Jumat, 30 Juli 2010
Rindu Hujan
Langit biru, cerah, dan bukan langit yang mendung. Itulah yang tengah ditatap Ibnu, bocah berseragam putih-merah yang tak bergeming sejak kepulangannya dari sekolah. Entah sejak kapan ia menyukai aktivitas yang satu itu. Menatap langit yang rata dengan awan putih tipis sebagai penghias. Kepalanya tak mau berpindah arah ke mana pun, seakan-akan langit di atasnya itu adalah tontonan menarik yang sayang sekali jika dilewatkan. Meski hanya satu detik.
“Ibnu, pulang sini!” seorang perempuan tua, berteriak ke arah Ibnu. Ia berdiri tepat di depan rumah bilik yang juga ditinggali Ibnu, anaknya yang manunggal itu.
Ibnu menoleh ke arah Simbok yang tengah berkacak pinggang dengan air muka memancarkan kekuatiran tingkat tinggi. Mungkin ia kuatir dengan sikap anaknya yang bisa dibilang aneh. Aneh karena tak satu pun anak seusianya melakukan ritual yang selalu dilakukannya tiap pulang sekolah itu. Dan mungkin tak ada orang dewasa yang sudi meluangkan waktunya hanya demi menatap langit selama berjam-jam.
Angin sore mengikuti Simbok yang berjalan menghampiri Ibnu dengan langkah lebar-lebar. Ibnu melihatnya tanpa ekspresi. Sesaat kemudian, ia memilih kembali menekuri langit yang tak berbicara.
“Ibnu, sudah lewat waktu Ashar, Nak! Sejak tadi siang, seragam belum juga diganti, perut belum diisi, dan suara adzan Ashar tidak kamu hiraukan. Selalu begitu tiap hari...” Simbok mendesah pelan. Ada kekesalan dalam suaranya, namun ia enggan memarahi anak satu-satunya itu.
“Nungguin apa to, Nak?” Simbok menekan suaranya ketika ia menyamai posisi Ibnu, duduk di atas tanah dan mengikuti arah matanya ke langit luas.
“Hujan, Mbok!” jawab Ibnu, singkat, tanpa memandang wajah Simbok.
“Hujan?” Simbok terlihat kaget. Matanya menangkap keseriusan dalam bola mata Ibnu. Ia terdiam sesaat, kemudian tertawa pelan. Dan getir. Ia merasa geli dengan jawaban bocahnya tadi.
“Hujan ndak usah ditunggu-tunggu, Nak. Dia nggak bakalan datang...” ujar Simbok, disusul oleh getir yang mendadak muncul dalam hatinya.
Memang, hanya keajaiban yang mampu datangkan hujan. Sudah hampir satu tahun, penduduk Desa Mundu dilanda kekeringan. Sawah-sawah tak berair, sumur-sumur telah sampai pada titik dasarnya, dan baju-baju dapat kering dalam sekejap.
Sejak desanya dilanda kekeringan itulah, Ibnu sering melakukan aktivitas mleihat langit. Jika dikenang, Ibnu Suprapto, anaknya itu memang gemar melakukan yang aneh-aneh. Barangkali hanya Ibnu seorang yang pernah bangun tengah malam hanya untuk mencari tahu seperti apa lintang kemukus itu. Simbok pun yakin, tak ada satu pun anak di kampungnya yang membagi-bagikan permen pada malam takbiran. Sekarang, Simbok melihat salah satu keanehan anaknya lagi. Namun, mengingat aktivitasnya yang satu itu hanyalah satu di antara hal-hal aneh yang dilakukan puteranya, Simbok merasa harus bersikap biasa-biasa saja. Karenanya, akhirnya ia memilih meninggalkan Ibnu setelah sebelumnya mengingatkan bedug Maghrib yang akan segera datang sebagai tanda berakhirnya waktu solat Ashar.
“NAK, pulang sekolah nanti, tolong mampir ke MCK. Ambil air buat minum, ya” Simbok meletakkan dua ember karet yang ditumpuk menjadi satu di sebelah Ibnu.
Ibnu menatap ember itu sekilas sebelum akhirnya menuntaskan sarapannya bersama bapak yang sedari tadi diam saja. Tangannya memang bergerak, mengambil secomot demi secomot nasi gaplek yang juga diam. Namun mulutnya begitu rapat terkunci. Tidak berapa lama, piringnya telah kosong seperti tatapan matanya.
Ibnu menghela nafas lalu pamit pergi. Tangan kirinya menjinjing ember. Tangan kanannya menjinjing tas plastik bergambar Ultraman Taro yang telah dimilikinya sejak kelas empat SD. Sekarang, Ibnu kelas enam SD. Artinya, tas itu telah menjadi teman karibnya selama tiga tahun.
Ibnu tahu, dia harus menjaganya agar tas itu tidak rusak. Karena jika sampai rusak, ia harus meminta gantinya pada Simbok dan Bapak. Kalau Ibnu memintanya delapan bulan yang lalu, mungkin Simbok dan Bapak masih bisa membelikan tas baru bergambar Naruto. Tapi sekarang, Ibnu tidak boleh meminta apa pun pada Simbok dan Bapak agar mereka lebih khusyuk memikirkan sumur yang kering dan sawah yang kerontang.
Ibnu merasakan sesuatu dalam hatinya. Sesuatu yang mengingatkannya pada langit. Maka, sebelum pergi ke sekolah, ia sempatkan untuk menatap langit dan mematung. Tak ada apa pun di sana selain warna biru yang bercengkrama dengan awan cirrus. Melihat itu, Ibnu merasa kecewa. Kenapa langit belum juga mendung, keluhnya dalam hati. Dengan berat, dilanjutkannya langkah kaki yang sempat terhenti.
Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Prastomo, teman sekelasnya. Ibnu memberikan salam yang dibalas dengan tawa berderai. Prastomo tertawa. Ibnu merasa heran. Tak ada yang lucu, pikirnya. Tapi setelah ia menyadari apa penyebab temannya itu tertawa, Ibnu pun ikut tertawa.
“Ternyata bukan aku saja yang dihadiahi ember...” lirih Ibnu.
SIMBOK menatap heran isi ember yang dibawakan Ibnu. Selain jumlahnya yang sangat sedikit, warnanya pun keruh kekuning-kuningan. Pemandangan itu membuat kerongkongan Simbok terasa semakin kering. Dapat dipakai apa air comberan kayak gitu?
“Sumur yang ada di MCK udah nggak ada airnya. Jadi, aku dan Pras terpaksa ngambil di sumur rembesan dekat kantor desa. Itu juga ngantrenya lama banget, Mbok!”
Ibnu menyambar segelas air putih yang disodorkan Simbok. Mmm...rasanya seperti air surga. Ingin rasanya ia meminta segelas lagi tapi diurungkannya juga ketika bayangan Bapak pulang dengan dahaga melintas di benaknya. Ada hal lain yang begitu ingin dilakukannya kini, yaitu melihat langit.
Ibnu melangkah ke luar tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu, seperti biasa. Simbok merasa tidak perlu bertanya, akan ke manakah anaknya itu? Apakah yang akan dilakukannya? Simbok sudah tahu jawabannya. Tapi Bapak mungkin tidak tahu, karena hampir setiap hari ia ada di sawah. Entah apa yang digarap di sana. Semua orang tahu, sawah-sawah itu telah menyerupai jalanan retak yang tak kenal air lagi.
Simbok menatap Bapak yang muncul tiba-tiba di muka pintu. Terlalu dini untuk pulang, pikir Simbok. Namun, ia tidak menanyakan alasannya karena peluh yang menetes membasahi baju tipisnya, serta tanah kering yang menempel di ujung cangkulnya, telah cukup sebagai jawaban. Tidak ada apa pun yang bisa digarap selain tanah kering.
Bapak merebahkan tubuh ringkihnya di balai-balai. Simbok lekas menuangkan segelas air. Sebenarnya tidak penuh satu gelas. Kurang lebih setengahnya karena memang itulah air yang tersisa, selain dua ember air keruh kekuningan yang dibawa Ibnu tadi.
Bapak menandaskan minumnya. Lalu kembali merebah dengan tatapan kosong, seperti biasa. Simbok yang mengambil alih gelas yang semula dipegang Bapak. Setelah itu, tak ada kata-kata dari mulutnya. Tak ada perbincangan di antara keduanya. Tak ada air dalam gelas yang dipegang Simbok. Tak ada air dalam teko yang berdiri lemas di atas meja. Tak ada air yang menetes dari langit yang tengah ditatap Ibnu.
“Kenapa jadi kayak gini ya, Pak?” Simbok memelas.
“Hush! Jangan menggerutu! Mungkin memang maunya Tuhan kayak gini” gumam Bapak.
Angin menggerakkan pintu yang setengah tertutup. Simbok dan Bapak mengikuti arah angin yang bergerak. Kini, keduanya sama. Sama-sama mengikui angin, sama-sama melihat Ibnu, dan sama-sama merindukan hujan. Sementara Ibnu, sedang asyik tengadah. Memperhatikan bagaimana langit berbicara pada orang-orang linglung di bawahnya. Seandainya mampu, Ibnu ingin menerka, keajaiban apakah yang bisa dilakukan olehnya agar hujan dapat turun dengan segera, dalam jumlah yang melimpah. Lamat-lamat ia terkenang, akan sebuah ingatan setahun yang lalu dimana air boleh diminum sesukanya, kulit tidak mudah berdaki, dan ia bersama Prastomo dapat bermain kubangan di sawah Bapaknya bersama kerbau.
Dari dalam rumah, Simbok tertawa. Menertawakan getir. Sementara Bapak menunggu kantuk yang masih jauh untuk datang. Dan Ibnu, masih menunggu keajaiban di bawah langit.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar