Selasa, 27 Juli 2010

A Tale Of Dimen


Keesokan pagi setelah permainan sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’, Chen Deseng kembali mencari sang peri musim semi.

Kali ini dia lebih siap. Deseng telah tahu nama sang peri adalah Wu Lianlian. Dia adik perempuan pemilik kedai minum dekat Jembatan Dua Phoenix. Lelaki yang memanggilnya pulang kemarin adalah kakaknya, si pemilik kedai. Anak lelaki yang mengolok Deseng adalah adiknya. Dan perempuan bertubuh jangkung yang pulang bersama ketiga bersaudara itu ialah sepupu mereka.

Deseng tahu pencariannya terhadap Wu Lianlian masih ditentang sepupunya, Dehui. Tapi Deseng tak ambil pusing. Toh sepupunya tak bicara dengannya dua hari belakangan. Deseng dan Dehui memang berbagi kamar di penginapan. Namun malam sejak Deseng menolak pulang telah membuat suatu pemisah tak kasat mata di antara keduanya.

Dehui sadar tak ada gunanya menasehati Deseng. Karena semua nasehat akan berubah menjadi debat. Dan Dehui pasti kalah berdebat dari Deseng. Deseng tengah dilanda asmara. Mati konyol sekarang pun, sepupunya tak akan menyesal.

Dehui menyelesaikan beberapa urusan penting. Di antaranya, masalah kepindahan pemasok barang-barangnya. Pria itu memang penduduk lokal Dimen. Tapi istrinya berasal dari sebuah desa kecil di Yunnan. Sebulan lalu, adik lelaki istrinya meninggal karena radang paru-paru. Sepeninggal sang adik, tak ada orang lain yang bisa menjaga Ayah mereka yang telah uzur - karena dia bersaudara cuma dua orang.

Maka kepada Dehui, si pemasok mengutarakan keinginannya untuk pindah ke desa asal istrinya itu. Desa tersebut terletak jauh di utara Dimen. Juga agak terpencil. Dehui tengah mempertimbangkan apakah dia akan mencari pemasok baru di Dimen atau menyurvei desa asal istri si pemasok. Prospek mana kira-kira paling menguntungkan?

Urusan ini selesai kira-kira dalam dua hari. Dan setelah itu Dehui akan langsung pulang ke Guangzhou. Tak peduli Deseng akan ikut atau tidak. Dehui tak gentar menghadapi kemurkaan paman dan bibinya karena kembali tanpa putra kesayangan mereka. Dia tak mau mengemongi sepupunya itu terus-menerus seperti pengasuh.

Kembali ke pencarian Chen Deseng. Pagi itu dia berjalan selama hampir sejam dari penginapan ke kedai-rumah tempat tinggal Wu Lianlian. Berjalan sedemikian lama merupakan pengalaman baru bagi Deseng. Di Guangzhou, untuk pergi ke tempat sejauh ini dia biasa naik rikshaw atau tandu. Maka, sesampainya di Jembatan Dua Phoenix, napasnya sudah terengah-engah dan peluh membasahi keningnya.

Gerbang kedai itu tertutup. Deseng ingat kalau kemarin kakak Lianlian berpesan agar adik-adiknya tak membuka kedai. Deseng menghampiri gerbang kedai setinggi dua meter dan ditempeli dua gambar dewa penjaga pintu. Pada saat bersamaan, pintu terbuka dan kepala Wu Jie terjulur keluar.

Wu Jie tengah menengok keluar kalau-kalau ada hal yang menarik perhatiannya pagi itu. Tapi yang ditemukannya justru orang yang merampas perannya kemarin sore.

“Hei kau! Mau apa kemari?” hardik Wu Jie. Dia tak menyangka si pemuda Han ini bisa menemukan rumahnya.

“Aku kebetulan lewat,” dusta Deseng. “Dan aku haus,” kali ini benar. “Adakah semangkuk teh yang bisa kau tawarkan padaku di kedaimu, anak muda?”

“Huh!” Wu Jie mencibir. “Apa kau tak lihat bendera kedai kami tidak dikerek? Itu artinya kami tak jualan hari ini!”

Deseng melihat tak ada bendera kedai di gerbang. Cuma tiangnya saja yang terbuat dari bambu. Wu Jie acuh tak acuh. Deseng meringis. Bocah lelaki di hadapannya ini senang melihatnya menderita rupanya.

Karena sudah sejauh ini, tak mungkin bagi Deseng untuk mundur kembali. Dia bertanya pada Wu Jie,

“Kakakmu, Nona Lianlian, apakah dia ada di dalam?”

Wu Jie membelalakkan mata sebesar-besarnya. “Dari mana kau tahu nama itu? Apa maksudmu mencarinya?”

“Maksudku baik,” timpal Deseng. “Aku hanya mau menemuinya.”

“Maksud baik bagaimana?” tantang Wu Jie. “Seorang pria asing mencari gadis yang belum menikah di rumahnya-memangnya punya maksud apa?!”

“Hei, hei, ada apa ribut-ribut?” seseorang mencoba melerai.

Deseng mendongakkan kepala. Lianlian berdiri di pintu. Mendengar adu mulut adiknya dengan seseorang, Lianlian lekas datang melihat.

Dan alangkah terkejutnya Lianlian sewaktu melihat Deseng. Bagaimana tidak? Pemuda yang hadir di mimpinya semalam, pagi ini muncul di depan pintu rumahnya! Lianlian sontak gugup. Kedua pipinya terasa hangat. Namun dia mencoba mengendalikan diri dan berkata tenang.

“Tuan, apa yang kau cari di sini?”

“Pagi ini aku telah berjalan jauh. Sekarang aku kehausan. Kulihat ada kedai di sini jadi hendak mampir untuk minum.”

“Tapi hari ini kami tidak buka. Tak ada teh yang bisa ditawarkan.”

“Semangkuk air putih pun tak mengapa…,” Deseng memelas.

Lianlian diam sejenak lalu berkata kepada Wu Jie. “Masuklah ke dalam dan ambilkan semangkuk air putih bagi Tuan ini.”

“Kau hendak memberi minum orang asing ini? Tapi Kak…”

“Jangan membantahku!” Lianlian menegaskan. Sambil menggerutu, Wu Jie masuk ke dalam rumah. Lianlian dan Deseng terdiam namun saling curi pandang. Lianlian merasa pipinya semakin panas.

Wu Jie muncul sambil membawa semangkuk air putih dalam mangkuk kayu. Disodorkannya mangkuk itu kepada Deseng dengan gerakan tak ramah. Deseng menebalkan muka. Menerima mangkuk itu dan meminum isinya sampai habis. Setelah itu dia terceguk puas.

“Kakak, dia sudah selesai minum, seharusnya dia sudah pergi!” Wu Jie berkata tak sabar kepada Lianlian karena dilihatnya kakaknya itu termenung.

Lianlian memaksa dirinya agar tidak gugup, “Benar, seharusnya kau pergi Tuan. Pemilik kedai sedang tak berada di rumah. Jadi sebaiknya kau kembali jika dia sudah pulang…”

Setelah berkata demikian, Lianlian segera berbalik dan menghilang di belakang gerbang. Deseng hendak menyusulnya tapi dirintangi Wu Jie.

“Hei, kau tak boleh masuk! Kau sudah diberi minum gratis, sekarang saatnya kau pergi! Sana!”

Wu Jie mendorong Deseng. Lalu masuk menutup gerbang. Deseng berniat menggedor. Tapi terhenti dan mendengar percakapan kedua bersaudara itu di balik gerbang.

“Kau tak seharusnya bersikap begitu,” protes Lianlian. “Bagaimanapun dia tamu!”

“Dia bukan tamu! Dia pembual!” balas Wu Jie sengit.

Deseng meninggalkan gerbang namun berdiri tak jauh dari sana. Dia terus mengawasi gerbang kedai yang tertutup. Berharap pintunya terbuka dan seseorang mengijinkannya masuk.

Kira-kira setengah jam kemudian, Lianlian muncul lagi. Dia melongokkan kepalanya keluar gerbang sambil mencari-cari. Deseng berjalan mendekat perlahan dan mengagetkan Lianlian dengan sebuah tepukan. Lianlian terlonjak.

“Kau belum pergi?” tanya Lianlian.

“Belum. Karena aku belum bicara denganmu…”

“Tapi tadi kan kita sudah bicara…”

“Ya, sambil diawasi oleh adikmu yang pemarah.”

Lianlian menunduk tersipu. Deseng tidak ragu-ragu menggenggam tangannya dan berkata, “Maukah kau berjalan-jalan bersamaku?”

Lianlian mengangkat kepalanya. Wajahnya berbinar. Dia menengok ke dalam rumah sekali lagi. Tak ada siapa pun di halaman. Wu Jie tengah asyik bermain dengan jengkrik-jengkriknya di kamar. Sementara Jinlan sedang berada di ‘kamar arak’. Itu adalah ruangan gelap dengan pencahayaan minim untuk memfermentasi arak.

Adik dan sepupunya pasti mengiranya pergi menemui ketiga Bersaudari Bai. Kalau begitu, ini saat yang tepat untuk kabur sejenak bersama pemuda Han rupawan ini!

***
Lianlian mengajak Deseng menyuri hutan-hutan di perbukitan Dimen. Juga menyisiri sungai. Bukit di Dimen sebagian tertutup oleh warna hijau pepohonan dan rumput. Tapi di tempat tertentu gundul dan hanya terdapat bebatuan berbentuk aneh.

Uniknya, masyarakat Dimen menamai batu-batu itu. Sepanjang jalan, Deseng telah diberitahu Lianlian beberapa nama seperti: bukit siput-karena bukit batu yang menjulang naik itu melingkar seperti cangkang keong, bukit lotus-karena batu-batu yang terpahat oleh alam di sana seperti kuncup-kuncup teratai.

“Dan itu Wang Fu Ya,” ujar Lianlian sambil menunjuk sebuah batu yang menjulang pada suatu bukit hijau.

“Batu Kepulangan Suami?” tanya Deseng. Wang Fu Ya secara harfiah berarti Batu Kepulangan Suami.

Lianlian mengangguk. “Dahulu, ada sepasang suami istri di Dimen. Si suami pergi merantau. Istrinya selalu naik ke bukit itu dan memandang jauh ke arah sana menanti kepulangan suaminya. Tahun-tahun berlalu dan sang suami tak kunjung pulang. Si istri jatuh sakit lalu meninggal, menjelma menjadi batu di atas bukit tersebut.”

“Ternyata, suaminya meninggal di perantauan. Rohnya menjelma menjadi awan dan ditiup angin sampai kemari. Jika awan itu datang, akan ada guntur dan hujan deras yang mengiringi.”

Deseng tertawa, “Istri jadi batu, suami jadi awan. Dongeng yang menyentuh.”

Lianlian tercenung menatap Deseng, “Mungkin bagimu ini lelucon. Tapi bagi masyarakat kami, kisah ini sangat berarti. Si istri begitu setia sampai akhir hayatnya. Dan si suami kembali dalam gumpalan awan. Bukankah mereka memang ditakdirkan untuk bertemu sekalipun telah mati?”
“Jadi, kalau aku kembali ke Guangzhou, apakah kau akan menungguku kembali di atas bukit sana?” goda Deseng seraya menggenggam kedua tangan Lianlian.

Lianlian tidak menjawab. Dia tersipu, buru-buru melepas tangannya. Didorongnya Deseng dengan manja lalu berlari. Deseng terumpan. Dia mengejar Lianlian, seperti mengejar kupu-kupu.

***
Wu Lianlian dan Chen Deseng berjalan-jalan hingga lupa waktu.

Mereka berkejaran di padang rumput, mendaki bukit-bukit. Sewaktu merasa lapar di siang hari, mereka memetik buah-buah liar yang tumbuh di hutan. Buah-buah itu terasa begitu lezat. Menghilangkan dahaga dan lapar sekaligus. Usai makan, Lianlian dan Deseng membuka sepatu dan mencelupkan kaki-kaki mereka di air sungai yang sejuk. Setelahnya, mereka lanjut berjalan-jalan lagi.

Lianlian baru sadar harus pulang ke rumah ketika matahari sudah condong ke barat. Dia bergegas kembali. Deseng mengikutinya. Ketika memasuki desa, hari sudah senja. Lianlian meminta Deseng berhenti mengikutinya dan kembali ke penginapan.

“Aku akan kembali lagi malam nanti,” Deseng berkata.

Lianlian tertawa. “Apakah kau sudah gila?”

“Mungkin,” jawab Deseng sungguh-sungguh. “Jika kau tak dapat tidur karena memikirkanku, kumohon temui aku. Aku akan menunggu di samping dinding gerbang rumahmu.”

Deseng menggenggam tangan Lianlian erat-erat sebelum gadis itu menuruni bukit terakhir menuju rumahnya.

Lianlian sampai di rumah dengan jantung berdebar-debar. Tangannya masih terasa hangat oleh genggaman Deseng. Dia memikirkan perkataan terakhir Deseng yang akan menemuinya malam nanti. Hal ini sungguh gila.

Lianlian seorang kembang desa. Dijuluki gadis tercantik Dimen. Puluhan pria Dimen menaruh hati padanya. Beberapa di antaranya bahkan telah melamar. Namun, Lianlian tidak pernah memilih satu pun. Kini, dia justru jatuh cinta dengan seorang pemuda asing yang baru ditemuinya dua kali. Yang berasal dari kota yang jauhnya beratus-ratus kilometer dari Dimen.

Mungkin Lianlian sendiri juga sudah tak waras.

Ketika memasuki rumah, Lianlian mendapati Jinlan dan Wu Jie tengah menunggunya. Jinlan duduk di depan meja kedai, termangu dan cemas. Wu Jie mondar-mandir gelisah.

Sewaktu melihat Lianlian, Jinlan sontak berdiri dan Wu Jie berhenti mondar-mandir.
“Lianlian, kau darimana saja?” tanya Jinlan.

“Aku…, aku dari rumah Pemintal Bai,” Lianlian berkata gugup.

“Wu Jie telah mencarimu ke sana. Kata ketiga bersaudari Bai, kau tak mengunjungi rumah mereka hari ini,” ujar Jinlan.

Lianlian menunduk. Ketahuan kalau dia berbohong. “Sebenarnya…, sebenarnya aku pergi dengan seseorang…”

“Dengan Pemuda Han kemarin sore itu?” Jinlan bertanya tepat mengenai sasaran.

“Ya…”

“Lianlian, kau berani keluar berdua saja dengan pria yang baru kau kenal?”

“Chen Deseng bukan pria yang baru kukenal, kami telah bertemu beberapa kali…”

“Tapi pertemuan kalian tidak lebih dari tiga kali…”

Lianlian terdiam. Jinlan melanjutkan lagi, “Kau berani melakukan hal begini ketika Kakak Xun tak berada di rumah. Jika terjadi sesuatu padamu, bagaimana aku dan Wu Jie bisa menjelaskannya pada Kakak Xun?”

“Chen Deseng pria baik. Dia tak mungkin mencelakakanku!” sanggah Lianlian.

“Lianlian, pemuda Han itu pria asing. Kita tak bisa menilai tabiatnya lewat satu atau dua kali pertemuan saja!”

Lianlian mulai mulai tak senang dengan kata-kata Jinlan. “Semua kata-katamu menandakan kecemburuan, sepupu,” katanya dingin. “Dan itu rupanya menguak tabirmu sendiri. Kau sesungguhnya iri padaku, bukan begitu?”

Terkejut, dengan tergagap-gagap Jinlan bergumam, “Apa…, apa maksudmu, Lianlian?”

Tanpa mengubah nada suaranya yang dingin, Lianlian berkata dengan benci, “Aku memiliki kecantikan yang tak kau miliki. Kau iri padaku karenanya. Sebab, sekalipun kau pintar, pria-pria tak melirikmu sepupu, melainkan memilihku.”

“Lianlian…aku tak pernah berpikir seperti itu…”

“Kau tak tahu nikmatnya kesombongan seorang wanita cantik dengan menampik perhatian pria-pria. Kau berharap bisa memilih pria terbaik diantara pria-pria yang mengejarmu. Tapi kau tak bisa memilih seperti aku - karena kau tak punya kesempatan itu!”

Lianlian tak peduli sekalipun kalimat terakhirnya melukai perasaan Jinlan. Dia membuang muka dan meninggalkan sepupu beserta adiknya dengan perasaan marah.

Malam itu ketika makan bersama, Wu Jie merasakan ketegangan di meja makan. Jinlan murung sementara Lianlian acuh tak acuh terhadap sekelilingnya. Kedua gadis itu makan sedikit membuat Wu Jie tak berselera juga. Lianlian tak bicara apapun dengan siapapun. Dia lekas tidur malam itu.

Usai menerima kata-kata pedas dari Lianlian, Jinlan jadi tak bersemangat. Dia tak menjahit serta kehilangan minat membaca. Ini merupakan percekcokan terhebatnya dengan Lianlian setelah sekian tahun bersama-sama. Jinlan tak habis pikir. Selama ini dia dan Lianlian telah saling menganggap saudara sekaligus sahabat. Mereka saling mempercayai dan mengasihi. Apa hanya karena asmara, keakraban ini akan rontok?

Pada malam-malam sebelumnya, Jinlan dan Lianlian masih saling berbincang sebelum tidur.Bahkan kemarin malam, Lianlian bercerita dengan geli lakon si pemuda Han itu. Jinlan tak menduga kalau ketertarikan Lianlian terhadap pemuda Han itu sedemikian besarnya hingga mengabaikan akal sehat.

Selama ini Jinlan telah menerima kenyataan kalau Lianlian lebih menarik bagi pria manapun sementara dia cenderung dianggap biasa-biasa saja. Apakah dia merasa iri seperti yang dikatakan Lianlian? Mungkin ya. Dua atau tiga kali. Tapi dia berhasil mengubur kedengkian itu dalam-dalam. Selanjutnya, salah satu hal bahagia bagi Jinlan adalah melihat sepupunya yang cantik itu menceritakan pengalamannya menampik pria-pria yang mengejarnya dengan penuh percaya diri.

***
Lianlian hanya pura-pura tidur malam itu. Sesungguhnya dia seperti gadis manapun yang sedang jatuh cinta. Melamun memikirkan kekasihnya.

Kata-kata Deseng sore tadi terngiang-ngiang di benaknya. Tapi Lianlian tak bisa langsung menemui Deseng. Dia harus menunggu sampai Jinlan benar-benar tertidur.

Malam itu Jinlan memang merebahkan diri di ranjangnya lebih awal. Kira-kira setengah jam kemudian, Lianlian melirik apakah sepupunya itu benar-benar sudah tidur? Dia mendekati ranjang Jinlan dan melihat mata sepupunya itu tengah terpejam. Ada sebuah garis di antara kedua alis Jinlan. Sepertinya dia tidur dalam keadaan gelisah. Perasaan Jinlan sangat peka. Dia tentu memikirkan terus kata-kata yang dikeluarkan Lianlian sampai tertidur.

Lianlian mengendap-endap keluar kamar. Dia menuruni tangga. Berusaha tanpa suara karena kamar Wu Jie terletak di bawah tangga kayu yang sedang dituruninya. Suasana gelap dan sepi. Selain suara jengkrik, samar-samar hanya terdengar dengkuran halus Wu Jie.

Lianlian membuka gerbang perlahan lalu keluar. Dia menengok kesana-kemari. Lalu dari arah belakang, Deseng muncul dan memeluknya.

“Akhirnya kau keluar,” kata Deseng. “Aku telah berada di sini cukup lama.”

Lianlian menaruh telunjuk di bibirnya untuk mengingatkan Deseng supaya tak bicara keras-keras. “Kita harus pergi dari sini. Jangan sampai ketahuan oleh para penjaga malam.”

Deseng setuju. Menggenggam tangan Lianlian di bawah purnama pucat malam ketujuh belas bulan pertama, sekali lagi, kedua sejoli ini menembus hutan.

***

Segenap akal sehat terhapus dari benak sepasang kekasih itu. Ketika asmara telah berkobar, tak ada lagi yang patut dipikirkan.

Malam itu Wu Lianlian berbisik pada Chen Deseng, “Aku akan jadi Wang Fu Ya kedua jika kau tak kembali…”

Chen Deseng hanya diam mendengarnya. Bahaya masih terlampau dini diprediksi. Bayangan musibah pun tak tampak sekarang.

***
Keesokan paginya, Jinlan bangun dan tidak mendapati Lianlian di atas ranjangnya.

Dia bergegas turun ke bawah, tapi Lianlian tak terlihat di kedai maupun di dapur. Ketika hendak keluar, dia berpapasan dengan Wu Jie yang akan masuk usai memberi makan ternak ayam mereka.

“Kau melihat Lianlian?”

“Tidak,” Wu Jie menggeleng. “Kukira kalian berdua masih tidur.”

”Aku agak terlambat bangun pagi ini,” ucap Jinlan sesal. “Dan ketika bangun, tak kulihat lagi Lianlian di ranjangnya.”

Kening Wu Jie berkerut. “Aku bangun sejak tadi tapi tak melihat Kakak Lian…”

Jinlan dan Wu Jie mencari Lianlian di seluruh rumah. Ketika mereka bertemu lagi, keduanya pun tahu kalau Lianlian tak mungkin berada di rumah.

“Dia juga tak mungkin berada di rumah Pemintal Bai…” batin Jinlan.

Tiba-tiba, gerbang terbuka dan Lianlian masuk. Jinlan dan Wu Jie langsung lega melihatnya. Tapi ini tak bertahan lama. Di belakang Lianlian ikut orang lain. Pemuda Han itu: Chen Deseng.

Jinlan langsung pucat melihat Lianlian masih dalam pakaian tidurnya, pagi-pagi memasuki rumah bersama seorang lelaki. Meski wajah Lianlian berseri, tapi Jinlan merasa seolah hal buruk telah terjadi.

“Kakak, mengapa kau membawa lelaki ini kemari?” Wu Jie bertanya ketus.

Lianlian melirik Deseng dan pria itu maju menggenggam tangan Lianlian.

“Karena aku akan menemui Kakak Tertua kalian untuk melamar Lianlian.”

“Apa?!” seru Wu Jie.

Jinlan juga terkejut. “Melamar?” gumamnya. “Kau mengucapkannya semudah kau memohon ikut permainan sandiwara kami kemarin dulu, Tuan!”

Deseng mencoba tersenyum mendengar sindiran itu. “Nona Jinlan, dari sepupumu aku tahu kalau kau wanita yang waspada. Tapi bisakah kau berhenti mencurigaiku dan memberiku kesempatan untuk membuktikan perkataanku?”

“Kesempatan?” sebelah alis Jinlan terangkat. “Aku memang tak berniat memberimu kesempatan, Tuan! Aku menentang hubunganmu dengan sepupuku bukan hanya karena kalian begitu berbeda dari segi asal-usul. Tapi juga kepada kemampuanmu membuat janji dengan begitu mudahnya. Janji itu seperti ludah - lebih mudah dilontarkan tapi tak dapat dijilat kembali. Terus terang aku ragu kau pria yang bisa memegang janji!”

“Jinlan…,” ujar Lianlian memelas. Jinlan berpaling menatapnya dengan sedih. Oh, sepupu, mengapa kau sampai melangkah sejauh ini?

Gerbang kembali terbuka dan kali ini yang masuk adalah Wu Xun. Dia masuk rumah sambil berkata - lebih kepada dirinya sendiri,

“Ah, embun pagi ini seperti gerimis yang membasahi bajuku.”

Kemudian mendadak, Wu Xun merasakan kelainan atmosfir rumahnya pagi itu. Wu Jie berdiri mematung dengan wajah keruh. Jinlan pucat ketakutan. Lianlian cemas dan gugup. Lalu, ada seorang lagi. Pemuda Han yang dibilangnya ‘orang asing’ kemarin dulu. Mengapa dia bisa sampai masuk kemari?

***
Wu Xun tak pernah menduga lamaran seperti ini datang pada saudara-saudara perempuannya. Meski dia hanya pemilik kedai minum sederhana, Wu Xun tetap berharap sebuah lamaran terhormat dari pria baik-baik ditujukan kepada adik serta sepupu perempuannya.

Tapi sepertinya nasi telah berubah jadi bubur. Wu Xun menggertakkan gigi mendengar kata demi kata yang diucapkan Chen Deseng. Pikirannya begitu ruwet pagi itu. Di antara sekian banyak pria yang memujanya, mengapa Lianlian justru memilih pria asing ini?

Pembicaraan Deseng mengenai lamarannya belum selesai dengan Wu Xun, pintu kedai diketuk lagi. Wu Jie membukanya. Semua orang berpaling ingin tahu siapa yang datang. Dan Deseng terkejut karena di depan pintu itu berdiri Dehui.

“A Hui? Buat apa kau kemari?”

Dehui tidak berkata apa-apa. Setelah melangkah masuk, Dehui melihat keluar lagi. Sepertinya Dehui tidak sendirian. Dan betul, tak lama kemudian muncul seorang pria dengan rambut dan janggut kelabu berusia enam puluhan. Dia masuk mengikuti Dehui. Deseng sontak gentar. Dia mengenali sosok pria itu sebagai Lao Chen, orang kepercayaan ayahnya.

Lao Chen telah puluhan tahun menjadi pegawai ayah Deseng. Dia terkenal karena kejujuran dan ketegasannya. Semua orang – termasuk Dehui dan Deseng segan padanya. Sekalipun dipercaya dan diberi kekuasaan besar oleh ayah Deseng, Lao Chen tidak pernah memanfaatkannya untuk hal-hal yang buruk. Dia orang yang sangat loyal serta berintegritas tinggi.

“Lao Chen, kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Deseng gugup.

“Tuan Besar menduga kalau Tuan Muda Deseng terlalu senang di sini sehingga enggan lekas pulang ke rumah,” kata Lao Chen dengan suaranya yang dalam. Dia melirik Dehui. “Dan Tuan Muda Dehui tak sanggup memaksamu untuk pulang…,” selanjutnya dia memandangi Deseng lekat-lekat, “Maka dari itu saya diutus kemari untuk menjemputmu.”

Deseng gelisah. “Tapi jangan sekarang. Aku tengah membicarakan masalah lamaran.”

“Apa? Kau membicarakan masalah pernikahanmu di sini?” tanya Lao Chen dengan kening berkerut.

“Ya,” Deseng ragu-ragu. Dia menggamit Lianlian. “Ini Wu Lianlian, dia akan menjadi calon istriku.”

Lao Chen mengamati Lianlian dari atas hingga bawah tapi tak berkomentar apapun tentangnya. Sebaliknya, dia berkata pada Deseng,

“Kau putra tunggal keluarga Chen. Masalah pernikahanmu merupakan hal penting. Mana bisa kau mengambil keputusan sendiri dan mengabaikan keberadaan orang tuamu?”

Deseng mencoba berkelit. Tapi Lao Chen memotongnya.

“Kau harus ikut pulang denganku sekarang. Aku akan menunggu di luar dan memberimu waktu lima belas menit untuk mengurus sisa masalahmu di sini.”

Kesan orang lain, Lao Chen bicara dengan nada datar. Namun bagi Deseng, itu sudah sama dengan perintah. Lao Chen keluar rumah diikuti Dehui. Deseng serba salah.

Melihat Deseng akan meninggalkannya dan mengikuti kedua pria tadi membuat Lianlian sedih. Tiba-tiba dia merasakan penyesalan yang amat sangat seperti yang diramalkan oleh Jinlan. Apa yang terjadi jika Chen Deseng pergi ke Guangzhou dan tak pernah kembali lagi ke Dimen?

Lianlian lari ke atas kamarnya. Menangis. Deseng menyusulnya. Di dalam kamar Deseng mencoba menghibur Lianlian,

“Jangan bersedih. Jangan masukkan di hati kata-kata Lao Chen. Aku pasti akan kembali. Percayalah padaku.”

Lianlian menghapus air matanya dengan sebuah saputangan. Dipandangnya Deseng dengan mata berair. Ketika mereka tengah bersama-sama kemarin, perpisahan seperti ini tak pernah terbayangkan. Lianlian seolah tak sanggup menerima kenyataan begini. Dia terkejut karena semuanya terlalu mendadak.

Dengan suara gemetar, Lianlian mencoba bicara, “Baiklah, kembalilah ke Guangzhou. Bawalah saputangan ini bersamamu. Tapi ingatlah untuk kembali. Karena aku akan menunggumu-seperti istri yang menunggu suaminya di bukit Wang Fu Ya itu.”

Berat hati, Deseng menerima saputangan itu. Dia merasa seolah akan meninggalkan separuh dirinya di di Dimen ini.

“Aku janji akan kembali,” bisiknya. Lalu dia mengecup kening Lianlian.

***
Tiga minggu kemudian di Guangzhou….

“Nona Liu Wenjie, dua puluh tahun. Putri pengusaha bordir dari Meizhou.”

Tidak. Aku tak mungkin menikahi perempuan kerempeng ini.

“Nona Yang Sanjie, dua puluh satu tahun. Putri pemilik ekspedisi kapal laut ke Nanyang.”

Oh, ini tidak pula yang ini. Wajahnya seperti bola!”

“Nona Zhu Yinying, sebelas tahun. Putri pedagang emas dari Hongkong.”

Astaga! Aku disuruh menikahi anak-anak?

Siang itu, terasa begitu menyesakkan bagi Chen Deseng. Dia tak bisa melarikan diri dari kamar ibunya. Setelah melewati perdebatan yang begitu banyak mengenai ‘mempelai dari Dimen’, puncaknya sebuah pertengkaran meletus menyebabkan ibunya jatuh pingsan.

Dan akhirnya, segala upaya untuk kembali ke Dimen mempersunting Wu Lianlian terhapus sudah. Keluarga menekan Deseng untuk bersikap benar. Mereka menganggap, ‘kekasih Dimen’ hanyalah salah satu bagian dari petualangan masa muda Deseng. Deseng merasa kakak-kakak perempuannya seolah mencekiknya dengan nasihat-nasihat agar melupakan ‘kekasih Dimen-nya’ dan memilih gadis tepat sebagai calon istri. Dia juga merasa digantung setiap kali Lao Chen menguliahinya tentang sikap yang mesti diambil Deseng selaku pria dewasa.

Maka, mak comblang pun dipanggil dengan membawa lusinan foto gadis-gadis. Semua berasal dari keluarga pilihan. Diapit ibunya dan mak comblang, Deseng tinggal memilih. Dengan wajah sebal Deseng membolak-balik album-album foto sambil mendengar celoteh mak comblang memperkenalkan profil gadis-gadis itu.

“Huang Limei, delapan belas tahun.”

Deseng tertegun sejenak. Ibunya mendekat dan berbisik, “Kau kenal dia bukan? Dia anak gadis Huang si pedagang farmasi yang tinggal di ujung jalan sana.”

Tentu saja Deseng kenal. Ketika kecil dia biasa melihat gadis itu. Dipukul dan dimarahi ayahnya yang frustasi karena tidak dikaruniai anak lelaki. Ibu gadis itu lemah dan sering sakit-sakitan sehingga hanya bisa memberi seorang putri yang gagap bagi suaminya. Kekerasan fisik yang dialami Nona Huang tergambar dari matanya yang sayu dan selalu memancarkan ketakutan. Dia juga sulit bergaul karena ketika berbicara akan terputus-putus oleh gagapnya.

Nyonya Chen menanti penuh harap. Akankah Deseng memilih Nona Huang yang lembut dan bermata sayu?

Sepertinya dia lebih cocok dengan A Hui!” pikir Deseng sambil tersenyum. Deseng ingat beberapa bulan lalu Dehui mengutarakan perasaan simpatinya tentang Nona Huang. Bertahun-tahun mengenal Dehui, baru kali itu Deseng mendengarnya menyebut nama seorang gadis.

Deseng membalikkan lembaran album fotonya lagi.

Tak ada siapapun yang menarik di sini. Yang kuinginkan hanya Wu Lianlian!

Lalu pandangannya berhenti pada sebuah foto. Seorang gadis berwajah bulat dengan mata bulat berbinar.

“Siapa dia?” tanya Deseng.

Mak combing tersentak. Baru kali ini Deseng bertanya.

“Oh, dia ini putri pengusaha kapal di Macao. Zhang Lijun. Umurnya tahun ini sembilan belas.”

Deseng mengangkat album foto itu dan melihat dengan seksama. Rambut gadis itu pendek berombak dan ditata seperti model wanita barat. Sekarang di Guangdong, rambut para wanita sedang trend bergaya seperti itu. Dia juga mengenakan cheongsam lengan pendek yang memperlihatkan kelangsingan lekuk tubuhnya. Meski foto itu sendiri cuma hitam-putih, Deseng dapat melihat jelas kecantikan yang terpancar dari gadis itu.

Deseng mengetuk-ngetuk meja. Ibunya mengetahui kebiasaan ini sebagai tanda Deseng tengah menimbang-nimbang. Dia lalu memberi kode kepada mak comblang.

“Dia sangat cantik, bukan?” tanya mak comblang setelah menerima kode dari Nyonya Huang. “Dia pernah bersekolah di sekolah putri Katolik di Macao. Dia juga pandai memainkan biola.”

Bibir Deseng mengerut. Dia tengah membuat keputusan pelik. Setelah beberapa saat, mak comblang menanyainya lagi,

“Bagaimana Tuan Muda? Jika kau masih ingin melihat lainnya, aku akan membuka album lain…”

“Tidak perlu!” sahut Deseng tegas. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “Aku pilih dia!”

Nyonya Huang dan mak comblang begitu lega mendengarnya. Sebelum Deseng keluar dari kamar, Nyonya Huang menanyai putranya itu,

“Pilihanmu sungguh tepat. Kira-kira apa yang membuatmu sampai memilih Nona Zhang?”

Deseng memandang ibunya sambil berkata, “Karena dia mirip Wu Lianlian.”

***
Pernikahan Chen Deseng dengan Nona Zhang Lijun berlangsung dua minggu kemudian. Diselenggarakan dengan begitu megah dan mewah.

Pada saat yang sama, beratus-ratus kilometer dari Guangzhou, tepatnya di Dimen, seorang wanita terserang gejala penyakit aneh di pagi hari.

Wu Lianlian mendapati dirinya sering mual dan muntah. Kepalanya juga selalu pening.

Beberapa waktu kemudian, dia pun tahu kalau dirinya tengah hamil.


Sumber :
http://merlinschinesestories.blogspot.com

Merlin's Chinese Stories, Merlin Penyihir Penasihat Raja Arthur.
Blog yang memuat hasrat-hasrat terpendam akan cerita-cerita China klasik dan segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar