Sabtu, 31 Juli 2010

Senyuman Bidadari


Belum pernah aku mengalami keresahan sekalut ini. Sangat menegangkan.

Detik-detik waktu teramat lambat berjalan. Seperti tersedak di helaan nafasku yang tak beraturan. Saat seperti inilah aku benar-benar merasa memerlukan Allah. Hanya Dia yang mampu membantu.

"Duduklah, Nak," bapak-bapak yang melihatku mondar-mandir di ruang tunggu ini mencoba menawariku sambil menepuk-nepuk bangku panjang yang hanya didudukinya seorang. Ia berhenti membaca koran yang sedari tadi menemaninya.

"Makasih, Pak," aku hanya mengangguk padanya sambil coba tersenyum. Tapi kentara sekali aku gugup.

"Anak pertama ya?" tanya bapak-bapak itu menebak.

Aku hanya mengangguk. Mataku menatap ke pintu tertutup yang belum juga ada tanda-tanda akan dibuka. Meski lamat, aku masih bisa mendengar suara erangan mengejan Ifani-ku. Juga suara Ibu menyemangati dan menguatkan menantunya itu.

"Dulu, saya juga sepanik kamu, Nak," bapak itu berkata lagi, "Hanya Allah tempat bermohon."

"Iya, Pak," aku mengangguk. Aku tahu, Ifani sedang berjuang antara hidup dan mati demi kelahiran jabang bayi anak pertama kami. Kuatkan dia ya Allah...

Di benakku terbayang garis bibir Ifani-ku itu. Bibir yang selalu menghias senyum terindah itu kini sedang mengeluarkan rintihan. Rintihan kesakitan yang hanya bisa dirasakan kaum ibu. Erangan yang mampu mengagungkan derajat wanita pada titik tertinggi. Sebuah medan jihad yang hanya diperuntukkan bagi keturunan Hawa...

Aku memaksa diri untuk menenangkan batin dengan duduk di samping si bapak-bapak.

"Yakinlah, semua akan baik-baik saja," orang tua itu berusaha menenangkan hatiku.

Aku menghela nafas setenang mungkin.

"Saya baru saja menerima anugerah cucu ke tiga, Nak. Anak pertama dari bungsu saya. Kemarin suaminya juga sepanik kamu. Itu sangat wajar karena merupakan sesuatu yang baru dalam hidup kalian. Tapi dengan keyakinan dan pasrah pada Allah, semua akan berjalan lancar..."

Aku hanya mengangguk. Otakku belum bisa mencerna semua kata-kata itu dengan baik. Aku masih benar-benar dalam kekalutan teramat.

Ifani, gadis pilihan hatiku yang akhirnya kunikahi hampir setahun yang lalu. Kini dia sedang menahan sakit di hadapan bidan yang membantu persalinannya. Ya Allah, beri kekuatan pada isteriku itu...

***

Aku mengenal Ifani ketika sedang KKN di sebuah desa kecil di kawasan Gunung Kidul. Pertama melihatnya saat aku dan beberapa teman KKN hendak ikut partisipasi di masjid kampung yang menyelenggarakan kegiatan rutin mengajari anak-anak membaca Al Quran atau yang lebih dikenal dengan sebutan TPA.

Kami datang terlambat beberapa menit. TPA sudah dimulai, beberapa remaja yang peduli kemajuan kampung mereka tampak disibukkan menyimak dan mengenalkan huruf-huruf hijaiyah melalui sarana buku iqra.

Teman-teman KKN yang putri langsung membaur ke kelompok remaja putri yang mengampu anak-anak perempuan dengan jilbab-jilbab lucu mereka. Aku sendiri bersama teman-teman KKN putra sudah disibukkan dengan menyimak bacaan iqra bocah-bocah TPA yang putra.

Kelar menyimak bacaan salah satu anak, lalu kuberikan tugas menyalin tulisan Arab dari buku iqra padanya. Menunggu si bocah menyelesaikan tugas, kulepas pandangan mengitari ruangan masjid kampung ini. Lumayan besar meski bangunannya sudah tua. Empat tiang penyangga masjid ini terbuat dari kayu jati asli. Kokoh dengan ukiran tangan orisinil memberi nuansa klasik pada bangunan suci ini.

Tak sengaja mataku menemukan pemandangan yang sangat mengusikku. Mengusik segenap hati dan perasaanku. Menimbulkan getaran yang sangat aneh. Memberi debar dengan birama misterius pada hatiku. Sebuah pemandangan sempurna bagi mata manusia-ku. Yah... Aku menyaksikan senyuman sempurna itu. Senyuman bidadari...

Dia sedang menyimak hafalan juz amma beberapa anak. Senyum puasnya saat memastikan hafalan si anak-anak benar tampak menghias di bibirnya yang, subhanallah, sangat sempurna menurutku. Bibir yang menghiaskan senyum itu sama sekali alami, bibir yang barangkali tak pernah mengenal gincu atau lipstik. Tapi senyuman yang merekah di situ sangat sempurna. Senyum yang akhirnya kusebut sebagai senyum bidadari... Belum pernah kulihat sebelumnya.

"Hei, tundukkan pandangan, Ris!" teguran berbisik dari Labib menyadarkanku.

Aku sedikit tersipu ketahuan melirik ke pemilik senyuman bidadari itu. Agak gugup saat kucoba senyum ke Labib, "Hehe, sori, Bib. Tapi makasih udah ngingetin."

Itu momentum pertama yang sangat berkesan bagiku. Aku merasakan sedang jatuh cinta. Ya, aku telah jatuh hati pada gadis kampung pemilik senyum menawan itu. Ifani, demikian orang tua si gadis memberi nama padanya. Nama unik yang bagiku menambah menarik! Robbana... Aku benar-benar kesengsem padanya.

Selama KKN di kampung Ifani, entah mengapa aku merasa sangat bersemangat. Aku ingin bersama teman-teman bisa memberi arti keberadaan kami di kampung ini dengan turut aktif dalam semua kegiatan kemasyarakatan. Penyuluhan tentang teori bertani yang benar, atau penyuluhan kepada para remaja tentang kemungkinan tantangan zaman yang mau tidak mau pasti akan masuk juga ke kampung terpencil ini.

Kami juga mengupayakan pembuatan sumur warga yang memiliki sumber mata air terbanyak agar dapat membantu persediaan air bersih bagi warga di kampung yang identik dengan kekeringan ini.

Satu yang tak pernah aku tinggalkan adalah menghadiri kegiatan rutin TPA setiap dua hari dalam seminggu di masjid kampung.

"Jangan kotori niat, Ris," Labib mengingatkan. "Hati-hati juga, jangan sampai nama baik almamater tercemar dengan sikap kita."

Aku mengerti. Kampung Ifani masih sangat terpencil, berarti juga sangat sensitif. Bayangkan andai nanti sikap ketertarikanku pada si pemilik senyuman bidadari itu bisa menjadi fitnah.

Benar kata Labib, niatku partisipasi membantu dalam kegiatan TPA ini harusnya lillahi taala, tak boleh diniatkan untuk yang lain, termasuk keinginan menjumpai senyuman pengganggu jiwaku itu. Senyuman bidadari Ifani!

Suatu kali. Kegiatan TPA berakhir tapi mendadak hujan turun dengan sangat derasnya. Kami menahan anak-anak TPA agar jangan nekat pulang. Tak mungkin kami biarkan mereka hujan-hujanan. Untuk menarik perhatian anak-anak kecil itu, Labib mendaulatku untuk menunjukkan keahlianku bercerita.

Anak-anak tampak antusias mendengarkan ceritaku. Aku berkisah tentang Abu Nawas dengan segala kecerdasan dan kecerdikannya. Mereka tampak sangat menikmati ceritaku.

Tak hanya anak-anak, para remaja yang tadi mengajari membaca iqra pun, tampak ikut terbawa dengan suasana penceritaan yang kusajikan. Mereka turut tersenyum salut dengan kecerdikan Abu Nawas saat berulang kali mampu lepas dari jebakan hukuman dari Raja Harun Ar-Rasyid. Dan... di sudut sana, tampak Ifani dengan senyuman rupawannya juga ikut menikmati ceritaku. Entahlah, hatiku berseru girang karenanya. Semoga ada nilai plus diriku yang bisa ditangkapnya. Ah, ada secuil pengharapan membuncah di dadaku. Ifani...

Hujan reda usai kami jamaah sholat Maghrib. Saat perjalanan pulang, Muslimah, mahasiswi ketua kelompok putri, sempat berbincang denganku.

"Gaya berceritamu bagus, Ris," ia memulai dengan sebuah pujian.

"Biasa aja, Mus. Rata-rata anak sastra mampu bercerita," aku merendah. Dan memang tak perlu merasa tinggi untuk hal itu.

"Tau nggak, ada remaja putri yang bilang salut dengan gayamu. Apalagi kamu benar-benar bisa mengajak semua anak TPA masuk ke ceritamu."

"Ah, jangan berlebihan, Mus. Nggak baik seperti itu."

"Iya. Tapi kamu tau nggak, yang bilang gitu siapa?"

"Emang siapa?"

"Ifani, Ris."

Deg. Jantungku berdegub kencang.

"Kenapa, Ris?"

Aku lekas menggeleng. "Apa yang kenapa?"

Muslimah sedikit mencibir. Lalu ia berkata seperti bergumam sendiri, "Benernya Ifani tuh cantik ya, Ris."

"Ya iya, cewek. Kalo cowok ya ganteng," sahutku asal.

"Tapi beda, Ris."

"Apanya?"

"Ia sangat istimewa."

"Apa istimewanya?"

Muslimah tertawa kecil. "Tuh, kan penasaran," godanya.

"Au ah. Kamu juga yang mancing."

"Kenapa kamu terpancing?"

Ah, Muslimah ini kenapa? Ada yang tidak beres nih dengannya...

"Kamu kenapa sih, Mus?" tanyaku.

"Nggak kenapa-napa. Cuman muji Ifani. Emang kamu nggak sepakat dengan pujianku?"

"Aku sih nggak begitu mengenalnya. Kan kalian dari mahasiswi yang lebih dekat dengannya."

"Ya udah. Aku ceritain tentang Ifani. Dia tuh hebat. Istimewa."

Ini sebenarnya yang kutunggu. Bisa kenal gadis itu lebih jauh. "Dari tadi kamu bilang istimewa. Apa yang istimewa?"

"Kamu tahu, Ris, dia hafal Juz Amma dan juz 29."

Aku sedikit terhenyak tak percaya. "Masak sih?"

"Iya. Kami sering menyimak ia murajaah. Hafalannya sangat bagus."

Aku makin terpana, tapi coba kututupi. Jaga gengsi.

"Sejak kecil Ifani senang mendengarkan Ibunya membaca Quran dan menghafal bacaan suci itu."

Luar biasa.

"Gimana, Ris? Makin tertarik?" Muslimah mengerlingkan mata.

"Maksudmu?"

Muslimah mesem-mesem. "Aku udah tau kok, Ris. Kamu menyukai Ifani kan?"

"Hey, kata siapa?" tanyaku cepat.

"Ehem. Cinta itu seperti batuk," sahut Muslimah, "Tak bisa disembunyikan."

"Ah! Ngomong apa sih, Mus. Nggak enak kalo didengar warga. Kampung ini masih sangat sensitif, bisa menjadi fitnah."

"Iya. Aku tau. Tapi kan kalo kamu emang cinta dia..."

"Cinta apaan sih, Mus. Belum-belum sudah ngomong cinta!" lekas kupotong kalimat Muslimah.

"Bukan apa-apa, Ris. Ya udah lah, kamu pikirkan sendiri aja. Yang jelas, Ifani itu istimewa. Satu antara seribu. Kamu mau ngelewatin gitu aja?" Muslimah akhirnya menyudahi semua.

Tapi jujur, obrolan itu benar-benar berpengaruh pada diriku. Aku jadi lebih sering memikirkan tentang Ifani. Iya, benar kata Muslimah, gadis kampung itu teramat istimewa. Aku mengakuinya. Tapi, apa yang harus kuperbuat? Bilang pada gadis itu kalau aku..., hehe, jangan. Aku belum siap menikah. Bilang cinta artinya siap melamar, itu prinsipku.

Tapi rasa itu makin menjadi. Apalagi tiap TPA aku sayup-sayup mendengarkan Ifani melantunkan bacaan Quran membetulkan hafalan anak-anak yang kadang salah panjang-pendeknya. Atau kurang tepat makhraj dan tajwidnya. Gila, aku makin terpikat, kawan!

Tapi aku tak berani bersikap apapun.

Banyaknya aktivitas kemasyarakatan sedikit membantuku untuk melalaikan ingatan pada Ifani. Kesibukan dalam tugas pengabdian cukup menyita waktuku dari sekedar melamunkan indahnya senyum Ifani.

Tapi tiap jelang tidur malam, tak jarang mata ini susah kupejamkan. Senyuman bidadari itu sering mengusik. Robbana... Apa yang musti hamba lakukan?

Untungnya, jatah KKN yang tak lebih dari dua bulan habis juga. Untung atau malah rugi ya? Waktu KKN habis berarti aku tak kan lagi terganggu dengan senyuman itu. Tapi juga berarti, aku "kehilangan" harapan pada gadis itu... Kuserahkan semua padaMu ya Allah.

Tiba waktu perpisahan itu...

Suasana sangat mengharukan mengiring upacara pamitan dan perpisahan kami dengan warga kampung Ifani. Yang bagiku terasa gila adalah tindakan Muslimah yang mempertemukanku dengan Ifani di pendopo balai desa beberapa saat jelang kami meninggalkan kampung ini.

"Ifani, ini Haris," Muslimah berbisik pada Ifani.

Ifani mengangguk. Lalu tersenyum indaah sekali... Robbi, senyuman bidadari itu dia sunggingkan hanya teruntuk aku...

"Mas Haris...," ya Allah, ini pertama kali ia berbicara padaku, menyebut namaku...

"Ya, Ifani. Em, sebentar lagi kami akan meninggalkan kampung indah ini."

"Saya ingin berterima kasih pada Mas Haris dan semuanya. Semoga semua masih selalu sempat mengingat kami. Paling tidak kirimlah kabar sepulang dari sini."

"Insya Allah. Kami juga sangat senang bisa KKN di kampung ini."

Muslimah menyentuh tangan Ifani. Lalu terdengar mahasiswi kedokteran itu bicara, "Ifani, kami pasti mengenang kalian."
Ifani mengangguk senang dan tersenyum lagi. Duh...

"Dan," Muslimah melirikku, "Semoga ada alasan bagus yang bisa memaksa kami kembali berkunjung ke kampung ini..."
"Maksud Mbak?" tanya Ifani tak paham.

"Ya... Barangkali ada hati yang tertinggal di sini...," Muslimah menembakkan kalimatnya ke jantungku yang langsung berdetak kencang.

***

Tangis bayi yang keras menyentakku. Ifani telah menuntaskan jihadnya!

"Anak pertamamu lahir, Nak...," si bapak menepuk pundakku. Lalu menyalamiku, "Selamat menjadi bapak."

Aku mengangguk cepat. "Alhamdulillah, ya Allah..."

Tak lama, aku sudah masuk ke tempat Ifani berbaring lemah. Mukanya pucat tapi ia sudah kembali dengan senyuman bidadarinya.

"Dek, putri kita cantik sekali," kukecup kening bayi merah yang kutimang. Bahagianya hatiku.

"Tentu. Ia mewarisi kecantikan Ibunya dong," Ibuku yang menyahut. Beliau duduk di sisi pembaringan Ifani. Disekanya keringat yang masih menempel di kening sang menantu.

"Bawa kemari, Mas," Ifani meminta kudekatkan si kecil yang tampak tenang. Kuturuti kemauan isteriku ini.

"Dek, bibir putri kita sama persis dengan bibir Adek, ia mewarisi senyuman Adek."

Ifani tersenyum. Kuraih tangannya.

"Adek bisa melihatnya, kan?" kubawa jemari tangan lembut Ifani-ku ini untuk menyentuh wajah dan bibir putri kami yang masih merah.

"Iya, Mas... Adek seperti meraba wajah Adek. Juga bibirnya...," Ifani terus meraba wajah lembut bayi kami. Karena hanya dengan rabaan jemarinya ia bisa menyimpulkan bagaimana bentuk fisik segala sesuatu yang ada di jangkauan tangannya.

Aku terharu. Ia menikmati rabaan itu sebagaimana ia dulu menikmati meraba wajahku di malam pertama pernikahan kami untuk mengenali bagaimana rupaku. Sementara matanya tetap menatap dunia kosong karena Allah menyimpankan sepasang indera penglihatannya itu di surga dari semenjak Ifani lahir ke dunia ini.

Kutarik jemari isteriku ini. Kukecup penuh sayang.

"Mas, Adek belum puas meraba wajah putri kita..." protesnya manja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar