Sabtu, 31 Juli 2010

Arti Perempuanku


Di malam perpisahan kelas 12 SMAN 1 Bangkalan.
Tepuk tangan riuh terdengar ketika Joan menerima piala dan amplop berisi uang pembinaan yang diserahkan Bupati. Susah payah Joan memegang piala tersebut, sementara tangan satunya harus menahan kruk kayu penyangga kaki yang sebelah.

Mata Joan nanar. Pandangannya menyapu ke segenap hadirin yang tak lepas memperhatikan dirinya. Tatap-tatap bersirat kagum. Bahkan mungkin iri. Rasa haru kuat mencengkeram hati Joan. Haru dan bahagia. Matanya merebak. Mengabur. Pedas.

Joan sungguh tak menyangka bisa berdiri di situ. Di atas pentas penobatan juara umum kelulusan tingkat SMA sejatim. Sebuah penghargaan yang membuat Joan serasa tak berpijak di bumi. Bagi Joan, malam itu adalah moment terindah sepanjang hidupnya!

Dengan menyeret langkah, Joan mendekati microphone.

“Sebelumnya, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada segenap guru yang telah mendidik dan membimbing saya selama ini. Bahkan hingga saya berhasil menjadi juara umum sepropinsi untuk tingkat kelulusan tahun ini. Semuanya, tentu tak lepas dari jasa, didikan dan bimbingan para guru semua. Penghargaan ini sungguh anugerah tak terhingga buat saya,” dengan penuh hormat Joan menumpahkan rasa syukurnya.

Sesaat Joan menghentikan kalimat. Menelan ludah yang terasa kering.

Sepi!

“Bimbingan para guru semua adalah peran utama dari segala apa yang saya raih malam ini. Sungguh, saya sangat bersyukur dan berterima kasih pada semuanya!” lanjut Joan.

Pak Ridwan selaku wali kelas 12 IPS mengangguk-angguk bangga. Berdiri di samping Bupati.

“Selain ucapan terimakasih pada kedua orangtua saya, pada teman-teman yang telah sama-sama menempuh masa belajar dengan saling bantu, ada satu orang lagi yang membuat saya merasa wajib berterima kasih….” pandangan Joan lurus ke depan. Kosong. Diam beberapa detik.

Joan menarik nafas mengingat jalan hidupnya selama ini. “Jujur, dari kecil, saya hanya selalu berpikir tentang semua keterbatasan yang ada dalam diri saya. Keterbatasan yang membuat saya selalu minder, ragu dan tidak percaya diri untuk melakukan sesuatu. Bahkan untuk bergaul pun saya tak cukup berani. Saya takut menjalani hidup. Ketika teman-teman mengejek, saya hanya bisa menangis. Ketika teman-teman bermain bersama, saya merasa terkucilkan.”

Tak ada suara menyela.

“Saya merasa sendirian. Tapi di saat-saat seperti itu, ternyata ada seseorang yang selalu mau menemani di tiap saya butuhkan. Kata-kata bijaknya adalah solusi di saat saya dalam masalah. Tangannya adalah pembangkit di waktu saya tersungkur jatuh. Dia selalu memotivasi saya untuk terus bangkit dan hidup!”

Mata Joan kian pedas. Suaranya mulai campur parau. Kadang tersendat. “Saat saya menangis, dia mengajari saya untuk tersenyum. Pulang sekolah berwajah murung, dia yang menghibur. Di waktu saya diejek teman-teman, dihina, dikucilkan, dia yang tak henti memberi saya semangat. Memberi rasa percaya diri! Dia tahu saya lemah. Makanya dia selalu memberi saya keyakinan untuk membangun kekuatan! Kekuatan untuk hidup dan bertahan! Kekuatan untuk membuktikan pada dunia bahwa banyak hal yang bisa saya capai. Walau dengan segala keterbatasan!”

Sejenak Joan mendongak. Mencoba membendung air yang mulai berkubang di kelopak mata. Namun percuma. Bulir-bulir bening meleleh hangat di kedua pipi Joan. Perlahan.

“Sungguh, dia adalah sosok inspiratif bagi saya. Dia yang banyak memberi arti dalam kehidupan saya. Sepanjang hidup, dia akan selalu ada dalam hati. Dia adalah Ibuku, Pahlawanku, dan Pembimbingku! Terima kasih, Perempuanku!”

Kalimat Joan di akhiri riuh tepukan tangan. Menggemuruh. Banyak di antara yang hadir malam itu mengusap mata. Haru. Jajaran guru yang duduk berbaris di sebelah panggung pun tak kalah semangatnya memberi tepukan tangan.

Selanjutnya, Pak Harun selaku pembawa acara mempersilakan orang tua Joan menaiki pentas. Awalnya, Mama yang duduk di antara wali murid yang lain terkesan enggan. Namun menyadari statusnya sebagai orangtua Joan yang diharapkan menaiki pentas, dengan terpaksa akhirnya bangkit juga. Penampilan Mama Joan anggun dan dinamis. Senyum menghias bibir merahnya yang mengkilap. Klimis.

Joan sedikit merunduk. Sempat mengusap mata dengan punggung tangan. Begitu sampai di panggung, Mama Joan memberi hormat pada Bupati dan Pak Ridwan. Lalu berbungkuk-bungkuk menebar senyum pada segenap hadirin. Berdiri di samping puteranya. Menyampaikan beberapa kata sebagai tanda ucap syukur atas keberhasilan Joan.

“Saya sangat bersyukur dengan apa yang Tuhan anugerahkan pada putera kami. Dan banyak-banyak terima kasih pada semua pihak sekolah yang telah menghantarkan Joan pada kesuksesan sebagaimana yang dia capai sekarang! Terima kasih…”

Tepukan tangan kembali riuh ketika Mama Joan menyudahi kalimat-kalimatnya dengan salam. Joan dan Mamanya meninggalkan pentas. Sedikit tertatih Joan menuruni anak tangga. Mama bermaksud membantu membawakan pialanya, namun Joan tolak. Ia bersikeras membawanya sendiri. Meski dengan susah payah.

Sesampai di bawah, Joan disambut ucapan selamat dari teman-temannya. Ia membalas dengan senyum dan anggukan. Ada sesuatu yang menyesakkan dada Joan. Sesuatu yang sulit ia lukiskan dengan kata-kata. Hanya suara hati yang bisa membaca.

“Kalau tahu begini, Mama paksa Papa kamu untuk hadir juga. Nggak apalah sekali-kali meng-cancel acara dinner dengan klien. Jadi malu ‘kan ketahuan Mama hadir seorang diri,” bisik Mama dengan nada sesal.

Joan tak menanggapi. Terus berjalan menuju tempat semula.

Kening Mama berkerut saat langkah Joan bukannya berhenti di tempat duduknya yang tadi.

“Jo, mau ke mana? Acaranya belum selesai…” tegur Mama dengan volume suara dikecilkan. Menggamit tangan Joan sambil melirik para undangan yang dilewatinya.

Joan tetap tak acuh. Terpaksa Mama mengikutinya. Tenyata langkah Joan berhenti di pojok ruang yang rada remang. Perempuan paruh baya bangkit dari duduknya melihat kehadiran Joan. Perempuan tersebut tersenyum senang. Tulus.

“Selamat ya, Den! Den Joan berhasil!” ucapnya polos, dengan mata bercahaya.

Joan menyerahkan pialanya pada Bi Kinah. “Ini, buat Bibi…”

“Buat saya?” tanya Bi Kinah tak mengerti. Kerut di dahinya semakin berlipat-lipat. Mama Joan lebih tak mengerti lagi. Memandangi Joan dan Bi Kinah bergantian.

“Maksud Den Joan, mau saya pegangin?” tanya Bi Kinah, lagi. Lugu. Menerima piala yang diangsurkan padanya.

Joan menggeleng. “Bibi yang lebih pantas menerima penghargaan itu. Karena tanpa Bibi, aku tidak akan pernah mendapatkannya,” kata Joan separuh tangis.

Bi Kinah melongo. Mama Joan nampak gusar mendengar kalimat putrinya. Melirik kiri kanan, khawatir ada yang mendengar perkataan Joan barusan.

“Kamu apa-apaan sih? Bikin malu Mama saja!” desis Mama, memelototi Joan. Marah. Merampas piala yang di pegang Bi Kinah.

Bi Kinah kaget. Langsung mengkerut takut.

“Ayo!” Mama menarik tangan Joan meninggalkan tempat yang rada gelap itu. Meninggalkan Bi Kinah yang terpaku. Sedih.

Beberapa pasang mata memperhatikan keduanya dengan tatapan bertanya-tanya.

***

Begitu sampai di rumah, Mama membanting tasnya ke sofa dengan murka. Kemarahan yang dipendam dari tadi sudah mau meledak rasanya. Bergolak. Wajahnya padam.

“Joan, apa maksud kamu tadi dengan menyerahkan piala itu pada Bibi? Kamu mau mempermalukan Mama di depan banyak orang? Kamu mau Bi Kinah menggantikan peran Mama?!” tatap Mama, meradang. “Memangnya apa saja yang telah Bibi lakukan selama ini buat kamu? Memangnya dia siapa?!”

Joan tak menyahut. Sementara Bi Kinah hanya bisa merunduk. Berdiri takut.

“Dia hanya pembantu, Jo! Tak lebih dari itu! Selama ini, Mama yang biayain sekolah kamu! Mama yang capek-capek kerja demi masa depan kamu! Masa depan kita!” tambah Mama dengan suara kian meninggi.

“Bi, tolong bawa piala itu ke kamar,” pinta Joan. Sengaja, agar Bi Kinah meninggalkan ruangan tersebut. Tak perlu mendengar kemarahan Mama lebih lanjut.

Bi Kinah mengangguk manut. Membungkuk hormat pada majikannya sebelum berlalu. Mama Joan membuang tatap. Muak!

“Mama tak habis pikir, apa sih yang ada dalam kepala kamu?! Sampai segitunya menganggap seorang pembantu melebihi Mama kamu sendiri!” suara Mama makin meninggi.

“Bi Kinah memang hanya seorang pembantu, Ma! Tapi asal Mama tahu, di saat Mama dan Papa sibuk, dia yang selalu ada dalam kesepian Joan. Di saat Mama tak perduli dengan kebutuhan Joan, dia yang memenuhinya. Joan butuh perhatian, Ma! Joan butuh seorang Mama yang selalu ada tiap Joan butuhkan. Apa Joan salah jika selama ini menganggap Bi Kinah seperti orangtua Joan sendiri? Dia yang banyak membantu Joan, hingga Joan setegar ini, Ma! Kalau nggak…” Joan menggeleng dengan kalimat menggantung. Ada senyum getir di sudut bibirnya. Pahit.

“Jadi kamu pikir, dia lebih berjasa ketimbang apa yang sudah Mama Papa lakukan selama ini buat kamu?” kemarahan Mama semakin meledak. Matanya menyala.

Lagi-lagi Joan menggeleng. “Joan tidak bilang seperti itu, Ma! Joan menghargai semua yang telah Joan dapatkan dari Mama. Dari Papa! Tapi Joan juga butuh perhatian, Ma! Joan butuh Mama. Butuh sedikit waktu dan perhatian dari kalian. Tapi pernahkah selama ini Mama punya sedikit waktu buat Joan? Pernahkah Mama ada di samping Joan saat Joan sakit? Sempatkah Mama membawa Joan periksa ke dokter? Atau sekali aja memeriksa buku Joan ketika ada PR?” tatap Joan tanpa menuntut jawaban.

Mama kehilangan kata. Bisu.

“Mama ada di mana ketika itu? Ketika Joan butuhkan? Mama sibuk dengan apa di saat Joan menangis karena tidak ada yang mau Joan ajak main? Ketika semuanya mengasingkan Joan?” tatapan Joan menusuk.

Mama mendengus lirih.

“Joan sadar, Mama menyesal punya anak yang tidak sempurna seperti Joan. Iya kan, Ma? Joan yang rapuh, cengeng, lemah, sakit-sakitan! Tidak menjadi Joan yang Papa dan Mama harapkan selama ini! Joan mengerti dengan hilangnya impian Mama menghadapi kenyataan Joan seperti ini,” sekuat hati Joan berusaha agar tangisnya tertahan. “Tapi apa ini salah Joan, Ma?”

Tangis Joan hampir tak terbendung. Mama tak berkata.

“Bibilah yang selalu ada di samping Joan. Membesarkan hati Joan. Bibi Kinah, Ma! Apa Joan salah kalau menganggap dia lebih dari seorang pembantu? Sementara Mama? Malam ini saja, Mama sisipkan waktu untuk menghadiri undangan dari pihak sekolah setelah Joan lelah membujuk Mama. Mama selalu sibuk! Hampir tak pernah ada waktu buat Joan!” sakit hati Joan mengurai kalimat itu. Hatinya pedih. Nyeri.

Mama terdiam. Selama ini ia memang sibuk dengan segala urusan butiknya. Lebih tepatnya, menyibukkan diri! Dengan sekian aktivitas, ia coba melupakan kekecewaannya. Rasa kecewa terhadap kenyataan, bahwa anak yang dilahirkan tak seperti yang mereka impikan.

Dulu, ia dan suaminya begitu mengimpikan seorang anak lelaki yang bisa dibanggakan. Yang mampu menjadi generasi penerus dengan segala kesuksesan yang telah mereka capai selama ini. Tapi kenyataan berkehendak beda!

Mereka shock berat saat Dokter Harun menjelaskan tentang tidak normalnya perkembangan kaki Joan yang sebelah. Bahkan Mama sempat pingsan begitu mendengar penjelasan Dokter pribadinya.

“Ini tidak mungkin, Pa! Anak kita tidak mungkin seperti itu!” tangis Mama ketika sadar dari shock-nya. Tak mampu membendung kesedihan. Papa tak bisa berkomentar apa-apa. Tak kalah kecewanya!

Dan sejak itu, hampir semua urusan Joan mereka pasrahkan pada Bi Kinah.

Joan tidak salah! Semua yang dia ucapkan benar adanya. Dan tadi pagi, Joan memang gigih memaksanya untuk hadir pada acara lepas pisah di sekolah.

“Please dong, Ma! Kali ini….saja! Apa kata guru-guru Joan nanti kalau Mama tidak hadir? Ini acara lepas pisah pasca lulusan, Ma!” bujuk Joan di sela-sela sarapan, tadi pagi.

“Nanti Mama pulangnya agak sore, Jo! Kenapa tidak Papa saja, sih?” pertanyaan Mama dialihkan pada Papa yang sedang sibuk memoles roti dengan mentega.

“Papa ada acara dinner dengan klien,” dalih Papa tanpa menoleh.

Raut kecewa menggurat jelas di wajah Joan. Kalau saja ia tidak merasa malu bila tanpa kehadiran orang tuanya, mungkin Joan tidak akan pernah memaksa.

“Tapi ini acara formal, Ma! Semua wali murid diwajibkan hadir!” paksa Joan, lagi.

“Ya, kalau memamg kita punya banyak kesibukan,” dalih Mama, enteng.

Joan terhenyak mendengar kalimat yang begitu ringan terlontar dari mulut Mama.

“Apa Mama dan Papa memang tidak punya waktu sedikit pun buat Joan?” tanya Joan. Pertanyaan yang selama ini selalu jadi beban pikirannya. Kecewa. Menyesal. Sakit! Semua rasa itu telah menumbuhkan keberanian di hati Joan untuk mempertanyakannya.

Suapan Mama terhenti di depan mulut. Mendengus. Menatap wajah Joan dengan ekspresi kesal dan menimbang. Sementara Papa hanya melirik sebentar. Menaikkan alis dan bahu tanpa suara. Lantas bangkit meninggalkan meja makan. Menenteng koper kerjanya, tanpa pamit.

“Ya udah, kalau tidak terlalu capek nanti Mama usahakan,” ketus Mama akhirnya.

Joan merunduk. Wajahnya bergayut kabut. Muram. Sedih.

Jelang jam 18:00 Mama baru pulang. Wajahnya bersirat lelah. Joan yang menunggu dari sore, kembali mengingatkan perihal undangan tersebut. Mama masih ogah-ogahan. Namun Joan tidak cepat menyerah.Setelah dipaksa sekian kali, baru Mama mengiyakan. Itu pun Joan harus menunggu hampir dua jam untuk Mama dandan. Jadinya telat! Begitu tiba, acara sudah dimulai setengah jam sebelumnya.

Hanya sekali itu Joan memaksakan keinginannya. Yah, hanya sekali itu! Karena selama ini dia memang tidak banyak menuntut.

Akh!

Mama mendesah mengingatnya. Ketika lamunannya buyar, diliriknya Joan sudah tidak di ruangan itu lagi. Tolah-toleh sana sini, Joan sudah menghilang. Entah kapan perginya. Mama melihat pintu kamar Joan yang tertutup rapat. Kamar yang bersebelahan dengan kamar pembantu! Yah, di sebelah kamar Bi Kinah! Kamar Joan yang sempit dan teramat jarang Mama kunjungi. Walau sekedar untuk mengucapkan selamat malam, menjelang tidur…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar