Sabtu, 31 Juli 2010

My Brother


Malam kian meradang. Merembesi kebisuan antara aku dan dia; seseorang yang harus kuakui sebagai adik, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau.

Aku memalingkan wajah ke luar jendela. Mencekam. Hanya bunyi serangga malam yang berderit mengikuti ritme jantung yang berdetak semakin kencang.

"Jadi apa mau lu?" ujarku dengan nada sedatar mungkin. Tapi gagal. Debur yang berasal dari dalam, tak bisa tertutupi.

Sosok di depanku menyorot tajam, tak ubah seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Aku melenguh. Diam. Lalu berkata lagi.

"Sekali lagi lu kayak gini, gue nggak akan nolongin lu."

Aku masuk ke dalam kamar. Membanting pintu sekeras mungkin. Hening. Hanya bunyi serangga malam yang terdengar.
***

"Jadi pergi mengantar adikmu, Bram?" Ibu melirikku.

Aku menghentikan aktivitas menyedok nasi dari dalam magic jar.
"Tergantung nanti Bu," ujarku.

Dari sudut mata, aku melihat raut ketidakpuasan Ibu. Begitulah Ibu dari dulu. Sejak aku merantau dan SMA di Lampung sampai kembali lagi ke Serang untuk kuliah, Ibu selalu begitu. Membela Arul daripada aku.

"Kasihan adikmu, kalau sampai tidak diantarkan nanti kenapa-kenapa."

Kali ini aku benar-benar menghentikan aktivitas sarapanku. Pergi meninggalkan Ibu yang tergugu di meja makan.

"Kamu itu, Bram, selalu begitu. Diajak ngomong sama orangtua malah pergi. Anak jaman sekarang semakin susah dikasih tau," Ibu meracau sesuatu.

Tak kuladeni. Pasti akhirnya akan ada airmata yang mengalir dari dua bola matanya yang berbinar dan selalu siap memberi kehangatan. Sayangnya bukan untukku, tapi untuk Arul, adikku.

Aku tidak mau kejadian setahun lalu terjadi lagi. Hanya orang bodohlah yang membiarkan dirinya terjerumus hingga dua kali ke dalam lubang yang sama.

***

"Kenapa lagi lu?"

Tak ada jawaban. Lagi-lagi hanya sorot mata elang siap menerkam mangsa yang kudapat. Aku melempar pandang ke arah lain. Percuma. Kalaupun pertanyaanku diteruskan, lagi-lagi akan diakhiri airmata. Bukan dari sudut mata elangnya, tapi dari sepasang mata Ibu, yang pastinya akan semakin membuatku tak tega.

"Gue butuh duit," ia bekata datar.

Kulirik wajahnya yang tak berekspresi. Tubuhku yang remuk redam setelah seharian beraktivitas mengerjakan tugas kuliah yang masih padat, karena aku masih semester dua, hilang dalam sekejap.

Darahku mendidih. Tanganku langsung terkepal. Berani-beraninya dia berkata seperti itu. Baru saja minggu kemarin dia meminta uang, sekarang dia meminta lagi. Sebelum sumpah serapah berhamburan dari mulutku, langkah gontai Ibu terdengar mendekati kami.

"Adikmu butuh duit, Nak, buat nebus motor yang ditilang polisi," jelas Ibu.

Aku menggeleng kecil. Seperti biasa, Ibu akan selalu membelanya. padahal jika Ibu tahu siapa dia yang sebenarnya, Ibu pasti akan lebih memilih membelaku.

Kepalan tanganku terbuka perlahan. Bulu kudukku meremang seiring cairan hangat yang menggumpal di sudut mata. Aku hanya menekuri keramik putih yang menemani rumah ini sejak dua puluh tahun lalu. Aku mendesah, setidaknya aku tidak seburuk nasib sang keramik, yang hanya menerima takdir sebagai material yang harus rela dan mau diinjak siapapun dan dikotori benda apapun di atasnya.

Aku memejamkan mata. Berharap cairan hangat yang menggumpal di sudut mata itu pergi. Lalu kutatap keduanya bergantian. Aku memutuskan hanya akan mengatakan satu kata.

"Berapa?" aku memandangi rautnya yang tak berekspresi. Lalu berganti pada wajah Ibu yang penuh harap.

"Sejuta."

Aku tercengang. "Kebanyakan."

Hening.

“Gue butuh segitu. Dan gue tahu, lu nerima banyak duit dari Ayah.” Kalimat yang cukup panjang bagi seorang Arul yang tingkahnya tak bisa ditebak.

“Jadi?!” wajahku pias. Aku teringat buku rekening yang tergeletak di atas bedcover dan kartu ATM yang raib beberapa hari lalu. Ya Tuhan, benar-benar bandit kecil yang menyebalkan.

***

Sejak Ayah dan Ibu memilih berpisah, karena merasa tidak cocok satu sama lain--sebuah alasan klise sebenarnya--aku memang sering mendapat transferan uang dari Ayah. Ayah saat ini berada di Dubai, menjalani tugas sebagai pegawai pemerintah yang diperbantukan di kedutaan besar Indonesia di sana.

Tapi sebenarnya aku tahu, bukan itu masalah utama yang membuat mereka berpisah. Tapi Arul. Lagi-lagi dia. Ayah sangat jengkel karena Ibu selalu membela tingkah Arul yang urakan. Kerap Ibu membenarkan perilaku Arul yang suka tawuran, merokok, dan ugal-ugalan. Gonta ganti pacar adalah kebejatan utama yang menurut Ibu sangat biasa. Ibu pun selalu hadir jika ada panggilan dari sekolah yang komplain terhadap kenakalan Arul.

Dan Ibu, selalu mengkambinghitamkan aku, yang menurutnya terlalu disayang Ayah. Sebuah alasan payah untuk seseorang yang melahirkanku dengan seluruh nyawanya.

Pikiran itu terus mengelayutiku saat aku menjalankan motor di Jalan Ahmad Yani, jalan protokol yang menghubungkan pusat kota dan pemerintahan di Serang. Aku terkesiap, langsung mengerem mendadak motor saat puluhan pelajar tumpah ke jalan dan berkejar-kejaran di perempatan jalan. Lampu merah menyala. Dan beragam kendaraan menumpuk di sana. Para pengemudi yang duduk manis di atas kendaraan masing-masing, hanya bisa berharap cemas dan mendoakan tawuran itu segera sirna. Dua kubu saling melemparkan makian dan berbagai benda melayang ke udara. Sabuk penuh paku dan benda tajam mengacung dengan bebasnya.

Di sela puluhan pelajar, ada sosok yang kukenal. Sosok yang menyebalkan yang sialnya masih memiliki keturunan darah yang sama denganku. Tubuhnya yang kurus nampak lunglai siang itu, seolah siap kapan saja tertiup angin. Dan anehnya, wajah Ibu terbayang di sana.

Dan sebelum polisi berduyun datang dan berhasil memboyongnya keluar dari kerumunan dan menjebloskannya ke balik jeruji yang pengap, aku langsung meningkatkan laju motor ke arah dia. Dalam sekali hentakan, tubuh yang ringkih seakan tanpa tenaga itu berhasil kuraih dan kududukkan di jok belakang.
Dan secepat kilat, aku melajukan motor seperti orang kesetanan. Berharap para pria berseragam cokelat susu dilengkapi senjata berupa pentungan itu tak dapat mengejarku.

Dalam deru angin yang menampar kasar tubuhku, kudengar sebuah bisikan. Bisikan milik seseorang yang harus kusebut adik. “Mengapa kau menolongku,” ujarnya dengan intonasi yang sedikit lebih hangat dibanding sebelumnya, sehangat cairan hangat yang merembesi tubhuhnya yang langsung terasa ke tubuhku karena ia berpegangan erat.

“Because I’m your brotha, Guys!” jawabku. Sebuah jawaban yang mengalir begitu saja diiringi senyuman tipis yang aku tak tahu bermakna apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar