Sabtu, 31 Juli 2010
Bahtera Lara
Tiba-tiba Daya terserang diare hebat. Sali panik bukan main. Hampir setiap jam Daya buang air besar dengan kotoran yang encer. Beberapa hari ini Daya memang tidak mau menyusu dirinya. Sali terpaksa memberinya susu formula. Namun Daya hanya meminumnya sedikit. Nafasnya tersengal-sengal. Di mulutnya banyak tumbuh jamur putih. Sariawan itu mungkin saja mengakibatkan Daya sulit untuk menelan susu. Dari hari ke hari berat tubuhnya pun turun drastis.
Putri Sali yang baru berusia 45 hari itu akhirnya dilarikan ke rumah sakit Ibu dan Anak. Setiba di sana, Daya langsung diinfus. Selama satu bulan lamanya Daya harus dirawat inap. Selama itu pula Daya menjalani pemeriksaan medis secara serius. Hingga datanglah prahara besar dalam kehidupan Sali. Seolah-olah dunia runtuh di atas kepalanya.
***
"Dasar anak tak tahu balas budi. Kalau kau masih berkeras hati, temui sana Sim berandalan itu! Dan kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tak mau tahu. Mulai sekarang kau bukan anakku. Enyah sana!" hardik Haji Omar, Abi Sali ketika Sali minta dinikahkan dengan Sim.
"Tapi, Bi, Sim tidak seperti itu. Dia sudah tobat. Bukankah bekas berandalan lebih baik daripada mantan santri," kata Sali berusaha membela diri.
"Ooh, begitu, sudah pandai rupanya kau sehingga meremehkan perkataan orang tuamu sendiri."
"Istighfar, Bi, jangan kasar begitu ah. Sali satu-satunya anak kita, Bi. Ingat itu, Bi? Umi nggak rela Sali pergi dari rumah. Semuanya bisa kita bicarakan dengan kepala dingin kan, Bi," sahut Bu Hajjah Masrifah.
"Sudahlah, Umi, jangan kau manja anak itu."
Sali tak tahan lagi melihat kekerasan hati abinya. Tekadnya telah bulat. Tanpa sepatah kata ia langsung minggat. Meninggalkan uminya yang terisak menahan kepergiannya.
Pernikahan Sali dan Sim berlangsung sederhana di rumah pamannya. Orangtuanya tidak sudi hadir karena tidak merestuinya. Mereka tidak menyukai Sim yang dicap sebagai eks berandalan dan preman. Meski begitu, demi cintanya yang buta itu Sali ngotot ingin tetap menikah. Keduanya pun hidup bahagia. Perkiraan abinya meleset. Sim adalah orang yang baik. Tak sekalipun ia menyakiti Sali.
Selang satu tahun kemudian Sali dikaruniai seorang putri jelita. Rambutnya hitam lebat, kulitnya putih. Hidungnya yang mancung mirip Sim. Sepasang bola mata yang indah dan bibir tipis semu merah yang persis dengan Sali. Sali merasa telah menjadi wanita yang paling sempurna saat itu. Ia teringat abi dan uminya. Belum sempurna kebahagiaan itu, tiba-tiba sebuah malapetaka menimpa Sali dan putrinya. Daya terpaksa dibawa ke rumah sakit karena diare yang berkelanjutan dan dalam mulutnya banyak tumbuh jamur putih alias sariawan yang tak kunjung sembuh. Berat badannya pun malah kian susut. Dokter menganjurkan agar Daya melakukan tes pemeriksaan darah.
Saat Daya menjalani pemeriksaan darah, jatuhlah vonis itu. Sebuah penyakit berbahaya sekaligus mematikan. Virus yang telah mewabah secara global dewasa ini. Human Immunodeficiency Virus. Melihat hasilnya, dokter dengan serius menyarankan Sali agar segera memeriksakan darah di laboratorium juga. Sali pun menjalani pemeriksaan darah secara teliti dan tentu saja sangat memerlukan biaya yang tinggi. Vonis itupun jatuh untuk yang kedua kali. Sali dinyatakan positif mengidap HIV. Runtuhlah hidupnya.
Sali syok. Ia skeptis. Sali tidak habis pikir. Sejak lahir ia sama sekali tidak pernah mengalami masalah dengan kekebalan tubuhnya. Bahkan tidak ada catatan penyakit keturunan dalam keluarganya. Ia tidak menyangka diare dan sariawan yang menyerang Daya itu adalah salah satu gejala penyakit yang hingga kini belum ada obatnya itu. Ironisnya, Sali-lah orang yang menularkan penyakit itu pada putrinya. Ia sendiri sama sekali tidak mengenali gejala-gejala itu pada dirinya.
"Nyonya Saliha, virus ini memang berada dalam tubuh untuk beberapa tahun tanpa disadari oleh korban, karena tidak menimbulkan gejala-gejala apapun. Masa itu berkisar tujuh hingga sepuluh tahun. Namun tidak bisa dipungkiri bisa menular kepada orang lain tanpa diketahuinya. Bisa melalui jalur seksual, jalur darah, maupun jalur ibu dan anak dengan penularan pada minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan." Keterangan dokter masih saja terngiang-ngiang di telinga Sali menambah keputusasaan dirinya. Mungkin pernyataan yang paling terakhir dari dokter itulah yang menyatakan putrinya ikut terinfeksi.
"Jangan khawatir, Nyonya Saliha, Anda tidak akan tersisih dari lingkungan sosial. Anda masih bisa berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat. HIV tidak bisa ditularkan melalui berjabatan tangan, sentuhan, ciuman, pelukan, gigitan nyamuk, bahkan tinggal serumah dengan memakai peralatan makan atau minum yang sama." Penuturan dokter masih terekam jelas dalam pendengarannya.
"Kenyataannya tidak ada yang peduli padaku sekarang. Mana mungkin mereka tahu semua itu, kebanyakan mereka tidak ada yang mendorong untuk mencari tahu tentang penyakit mematikan itu, sehingga menimbulkan fobia mereka yang luar biasa terhadap HIV atau AIDS." Batin Sali jeri begitu menyadari dirinya kini dikucilkan di tengah-tengah lingkungannya.
"Ibu-ibu, nggak nyangka ya, ternyata si Sali itu suka free sex, kasihan anaknya ya jadi ikut tertular penyakit yang mungkin juga bisa menular kepada kita-kita. Hi.. serem ya!" Celoteh ibu-ibu yang tengah mengerumuni tukang sayur dan gerobaknya di dekat komplek Sali.
"Hati-hati juga ibu-ibu, si Sali juga pakai narkoba loh." Sambung ibu yang lain.
"Ssst... jangan keras-keras tuh orangnya lewat." Bisik seorang ibu yang dari tadi diam saja. Sali berusaha tenang menghadapi cibiran yang jelas-jelas memang ditujukan untuk dirinya.
"Belanja ibu-ibu?" sapa Sali kepada lima wanita yang cepat-cepat melengos dan membubarkan diri mendengar sapaannya itu. Pun tukang sayur. Buru-buru ia memperkilat langkahnya melihat respon ibu-ibu muda itu melihatnya jijik.
Begitu sengsarakah seorang ODHA seperti dirinya? Ia tidak bisa membayangkan jika anaknya harus mengalami seperti apa yang dialaminya sekarang. Yang ia sayangkan adalah orangtuanya masih tidak mau memaafkan dirinya. Apalagi sekarang ia mengidap penyakit itu. Mereka semakin jauh. Sali menyesal. Sadrah. Teringat perkataan abinya. Mungkinkah ini karma? Sanggupkah ia mengarungi bahtera yang penuh lara ini?
***
Entah mengapa akhir-akhir ini ia merasa ganjil melihat sikap Sim, suaminya. Sim sering uring-uringan setelah dianjurkan Sali untuk tes darah di laboratorium. Sim menolak keras. Belakangan ini Sim terlihat agak kurus. Ia juga sering berkeringat. Keringat yang abnormal. Sali khawatir jangan-jangan Sim ikut terinfeksi juga. Sim menyangkal dirinya ikut tertular HIV. Dalih Sim, ia hanya terlalu capek bekerja.
Sampailah suatu hari badan Sim mendadak demam serta timbul ruam-ruam pada kulit tubuhnya. Sali merasa tertekan. Di saat Sali telah menerima segala sesuatu yang menimpa dirinya dan putri semata wayangnya dengan ikhlas dan pasrah. Sim dilarikan ke rumah sakit Harapan, rumah sakit terbesar di kotanya.
"Dok, apakah suami saya juga terinfeksi penyakit seperti saya dan anak saya?"
"Ada kemungkinan." Mendengar itu, jantungnya berdegup kencang.
Mendengar penuturan dokter, Sali tidak mampu berkata-kata. Betapa jahat dirinya tidak bisa mencegah penularan penyakit ganas itu. Ia memandangi tubuh kurus tak berdaya itu terbaring lemah. Tak menyadari tubuhnya juga kurus kering. Hasil tes pemeriksaan darah belum juga ia terima. Ia menunggui Sim dengan sabar hingga tertidur disebelahnya. Tiba-tiba Sim memegang tangan Sali lembut. Sali tergagap.
"Sali, aku ingin bicara sesuatu."
"Bicaralah Sim."
"Sali, maafkan aku."
"Kenapa kau berkata begitu Sim. Kau tidak salah apa-apa. Justru akulah yang harus minta maaf padamu."
"Tidak Sali, kau tidak pantas untuk itu. Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu dan juga Daya putri kita."
"Sim, aku tak mengerti kata-katamu."
"Sali, sebenarnya... akulah yang menularkan penyakit terkutuk itu padamu dan juga anak kita, Daya. Aku ingin kau mengetahuinya dari mulutku sendiri sebelum dokter menuturkannya padamu."
"Jadi selama ini kau membohongiku, Sim?!" Tangisnya pecah.
"Aku tidak bermaksud begitu, Sali. Aku... aku... begitu mencintaimu dan aku tidak ingin kau meninggalkan aku."
"Sim, kau sungguh tega melakukan ini padaku!" raungnya di tengah isak yang tertahan.
"Aku khilaf di masa lalu. Kuakui saat SMA dulu aku pernah terjebak oleh barang haram itu. Sebenarnya sebelum menikah denganmu aku sudah divonis HIV." Akunya dengan penuh sesal.
"Kau mau memaafkan aku kan? Sali, tolong maafkan aku, Sali?"
"Sim, kau telah menghancurkan semuanya."
"Sali, aku tak berdaya. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku terlalu mencintaimu. Maafkan aku yang telah mengutamakan egoku."
Sali masih saja terisak. "Tolonglah, Sali. Tolong maafkan semua kesalahanku."
Tiba-tiba pintu terkuak. Seorang perawat masuk. "Permisi, maaf Nyonya Saliha dipanggil dokter Yahya di ruangannya."
Sali buru-buru menghapus air matanya. "Ya Sus, terima kasih."
Di dalam sebuah ruangan Sali serius menyimak perkataan dokter Yahya.
"Ini hasil tes darah suami Anda." Sali menerimanya dengan hati bergetar. "Suami Anda mengidap Acquired Immuno Deficiency Syndrome atau AIDS."
"AIDS, dok?" tanyanya syok.
"Nyonya, HIV dalam tempo kira-kira sepuluh tahun memang akan berlanjut menjadi AIDS," terang dokter.
"Dia akan baik-baik saja kan Dok?" Sali masih tak percaya.
"Dia harus melakukan terapi medis dan psikofarmaka yang berguna untuk memperkuat daya tahan tubuh dan melemahkan virus itu sendiri, yang dilengkapi obat anti cemas dan anti depresi. Dan saya anjurkan Anda dan putri anda sebaiknya juga melakukan terapi ini."
"Baiklah, terima kasih atas saran dokter."
***
Sali menatap perih pusara itu. Gundukan tanahnya masih basah. Nisan itu bertuliskan nama Muhammad Qasim. Sim telah menemui ajalnya seusai Sali memaafkan kesalahannya. Betapapun hancur hatinya, bagaimanapun juga Sim adalah ayah dari Daya. Sali dan Daya berangsur-angsur pulih dan berat badan mereka naik secara bertahap sejak menjalani terapi. Tiap harinya Sali dan Daya telah terbiasa dicekoki obat-obatan. Meski bergantung pada obat, Sali tetap optimis menatap masa di depannya. Mengisi ruang hidupnya dengan sesuatu yang lebih bermakna. Entah berapa tahun, bulan, hari, jam, menit bahkan detik lagi masa penantian itu tiba. Satu yang pasti. Masa itu akan benar-benar datang. Menjemput tiap-tiap manusia di bumi ini tanpa terkecuali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar