Sabtu, 31 Juli 2010

Perempuan Kutukan


Aku tak menyangka kalau sebenarnya dia adalah seorang manusia; dari tatapan merah sepasang matanya, gerak-gerik tubuhnya, apalagi raut wajah yang menyerupai serigala. Awalnya, kupikir ia adalah seekor singa. Aku tak berani mendekatinya. Namun, dengan terpaksa karena penasaran dan perasaan bimbang, lalu kuperhatikan lebih dekat dan lebih jelas lagi. Oh! Ternyata dia seorang manusia, tapi tak seperti manusia. Aku tertegun saat melihatnya. Terutama ketika tahu kalau sebenarnya dia adalah manusia. Makhluk ciptaan Tuhan yang sejenis dengan kita.

Dia kutemui ketika aku sedang melintas di sebuah jembatan yang tak jauh dari rumahku. Jembatan tua yang terbuat dari kayu dan bambu-bambu kering. Mungkin jembatan itu sudah berumur puluhan tahun, karena dari bentuk dan cara parakitannya tidak seperti jembatan-jembatan buatan sekarang, meskipun sebenarnya jarang sekali sekarang ada jembatan yang terbuat dari kayu atau bambu-bambu kering.

Dua puluh tahun silam, jembatan tua yang melintang di tepi Sungai Tomalang sempat dimusnahkan. Pasalnya, karena sering menelan banyak korban. Tak jarang orang ketika melintas di jembatan itu sering terjerembab—jatuh ke dalam sungai. Tenggelam. Dan akhirnya nyawa mereka ikut melayang. Entah kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Bahkan tidak hanya satu-dua kali, sampai berulangkali. Tapi setelah beberapa bulan kemudian, jembatan itu dibangun kembali, sebab ketika musim penghujan air yang mengalir di sepanjang Sungai Tomalang menjadi semakin besar, dialiri air dari pesawahan, sehingga orang-orang tidak bisa melintas tampa adanya jembatan itu. Apalagi bagi anak-anak yang hendak pergi ke sekolah. Sulit sekali melintasinya. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya dibangunlah kembali. Dan sampai saat ini jembatan itu masih utuh.

Pernah pada suatu malam, terdengar suara tangisan. Tangis itu bermuara dari semak-semak tepi sungai di bawah jembatan; seperti suara yang sedang terhimpit oleh beberapa kayu dan batu-batu. Tangisannya menandakan rasa perih dan kesakitan. Namun, tak ada seorang pun yang berani mencari asal-muasal suara tangis itu. Berselang sesaat, berulah salah seorang warga kampung memberanikan diri menghampiri dan mencari asal-muasal suara tangis itu. Entah seberapa lama ia mencarinya. Tapi tak kunjung juga ia temui. Malah suara tangis itu seperti menjauh terhanyut gelombang air yang mengalir ke hilir. Kadang-kadang semakin histeris menusuk-nusuk telinga. Ada kalanya menghilang seketika.

Orang-orang panik mendengar tangisan itu. Tapi ada juga yang tak peduli. Bahkan sebagian mereka ada yang bilang, tidak mendengarnya sama sekali. Ada juga yang mengira, itu adalah suara gemericik aliran sungai yang jatuh dari bebatuan tinggi. Tidak! Suara itu benar-benar suara tangisan, ujar yang lain meyakinkan. Aku diam saja, meski sebenarnya aku juga bisa menangkap suara tangis seperti digeret peri. Suaranya menandakan kesakitan. Tapi aku tak yakin, apakah itu suara manusia, atau makhluk lain, atau makhluk kutukan.

“Makhluk kutukan?”

“Ya, makhluk kutukan.”

“Memang ada makhluk kutukan?” tanya seseorang tak percaya.

Awalnya aku juga tidak percaya tentang adanya makhluk kutukan. Kukira itu hanya dongeng-dongeng belaka seperti yang sering nenek ceritakan semasa aku masih kecil. Ya, ketika malam rebah dan aku dengan nenekku sudah menjelang tidur. Hampir tiap malam dia tidak pernah lupa bercerita hal itu. Tentang manusia kutukan. Terutama yang masih melekat dalam benakku saat ini, cerita seorang anak yang tidak taat pada kedua orangtuanya, dia sering membantahnya, menyakiti hatinya, bahkan sering menganiayanya, karena ibu dan ayahnya sudah tua renta. Kemudian, karena ibunya tidak tahan dengan kelakuan anaknya, lalu dia mengutuknya agar tidak pernah mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sejak itu aku jadi takut untuk membantah dan menyakiti hati kedua orangtua.

***
“Lalu, dia bagaimana?” tanyanya setelah aku menjelaskan panjang lebar tentang seseorang yang pernah kutemui di sebuah jembatan di tepi Sungai Tomalang.

“Awalnya, dia memang manusia biasa. Manusia normal seperti kita. Tidak hanya hidup normal. Melainkan dia kaya. Punya segalanya; rumah megah, hidup mewah. Singkatnya dia adalah keluarga orang kaya.”

“Lalu, mengapa dia dikutuk? Bukankah hidup kaya dan hidup mewah menjadi impian nomor satu oleh setiap orang sekarang?”

Aku diam membisu tak menjawabnya. Benar juga! pikirku. Siapa yang tak ingin hidup kaya, mewah? Bahkan usaha apa saja bisa mereka lakukan demi mencapainya, batinku, tapi aku tak mengungkapkannya.

“Siapa yang mengutuknya?” tanyanya lagi.

“Tuhan”

“Tuhan?! Tuhan Allah? Tidak mungkin! Dia tidak akan menyiksa apalagi mengutuk hambanya yang sering berbuat baik. Orang kaya kan sering membantu kita-kita yang miskin; memberi makan, memberi sumbangan uang, membantu orang yang tertimpa bencana. Jadi, tidak mungkin Tuhan mengutuk orang-orang kaya.” Wajahnya mulai mengerut. Matanya berputar-putar memikirkan sesuatu, seperti ada yang tersimpan dalam hatinya dari apa yang baru saja ia katakan.

Aku kembali diam. Sesekali suara gemericik air yang mengalir di Sungai Tomalang semakin terdengar kencang. Sementara suara-suara hewan malam, gemericik air embun yang berjatuhan, serta desau angin mulai berdatangan, semuanya mewarnai malam penuh kesunyian.

Dua puluh tahun yang silam, sebelum perempuan itu mendapat kutukan, ia memang dikenal sebagai salah seorang yang sering membantu warga miskin di kampungnya. Memberi uang sumbangan ke beberapa pembangunan mushala dan masjid. Bahkan salah satu berdirinya madrasah di kampung halamannya karena perjuangannya pula. Dialah yang banyak andil dan mengeluarkan dana untuk kepentingan masyarakat setempat. Setelah beberapa bulan kemudian, tampa pamit ia pergi entah ke mana. Tak seorang pun mengetahuinya. Tapi yang jelas, dia pergi setelah kematian sang suami yang sangat ia cintai. Dan kematiannya pun karena terjerembab—jatuh dari jembatan di Sungai Tomalang.

“Lalu, kenapa Tuhan musti mengutuknya? Bukankah yang sering dilakukan perempuan itu adalah amal baik?” tanyanya sekali lagi setelah menyimak ceritaku yang panjang lebar itu.

“Bukan! Bukan itu. Tuhan tidak mengutuk perbuatan baiknya. Tapi…” bibirku terkunci tiba-tiba. Entah kenapa ada yang terasa berat seketika dalam batinku untuk mengungkapnya.

“Tapi apa?” tanyanya mendesak dengan nada lantang.

“Wah! Hari sudah malam, ayo kita pulang!” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, untuk melepaskan perbincangan yang sempat membuat hatinya ganjil. Lalu dia berdiri duduknya di atas batu-batu karang. Aku pun berdiri mengikuti langkahnya. Kemudian kami beranjak untuk segera pulang. Malam sudah larut dengan kesunyian. Suasana di perkampungan itu semakin mencekam. Namun masih kulihat sedikit keindahan, yang terpancar dari butiran-butiran sinar purnama dan bintang gemintang.

Malam berikutnya, ketika aku hendak melintasi jembatan di Sungai Tomalang, aku terdiam sejenak, kembali teringat kepada seorang perempuan yang pernah kutemui beberapa hari akhir-akhir ini. Ya, seorang perempuan yang tak kusangka bahwa sebenarnya ia adalah manusia. Karena dari tatapan matanya, gerak-gerik tubuhnya, bahkan raut wajahnya yang menyerupai serigala.

Lalu, ketika aku menginjak tepat di ujung jembatan, terdengar ada suara-suara jeritan. Suara itu tak jauh beda dengan suara tangis yang pernah kudengar beberapa malam sebelumnya. Bermuara dari semak-semak tepi sungai di bawah jembatan. Suaranya seperti kesakitan. Sontak, setelah kulihat ada wajah menyeringai serupa serigala. Persis seperti wajah yang ketemui di malam sebelumnya. Seketika tubuhku gemetar. Aku ketakutan. Aku akan lari dari kenyataan. Tapi dia seperti terus menggerogotiku. Dan menguasai seluruh komponen tubuhku. Aku menoleh. Tapi dia sudah lenyap dari pandangan.

Aku diam gemetar, tak melanjutkan perjalanan. Kakiku serasa berat sekali untuk melangkah. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, agar orang mendengar lalu datang menghampiriku. Tapi bibirku terkunci rapat. Tak satu kata pun yang bisa kuungkap. Sekujur tubuhku basah oleh keringat. Tubuhku sakit, perih! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku seperti orang bisu begini? tanyaku dalam hati, tapi tetap saja tak bisa untuk kuungkap. Apakah aku akan mendapat kutukan? Ah, tidak!

Lima belas tahun yang silam. Aku mengetahui yang sebenarnya tentang kematian suami perempuan itu. Dia memang ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa di bawah jembatan di Sungai Tomalang. Tapi sebenarnya dia tidak jatuh—terjerembab dari jembatan. Dia sengaja dibunuh oleh istrinya, kemudian dijatuhkan dari jembatan, supaya orang-orang tidak curiga kalau sebenarnya dialah yang membunuhnya. Dan aku mengetahuinya, bahkan aku yang membawanya dan melemparnya dari jembatan itu. Tapi sengaja tidak memberi tahu warga karena perempuan itu telah memberiku uang dengan jumlah yang sangat banyak. Lalu perempuan itu pergi dengan harta melimpah dari warisan suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar