Sabtu, 31 Juli 2010

Rumah Kardus


Seperti biasanya, di ujung siang dia akan muncul di gerbang pasar. Kaus kumal, botol air minum kemasan kosong, dan sepeda buduk yang akan langsung dijatuhkannya di depan pos parkir. Pertama kali melihatnya, dulu kukira ia pengemis model baru. Pengemis pasar biasanya hanyalah macam Parno yang kakinya lumpuh dan mangkal di gang satu tempat warung-warung makan. Atau Kamidi, si buta yang mangkal di pintu belakang pasar. Kalaupun ada pengemis normal (yang anggota tubuhnya tidak cacat) yang coba nyasar ke pasar, pasti akan langsung kami usir sebab biasanya sangat mengganggu pembeli. Yah, itulah kesan pertamaku pada bocah sepuluh tahun bernama Amin itu.

Setelah melewati pos parkir, dan lalu deretan para pedagang kaki lima, biasanya ia akan duduk sebentar di depan meja kiosku. Matanya tajam sekali mengamati kiosnya Koh Liem, Mak Atun, dan juga kios Mbak Ndari. Aku juga sempat mengiranya sebagai pengutil. Matanya benar-benar tak pernah lepas dari kios-kios sembako itu. Apalagi para pemilik kios itu juga sering mengeluh bahwa barang dagangannya kadang berkurang secara misterius. Entah itu tomat, kol, terong, telur, bahkan bumbu-bumbu masak kemasan.

Jika kutanya, “Cari apa, Dik?” Dia pasti akan selalu menggeleng merahasiakan tujuannya. Aku mengetahui siapa dia itu sesungguhnya dari Mbak Kus, mbakyuku yang tugasnya melanjutkan tugasku mengasisteni Emak berjualan sandal sepatu. Sore hari adalah waktuku mengajar di SMP dan SMA Terbuka di gedung SMP dekat rumahku.

“Dia mencari minyak,” ujar Mbak Kus sewaktu kami berbincang ringan sambil menonton televisi.

“Minyak? Minyak apa sih, Mbak?”

“Minyak gorenglah, Wid, masak minyak bumi.”

“Minyak goreng? Mencari minyak goreng?” Aku masih belum bisa membayangkan penjelasan mbakyuku. Dan akhirnya Mbak Kus menyuruhku menunggu hari Ahad, karena di hari itu pasti si Amin akan datang pagi-pagi sekali.

Yang tak lepas dari pandangannya ternyata adalah jeriken-jeriken minyak goreng milik ketiga kios sembako itu. Saat menunggu jeriken itu tandas oleh pembeli, ia juga menawarkan bantuan tenaganya kepada siapapun yang repot dengan belanjaannya.

“Dikasih berapa, Min?”

“Dua ribu, Mbak. Kadang ada yang tiga ribu,” ia meringis malu-malu.

“Seharinya dapat berapa?”

“Kadang sepuluh, kadang cuma delapan, kadang juga pernah cuma empat ribu.”

Ia akan langsung berlari meninggalkan aku jika melihat jeriken minyak yang sudah tandas. Ia lalu meminta izin kepada pemilik toko. Ia menjungkir jeriken itu dan menggoyang-goyangkannya. Tetes-tetes sisa itulah yang ia buru sedikit demi sedikit dari semua toko sembako di pasar ini.

“Masih sekolah kan, Min?”

“Kelas tiga, Mbak.”

“Minyak goreng yang kau kumpulkan itu buat apa?”

Ia seperti enggan menjawab pertanyaanku itu, “Buat Emak, Mbak. Untuk menggoreng tempe dan tahu.”

Kuhela nafas berat. Teringat adik bungsuku si Razi yang hobinya cuma main game melulu. Amin seumuran Razi. Razi akan tersenyum lebar jika memperoleh skor tinggi, tapi Amin akan tersenyum lebar jika botol yang ia titipkan dan disembunyikan Emak di bawah bangku kios sudah penuh berisi. Biasanya dia akan terlihat semakin semangat saat bergerak, mengingat hasil jerih payahnya selama seminggu akan berbuah.

“Ditawarkan ke Emak?” heranku saat Emak mengurai cerita tentang Amin.

“Minyaknya sih tulen, Wid. Tapi Emak malu sama Koh Liem, Mak Atun juga Mak Ndari. Biasanya kalau bocah itu menawarkannya ke Emak, Emak kasih saja dia lima ribu. Lalu Emak menyuruhnya untuk jual ke orang lain.”

“Laku, Mak?”

“Katanya sih laku, wong memang minyaknya bagus. Tapi ia menjualnya dengan harga di bawah normal.”

***
Suatu hari aku mencatat dia berangkat pagi-pagi sekali (bahkan terkadang lebih pagi dari aku) selama enam hari berturut, padahal Razi masuk sekolah.

“Lho, sekolahmu ada libur, Min?”

Dia tersenyum kecut, “Aku keluar, Mbak. Emak suka marah-marah kalau ada iuran ini itu.”

“Lha, duit yang kamu dapat itu? Nggak cukup buat bayar sekolahmu sendiri?”

Ia diam.

“Kamu punya saudara?”

“Tiga adik satu kakak, Mbak.”

“Bapakmu kerjanya apa, Min?”

Ia diam.

“Bapakmu nggak kerja?”

Ia masih diam. Rautnya semakin terlihat kecut.

“Kalau ibumu, kerjanya apa, Min?”

Ia masih saja diam.

“Kamu masih ingin sekolah kan?”

Ia pun masih menyuguhiku diam.

Apakah rentetan pertanyaaku itu terlalu lancang? Aku tak bermaksud terlalu dalam mencampuri urusan pribadinya. Aku hanya ingin mengetahui sebagian saja. Sepertinya anak ini produk dari rumah gelap yang siapapun tak boleh mengetahui isi rumah itu.

Karena iba, aku lalu menyuruh bocah itu untuk menemui Mbak Reni yang punya kios plastik. Kini resmilah dia menjadi anak buahnya Toko Nitik Jaya, mengecerkan plastik ke kios-kios yang membutuhkan.

***

Dua minggu berselang. Tak kusangka datanglah Amir, Budi, dan Ardi yang mengikuti Amin. Masing-masing anak mengambil tempat yang baru saja ditinggalkan Amin, mengumpulkan minyak goreng dan menjadi kuli pengangkut belanjaan.

“Kamu mengajak mereka ya, Min?” tanyaku dengan nada tak suka mengingat berisik jika anak-anak itu lewat.

“Nggak, Mbak, aku nggak mengajak siapapun. Mereka ikut-ikut sendiri, Mbak. Mereka juga ingin cari duit sendiri,” jawab Amin sengit.

“Bukankah lebih baik sekolah daripada kalian bekerja seperti ini?”

Mungkin karena tahu aku kurang suka dengan keberadaan mereka yang menjadikan kiosku sebagai tempat berkumpul, mereka lalu membuat sarang di bagian belakang pasar yang memang masih tersisa tempat kosong yang lumayan luas. Mereka membuatnya dari kardus-kardus bekas. Kata Mas Saipul, satpam pasar, mereka bahkan menjadikan rumah kardus itu sebagai tempat menginap, mengingat pasar ini memang masih terus berdenyut sampai pukul sepuluh malam.

Hari-hari berikutnya, aku melihat mereka telah betul-betul menjadi anak-anak rumah kardus. Mereka bangun saat pasar bangun, mereka tidur saat pasar tidur. Mereka bermain dan bekerja. Mereka menghidupi diri sendiri. Mereka terlihat menikmati itu. Terbukti dari rumah kardus yang kini bertambah menjadi tiga buah. Mereka seperti tak sadar bahwa mereka adalah hasil dari perbuatan yang tak bertanggung jawab (apa ayah ibu mereka peduli dengan polah mereka itu?).

Pasar menjadi semakin berisik dan rusuh. Pekerjaan-pekerjaan aneh telah mereka ciptakan sendiri tanpa persetujuan dari siapapun. Bahkan kadang ada yang mulai berani memaksa meski orang yang mereka tuju menolak untuk dilayani.

“Kenapa Mas Saipul biarkan sih, kenapa nggak diusir secara halus saja?”

“Lho, Mbak Wid ini gimana to? Bukannya yang pertama kali menyambut Amin itu Mbak Wid sendiri? Mbak juga pernah bilang kasihan sama Sahrul yang sering disiksa bapaknya itu kan? Lantas anak-anak itu mau diusir kemana, Mbak? Mereka itu memang cari makannya di sini. Asal nggak nyopet, aku sih nggak apa-apa, Mbak. Para petugas kebersihan katanya malah terbantu dengan adanya mereka. Mbak Wid ini maunya gimana?”

Kuhela nafas panjang. Susah menjelaskannya. Aku bisa melihat masalah tapi tak bisa mencari jalan keluarnya. Siapa yang harus disalahkan? Rumah gelap tempat mereka dilahirkan? Orang-orang kaya yang tak mau peduli? Pemerintah? Kami? Atau salah mereka sendiri karena lebih memilih pasar daripada sekolah?

“Coba kamu bujuk mereka untuk ikut sekolah terbuka yang kamu ajar itu, Wid,” usul Mbak Kus.

“Bagaimana cara membujuknya, Mbak? Kan mereka sendiri yang memutuskan keluar sekolah?”

“Ya sudah menjadi rahasia umum, Wid. Mereka sadar keluar sekolah karena sadar biayanya mahal. Kalaupun mereka cuma lulus SD, bisa buat apa itu ijazah SD? Itu pikiran mereka.”

“Tapi banyak juga ko, Mbak, anak yang dari keluarga tak mampu tapi nyatanya bisa sampai ke bangku universitas.”

“Ya begitu itu maksudku. Coba kamu ajak teman-temanmu yang punya kepedulian untuk memberikan perhatian kepada mereka. Kalau cuma nunggu pemerintah, keburu penuh nih pasar!”

Iya, keburu penuh. Jumlah mereka kini bahkan sudah puluhan. Tempat tinggal mereka bahkan sudah menyebar ke bantaran kali, pinggiran jalan, taman kota, terminal, dan stasiun dekat pasar. Masalah-masalah baru pun bermunculan. Sodomi, pelacuran anak, mutilasi, pengamen, tawuran, keindahan kota yang terkotori, AIDS!

Ah, tampaknya memang harus ada yang peduli. Rumah-rumah gelap tempat mereka dilahirkan itu, harus ada yang memasang lampu supaya terang-benderang. Supaya mereka betah di rumah. Supaya mereka tak berkeliaran ke mana-mana. Supaya mereka tak lagi membuat rumah kardus di sembarang tempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar