Selasa, 27 Juli 2010

Xing`er Dan Xulan


Beijing, masa akhir Dinasti Qing.

Tangan mungil gadis kecil itu digandeng seorang bibi paruh baya. Keduanya berjalan mengitari lorong-lorong yang panjang, koridor-koridor berliku serta taman-taman buatan. Rumah itu terasa begitu besar bagi si gadis kecil. Bila dibandingkan dengan rumahnya yang hanya terdiri dari satu ruangan di desa, rumah ini bak istana. Si gadis kecil dan bibi paruh baya melangkahi sebuah palang kayu dan masuklah mereka ke kamar tidur yang besar dan mewah.

“Nyonya, aku telah membawanya,” kata si bibi.

Gadis kecil agak ketakutan. Dia tak berani mengangkat kepala melihat wanita di depannya. Samar-samar didengarnya bunyi korek api menyala. Disusul suara desahan napas lega.

“Gadis kecil, angkat kepalamu,” perintah sang Nyonya. Suaranya lembut namun berwibawa. Dengan gemetaran si gadis kecil mengangkat kepala menatapnya. Alis wanita itu halus. Matanya sipit melancip ke atas. Dia mengenakan cheongsam satin hitam dengan bordir bunga-bunga merah. Rambutnya ditata dengan gaya rumit dan dihiasi beberapa jepit giok. Sepasang anting-anting mutiara bergoyang-goyang di bawah telinganya.

Sang Nyonya juga memegang setangkai pipa panjang yang mengepulkan asap jika dihisap. Si gadis kecil gelisah karena sorot mata sang Nyonya sedang menilainya dari atas hingga bawah.

“Apakah menurutmu dia tidak terlihat terlalu kurus?” tanya sang Nyonya kepada bibi paruh baya.

Dengan mulutnya yang lincah, si bibi menjawab,”Saat ini dia memang terlihat kurus. Tapi tenanglah Nyonya, aku akan memberinya makan yang banyak supaya dia bisa gemuk seperti babi.”

“Aku tak mau rugi dengan membeli seorang pelayan kecil yang sakit-sakitan,” sang Nyonya terlihat ragu-ragu.

“Tidak Nyonya,” si bibi buru-buru menyela. “Nyonya tak akan pernah rugi membeli anak ini-setidaknya begitulah yang dijanjikan ibunya. Meski baru berusia delapan tahun dia rajin dan giat bekerja.”

“Sebenarnya aku belum terlalu membutuhkan tambahan pelayan saat ini,” sang Nyonya menghisap pipanya dalam-dalam. Asap keluar dari mulutnya - seperti kabut yang perlahan-lahan menyelimuti wajahnya. “Tapi kupikir dia cocok dengan putriku. Berikan dia jadi pelayannya.”

Si bibi mengangguk dan mendorong si gadis kecil agar membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. Setelah itu mereka keluar dari ruangan itu, melewati palang kayu tadi dengan tangan gadis kecil yang tetap digandeng.

Keduanya kembali menyusuri koridor berliku, melewati taman-taman lain dan memasuki sebuah gerbang berbentuk bulan purnama. Di balik gerbang ada bangunan lain-sebuah ruangan yang tak kalah besar dan mewahnya dari kamar tidur sang Nyonya.

Gadis kecil dan si bibi masuk. Ruangan itu memancarkan wewangian dupa cemara yang menyenangkan. Sebuah tempat tidur besar dengan ukiran-ukiran rumit terdapat pada satu sisi. Ranjang itu berkelambu sutra biru. Dan di atasnya duduk anak perempuan lain.

“Nona, kata Ibumu, mulai sekarang dia akan menjadi pelayanmu,” kata si bibi.

Anak perempuan itu terlihat lebih tinggi dari si gadis kecil. Dia mengenakan cheongsam merah muda dari sutra jin terbaik. Rambutnya terkepang rapi tanpa sehelai pun keluar dari alurnya. Sejenak dia menatap bibi dan si gadis kecil, kemudian mengacuhkan mereka. Tangan kanannya yang bergelang lonceng menepuk-nepuk sebuah bola kain. Menimbulkan bunyi gemerincing.

Bibi paruh baya mengabaikan sikap acuh tersebut, keluar ruangan meninggalkan si gadis kecil dan anak perempuan itu. Si gadis kecil berdiri terpaku menatap anak perempuan di depannya. Si anak perempuan mengabaikannya dan terus saja menepuk bola.

Lama kemudian baru si anak perempuan berhenti menepuk bola dan mulai memperhatikan pelayan barunya.

“Apa kau bisa bicara?” tanya si anak perempuan.

Gadis kecil mengangguk.

“Apa kau punya nama?” tanya si anak perempuan lagi.

Gadis kecil menjawab, “Ibuku memanggilku Xiao Ya Thou-anak perempuan kecil.”

“Huh, itu sih bukan nama,” dengus si anak perempuan. Dia kembali menepuk bola kainnya. “Apakah kau punya baju lain?”

Gadis kecil menunduk dan melihat blus cheongsam hijaunya yang mulai lusuh karena lama dipakainya di perjalanan.

“Ini satu-satunya baju yang kupunya, Nona.”

Anak perempuan itu seolah menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian dia berujar, “Baiklah, karena kau datang dengan mengenakan baju hijau, kau akan kuberi nama Ching’er-Gadis Hijau.”

“Tapi aku biasa dipanggil Xiao Ya…”

“Sudah kubilang itu bukan nama,” potong si anak perempuan. “Dan jangan memanggilku Nona terus. Aku juga punya nama. Xulan-yang berarti Anggrek.”

***
Itulah hari pertama Ching’er memasuki rumah keluarga Chen. Pemilik pabrik penenunan serta pewarnaan kain di pinggir kota Beijing. Waktu itu, Sun Yat-sen baru saja memroklamirkan China sebagai negara republik dan Kaisar Manchu terakhir yang masih kanak-kanak, Pu Yi, dipaksa turun tahta.

Kemiskinan telah membuat Ibu Ching’er membuat keputusan sulit. Tiga tahun sebelumnya, suaminya pamit ke selatan untuk merantau dan sejak itu tak pernah lagi terdengar kabarnya. Dia terpaksa menjual Ching’er-anak satu-satunya, kepada keluarga kaya mana yang mau membelinya sebagai pelayan.

Maka sampailah Ching’er ke keluarga Chen. Meski di tengah keadaan sulit masa itu, keluarga Chen tetap makmur sehingga sanggup membeli pelayan lagi. Kekaisaran runtuh dan para bangsawan memudar keningratannya-tapi hal ini tidak melunturkan bisnis keluarga Chen. Orang-orang kaya baru terus bermunculan. Dan mereka membutuhkan lebih banyak kain yang dibuat serta diwarnai dengan berbagai corak untuk dipotong dan dijahit menjadi baju baru.

Ching’er menjadi pelayan Chen Xulan, anak bungsu sekaligus putri tunggal keluarga Chen. Ketika pertama kali berkenalan, Xulan berusia sebelas tahun dan baru tiga bulan menjadi yatim. Ayahnya meninggal karena sakit tipus. Bisnis keluarga dilanjutkan oleh kakak tertuanya yang baru berumur sembilan belas.

Meski hidup seperti Tuan Putri, Xulan kesepian. Ketiga saudara lelakinya sibuk dengan urusan masing-masing. Sementara Ibunya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar menghisap candu. Lama-kelamaan, Nyonya Besar yang pertama kali dilihat Ching’er dengan penampilan menakjubkan itu semakin kurus dan ringkih. Beberapa tahun mendatang, wajahnya pun memucat dengan bagian bawah mata cekung ke dalam dan pipi mengkerut.

Ching’er segera mendapati kalau dia bisa berteman baik dengan Xulan meski pada awalnya gadis itu terkesan angkuh. Anehnya, Xulan justru bersikap amat baik terhadap Ching’er. Anak perempuan kaya yang kurang perhatian ibunya itu sering membagi barang-barangnya kepada Ching’er. Baju-baju bagus yang sudah tak terpakai, perhiasan serta makanan.

Xulan pula-lah yang mengajari Ching’er mengenal huruf. Dalam diri Xulan terpendam bakat alami seorang guru. Berkat Xulan, Ching’er dapat menulis namanya sendiri. Huruf Ching dengan enam goresan vertikal serta tiga goresan horizontal. Dan huruf er dengan dua goresan horizontal. Ching’er begitu bahagia ketika dia bisa menulis namanya sendiri. Setahu Ching’er, dengan begitu dia menjadi wanita pertama dalam keluarganya yang bebas buta huruf. Dalam kegembiraannya yang meluap-luap Ching’er berkata,

“Nona begitu baik padaku melebihi Ibuku sendiri. Kelak di kehidupan mendatang aku berharap kaulah yang menjadi Ibuku.”

Xulan sedikit terkejut mendengar pengakuan yang tulus itu. Pipinya tersipu-sipu dan dia amat bangga karenanya.

***
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa, Ching’er telah delapan tahun tinggal di keluarga Chen.

Dia tidak berhubungan dengan Ibunya. Terakhir, Ching’er mengunjungi ibunya sewaktu berusia tiga belas tahun. Wanita itu tengah sakit dan dengan meronta mengusir Ching’er keluar rumah dan memintanya untuk tidak datang lagi. Ching’er sakit hati dengan perlakuan Ibunya. Rupanya Ibunya menganggap setelah Ching’er dibeli orang lain, dia telah sepenuhnya bukan miliknya lagi.

Ching’er hanya bisa bahagia bila berada di dekat Xulan. Baginya, nonanya itu tidak sekedar majikan. Dia bisa menjadi saudara, teman, guru sekaligus ibu.

Kini usia Ching’er enam belas dan Xulan delapan belas. Tiga tahun sebelumnya, Nyonya Chen, ibu Xulan meninggal karena sakit paru-paru. Xulan tidak terlalu merasa kehilangan. Toh selama ini ibunya lebih memilih candu ketimbang dirinya. Tiga tahun usai masa berkabung Xulan tumbuh bak kupu-kupu yang cantik. Ibarat bunga dia tengah mekar-mekar dan ranum-ranumnya. Sekarang, rambutnya telah dijalin dengan begitu rumit dan diberi hiasan jepit bunga anggrek sesuai dengan namanya.

Keluarganya mulai membicarakan masalah pernikahannya. Istri kakak lelaki tertua Xulan pernah berkata kepada suaminya, “Sampai kapan adik perempuanmu tinggal bersama kita? Menyimpan seorang gadis terlalu lama tidaklah baik. Sebaiknya kau lekas menikahkannya sebelum sesuatu yang buruk datang menimpa.”

Si kakak sulung mengelak, “Sabarlah. Tunggulah setengah tahun lagi. Akan kucarikan calon suami yang tepat lalu kita nikahkan dia.”

Namun, sebelum setengah tahun berlalu, hal yang buruk telah datang lebih cepat dari yang diduga. Semuanya bermula pada suatu siang ketika Xulan dan Ching’er keluar bersama ke pasar. Dan serombongan tentara memasuki pasar dengan derap kuda membabi-buta.

Masa itu di China utara bermunculan panglima-panglima perang yang saling berperang untuk memperoleh daerah kekuasaan. Dan salah satu diantaranya itulah pada hari itu memasuki wilayah pinggiran Beijing. Kudanya nyaris menendang Xulan dan Ching’er. Kedua gadis itu begitu terkejut hingga tersungkur. Si Panglima turun dari kudanya. Dan sewaktu melihat Xulan, dia terpana.

“Mari kubantu kau berdiri,” pria itu mengulurkan tangan-tapi ditampik Xulan yang lebih memilih dibantu Ching’er.

“Wahai Nona cantik, siapa namamu dan di mana rumahmu?”

Xulan mendelik menatap lelaki itu. Pria itu kelihatan menakutkan.Aksen bicaranya aneh. Mungkin dia orang Mongolia. Kulitnya hitam. Tubuhnya tinggi besar. Matanya besar dan bibirnya tebal menyunggingkan senyum kurang ajar.

Xulan mengabaikan pria itu dan menarik Ching’er untuk pergi. Pria itu meneriakinya,

“Wei, kau belum menjawabku, Nona!”

Xulan belum pernah diteriaki seperti itu. Dia berbalik dan menatap tajam. Pria itu tertawa. Akhirnya, masih dengan senyum kurang ajarnya dia berkata,

“Meski kau tak mau bilang sekarang, aku toh tetap tahu siapa dirimu dan di mana kau tinggal. Berhati-hatilah karena kemungkinan aku akan menculikmu.”

Xulan segera menarik Ching’er pergi diiringi tawa keras lelaki itu.

Sorenya, seorang beberapa tentara datang mengunjungi rumah Xulan. Salah satu di antaranya, minta bertemu dengan Tuan rumah. Saudara-saudara lelaki Xulan menemuinya. Para wanita tidak diperbolehkan hadir. Tapi dari balik kisi-kisi tirai pembatas ruang tengah dan ruang tamu, Xulan dapat melihat serta mendengar jelas.

“Pemimpin kami, Panglima Zhao siang tadi bertemu dengan seorang gadis menawan dari rumah ini. Dia bergaun sutra merah dengan jepitan bunga anggrek di kepalanya. Apakah dia adik perempuan kalian, Tuan-Tuan?”

Pria yang berbicara itu tidak sama dengan yang ditemui Xulan siang tadi. Yang ini perawakannya lebih langsing. Dengan gaya bicara lembut tapi tak kalah mengintimidasinya dari sang komandan.

Kakak sulung Yulan menjawab kikuk. “Kami tak tahu kalau Yang Terhormat Panglima pernah bertemu adik kami. Setahu kami, seharian ini adik perempuan kami berdiam diri di kamarnya dan tidak keluar rumah.”

“Jangan membodohi kami, Tuan Muda,” ujar pria itu dengan nada lembut yang dibuat-buat. “Kami sudah menanyai orang-orang dan mereka semua menunjuk gadis itu tinggal di sini.”

Wajah kakak sulung berubah keruh.

“Pemimpin kami menyukainya,” lanjut pria tu. “Kalu biasanya dia langsung membawa pergi gadis pilihannya, kali ini adik perempuan kalian adalah pengecualian. Pemimpin kami sangat menghormati keluarga baik-baik dan terpelajar seperti Anda sehingga mengutusku untuk mengajukan lamaran resmi.”

Ketiga saudara lelaki Xulan pucat-pasi. Mereka tentu tahu arah pembicaraan pria itu.

“Malam nanti pemimpin kami akan mengirim tandu pengantin kemari. Sebaiknya kalian bersiap. Pemimpin kami tak akan lama di kota ini. Dia hanya singgah sebentar. Tapi jika malam nanti dia pergi tanpa memperoleh pengantinnya, maka…”

Pria itu menyeringai. Dia lalu bangkit berdiri. Sebelum keluar, dia masih berbalik sekali dan berkata kepada ketiga saudara lelaki Xulan,

“Ingat. Waktunya malam ini. Kalian sudah harus menyiapkannya mulai dari sekarang. Tandunya akan datang pukul sepuluh.”

Xulan yang mendengar sepanjang percakapan bergidik. Dia membayangkan pria yang ditemuinya siang tadi. Membayangkannya saja sudah membuatnya mual. Apalagi sekarang dia harus menjadi mempelai pria itu…? Dia tak sudi!

Seisi rumah gempar mendengar berita ini. Ketiga saudara lelaki Xulan berembuk di ruangan tertutup. Kaum wanita gundah-gulana. Tak terkecuali Ching’er. Dia segera bersembahyang kepada Buddha memohon kebaikan bagi Xulan.

Setelah hampir sejam berdiskusi, Xulan dipanggil menemui kakak-kakaknya di ruangan tertutup itu. Senja sudah mulai turun tapi lilin-lilin belum dinyalakan. Membuat suasana di ruangan itu temaram dan misterius.

Berikutnya, apa yang akan disampaikan ketiga saudara lelakinya tak akan pernah dilupa Xulan. Dengan setengah berbisik, kakak sulungnya memulai percakapan,

“Kami telah merencanakan sesuatu untukmu. Dan kau tinggal melaksanakannya…”

***
Usai pertemuan tertutup dengan ketiga kakaknya, Xulan berdiam diri di kamar. Dia tidak mau makan atau minum sehingga pelayan dapur menyuruh Ching’er membawakannya dua piring makanan kecil.

“Nona, ayolah makan,” bujuk Ching’er. Awalnya Xulan menolak. Tapi Ching’er membujuk terus hingga akhirnya Xulan menyerah.

“Baik, aku akan makan. Tapi kau harus menemaniku,” kata Xulan.

Ching’er lalu duduk bersamanya. Sambil makan, Ching’er mencoba menyemangati Xulan, “Nona jangan mencemaskan pria yang kita temui tadi siang. Ketiga kakak Nona adalah orang berpengaruh. Mereka pasti bisa menemukan penyelesaian masalah ini. Mungkin pria hanya ingin sejumlah besar uang. Kalau begitu ketiga kakak Nona pasti bisa menyediakannya.”

Dengan sumpit, Xulan memasukkan sebongkah pangsit ke mulutnya dan mengunyahnya lamba-lambat. Seandainya saja semudah itu, pikirnya. Xulan menatap Ching’er dengan sendu.

“Adakalanya uang tak mampu menyelesaikan masalah, Ching’er. Dan kita terpaksa dituntut melakukan sesuatu di luar kemauan kita…”

Mendengar perkataan Xulan, Ching’er terperanjat. Dipegangnya lengan Xulan erat-erat.

“Nona jangan bilang, kalau Nona setuju pergi dengan pria itu. Selama ini kau hidup nyaman dan terawat. Apa yang akan terjadi padamu kelak kalau kau menikahinya?”

Xulan menggeleng perlahan. “Tentu saja aku tak mau ikut bersamanya, Ching’er.”

Ching’er menghembuskan napas lega. “Syukurlah,” katanya sambil mengelus dada. “Nona jangan sampai mengorbankan diri untuk pria semacam itu. Aku bahkan tak sudi. Kalau aku…, aku akan memilih mati daripada menikahi pria macam begitu.”

Senyum tipis mengambang di wajah Xulan. Tapi lelaki itu tak akan meninggalkan tempat ini sebelum membawa mempelai dari rumah keluarga Chen,-hati Xulan berbisik. Jika dia tidak mendapat mempelai, kemalangan apa lagi yang akan terjadi di rumah ini?

Xulan tepekur sesaat. Kemudian dia berkata kepada Ching’er, “Tolong ambilkan aku sebotol arak di dapur.”

“Nona sebaiknya jangan minum malam ini.”

“Laksanakan saja keinginanku. Aku ingin minum malam ini.”

Maka, pergilah Ching’er ke dapur. Tak lama kemudian dia kembali dengan sebuah nampan berisi dua botol keramik kecil. Kedua botol itu berukuran sama tapi memiliki pola hias berbeda. Satu botol bercorak bunga-bunga krisan dengan cat warna-warni cerah. Botol lainnya berwarna dasar putih dengan gambar tanaman bambu biru sebagai hiasannya.

Ching’er meletakkan nampan ke atas meja. “Pelayan dapur berkata hanya ada dua botol arak ini yang tersisa setelah perayaan bulan purnama tiga hari lalu. Kepala rumah tangga baru akan membeli arak baru menjelang festival chongyang sepuluh hari lagi.”

Xulan mendengar penjelasan Ching’er tanpa berkata apa-apa. Dia mengambil botol bercorak bunga-bunga krisan dan menuang isinya ke cawan Ching’er.

“Rupanya, isi botol ini sedikit sekali,” celutuk Xulan sewaktu menandaskan isi arak ke cawan Ching’er. Isinya benar-benar hanya cukup untuk secawan saja. Xulan mengambil botol satunya yang bergambar bamboo. “Yang ini isinya lebih banyak,” katanya sambil menuang arak ke cawannya sendiri.

Xulan mengajak Ching’er minum bersama. Mereka bersulang. Dan untuk sesaat, mereka seolah melupakan si panglima perang. Keduanya minum hingga tiga cawan. Usai itu, Xulan memperhatikan Ching’er dengan seksama. Pipi gadis itu merah padam seperti apel.

Perlahan, Xulan mencabut jepit bunga anggrek dari rambutnya. Dia lalu berdiri. Dipasangkannya jepit rambut itu ke kepala Ching’er.

“Apa-apaan, Nona?” Ching’er terkejut dan mencoba mengelak.

“Ssst, jangan bergerak, aku mencoba memasang ini di rambutmu. Nah, kelihatan cocok sekali. Ambillah untukmu, Ching’er.”

“Apa? Nona sudah mabuk ya?” Ching’er memprotes. “Jepit rambut ini kesayangan Nona. Mengapa memberikannya padaku?”

Xulan tidak langsung menjawab. Matanya berkaca-kaca seperti sungai musim gugur di malam hari.

“Karena malam ini aku baru menyadari kau begitu penting bagiku, Ching’er.”

Ching’er tersentuh mendengar penuturan Xulan. Hampir terisak, dia berkata, “Nona, kau begitu baik. Di kehidupan mendatang aku bersedia menjadi anakmu untuk membalas budimu.”

Xulan kembali tersenyum. Sebuah senyum getir.

Tiba-tiba, Ching’er merasa pusing. Beberapa kali dia mencoba memijit kepalanya-akan tetapi rasa pusing itu tetap tak berkurang. Akhirnya dia bergumam tidak jelas, “Arak apa ini? Mengapa membuat kepalaku… begitu pening?”

Rasa pusing Ching’er tak tertahankan lagi. Sosok Xulan di depannya berubah menjadi bayang-bayang kabur. Dia tak sanggup mengucapkan apa-apa lagi. Kepalanya ambruk ke atas meja.

Xulan berdiri tegak. Dia sama sekali tidak mabuk. Ditatapnya wajah Ching’er yang terkulai di atas meja. Pipinya masih semerah tadi.

***
Xulan terus diam sewaktu para pelayan memindahkan Ching’er dan membaringkannya di ranjang. Pakaian Ching’er dilepas-diganti dengan cheongsam merah milik Xulan. Wajahnya dibedaki. Rambut Ching’er juga dijalin mirip Xulan. Lalu jepit rambut berbentuk bunga anggrek yang diberikan Xulan padanya dipasang dengan rapi ke rambutnya.

Kini, Ching’er tampak menyerupai Xulan.

Xulan tetap diam ketika para pelayan menggiringnya keluar kamar untuk menyembunyikannya di ruangan lain. Sekitar pukul sepuluh malam, Xulan mendengar kegaduhan. Bunyi orkes pengantin membahana. Sejam kemudian sewaktu Xulan kembali ke kamarnya, Ching’er sudah tak berada lagi di sana.

***
Malam itu juga-oleh kakak sulungnya, Xulan diminta berkemas. Dua jam setelah Ching’er dibawa si panglima perang, Xulan bersama kakak ketiganya dan seorang kusir berangkat ke Hangzhou yang bermil-mil jauhnya di selatan Beijing.

Pertama kali tiba di Hangzhou, Xulan tinggal bersama pamannya-adik lelaki Ayahnya. Belum genap sebulan, sebuah lamaran pernikahan datang bagi Xulan dan langsung disetujui Pamannya. Meski terkesan buru-buru, Xulan beruntung dengan pernikahannya. Suaminya pria baik-baik, putra salah satu tuan tanah pemilik perkebunan teh.

Tapi pada malam-malam tertentu, Xulan bermimpi buruk. Dia ingat Ching’er pernah mengatakan, …aku akan memilih mati daripada menikahi pria macam begitu. Dan dalam mimpinya, Ching’er datang dalam bentuk roh orang yang mati bunuh diri. Meminta Xulan untuk menebus nyawanya.

Ada kalanya Xulan merasa amat menyesal telah mengorbankan Ching’er. Tidak hanya mengorbankan, sebenarnya dia juga telah mengkhianati pelayannya itu. Namun kata-kata saudara-saudara lelakinya lebih membuatnya merinding.

“Kau tak bersedia melepasnya? Pikirkan apa yang akan terjadi kalau pemberang bodoh itu tak mendapat pengantin perempuannya dari sini!”

“Ching’er hanya pelayan yang dibeli ibu untukmu. Setelah dia pergi kau bisa mendapat pelayan lain yang lebih baik.”

“Atau kau ingin dirimu yang pergi? Xulan, kami kakak-kakakmu tak akan membiarkan hal itu terjadi. Oleh karena itu, jalankanlah siasat ini. Setelah Ching’er pingsan dandani dia menyerupai dirimu. Pasangkan jepit anggrekmu ke rambutnya. Si bodoh itu pasti akan mengira Ching’er-lah dirimu.”

Lima tahun kemudian Xulan tetap tinggal di Hangzhou. Kini dia seorang istri dan ibu dari seorang bocah lelaki yang sehat. Dari luar kehidupannya tampak sempurna. Punya uang dan harta, serta suami penyayang.
Dari surat-menyurat dengan ketiga kakaknya, Xulan tahu panglima itu tidak pernah kembali ke Beijing. Begitu pula dengan Ching’er. Perlahan-lahan, Xulan berusaha mengatasi mimpi buruknya. Saudaranya benar, Ching’er hanya seorang pelayan. Dengan uang dan kekuasaannya yang sekarang Xulan bisa memperoleh lebih banyak pelayan sebaik Ching’er.

Lalu pada suatu hari di bulan Ching Ming, Xulan bersama suami dan putranya pergi berziarah kubur di sebuah pemakaman. Pemakaman tersebut terletak di sebuah bukit. Selesai berziarah, Suami Xulan mengajak putra mereka melihat-lihat pemandangan di atas bukit. Xulan yang merasa sedikit kelelahan menolak ikut. Maka dia ditinggal beristirahat pada sebuah paviliun kecil di kaki bukit.

Suasana di sekitar paviliun agak sepi. Di kejauhan, satu dua orang tampak berziarah kubur atau membersihkan makam. Sewaktu menunggu kembalinya suami dan putranya, seseorang memasuki paviliun dan menyapa Xulan.

“Nona, sudah lama aku mencarimu…”

Meski sudah tak terdengar semerdu dulu, Xulan tetap terperanjat mendengar suara itu. Di hadapannya, berdiri seorang wanita berchipao lusuh warna biru. Seharusnya, dia baru berusia dua puluh satu tahun sekarang-tapi yang dilihat Xulan wanita itu seperti telah berusia empat puluh tahun dengan rambut lusuh dan kulit wajah mengeriput.

“Nona belum lupa padaku, bukan?” Ching’er berkata.

Kaki-tangan Xulan gemetar. “Tentu… aku tidak pernah lupa padamu, Ching’er. Apa kabar?”

Ching’er tertawa sinis. “Nona tahu, kabarku pasti buruk. Tahukah Nona semenjak aku ikut Zhao apa yang terjadi padaku?”

“Dia memperlakukanku seperti binatang. Menyiksa, memukul serta memperkosa. Suatu hari aku tak tahan dan kubentak dia, ‘Kau telah ditipu oleh keluarga Chen, raksasa bodoh! Aku bukanlah Nona Chen yang kau lihat hari itu. Aku cuma pelayannya!’ Dan Nona tahu apa yang dilakukannya kemudian? Dia memberi aku kepada bawahan-bawahannya, bedebah-bedebah yang menjarah seluruh tubuh serta jiwaku.”

Ching’er menatap tajam Xulan. “Malam itu seharusnya Nona-lah yang pergi. Tapi kemudian aku dijebak dan Nona bisa meloloskan diri serta hidup tenang di sini.”

Xulan menutup wajahnya dan bergumam ketakutan. “Bukan aku. Kakak-kakakku lah yang mempunyai ide untuk menjadikanmu sebagai pengganti. Bukan aku!”

“Tapi Nona tak mencegah atau menolak, bukan?” bentak Ching’er. “Nona yang begitu kupercaya, melebihi Ibu kandungku sendiri… tega melakukan ini padaku… ”

Mata Ching’er berkaca-kaca. Campuran antara kemarahan dan kepedihan. “Lima tahun terakhir aku selalu berpikir lebih baik mati. Aku telah menyusun rencana menghabisi nyawaku sendiri. Tapi begitu memikirkanmu Nona, aku tak rela. Paling tidak sebelum aku mati, aku harus melihatmu sekali lagi.”

“Jadi sekitar enam bulan lalu, sewaktu Zhao tewas oleh saingannya, aku menggunakan kesempatan itu untuk lari. Aku kembali ke Beijing, ke dekat rumah keluarga Chen mencari-cari informasi. Lalu kutahu kau sudah menikah dan tinggal di Hangzhou. Jadi aku kemari. Tidak sulit mencarimu-apalagi keluarga suamimu cukup terkenal. Aku sudahcukup lama mengawasimu, Nona. Hingga menemukan saat yang tepat seperti ini buat mendekatimu. Kulihat kau juga telah menjadi seoran ibu. Aku dulu juga nyaris… Sampai mereka mengetahuinya dan memukul perutku hingga janinku keguguran.”

Xulan mundur karena Ching’er terus maju menghampirinya. “Sekarang Ching’er, maumu apa?”

Ching’er menatap Xulan dalam-dalam dengan tatapan tajam menohok. “Dulu kemanapun kau pergi, kau selalu mengajakku, Nona ,“ Ching’er mengangkat tangannya. “Sekarang permintaanku cuma satu. Temani aku pergi ke alam baka!”

Xulan tidak siap sewaktu Ching’er menubruknya dan kedua tangannya mencekik erat lehernya. Napas Xulan tercekat. Tak bisa turun melewati tenggorokan. Xulan meronta. Tapi semakin dia berusaha meloloskan diri, jari-jemari Ching’er semakin erat membelitnya.

Kemudian tiba-tiba, Xulan terjatuh ke tanah. Beberapa orang telah datang ke paviliun itu. Termasuk suami dan putranya. Bocah lelaki itu menangis melihat Xulan.

Ching’er kesulitan bergerak kerena dipegang erat oleh dua pria berbadan besar. Orang-orang mulai berkerumun dan berbicara. “Nona!” teriak Ching’er. “Aku pernah bilang akan menjadi anakmu di kehidupan mendatang untuk membalas budimu. Ya, aku tetap ingin menjadi anakmu! Tapi aku akan menjadi anak yang mendurhakaimu-sebagai pembalasan atas pengkhianatanmu saat ini!”

Ching’er menyikut kedua pria yang mengapitnya. Setelah itu, tanpa diduga sama sekali, dia berlari ke tiang paviliun terdekat, membenturkan kepalanya.

Terdengar bunyi tengkorak retak. Orang-orang menjerit. Tak lama kemudian darah keluar dari kepala Ching’er, mengalir melewati dahi, mata, hidung, pipi serta menetes-netes di bajunya. Ching’er tewas dengan mata terbuka.

Xulan gemetar dari ujung kepala hingga kaki. Dan dia menjerit keras.

***
Sejak saat itu Xulan semakin sering bermimpi buruk. Dalam mimpinya Ching’er mengejar-ngejarnya tapi dia kesulitan berlari sehingga tak bisa meloloskan diri. Sewaktu bangun, sekujur tubuh Xulan berkeringat dan lehernya seolah tercekik.

Xulan juga mulai berhalunisasi. Dia menjadi gampang ketakutan dan seolah melihat arwah Ching’er di mana-mana. Ibu mertuanya memanggil beberapa dukun pengusir setan. Namun, meski telah melakukan banyak ritual rumit dan mahal, tak satu pun berhasil menyembuhkan Xulan.

Dari hari ke hari kondisi mental Xulan semakin parah. Keluarganya mulai mengucilkannya. Tidak sampai setahun, Xulan yang dulunya adalah Nyonya muda kaya disegani kini dikunci di kamarnya sendiri.

Dia telah berubah menjadi gila.


Sumber :
http://merlinschinesestories.blogspot.com

Merlin's Chinese Stories, Merlin Penyihir Penasihat Raja Arthur.
Blog yang memuat hasrat-hasrat terpendam akan cerita-cerita China klasik dan segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar