ini adalah Perdana Menteri Kiri. Dia menguasai seluruh angkatan bersenjata dan di keluarganya, tiga generasi berturut-turut berkarir di militer. Jika Permaisuri Wu tak memenangkan kesetiaan keluarga Zheng, kelak Zheng Yue atau keturunannya bisa mengerahkan pasukan bawahannya untuk mengkudeta dirinya.

Pada hari kunjungan, sida-sida kerajaan, Kasim Wang datang dua jam lebih awal untuk mengecek kesiapan kediaman Zheng menyambut Permaisuri. Permaisuri Wu datang ke rumah tersebut sekitar pukul sebelas siang dalam rombongan besar dan megah. Seluruh keluarga Zheng, kecuali Zheng Yue, menyambutnya di gerbang. Mereka menundukkan kepala dan memberi salam kepada Permaisuri. Ziwei tak berani mengangkat kepalanya. Ketika Permaisuri berjalan melewatinya, yang dilihat Ziwei hanya jubah sutra kuning panjang menyapu lantai.

Aura Permaisuri Wu menguar hingga ke sekitarnya. Ziwei bisa merasakan udara dipenuhi kekuasaan dan kewibawaan sang Permaisuri. Permaisuri Wu berjalan diikuti rombongannya dan keluarga Zheng menuju paviliun Zheng Yue. Dia menaiki tangga paviliun dengan anggun. Para dayang mengangkat tepi jubahnya. Sesampainya di atas, Permaisuri Wu menyalami Zheng Yue dengan amat santun.

“Menteri senior, bagaimana keadaanmu? Sudah sebulan kau tak muncul di istana. Aku dan Baginda Kaisar mengkhawatirkan kesehatanmu.”

Suara Permaisuri Wu begitu bening. Ziwei yang berdiri di belakang Zheng Yun mendongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Permaisuri Wu tengah duduk pada sebuah kursi dekat tepi ranjang Zheng Yue. Jubah kuning serta mahkota emas membuatnya kelihatan begitu agung.

Tapi yang terutama ialah wajah Permaisuri. Ziwei belum pernah melihat raut wajah seperti itu. Ziwei pernah mendengar sebuah cerita tentang Permaisuri Wu. Ketika masih menjadi anak perempuan ketiga keluarga Wu, seorang peramal pernah meramal sang Permaisuri.

“Anak ini, dengan tubuh seorang wanita dan tatapan seperti pria, kelak akan menjadi Kaisar!”

Keluarga Wu hanyalah pejabat rendah dan tidak punya gelar kebangsawanan sama sekali. Tapi semenjak putri ketiga mereka masuk istana, takdir mereka sepertinya ikut berubah.
Nona Ketiga Wu masuk istana pada usia empat belas dan menjadi selir Kaisar Taizong. Dia salah satu selir favorit hingga suatu hari - ahli nujum kerajaan memberitahu Kaisar kalau salah satu selirnya yang bermarga Wu merupakan ancaman besar bagi kerajaannya.

“Wanita ini kelak akan menumbangkan dinasti Yang Mulia dan menduduki tahta. Oleh karena itu dia harus segera dibunuh!”

Tapi Kaisar Taizong ragu membunuh Selir Wu. “Dia hanyalah wanita muda yang lemah. Memangnya dia bisa apa?” Maka, Kaisar Taizong hanya mengasingkannya ke istana dingin dan tak pernah menemuinya lagi.

Sewaktu Kaisar Taizong mangkat, Putra Mahkota Li Zhi menggantikannya sebagai Kaisar Gaozong. Selir Wu ditawari apakah dia ikut mati menemani Kaisar dengan cara bunuh diri atau menjadi Biksuni. Selir Wu memilih masuk biara. Dia mencukur habis rambutnya dan mengenakan pakaian biarawati. Selama tiga tahun Selir Wu menjalani kehidupan biara, berdoa dan membaca sutra sampai suatu hari, Kaisar Gaozong menjemputnya dari biara dan menjadikannya salah satu selirnya!

Semua orang terkejut. Para pejabat dan menteri istana mencemooh. Pergunjingan besar merebak. Dalam sejarah kekaisaran Dataran Tengah yang panjang, belum pernah ada Kaisar yang mengambil selir mendiang Ayahnya sebagai istri. Banyak orang berspekulasi kalau Selir Wu telah terlibat affair dengan Kaisar Gaozong sejak dia masih menjadi putra mahkota.

Langkah Selir Wu tidak berhenti dengan menjadi selir Kaisar Gaozong. Dia membunuh putrinya sendiri lalu memfitnah istri Kaisar, Permaisuri Wang. Gelar Permaisuri Wang dicabut lalu dieksekusi. Selir Wu juga mengeksekusi selir kesayangan suaminya, Xiao. Dan dengan ketajaman kata-katanya, Selir Wu menyebabkan salah satu saudara perempuan Kaisar Gaozong mati bunuh diri - setelah suami sang putri kedapatan merencanakan makar.

Setelah kematian Permaisuri Wang, Selir Wu menggantikan kedudukannya menjadi Maharani. Di sinilah para pejabat bersilang pendapat. Ada yang setuju, tidak mau ikut campur karena menganggap hal ini adalah urusan rumah tangga kerajaan. Ada pula yang menentang karena menganggap masa lalu Selir Wu serta sepak terjangnya tidak cocok menjadikannya Permaisuri.

Kaisar Gaozong tetap menobatkan Selir Wu menjadi Maharani dan putra tertua mereka, Li Hong, sebagai putra mahkota. Para pejabat yang tidak setuju melayangkan protes. Salah satunya Kakek Ziwei, Zhao Ji – yang mundur dari jabatannya dan bersumpah tak akan memasuki istana lagi selama Permaisuri Wu masih berada di istana.

Ziwei mengamati Permaisuri Wu dari jauh. Wanita itu berusia empat puluhan tapi masih tampak sepuluh tahun lebih muda. Kecantikannya begitu memukau, tidak heran bila memikat dua Kaisar – ayah dan anak sekaligus.

Permaisuri Wu juga wanita cerdas. Ziwei telah mendengar kalau dia ikut mengerjakan tugas-tugas suaminya jika sang Kaisar sakit. Disebut-sebut, kekuasaan Kaisar Gaozong tidak ada apa-apanya dibandingkan istrinya. Permaisuri Wu respek terhadap menteri-menteri kompeten sekalipun dia tahu beberapa di antaranya tak menyukainya. Permaisuri Wu membekukan perasaannya selaku wanita. Dan mungkin inilah yang menyebabkannya bisa memegang kendali tertinggi.

Usai bercakap-cakap sejenak dengan Zheng Yue, Permaisuri Wu berdiri menuju balkon. Dia memperhatikan taman di depan paviliun dan dinding-dinding berlukis yang mengelilinginya.

“Ah, dinding-dinding itu… Sungguh pemandangan yang indah sekali. Aku ingin melihatnya dari dekat.”

Permaisuri Wu menuju ke dinding-dinding berlukis diikuti sejumlah besar pengikut. Zheng Yue juga mendampinginya. Sesampainya di sana, Permaisuri sengaja berjalan lambat-lambat untuk mengagumi keindahannya.

“Benar-benar karya yang luar biasa,” gumam Permaisuri Wu. “Taman di depan paviliun tak berbunga tapi di dinding-dinding ini bunga-bunga penuh bermekaran. Menteri Zheng, seniman mana yang melukis dindingmu ini?”

“Yang melukis dinding ini semuanya adalah calon cucu menantu hamba,” jawab Zheng Yue.

“Calon cucu menantu? Seorang perempuan?” Permaisuri Wu bertanya seraya melihat ke arah Zheng Yun. “Jadi cucu lelakimu telah bertunangan...”

“Mereka telah bertunangan beberapa tahun lalu. Ketika hamba sakit, hamba memintanya kemari agar bisa melihatnya lagi sebelum mati.”

“Dan ternyata kau sehat kembali, Menteri Senior. Calon cucu menantumu ini pasti pembawa keberuntungan. Apakah dia masih berada di sini? Jika ya, panggil dia kemari agar aku bisa melihatnya.”

Zheng Yue memanggil Ziwei. Dengan kepala tertunduk, Ziwei melangkah maju dan membungkuk hormat kepada Permaisuri Wu.

“Angkat kepalamu,” Permaisuri memerintahkan.

Ziwei mendongak menatap Permaisuri.

“Hm, gadis yang cantik,” gumam Permaisuri Wu. “Siapa namamu dan berapa usiamu?”

“Marga hamba Zhao. Nama hamba Ziwei,” Ziwei menjawab gemetar. “Usia hamba tiga belas.”

“Tiga belas tahun? Kau kelihatan terlalu kecil untuk menjadi seorang pengantin!”

“Dia adalah cucu sahabat hamba, Zhao Ji, Yang Mulia,” sambung Zheng Yue.

“Oh, Jadi kau cucu Guru Zhao Ji?” Permaisuri Wu seolah tidak percaya.

“Dulu kakekmu begitu membenciku hingga bersumpah tidak mau menginjak istana lagi.” Kemudian Permaisuri bergumam maklum. “Tapi ini menjelaskan mengapa kau bisa melukis dinding-dinding ini. Kau berbakat sekali – seperti kakekmu.”

Permaisuri Wu mengamati lagi dinding-dinding berlukis. “Istana baruku di Luoyang memiliki banyak sekali ruangan yang dindingnya hendak dilukis. Dan aku sedang mencari seorang ahli yang bisa melukisnya.” Dia memandang Ziwei sambil berjalan menghampirinya. Setelah itu, Permaisuri Wu membungkuk di hadapannya Ziwei.

“Zhao Ziwei, maukah kau ikut denganku dan melukis di istanaku?”

Ziwei terkejut. Terbelalak menatap Permaisuri.

“Gadis berbakat sepertimu sayang sekali jika harus menikah muda. Kau seharusnya melihat serta mempelajari banyak hal di usiamu yang sekarang.”

Ziwei tak berkata apa-apa. Hatinya berdegup. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa jika bisa tinggal di istana. Segala hal terbaik ada di sana. Buku-buku, lukisan-lukisan begitu juga dengan guru-guru terampil. Permaisuri Wu terkenal senang mengumpulkan wanita-wanita berbakat di istananya. Dan Ziwei berharap bisa menjadi salah satu diantaranya.

Permaisuri Wu bangkit dan berkata kepada Zheng Yue, “Aku akan meminjam cucu menantumu ini. Dia akan tinggal di istanaku di Luoyang selama tiga tahun.”

Kali ini, seluruh keluarga Zheng yang terkejut. Zheng Yue berkata terbata-bata, “Tetapi… tetapi sebentar lagi dia akan menikah dengan Zheng Yun…”

Permaisuri Wu melihat Zheng Yun dengan sinis. “Cucumu masih bisa menunggu tiga tahun lagi,” dia menukas. “Aku berjanji, tiga tahun depan akan mengembalikan tunangannya sebagai gadis enam belas tahun yang lebih matang.”

“Aku akan berangkat lebih dulu ke Luoyang,” Permaisuri Wu mengumumkan. “Kasim Wang tetap tinggal di sini dan mengatur keberangkatan Zhao Ziwei,”

“Akan hamba laksanakan,” Kasim Wang membungkukkan badan sebagai tanda menerima titah.

Kekecewaan meliputi Zheng Yun. Belakangan ini dia telah terbuai angan-angan bisa mempersunting tunangannya sebentar lagi. Kini Ziwei akan dibawa ke istana selama tiga tahun.Untuk pertama kalinya, Zheng Yun merasa patah hati karena harus berpisah dari Ziwei.

***
Nyonya Pertama serta Nyonya Kedua Zheng membantu mengemasi barang-barang Ziwei.

Nyonya Pertama Zheng sempat megutarakan kekesalannya di kamar Ziwei.

“Yang Mulia Permaisuri sungguh orang tak berperasaan. Ketika aku bahagia hendak mendapatkan menantu, dia justru merampas kebahagiaan itu!”

Nyonya Kedua Zheng mencoba menghiburnya dengan berkata, “Tak ada seorangpun bisa menolak keinginan Sang Permaisuri, Nyonya. Anda masih beruntung Permaisuri tak meminta Ziwei tinggal bersamanya selamanya. Anda hanya diminta menunda selama tiga tahun…”

Nyonya Pertama Zheng mendesah. Dia memanggil Ziwei dan mengelus bahunya.

“Aku terlanjur sayang padamu hingga sulit untuk berpisah. Di rumah ini tak ada anak perempuan jadi aku telah menganggapmu seperti putriku sendiri. Aku sungguh tidak sabar melihatmu bersanding dengan Zheng Yun. Kau tahu, Zheng Yun itu sangat menyukaimu…”

Mendengar kata-kata Zheng Yun menyukainya membuat Ziwei merasa tidak enak dan memalingkan wajah. Nyonya Pertama Zheng mengira Ziwei malu-malu. Sambil tersenyum dia menimang-nimang tangan Ziwei.

“Tapi kau tak perlu khawatir. Aku mengenal baik putraku sendiri. Zheng Yun pria yang setia. Dia tentu bisa menunggumu tiga tahun lagi.”

Pembicaraan mengenai dirinya dan Zheng Yun terus-menerus membuat tenggorokan Ziwei tercekat. Sewaktu ketiga wanita keluar kamar, mereka meihat Zheng Yun bersandar pada salah satu pilar. Nyonya Pertama Zheng mengangguk pengertian lalu mengajak Nyonya Kedua pergi dan meninggalkan sepasang muda-mudi itu.

Ziwei merasa seharusnya kedua Nyonya itu tidak pergi. Dia merasa ini saat-saat sulit berduaan dengan Zheng Yun sebelum kepergiannya. Ziwei enggan melihat Zheng Yun. Dia menatap ke arah lain.

Zheng Yun mendekatinya. Seandainya masih ada ruang, Ziwei pasti mundur menjauhi Zheng Yun.

“Ziwei, kau harus menjaga dirimu baik-baik selama di istana. Di rumahmu atau di sini kau mungkin memiliki pelayan yang melayanimu. Tapi di istana kaulah yang melayani Permaisuri.”

“Jaga kesehatanmu. Jika cuaca berubah lebih dingin, pakailah pakaian lebih tebal.”

Ziwei mengangguk kikuk. “Ya. Aku mengerti.”

Zheng Yue maju selangkah lebih dekat lagi dan meraih tangan Ziwei, membuat gadis itu terkejut.

“Selama ini, kau sama sekali tidak berusaha menarik perhatianku. Tapi kau mesti tahu kalau aku sangat tertarik padamu. Aku bahkan bersedia meletakkan masa depanku di dalam telapak tanganmu.”

Ziwei terperanjat. Dia buru-buru menarik tangannya tapi Zheng Yun menggenggamnya erat. Ziwei belum bersedia menerima masa depan Zheng Yun sementara dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya akan sama dengan pemuda itu.

“Aku tidak pernah mempermasalahkan sikapmu yang selalu menghindariku, Ziwei. Aku hanya menganggap kau begitu karena kau belum mengenalku dengan baik. Tapi berjanjilah padaku, tiga tahun lagi kau harus pulang kemari.”

Ziwei tidak punya pilihan lain. Tangannya tak akan dilepas Zheng Yun seandainya dia tidak menjawab, “Ya…”

Zheng Yun merasa lega dan melepas tangan Ziwei.

“Kalau begitu, pergilah kekasihku. Ingatlah kalau aku akan menunggumu di sini…”

***
Istana Permaisuri Wu terletak di kota Luoyang. Jaraknya kurang lebih sehari dari Chang’an.

Ziwei mendapati kalau dia cepat beradaptasi dengan kehidupan istana. Di istana semua serba tertib. Peraturan mesti ditegakkan. Selaku wanita istana, Ziwei tidak mendapat perlakuan khusus meski dia cucu pejabat. Ziwei dan gadis-gadis lainnya tinggal di sebuah asrama. Bangun pada pagi buta oleh dentingan lonceng. Tidur pada malam hari sebelum pukul sepuluh.

Tapi Ziwei menyukai suasana istana. Dia sangat bergairah mempelajari banyak hal. Dia bebas memasuki perpustakaan istana membaca banyak buku. Begitu juga dengan museum istana mempelajari lukisan-lukisan klasik.

Guru-guru yang mengenal Zhao Ji merasa senang bertemu Ziwei. Kebanyakan dari mereka adalah murid Zhao Ji dulu. Dengan sukacita mereka bersedia menjadi pembimbing Ziwei.

Di istana, Ziwei berteman baik dengan gadis pelukis lain bernama Jingjing. Jingjing dua tahun lebih tua dari Ziwei, berasal dari kalangan rakyat jelata. Dia ditemukan oleh Kasim Wang ketika sedang melakukan inspeksi di wilayah Shandong. Jingjing pandai melukis bunga. Dia melukis bunga sampai jumlah kelopak dan kuntum daunnya sama persis dengan bunga sungguhan yang menjadi obyek lukisannya.

Jingjing dan Ziwei biasa bekerja berdua. Jingjing senang menceritakan kisah-kisah istana jika mereka berdua saja.

“Ziwei, kau tahu kenapa Permaisuri Wu pindah kemari dan bukannya tinggal di istana Chang’an?” bisik Jingjing suatu hari sewaktu mereka melukis ruang musik berdua saja.

Ziwei menggeleng.

“Itu karena Permaisuri Wu takut terhadap kucing.”

“Kucing? Mengapa Yang Mulia harus takut terhadap binatang itu?”

“Karena Yang Mulia pernah dikutuk menjadi tikus,” jawab Jingjing. Dia sengaja diam sejenak membiarkan Ziwei penasaran.

“Dulu sewaktu masih menjadi selir Kaisar Gaozong, Permaisuri Wu memfitnah Permaisuri Wang dan Selir Xiao sehingga keduanya dijebloskan ke penjara. Penjara kedua wanita itu sangat gelap. Kaisar Gaozong yang sempat mengunjungi mereka menjadi iba dan bermaksud melepas keduanya.”

“Tapi Permaisuri Wu tidak mengijinkan. Karena cemburu, Permaisuri Wu lalu memerintahkan Permaisuri Wang dan Selir Xiao dieksekusi dengan meminum racun. Permaisuri Wang yang sudah pasrah dengan nasibnya, menerima racun itu dan meminumnya. ‘Terima kasih atas kemurahan hati Selir Wu. Semoga Selir Wu panjang umur hingga puluhan ribu tahun!’ – seru Permaisuri Wang, lalu dia jatuh tersungkur dengan mulut bersimbah darah.”

“Tapi Selir Xiao tidak langsung meminum racunnya. Menurut saksi mata, Selir Xiao tertawa histeris. Dia berteriak lantang, ‘Selir Wu, di kehidupan mendatang aku akan terlahir sebagai kucing dan kau sebagai tikus! Aku akan menangkapmu, dan mencabik-cabik tubuhmu, dan memakan dagingmu serta meminum darahmu! Selir Wu, tunggulah pembalasanku nanti!’”

“Selir Xiao terus berteriak hingga akhirnya para kasimlah yang mencecoki racun ke mulutnya. Ketika Selir Xiao meludahi racunnya kembali, salah satu kasim… Kasim Wang, mencekik Selir Xiao hingga mati.”

Ziwei bergidik. “Apakah yang kau maksud Kasim Wang yang biasa membawa titah Permaisuri itu…”

“Ya,” sahut Jingjing. Dia baru akan bicara lagi tapi buru-buru mengurungkannya sewaktu melihat seseorang mendekat dari arah belakang Ziwei.

“Pelukis Wanita Zhao,” panggil Kasim Wang dengan suara dalamnya yang berwibawa.
Ziwei ketakutan. Mengira Kasim Zhao mendengar cerita Jingjing tadi.

“Pergilah ke taman timur,” lanjut Kasim Wang tanpa ekspresi. “Saudara lelakimu tengah menunggu di sana.”

Ziwei langsung bangkit berdiri. “Zilong? Dia datang kemari untuk menjengukku?”

“Pergilah dan lekas kembali!” kata Kasim Wang tanpa panjang lebar.

Ziwei amat gembira. Dia buru-buru keluar ruangan. Tanpa sempat melihat isyarat Jingjing yang memintanya melepas kuas yang terselip di samping telinga kanannya. Sudah lama dia tidak bertemu kakaknya, Zilong. Sejak dia pergi ke rumah Zheng dan pindah ke istana, Zilong hanya mengiriminya surat. Ziwei merindukan Zilong. Keramahan serta kejahilannya.

Ziwei sampai di taman timur dengan napas terengah-engah karena usai berlari. Dia memasuki sebuah ceruk yang dibuat oleh gunung-gunung buatan. Di dalam ceruk itu ada lagi sebuah taman kecil yang agak terlindung oleh keramaian. Dan memang ada seseorang dalam ceruk itu. Dia pria dan tengah berdiri memunggungi Ziwei.

Ziwei merasa Zilong semakin tinggi semenjak perpisahan mereka setengah tahun lalu. Dengan wajah berseri Ziwei bermaksud mengejutkan Zilong. Dia berjalan berjingkat-jingkat, memanjat dan menutup kedua mata pria itu dengan tangannya.

Pria itu tertawa. Dan segera Ziwei tahu dirinya keliru. Zheng Yun menurunkan tangan Ziwei perlahan. Dia berbalik sambil tersenyum.

“Penyambutanmu sangat ramah, Ziwei. Sikapmu telah berbeda dari yang pernah kuingat,” kata Zheng Yun.

“Maaf,” sahut Ziwei salah tingkah. “Aku tadi mengira kakakku, Zilong, yang datang.”

Zheng Yun tersenyum. “Kalau begitu, akulah yang minta maaf. Aku pikir kasim tadi tak akan mengijinkanku menemuimu jika aku berkata aku adalah tunanganmu.”

“Kasim Wang yang memintaku kemari. Dia berkata saudara laki-lakiku berada di sini.”

“Kasim tadi memang bersama Kasim Wang. Dan sepertinya Kasim Wang masih mengingat siapa aku. Dia menyeringai sewaktu aku mengaku sebagai kakakmu.”

Mengingat Zheng Yun telah menempuh perjalanan jauh ke Luoyang, Ziwei ragu-ragu menanyainya. “Apa yang membuat Kakak Yun kemari?”

“Karena aku ingin melihatmu,” ujar Zheng Yun sambil duduk di sebuah batu. Dia menepuk sisi batu mengisyaratkan agar Ziwei duduk di sebelahnya. Ziwei duduk di sebelah Zheng Yun. Tapi kepalanya menunduk terus.

“Ibuku membuatkanmu ini,” kata Zheng Yun sambil membuka bungkusan berisi kotak. Isinya kue kacang. “Makanlah.”

Ziwei mengambil sebuah kue dan menggigitnya. Rasanya sangat gurih dan manis. Ziwei menggigitnya pelan-pelan. Tiba-tiba, Zheng Yun mengulurkan tangan menyentuh pipinya.

“Ada pewarna biru di pipimu,” kata Zheng Yun sewaktu Ziwei sontak menghindarinya. Zheng Yun menggosok pipi Ziwei dengan lengan bajunya. “Ini,” katanya sambil memperlihatkan noda biru pada lengan bajunya yang putih.

Ziwei tidak berkata apa-apa. Beberapa bulan tak bertemu Zheng Yun tak membuatnya merasakan apapun. Dia bahkan masih sama seperti dulu, tak tahu mesti bicara apa bila berdua dengan pemuda itu.

“Tiga hari lagi aku akan berangkat ke medan perang,” kata Zheng Yun tiba-tiba.

Ziwei terkejut. Selama ini, yang diketahuinya Zheng Yun hanya menjadi instruktur dan belajar di akademi militer kerajaan. Tidak disangka, sekarang Zheng Yun harus maju ke medan pertempuran yang sebenarnya.

“Kemana?” Ziwei akhirnya bicara setelah berhasil mengumpulkan kekuatannya.

“Ke perbatasan Shilla dan Goguryo. Yang Mulia Kaisar telah setuju untuk membantu sahabatnya, Raja Chunchu dari Shilla untuk menginvasi Goguryo.”

Ziwei membayangkan Zheng Yun dan rombongan prajurit lainnya bergerak menuju timur laut. Menuju semenanjung Korea dengan melewati hutan-hutan belantara, stepa-stepa es dan bertemu suku-suku nomaden yang kuat seperti orang-orang Juerchen. Sebelum sampai ke Korea, bisa-bisa prajurit Tang sudah bertempur lebih dulu dengan orang-orang Juerchen itu.

“Kau akan berangkat lewat darat, Kakak Yun?”

“Tidak. Seluruh prajurit Tang akan ke Shilla dengan memakai perahu. Lewat jalur darat terlalu panjang serta berbahaya. Lagipula, kita tidak bisa menembus Shilla lewat darat. Prajurit Goguryo sudah pasti akan menghadang di perbatasan.”

Ziwei diam dan merenung. Zheng Yun mengira sikap diam Ziwei karena gadis itu memikirkannya.

“Kau tak perlu cemas. Keluargaku sudah tiga generasi masuk militer. Ikut peperangan tak bisa dihindari oleh keluarga kami. Kami bahkan sudah siap seandainya Kakek, Ayahku atau aku gugur di pertempuran.”

“Tapi aku berjanji padamu Ziwei, aku tak akan tewas percuma. Aku tidak tahu sampai kapan peperangan ini berlangsung. Mungkin setahun, dua tahun atau lebih dari tiga tahun. Aku akan berusaha menjalankan misiku sekaligus menjaga keselamatanku. Agar aku dapat menemuimu lagi.”

Zheng Yun menggenggam tangan Ziwei dan untuk pertama kalinya, Ziwei tidak menarik tangannya.

“Boleh kuminta ini?” tanya Zheng Yun sambil menarik kuas yang terselip di telinga kanan Ziwei. “Untuk menulis surat padamu di Shilla nanti.”

Ziwei mengangguk. “Ambillah. Aku menunggu kabarmu sesampainya di Shilla.”

“Dan balaslah suratku selagi kau bisa,” pinta Zheng Yun. Ziwei mengangguk.

Hari itu Zheng Yun tersenyum melihat Ziwei sebelum dia meninggalkan taman itu. Raut wajah itulah yang akan selalu dikenangnya selama di medan pertempuran nanti. Zheng Yun sangat optimis perang ini tak akan berlangsung lama. Dia bisa segera kembali dan menikahi Ziwei tepat tiga tahun mendatang.

Tapi bagi Ziwei tidak demikian. Dia tidak tahu pasti bagaimana masa depannya dengan Zheng Yun. Meski seandainya perang ini segera berakhir pun, Ziwei ragu apakah dia bisa menikahi Zheng Yun.

Karena sampai sekarang, perasaan cinta terhadap Zheng Yun sama sekali tak ada dalam dirinya.


Bersambung...


Sumber :
http://merlinschinesestories.blogspot.com

Merlin's Chinese Stories, Merlin Penyihir Penasihat Raja Arthur.
Blog yang memuat hasrat-hasrat terpendam akan cerita-cerita China klasik dan segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar