Sabtu, 31 Juli 2010

Aku Bukan Maling!


Mardiman terduduk lesu di pojok ruangan sempit, remang-remang, pengap, kotor dan bau. Matanya nanar menerawang ke depan. Kosong. Kecamuk perasaan kecewa dan sedih masih meremang jelas di raut wajahnya yang legam, tirus dan mulai kisut mengeriput. Lelaki kurus bernasib malang yang kini genap berusia enam puluh satu tahun itu terpaksa meringkuk di jeruji besi, hanya gara-gara ia dituduh mencuri setandan buah pisang klutuk yang ditebangnya di pinggiran jalan dekat sawah, tak jauh dari belakang rumahnya.
Pisang klutuk bukanlah termasuk jenis pisang favorit yang harganya mahal dan lezat rasanya. Dinamai klutuk karena pisang tersebut banyak sekali bijinya, rasanya pun tak begitu manis walaupun sudah matang. Sungguh, Mardiman sama sekali tak berniat untuk mencuri buah pisang yang jika dijual di pasar paling hanya laku dua ribu rupiah saja. Dan, semua warga di kampungnya pun pasti tahu, kalau buah pisang klutuk itu jarang yang doyan, biasanya dijual di pasar wagean buat pakan burung.

Masih hangat melekat di benak Mardiman, kala itu, saat ia baru pulang menyiangi rumput-rumput liar yang tumbuh subur di ladangnya, kedua bola matanya yang kusam menangkap pohon pisang klutuk di pekarangan milik Tugimin, tetangganya, tumbang menghalangi badan jalan. Lalu ia berinisiatif untuk menebangnya. Dengan kedua tangannya yang legam dan masih belepotan tanah, dibopongnya setandan pisang klutuk itu setelah menyingkirkan batang pohonnya dari tengah jalan yang biasa dibuat lalu-lalang para pejalan kaki, sepeda onthel dan sesekali para pengendara motor yang membawa rendeng dan damen.

Rencananya, ia hendak pulang dulu sebentar, mandi dan shalat Asar, baru setelahnya mengantarkan pisang tersebut ke rumahnya Tugimin, yang jaraknya hanya seratusan meter dari samping rumah Mardiman.

Tapi, sayang seribu sayang, baru saja ia melangkahkan kaki dari pekarangan tersebut, dua orang pria berbadan tegap berseragam polisi langsung menghadangnya. Tugimin, si pemilik pohon pisang itu dan beberapa warga kampung tampak mengekor di belakangnya.

“Tangkap saja dia, Pak. Dia yang selama ini mencuri pisang-pisang di kampung ini!” teriak Tugimin berapi-api.

“Betul, Pak. Sudah lama sebenarnya kampung ini sering kemalingan. Nggak hanya pisang, tapi tanaman singkong dan ayam-ayam kami juga sering hilang!” seru lelaki paruh baya yang berada di samping Tugimin.

“Tangkap dan penjarakan saja dia, Pak. Biar kapok!” penduduk yang lain mengompori.

“Ta…tapi saya bukan pen…pencuri, Pak! Sa..saya hanya menyingkirkan pohon pisang ini karena tumbang di tengah jalan, dan pi… pisang ini mau saya antar ke rumah pemiliknya,” ujar Mardiman gugup, sambil menunjuk ke arah Tugimin.

“Halaah! Bohong, Pak. Mana ada maling ngaku!” sergah Tugimin tak percaya.

“Iya, Pak. Dia selama ini memang pandai berbohong!” teriak Warno, adik ipar Tugimin.

“Kalau bukan dia, siapa lagi, Pak. Dulu dia juga pernah masuk penjara gara-gara kasus pencurian. Ealaaah, kok ya sampai sekarang belum kapok-kapoknya,” lelaki paruh baya bertubuh gempal di belakang Tugimin semakin memperkeruh keadaan. Sungguh kata-kata yang terlontar enteng dari mulutnya begitu menusuk dada Mardiman.

Walaupun Mardiman telah berulangkali mengemukakan beragam alasan bahwa tak terbetik sedikitpun niat menggasak pisang klutuk makanan burung itu. Tapi toh kedua polisi bertampang sangar itu tetap saja tak mengacuhkannya. Mereka lebih memercayai ucapan para warga yang terlanjur kalap. Sayangnya, tak ada seorang warga pun yang sudi menjadi saksi, membela nasib Mardiman yang sedang di ujung tanduk.

Lalu, tanpa ba-bi-bu lagi, dengan sedikit kasar kedua polisi itu pun memborgol paksa kedua tangan Mardiman dan tanpa belas kasihan menggelandangnya ke kantor polisi. Senyum kepuasan pun terkembang lebar di bibir Tugimin, Warno, dan para tetangganya yang telah meghakiminya dengan tuduhan palsu.

Ah! Mardiman benar-benar tak habis pikir, apa alasan mereka dengan serta-merta menuduh dirinya maling? Memang akhir-akhir ini, kampungnya sempat geger, karena ada maling-maling yang menyusup pekarangan dan rumah-rumah warga, mencuri pisang, singkong, dan hewan ternak piaraan warga. Tapi, demi Tuhan, sama sekali bukan ia pelakunya.

Lalu, atas dasar apa, secara tiba-tiba mereka menuduh dirinya sebagai maling? Dengan bukti setandan pisang klutuk tak berharga ini? Atau…, karena dirinya pernah masuk penjara selama tiga bulan lima hari gara-gara kepergok mencuri ayam dua tahun silam? Tapi, apa lantas itu menjadi bukti kuat untuk menuduhnya sebagai pencuri lagi sekarang? Apakah predikat pencuri itu selamanya akan terus melekat? Tak bolehkah pencuri menyesali perbuatannya dan bertobat?

Lantas, kenapa para pejabat yang telah mengkorup uang rakyat miliaran hingga triliunan itu tak pernah bersentuhan dengan hukum? Bahkan, dengan bangganya mereka melambaikan tangan seraya tersenyum manis bak selebritis papan atas saat tertangkap sorot kamera? Seandainya para koruptor itu masuk penjara sekalipun, tentu hidupnya nanti selaksa di istana dengan fasilitas mewah yang tak pernah terjamah rakyat kecil dan miskin seperti dirinya. Yah, memang benar-benar sulit mengubah citra buruk yang sudah terlanjur bersemayam di dirinya. Hingga niat baik pun kadang tak direspon baik pula. Inilah yang terjadi pada Mardiman, lelaki renta bernasib malang. Niatnya sungguh mulia, tapi siapa sangka, niat baiknya berubah menjadi sebilah pisau belati yang menusuk dirinya dari belakang. Sungguh tragis.

***

Mardiman masih duduk lesu sambil menekuk lutut di pojok ruang sempit itu, sementara memori demi memori perjalanan hidupnya kembali mengaduk-aduk otaknya. Ia teringat Ponirah, istrinya yang bernasib malang, lebih tragis darinya malah. Bagaimana tidak? Ponirah meninggal mengenaskan saat melahirkan anak keduanya di puskesmas terdekat, sepuluh tahun lalu. Pun dengan bayi berjenis kelamin perempuan itu yang juga meregang nyawa, hanya berselang detik setelah kematian ibunya.

Kedua ujung bibirnya mendadak mengembang, saat ia teringat Darobi, anak lelaki pertamanya. Darobi tumbuh menjadi sosok lelaki tampan dan santun. Walau Mardiman hanya mampu menyekolahkan anak lelaki semata wayangnya itu hingga bangku SMP. Dan Darobi terpaksa tak melanjutkan sekolah karena alasan klasik; faktor ekonomi dan mahalnya biaya pendidikan. Tapi Mardiman merasa bangga, karena saat Darobi berusia dua puluh satu tahun, ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan layak, menjadi salah seorang karyawan kepercayaan di sebuah pabrik bahan-bahan kimia di Surabaya, begitu cerita yang digulirkan Darobi saat Mardiman menanyai perihal pekerjaannya di kota besar itu.

Tiap bulan, Darobi mengirimkan uang satu juta rupiah bahkan terkadang bisa lebih kepada bapaknya. Jumlah nominal yang cukup besar bagi warga kampung yang rata-rata berpenghasilan dari berladang itu. Namun, setahun kemudian, jangankan mengirimi uang, bahkan kabar Darobi pun tak pernah ia dengar lagi. Mardiman sampai kelimpungan dibuatnya. Darno, satu-satunya tetangga yang mukim di Surabaya, dan kebetulan pernah bertemu sekali dengan Darobi di Surabaya pun mengatakan tak mengetahui keberadaannya dan tak pernah ketemu anak itu lagi. Mardiman pun pasrah, dan menyerahkan garis nasib anaknya sepenuhnya kepada Tuhan.

Dan, semenjak itu, kehidupan Mardiman bertambah susah. Ia hanya punya ladang beberapa petak saja yang belum tentu menghasilkan panenan setiap tahunnya. Hingga pada suatu hari, rasa lapar yang terus melilit perutnya menyeret kedua kakinya untuk mengendap-endap di kandang ayam milik tetangganya. Namun sayang, nasib mujur tak berpihak padanya. Ia tertangkap basah, dan terpaksa meringkuk di jeruji besi.

Sekeluarnya dari bui, sebuah kabar mengejutkan menyilet telinganya. Darobi, dikabarkan tewas mengenaskan di sebuah hotel berbintang di Jakarta yang hancur lebur akibat teror bom bunuh diri. Betapa hancur dan terlukanya lelaki tua itu, saat berbagai media elektronik dan cetak menyebutkan bahwa Darobi adalah pelaku utama bom bunuh diri itu.

***

Mardiman sekarang benar-benar pasrah. Ia menyerahkan nasib hidupnya pada Sang Maha Kuasa. Ia sekarang tak pedulikan lagi dengan status “maling” yang terlanjur mencoreng harga dirinya. Toh, sekarang ia merasa enak, tak usah lagi repot-repot bekerja mencari uang untuk makan sehari-hari, karena setiap hari ia rutin mendapat jatah makanan dari penjaga penjara, walau hanya makan seadanya dan tidur di atas tikar kumal dan bau. Tapi bukan berarti ia lantas mengakui perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukannya itu. Ia tetap akan bersikukuh mengatakan; “Aku bukan maling!” jika ada orang yang menuduh dirinya pencuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar