Selasa, 27 Juli 2010
Kisah Cinta Si Nona Anggrek (Part 1)
Dinasti Qing tahun ke-18 pemerintahan Kaisar Qianlong.
Musim Semi
Di dekat Hangzhou ada sebuah desa kecil bernama Baisha. Di sana tinggal saudagar bermarga Chen, biasa dipanggil Tuan Besar Chen. Tuan Besar Chen pemilik sebuah peternakan ulat sutra serta pabrik pemintalan benang sutra. Rumahnya terletak di tengah-tengah desa Baisha, besar sekaligus luas.
Tuan Besar Chen memiliki seorang istri, Nyonya Chen dan dua orang anak. Putra tertuanya, Yulin menikah setahun lalu dan mengelola sebuah toko kain di Hangzhou. Putri bungsunya bernama Yulan-yang berarti anggrek kumala. Sesuai namanya, sejak kecil dia selalu mengenakan perhiasan berbentuk bunga anggrek dan seisi rumahnya memanggilnya dengan sebutan Nona Anggrek.
Siang itu Yulan tengah menyulam di bawah jendela kamarnya. Dia menyulam sebuah selimut. Selimut itu salah satu bekal pernikahannya kelak. Berwarna merah. Yulan menyulam sepasang yuan yang-bebek mandarin, lambang pernikahan di tengah selimut.
Satu yuan yang telah terebentuk dan Yulan membuat satunya lagi. Ketika yang kedua ini selesai, Yulan menghembuskan napas lega. Dia berdiri, meluruskan punggung sejenak. Di samping tempat duduknya bertumpuk aneka kain terlipat rapi. Seprei, kelambu, sarung bantal serta selimut. Semuanya dalam warna merah atau merah muda dan telah disulam Yulan dengan berbagai motif: bunga, burung serta awan-awan. Ibunya menyuruhnya melakukan semua itu-meski calon suaminya belum ditentukan.
Di usianya yang menginjak sembilan belas, Yulan belum ditunangkan dengan siapa pun. Ada yang bilang, Tuan Besar Chen terlalu mengasihi putri semata wayang ini sehingga sulit memilihkan suami yang tepat untuknya. Yulan sering mendengar Ibunya berkata kepada Ayahnya, “Suamiku, jika kau terlalu pemilih, aku khawatir kita justru akan mendapat menantu lelaki yang buruk.”
Tapi Tuan Besar Chen mengabaikan perkataan istrinya ini. “Biarkan Yulan tinggal bersama kita beberapa tahun lagi,” ujarnya. ”Kau menyayanginya, bukan? Apa kau rela melepaskannya kepada orang lain sekarang?” Menyimak hal ini, Nyonya Chen hanya bisa mendesah dan mengerutkan kening.
Yulan memeriksa kembali hasil sulamannya di atas selimut merah. Sepasang bebek mandarin yang disulam dengan benang sutra halus aneka warna itu bak lukisan. Yulan bersyukur dianugerahi bukan hanya seraut paras yang elok, tapi juga sepasang tangan terampil. Sambil tersenyum puas, dilipatnya selimut merah tersebut lalu diletakkan pada tumpukan kain sebelahnya.
Jendela kamar Yulan di lantai dua itu terbuka lebar. Mengijinkan tidak hanya sinar matahari-tapi juga aroma musim semi, masuk ke dalam kamar. Yulan mencium wangi buah-buah pir yang telah masak dari kebun sebelah. Perlahan, dia berjalan mendekati jendela, melihat turun ke bawah.
Dua buah pohon pir tengah berbuah namun buahnya belum dipetik pemiliknya. Sayang sekal, pikir Yulan. Padahal rasanya sangat manis. Yulan ingin memetik buah tersebut dan memakannya. Tapi, orang yang biasa memanjat pohon dan mengambil pir baginya, tiga tahun ini tak ada. Ditatapnya sebuah kamar yang dilindungi dahan-dahan pohon pir yang lebat. Jendelanya tertutup rapat tiga tahun lamanya. Dulu, dari balik jendela tersebut, Yulan biasa mendengar seseorang mendeklamasikan puisi Cheng Zi’ang:
“Di depan tidak melihat orang lama, di belakang tidak melihat orang dari masa depan. Kesedihan Langit dan Bumi pun dapat terbaca. Patah hati seorang diri hingga meneteskan air mata.”
Tahun ini mestinya dia sudah kembali, pikir Yulan. Mendadak, kerinduan menggebu dirinya. Segala pikirannya saat itu langsung tercurah pada satu orang.
“Lin Juxiong,” Yulan membisikkan sebuah nama. “Lekaslah pulang…”
Musim Panas
Suatu sore musim panas tiga tahun lalu, tetangga keluarga Chen, Tuan Lin, meninggal setelah jatuh pingsan usai kembali dari kebunnya. Sebagai anak lelaki, Lin Juxiong menjalankan kewajiban berkabung. Dia tinggal di sebuah gubuk dekat makam Ayahnya, memakai pakaian putih-putih dan tidak menikah selama tiga tahun.
Juxiong menjadi putra satu-satunya keluarga Lin setelah kakak lelakinya, Jumeng, meninggal akibat campak lima tahun lalu. Leluhur keluarga Lin dulunya adalah pejabat pada masa Dinasti Ming. Namun ketika orang-orang Manchuria menguasai China, keluarga Lin menolak tunduk terhadap Dinasti Qing. Mereka pindah dari Beijing ke desa Baisha, hidup sebagai petani.
Pada masa pemerintahan Kaisar Kangxi, perlakuan Kerajaan terhadap orang-orang China Han lebih baik. Maka pada pemerintahan Kaisar Qianlong, Ayah kedua Lin bersaudara menginginkan agar salah satu putranya bisa berkarir di pemerintahan. Harapan besar bertumpu pada si sulung Jumeng-hingga pemuda itu meninggal di usia delapan belas tahun.
Harapan berikutnya berpindah kepada Juxiong. Sepeninggal Jumeng, Juxiong diminta Ayahnya belajar giat untuk mengikuti ujian negara. Juxiong lulus ujian kabupaten dan menjadi xiucai di usia tujuh belas. Tapi tidak bisa mengikuti ujian kerajaan tahun
berikutnya karena sang Ayah meninggal.
***
Seorang gadis berbaju kuning berlari-lari sepanjang sungai Baisha. Peluh muncul di permukaan dahinya. Tapi dia tampak bahagia. Chen Yulan. Apa gerangan yang membuat si Nona Anggrek tergesa-gesa?
Hari itu tanggal lima bulan kelima. Festival perahu naga akan berlangsung di sungai Baisha. Dan pada hari itu pula Yulan bisa berjumpa dengan orang yang telah lama ditunggu-tunggunya.
Lin Juxiong telah kembali. Dia mendengar para pelayannya berbisik-bisik kemarin sore. Kata mereka, Tuan Muda Kedua Lin tampak di depan rumahnya, tersenyum ramah ke arah mereka. Malamnya, dari jendela kamarnya, Yulan melihat ke rumah sebelah. Kamar belajar yang tiga tahun ini gelap di malam hari kini terang oleh cahaya lentera.
Lalu pagi tadi Yulan mendengar kalau Juxiong akan mengikuti perlombaan perahu naga. Dulu, Juxiong adalah seorang pendayung hebat. Teman-temannya sering membual kalau Lin Juxiong mampu mendayung menantang derasnya arus sungai Kuning dan Yangzi. Juxiong selalu menampik perkataan ini-meski menurut Yulan, Juxiong pasti sanggup melakukannya.
Dan Lin Juxiong membuktikan kehebatannya. Meski telah cukup lama tidak mendayung, dia masih mampu memperkuat kelompoknya memenangkan pertandingan perahu naga di Baisha. Yulan amat kagum. Dia tak sabar ingin menemui pahlawannya di tempat pertandingan. Maka, meski tak ditemani siapapun, Yulan nekat pergi sendirian ke sungai Baisha.
Di jembatan dekat arena pertandingan, Yulan berhenti berlari. Napasnya terengah-engah. Tak jauh dari jembatan, para peserta yang habis bertanding dan penonton berkumpul. Terdengar sorak-sorai dan nama Juxiong dielu-elukan. Jantung Yulan berdegup kencang. Separuh karena sehabis berlari, separuh karena gelombang kerinduannya.
Tiba-tiba dari arah belakang seseorang menghampiri Yulan dan menyapanya, “Nona Cantik, sedang apa kau berdiri sendirian di jembatan ini?”
Yulan langsung menoleh. Suara itu berasal dari seorang pria. Dia berpakaian bagus, memakai topi sutra hitam serta memegang kipas.
Pria itu berjalan mendekat membuat Yulan mundur hingga ke pinggir jembatan. “Nona Cantik,” rayunya. “Bolehkah kutahu siapa namamu?”
Logatnya menunjukkan kalau dia bukan penduduk Baisha. Gelagatnya kurang baik. Yulan langsung waspada. Dia tidak menjawab satupun pertanyaan pria itu. Yang dipikirkannya hanya melarikan diri dari pria itu secepatnya.
Pria itu mencoba mendekatinya lagi hingga Yulan bersiap untuk lari. Kemudian suara lain dengan tegas memanggil namanya.
“Yulan! Kemari!”
Yulan berpaling ke arah suara baru itu dan merasa amat lega. Lin Juxiong berdiri tegak di hadapan pria asing itu. Tangan kirinya siaga memegang dayung. Di sampingnya, ada tiga pemuda lain yang juga tengah memegang dayung. Mereka mengawasi si pria asing dengan tatapan tajam.
Yulan buru-buru berlindung di belakang Juxiong. Pria asing itu tak berkutik. Tapi dia masih coba beramah-tamah dengan Juxiong beserta kawan-kawannya. “Aku kebetulan lewat sini dan melihat ada pemandangan cantik. Jadi, aku mampir untuk menikmatinya…,” Pria itu sengaja menekankan kata pemandangan cantik sambil melirik ke arah Yulan. “Jika Tuan-Tuan berkenan, aku akan mentraktir kalian minum arak untuk merayakan kegembiraan festival perahu naga ini.”
“Terima kasih atas kemurahan Anda, tapi kami tak memerlukannya, Tuan,” sahut Juxiong. “Dan satu hal: Anda seharusnya menjaga sikap jika berada di desa kami,” Juxiong memperingatkan.
Pria asing itu tersenyum masam. Kelihatannya dia kesal disudutkan Juxiong. Dia permisi dengan menyoja asal-asalan, mengembangkan kipasnya, memasang wajah angkuh lalu meninggalkan tempat tersebut.
Seusai teman-temannya meninggalkan mereka berdua, Juxiong menegur Yulan. “Kau tak boleh sendirian jika keluar rumah. Orang-orang yang bermaksud jahat seperti pria tadi bisa berada di mana saja.”
“Habisnya, tak ada yang mau menemaniku kemari sementara aku…, aku ingin sekali melihat…nngg…”
“Melihat apa?”
“Melihat perlombaan perahu naga!”
***
Sewaktu pulang, Juxiong dan Yulan berjalan bersama menyusuri kembali sungai Baisha. Ranting-ranting pohon willow yang memanjang dan berdaun lebat menapis teriknya sinar matahari siang. Langit biru jernih tak berawan. Pemandangan di kedua sisi sungai tampak sangat indah.
Sepanjang perjalanan pulang kedua muda-mudi itu bercakap-cakap. Mereka membicarakan hal-hal umum seperti keadaan cuaca dan kesehatan. Belakangan Juxiong juga membicarakan kegiatan belajarnya lagi. Rencananya dia akan ikut ujian kerajaan di ibukota Beijing tahun depan.
Selama Juxiong berbicara, Yulan memperhatikannya. Pemuda itu kini lebih tinggi satu kepala darinya. Bahunya juga lebih bidang. Tubuhnya yang sekarang tegap. Kulitnya pun lebih gelap ketimbang tiga tahun lalu. Juxiong terlihat dewasa dan semakin tampan. Garis-garis wajahnya semakin jelas. Dahinya yang lebar, hidung cendekiawannya yang tegak serta sepasang mata hitam lebar dan dalam.
Malam itu Yulan lama berdiri di depan jendela melihat ke rumah sebelah. Ruang belajar Juxiong diterangi cahaya lentera. Sebuah siluet seseorang yang tengah membaca muncul dekat jendela. Juxiong tidak mendeklamasikan puisi malam itu. Yulan tidak keberatan. Mengetahui Juxiong telah kembali berada di rumahnya, itu sudah cukup membuat Yulan bahagia. Malam itu Yulan tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum. Tidurnya nyenyak. Tanpa mimpi.
***
Keesokan paginya Yulan terbangun dengan perasaan bahagia dan segar. Usai membasuh muka dan berdandan, dia berjalan menuju dapur, melihat para pelayan menyiapkan sarapan pagi.
Sesampainya di dapur, rupanya para pelayan tengah berkumpul dekat tembok belakang rumah. Terdengar suara berisik dari rumah sebelah. Dua di antara pelayan-pelayan itu mengambil tangga dan memanjat. Setelah turun mereka melapor,
“Rumah di belakang ini sedang diperbaiki. Banyak sekali pekerjanya. Ada yang memperbaiki genteng, memotong ilalang… pokoknya sibuk sekali.”
Rumah di belakang keluarga Chen adalah milik keluarga Yu. Ukurannya memang tidak sebesar rumah Chen tapi masih tergolong luas dan memiliki halaman depan dan belakang. Semenjak keluarga Yu pindah ke Hangzhou beberapa tahun lalu, rumah itu menjadi tak terawat. Setelah bertahun-tahun kosong tak berpenghuni, tiba-tiba sekarang ada pekerja-pekerja yang membersihkan tumah itu. Siapakah penghuni barunya gerangan?
“Aku tak melihat Tuan Yu ataupun anak-anaknya. Mungkin rumah ini disewa atau telah dibeli orang lain,” kata salah satu pelayan Yulan.
Yulan penasaran. Dia mendekati tangga lalu berkata, “Sini, biar aku memanjat dan melihat ke sebelah.”
“Nona! Kau sudah besar sekarang! Mana boleh memanjat tangga begini lagi? Kalau kau jatuh bagaimana?”
Yulan mendesah mendengar kekuatiran pelayannya. “Kalian tak perlu cemas. Kalau aku naik, kalian cukup memegang erat bagian bawah tangga ini supaya aku tak terjatuh bukan?”
Yulan mulai memanjat. Dua pelayan memegang bawah tangga. Sesampainya di puncak tangga, Yulan mendongakkan kepala. Rumah di belakang rumahnya itu kini memang dipenuhi pekerja lelaki. Mereka tampak sibuk memperbaiki dan menata rumah itu. Di antara kerumunan, muncullah dua orang pria yang berbicara agak keras.
“Aku ingin ini dicat ulang sesuai warna aslinya,” kata salah satu di antaranya. Aneh, pikir Yulan. Aku sepertinya pernah mendengar logat asing ini.
“Aku ingin semuanya selesai secepatnya!” pria itu memerintah. “Aku akan bayar berapapun asal rumah ini tampak megah seperti seharusnya-karena aku akan tinggal di sini!”
Sombong sekali, pikir Yulan. Pria ini seperti orang kaya baru.
Lalu pria itu muncul dari balik semak. Bersama pria lain yang bertubuh gemuk dan berkumis. Yulan membelalakkan mata. Pria itu masih berpakaian sama seperti kemarin. Topinya sutra hitam dan dia memakai kipas.
Kemudian, tanpa disengaja, pria itu menengadahkan kepalanya dan pandangannya bertemu dengan Yulan.
“Nona Anggrek,” Pria itu menangkup kedua tangannya, tersenyum menyoja Yulan.
“Selamat pagi. Pagi ini Anda tampak jauh lebih cantik dari kemarin.”
Yulan nyaris membatu di atas tangga. Seluruh pekerja yang ada di situ sontak melihat ke arahnya. Wajahnya bersemu. Dia membekap mulutnya erat-erat lalu menuruni tangga cepat-cepat.
Astaga! pekik Yulan dalam hati. Pria asing kemarin itu-kini menjadi tetangga barunya!
Bersambung...
Sumber :
http://merlinschinesestories.blogspot.com
Merlin's Chinese Stories, Merlin Penyihir Penasihat Raja Arthur.
Blog yang memuat hasrat-hasrat terpendam akan cerita-cerita China klasik dan segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar