Sabtu, 31 Juli 2010

Gila Bola


Sebagai pasangan pengantin baru, tentu tak berlebihan jika aku selalu ingin diperhatikan dan dimanja oleh Mas Gunawan, suamiku. Dan, aku bersyukur, karena Mas Gun–begitu panggilan keseharianku kepadanya–adalah tipe lelaki romantis, yang selalu memberikan kejutan-kejutan hangat dan manis.

Namun, kini, kehangatan yang selalu Mas tampakkan perlahan memupus, semenjak digelarnya piala dunia beberapa hari lalu. Tentu saja, aku merasa terabaikan. Diacuhkan. Aku jadi merasa sepi saat senja beringsut malam, padahal suamiku tak pergi ke mana. Mas Gun yang setiap malam Minggu mengajakku makan bakso favorit di sebelah terminal pun kini tak ada waktu buat mengajakku lagi.

“Kalau hanya mau beli bakso, kamu kan bisa beli baksonya Mang Dadang, yang biasanya lewat depan rumah, Say,” ujar Mas Gun saat selepas magrib aku kembali mengajaknya jalan-jalan ke alun-alun dan mengakhirinya dengan bersantap baksonya Pak Kirno, di sebelah terminal.

“Ah, tetep aja masih kalah dengan baksonya Pak Kirno. Ayolah, Mas Gun, aku kan juga pengen jalan-jalan menikmati suasana malam minggu kayak biasanya,” aku terus merajuk.

“Lain kali ajalah, Say, soalnya ntar jam tujuh ada pertandingan bola tim jagoanku, sayang kalo dilewatkan. Piala dunia kan nggak setiap tahun digelar, Say,” keterangan Mas Gun–sudah nggak mau, pakai say-say segala–terang saja membuatku gondok. Sebel. Ugh! Bola lagi bola lagi. Dasar Gibol. Gila Bola!

Masa dia lebih mementingkan bola sih daripada perasaan istrinya yang sedang butuh suasana yang romantis, dan tentu saja pengen perhatian kasih sayangnya? Aku meutuk kesal. Dan malam itu aku gagal bermalam Minggu sembari menikmati baksonya Pak Kirno yang uenak tenan. Seusai shalat isya, aku langsung meringkuk di kamar. Aku lebih sreg mengisi waktu senggangku buat membaca buku dan majalah daripada menemani Mas Gun menonton bola di ruang tamu yang acap diselingi teriakan, sesekali kepalan tinju pertanda gemas karena pemain jagoannya gagal menembus gawang lawan.

***

Tengah malam, aku terjaga paksa saat mendengar teriakan “gooool” dari mulut Mas Gun. Jantungku rasanya mau copot. Kulirik jam silver di dinding kamar. Pukul dua? Gila. Perasaan sejak pukul tujuh Mas Gun sudah stand by di depan televisi. Sampai selarut inikah pertandingan bola tim jagoannya belum kelar juga? Aku menarik paksa tubuhku dari ranjang. Setelah kurapikan rambutku yang acak-acakan dan melangkah ke dapur mengambil air putih untuk meredakan tenggorokanku yang mendadak kerontang, segera kuhampiri suamiku yang masih asyik nonton bola.

“Mas, udah malam nih. Ingat besok pagi-pagi ngantor lho,” tegurku pelan, mencoba menahan gumpalan kesal dalam dada. Bagaimanapun dia suamiku, lelaki yang berhak menjadi kepala rumah tanggaku, dan hingga saat ini aku masih berusaha menghormati dan memahami kegilaannya pada benda bulat yang, katanya, juga digilai mayoritas penduduk dunia itu.

“Wah, ini lagi seru-serunya, Say,” sahutnya santai masih dengan kata “say”-nya yang menyebalkan tanpa sedikitpun menolehku.

Aku mencoba duduk di sebelahnya dan berusaha menetralisir kegondokanku yang kian menyiksa.

“Eh, kamu mau nonton juga, Say? Bagus! Rugi memang kalo sampe dilewatkan. Ini pertandingan keren, Argentina melawan Korea Selatan,” ujarnya tanpa kutanya, kali ini dengan menolehkan kepalanya sebentar lalu kembali asyik menatap layar LCD 21 inci.

“Mas,” nyaris aku mengucapkannya tanpa suara. Tentu Mas Gun tak mendengar panggilanku yang sudah pasti terkalahkan oleh suara sorak-sorai para supporter bola yang berteriak menyemangati tim pujaannya.

Benar. Ia tak mendengar panggilanku barusan. terbukti dia tetap tak bergeming menolehku. Ah!

***

Aku terjaga dari tidurku saat Mas Gun membopong tubuhku dan merebahkanku di ranjang. Ah, rupanya aku ketiduran saat mendampingi Mas Gun menonton bola semalam. Kulihat seulas senyum merekah di sudut bibirnya. Kedua matanya nampak memerah kelelahan. Beberapa menit selanjutnya akhirnya langsung pulas dengan dengkur halus di sebelahku. Dan, sama sekali aku tak berhasrat mengusik lelapnya.

Pelan kutarik tubuhku, melirik jam dinding yang menggantung setia di sana. Jam tiga pagi lebih dua puluh menit. Astaghfirullah…nyaris semalam suntuk waktu yang semestinya digunakan untuk istirahat setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor, malah dihabiskan di depan televisi. Jangan-jangan semalam Mas Gun lupa shalat Isya? Ah! Semoga saja firasatku keliru.

***

“Mas, bangun, subuhan dulu tuh!” Aku menggoyang pelan tubuh Mas Gun yang masih tampak pulas dengan dengkuran halusnya.

Dia hanya menggeliat dan mengubah posisi tidurnya dari miring ke samping menjadi rebah tertelentang.

“Mas, subuhan dulu gih, masa shalat kalah sama bola,” kuusap-usap kepalanya yang sedikit botak, berharap dia segera terbangun.

“Jam berapa, Say?” ucapnya lirih tanpa sedikitpun membuka kedua bola matanya yang berhiaskan alis tebal. Hmm, bahkan dalam posisi tidur dengan dua mata terpejam begini, Mas Gun tetap saja terlihat ganteng, gumamku.

“Jam setengah enam kurang sepuluh menit,”

Eh, bukannya segera bangun, Mas Gun malah membalikkan tubuhnya.

“Ih, Mas, buruan bangun, subuhan dulu. Ntar waktunya habis lho,” aku menarik-narik lengannya.

“Bentar, Say, masih ngantuk,” sahutnya malas.

Berulangkali kucoba membangunkannya, tapi hingga pukul tujuh, saat mestinya Mas Gun harus sudah tiba di kantor, dia masih belum terbangun juga. Dan, sengaja aku tak membangunkannya lagi memang. Kekesalanku sudah memuncak. Dan, hari ini, aku ingin memberikan pelajaran pada suamiku. Biar saja ia malu ditegur pimpinannya di kantor. Bahkan kalaupun dipecat, aku tak masalah. Biar dia bisa mengerti bagaimana arti kedisiplinan sesungguhnya. Supaya ke depan Mas Gun lebih bisa mengatur lagi waktunya.

Akhirnya, setelah kutunggu sembari membaca buku di ruang tamu, jam delapan lebih empat puluh menit, Mas Gun terbangun juga dari pulasnya.

“Say, kok nggak bangunin aku sih?” katanya sambil menjejeriku yang tengah asyik membaca di sofa ruang tamu.

“Mas, Mas, udah berkali-kali sampai capek aku bangunin kamu, tapi tetap saja, kamu lebih mementingkan dirimu daripada panggilan Tuhan untuk beribadah,” sahutku tanpa menoleh. Walau aku telah berusaha menahan emosi, tapi agaknya nada bicaraku masih kentara ketusnya.

“Sorry deh, Say. Aku ngantuk banget soalnya,” ucapnya tanpa kutemukan sedikit pun rasa sesal dari nada bicaranya.

"Mas, mestinya Mas mohon maafnya jangan sama aku,” kali ini kucoba menatap wajah suamiku yang masih kusut dan lesu. Keningnya mengerut, mungkin tak paham dengan kalimatku barusan.

“Sama siapa?” tanyanya kemudian, masih belum bisa mencerna ucapanku. Ah, sebegitu dahsyatkah virus gibol hingga membuatnya lalai untuk memenuhi panggilan ibadah dari Sang Pencipta?

“Ya minta ampun sama Tuhanlah, Mas. Udah, cepetan di-qodho dulu shalatnya sana,” kataku sambil kembali menekuri bacaanku.

“Ya ampun, Say. Aku nggak subuhan tadi ya, astaghfirullah,” sahutnya lantas bangkit dari sofa dan gegas menuju kamar mandi.

Seusai mandi dan meng-qodho shalat subuh, Mas Gun dengan wajah santai menghampiriku yang masih terus menyelesaikan bacaanku.

Mas Gun duduk menjejeriku dan merangkulku. Aku menatapnya heran, kok dia begitu santainya tak berangkat ngantor? Jangan-jangan virus gibolnya juga telah membuatnya amnesia 12? Eh, dia malah senyam-senyum menatapku.

“Kenapa, Say, mau nanya kenapa aku nggak ngantor? Kan ini hari Minggu,” katanya tersenyum lebar seakan bisa membaca isi benakku. Terang saja aku makin gondok dibuatnya. Ya, benar.

Ah, kenapa juga malah aku yang jadi amnesia begini. Aku langsung pasang raut cemberut. Ah! Aku mesti segera cari cara lain biar Mas Gun tak mengabaikan dan menggodaku seperti ini lagi. Aku juga tak mau gara-gara kegilaannya pada bola hingga mengalahkan kewajibannya pada Tuhan, janjiku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar