Sabtu, 31 Juli 2010

Aisha & Arumi


“Pernahkah dirimu merasa kesepian?” tanya Aisha suatu hari di bulan januari, ketika kami berdua duduk di teras rumahnya, menikmati senja ditemani beberapa potong roti bakar hangat dan kopi yang masih agak panas. Aisha memegang cangkirnya, menikmati kehangatannya seolah-olah hanya itulah kenikmatan yang ia peroleh di senja yang muram ini.
Kujawab tanya itu hanya dengan menelan ludah, dan mata nanar menatap rintik yang masih tersisa dari hujan tadi siang. Bukan tak punya jawaban, tapi karena pertanyaan itu tak lebih dari retoris semata.

”Bukankah aku masih memiliki semuanya? Hari yang sama, setahun lalu,” ia mendesah, lalu lanjutnya, ”Arumi, aku masih belum bisa melupakannya”. Aku memandang Aisha iba, ”Aku tahu”.

Lalu diam lagi.

”Ah..pasti kau bosan mendengar keluh kesahku, bagaimana penyesalan hampir membunuhku. Kenapa aku tak pergi bersama mereka waktu itu...”

”Sssh...”

”Ardhian, Hana, Farid....”

”Sudahlah, Aisha, hentikan!”

”Kenapa? Ya kan kau benar-benar bosan?”

”Bukan begitu.”

”Lalu apa?”

”Ah!”

”Pergilah jika kau telah selesai dengan kopimu. Aku tak membutuhkanmu lagi.”

”Aisha...”

”Pergi!”

Lalu aku pun pergi, meninggalkannya dengan segala pilu menelikung hatinya, dengan kenangan yang setiap hari menghantuinya, tentang suaminya dan kedua buah hatinya. Begitu berulang kali. Setiap hari, setiap tahun dan hampir mencapai peak jika jatuh pada tanggal ketika peristiwa mengerikan itu terjadi. Setahun yang lalu, pada bulan Januari.

***

Selesai mengajar, dan kembali ke kantor kubuka laptop miniku. Hari ini cerah, bahkan mendung enggan mengejek di atas sana. Kulirik kanan kiriku, beberapa dosen lain sedang sibuk menekuni pekerjaannya sendiri-sendiri. Lalu kupikir, membuka facebook bukan ide yang jelek. Sekadar menengok update status teman-teman lama atau mahasiswa. Dan hei..jangan lagi status seperti ini.

”Andai hidup tak begini menyesakkan. Betapa aku merindukan peluk cium dari kalian. Kalian bertigalah sebenarnya yang masih hidup. Dan aku telah mati...”

Yah, tentu saja hanya Aisha yang mampu menulis status se-memilukan itu. Sudah sebulan sejak aku menemaninya minum kopi, dan sudah setahun lebih aku menghibur laranya meski percuma. Yang ia inginkan hanyalah agar Malaikat Izrail mencabut nyawanya. Aku beristighfar dalam hati. Mohon ampun atas segala lalaiku dan lalai sahabatku, Aisha.

Oh, Aisha...andai kau tahu betapa dahulu aku memujamu. Ingatkah waktu kita kuliah dulu, kau adalah seorang primadona di kelas kita. Tak ada yang kau tak punya. Kecantikan, kekayaan, kepandaian, kebaikan seolah-olah menyatu menjadi sebuah paket yang menggiurkan, dirimu. Kita pernah nonton film American Sweetheart kan, di situ dikisahkan dua bersaudara dekat namun beda keberuntungan, kurasa jika diibaratkan, kau adalah miss perfect Catherine Zeta Zones dan aku adalah si malang Julia Roberts. Aku iri padamu, tapi aku sekaligus mencintaimu. Kau lulus dengan IPK cumlaude, dan menikah dengan lelaki pujaanmu, lelaki paling baik sedunia, teman satu angkatan kita yang ketua BEM, Ardhian.

Aduhai...betapa nasib baik selalu berpihak padamu, Aisha. Bahkan ketika kau menimang buah hatimu yang pertama, Hana yang lucu, aku belum lulus. Terseok-seok mengerjakan skripsi karena beruntung mendapat dosen yang cukup ”rese”. Lalu ketika aku lulus bahkan aku harus berlari ke sana ke mari mencari pekerjaan yang bisa sekadar menghidupiku. Dan waktu itu (ah, sungguh aku makin iri) kau telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang amat tampan; Farid. Betapa duniamu bersinar ceria, menyilaukan setiap mata yang memandang. Dan aku tetap memujamu. Bagiku, keluargamu adalah salah satu alasan kenapa aku masih harus bertahan dengan segala ketidakberuntungan ini, bahwa suatu saat nanti aku akan berada pada situasi manis seperti yang kau punya.

Dan statusmu di facebook ini, kini mengatakan sebaliknya. Bahwa keadaanku saat ini adalah saat-saat paling manis jika dibandingkan dengan ketidakberuntungan yang merenggut segala keceriaanmu dulu.

Peristiwa yang bagaikan mimpi buruk itu tak pernah lepas dari ingatan Aisha, meskipun ia hanya mendengar dari cerita orang-orang, namun segalanya seolah tampak jelas dalam benaknya. Ia selamat hanya karena sakit kepala, vertigo yang sejak dua tahun terakhir menyerang Aisha. Ya.. karena alasan yang sepele itu ia diselimuti sesal seumur hidup. Rentetan kejadian pada malam naas itu telah tertulis dengan detail di buku langit. Diawali dengan rengekan Hana dan Farid yang mendadak ingin main ke tempat eyang mereka, orangtua Ardhian, di Solo. Akhirnya Ardhian menyuruh Aisha istirahat saja di rumah. Tiga permata Aisha berangkat di sore yang muram, bertemu dengan malaikat maut di tengah jalan, yang berwujud sebagai keterlambatan turunnya palang kereta api. Mobil Ardhian hampir mencapai jalan di seberang, ketika lampu merah menyala, sehingga dua detik kemudian bagian belakang mobilnya bergesekan dengan sangat keras dengan kereta api Prambanan Express yang melintas dengan acuh, menyeret mereka sejauh beberapa puluh meter.

Aisha, andai kau tahu aku juga begitu bersedih untukmu. Namun aku tahu, kesedihanku tak cukup untuk membuatmu sekadar tersenyum.

***

”Maaf atas sikapku dulu, Arumi,” kata Aisha ketika aku kembali singgah di rumah mungilnya. Aku mengingat percakapan terakhir kami sebulan yang lalu, dan tersenyum maklum seolah berkata, ”Tidak apa-apa.”

Aisha seperti biasa membuatkanku kopi, minuman kesukaan kami waktu kuliah dulu dan menyediakan beberapa cemilan ala kadarnya. Aku mengomentari ikan mas koki yang bergerak lincah di dalam akuarium, sekadar mencairkan suasana karena Aisha sekarang jadi begitu pendiam. Seolah kembali ke dunia nyata, ia bertanya tentang kuliahku, tentang keluargaku, dan kehidupan pribadiku.

”Gimana, sudah ada calon belum?”

“Ah, belum. Cariin dong, Sa,” jawabku ringan.

”Jangan lama-lama, nanti keburu tua lho.”

”Ya maunya sih ga lama-lama, tapi kalau yang ditunggu ga datang-datang gimana?”

”Dicari dong, Say.”

”Dicari ke mana? Ke pasar?”

”Hahaha..bisa aja. Eh, kali aja ada..”

”Hahaha...!” aku pun ikut tertawa.

Sebuah percakapan yang agak dipaksakan memang mengingat Aisha belum bisa lepas jika diajak mengobrol. Nah, kan..sekarang diam lagi.

”Eh, Aisha ada kenalan cowok ga? Kali aja ada yang high quality.”

”Ehmm...” Aisha mencoba mengingat-ingat. Kepalanya ditelengkan ke samping, dan matanya berputar-putar ke atas. Geli aku melihatnya.

”Eh, iya ada! Mas Danu. Dia lulusan teknik angkatan 2002. Orangnya lumayan, udah mapan malah, kerjanya di Kediri...”

”Kok bisa kenal dari mana?”

”Oh..dulu dia temannya Ard...”

Menggantung.

Jeda.

”Maaf, Sa.”

”Ga pa pa, Arumi. Aku hanya..”

”Aku tahu.”

***

Begitulah hari-hariku bersama Aisha setahun berikutnya. Tak pernah bisa benar-benar terlepas dari tragedi itu. Apapun yang ia lihat, ia dengar, ia bayangkan selalu mengingatkannya pada suami dan anak-anaknya. Bagaimanalah? Bagaimanalah ini? Aku termenung sendiri di taman kampus. Seorang mahasiswi datang untuk mengingatkan bahwa lima menit lagi aku harus mengajar di kelasnya. Aku mengangguk, lalu mempersiapkan diri.

”Depresi, adalah suatu kondisi medis-psikiatris dan bukan sekadar suatu keadaan sedih. Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat, berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan bunuh diri.”

”Gangguan depresi sering disebut-sebut sebagai salah satu penyebab orang nekat melakukan bunuh diri. Pada manual diagnosis gangguan jiwa Amerika, dikatakan bahwa salah satu gejala dari pasien depresi berat adalah adanya ide-ide bunuh diri dan rasa tidak berguna lagi. Pasien depresi berat juga sering mengeluh tidak lagi mempunyai harapan hidup sehingga sering kali merasa tidak ada artinya lagi hidup ini.”

Tidak bisa tidak aku mengingat Aisha. Dia depresi, itu sudah pasti. Dan ia selalu menolak jika diajak ke psikolog. Namun sejuh apakah ia bisa bertindak? Tidak. Aku menepis pikiran gilaku sendiri. Aisha adalah sosok yang cukup religius. Ia rajin shalat, ia berjilbab rapi, dan dia selalu bersemangat. Dulu. Ah, aku gelisah.

***

Malam harinya adalah saat yang paling menggelisahkan bagiku. Membiarkan Aisha seorang diri di rumah mungilnya. Keluarganya mengira ia telah sembuh dari trauma, tapi aku tahu tak sedikit pun Aisha melupakan peristiwa itu. Jiwanya seolah mati, wajahnya pucat, matanya telah hilang sinarnya. Hidup baginya kini adalah sekedar untuk dijalani. Ia tak punya harapan, ambisi, obsesi, atau keinginan untuk menyayangi orang lain, apalagi mencari pengganti sosok Ardhian yang sangat ia cintai. Kau tak pernah bisa mengira bagaimana sebuah kejadian tragis bisa mempengaruhi seseorang.

Ah, di tempat tidur aku bolak balik resah. Apa yang dilakukan Aisha di rumahnya ya? Pasti merenung lagi. Malam ini adalah tahun kedua tepat sejak peristiwa itu terjadi. Aku berusaha menghibur diriku sendiri bahwa tak akan terjadi apa-apa malam ini. Namun, aku kemudian ingat seharian ini Aisha tidak menghubungiku sama sekali. Tidak biasanya. Aku jadi sangat was-was. Berusaha mengingat-ingat benda-benda apa yang sekiranya membahayakan ada di rumah Aisha. Pisau, silet, tali, racun, apapun yang bisa menghabisi nyawanya.

Tidak! Tidak mungkin. Ah, bodohnya aku. Aktivitas seharian tadi, mengajar, training, presentasi penelitian, sidang skripsi benar-benar membuatku lupa untuk sekedar menelepon Aisha. Aku merutuki diriku sendiri.

Aku sambar handphone di dekat bantalku. Aku pencet nomernya namun hanya nada sambung yang aku dengar. Tak ada seorangpun yang mengangkatnya. Aku matikan, lalu aku pencet sekali lagi lima menit kemudian. Tak ada jawaban lagi. Aku mulai diserang panik. Malam yang tragis. Sekarang aku benar-benar bangkit dari tempat tidurku dan mondar mandir tak keruan. Aku harus memutuskan untuk berangkat ke rumah Aisha atau tidak. Rumah Aisha di daerah Klaten sedang kontrakanku ini di kawasan UGM Jogjakarta. Perjalanan ke sana memakan waktu minimal empat puluh lima menit dengan kecepatan penuh. Aku lirik jam dinding. Pukul 23.23. Ah.. terlalu malam. Haruskah aku ke sana?

Untuk sekian kalinya aku menghubungi Aisha dan berkali-kali pula hanya nada sambung yang menyapaku. Puluhan sms aku kirim berharap ia membacanya. Kalimat-kalimat penghiburan, menanyakan keadaan, sampai nasehat-nasehat sepele semacam jangan minum kopi malam ini, jangan begadang, atau jangan telat makan tapi tak digubris sama sekali. Kemana anak ini? Ya Allah.., semoga ia baik-baik saja. Ini salahku. Harusnya hari ini aku meluangkan waktu ke rumahnya, tapi malah sibuk dengan pekerjaan.

Bagaimanalah ini? aku jatuh terduduk di pinggir tempat tidurku lalu menghela nafas. Aku harus ke rumahnya. Baru saja aku mau berganti pakaian, ketika sebuah dering telepon hampir membuatku meloncat. ”Halo? Aisha?! Kamu di mana? Kamu gak papa kan?”

”Arumi..”

”Iya? Aku di sini, Sayang.”

”Aku tahu sejak dulu kamu juga suka sama Ardhian.”

”Sa, aku..”

”..tapi aku membiarkan saja. Aku tak pernah menanyakanmu.”

”Kenapa harus bicara masa lalu, Sa?”

”Arumi, maafkan aku. Kau sungguh sahabat yang baik. Sebaliknya, aku hanya mementingkan diriku sendiri. Aku bahkan tidak pernah membantumu ketika kau mengalami kesulitan mengerjakan skripsi.”

”Sudahlah, Sa. Waktu itu kan kamu juga sibuk mengurus keluarga. Sudahlah..”

”Saat ini adalah waktu yang sempurna.”

”Apa? Apa maksudmu, Sa? Waktu yang sempurna? Sempurna untuk apa?”

Aku bergidik, mengingat malam ini, tepat dua tahun yang lalu. Tiba-tiba aku teringat kuliahku tadi pagi. Aku terlonjak ngeri.

”Sa? Aku ke sana ya? Tunggu aku!”

”Tidak perlu. Seharusnya aku melakukan ini sejak dulu. Aku sangat bodoh, seharusnya aku pergi bersama mereka. Aku memang egois sekali bukan?”

”Sa..?” aku seperti tidak mendengar bisikan suaraku sendiri.

”Selamat tinggal, Arumi. Aku menyayangimu. Sungguh aku menyayangimu.”

”Sa! Aisha! Kamu ngomong apa sih?”

”Tunggu aku ya, Sa! Kau harus tunggu aku. Jangan ke mana-mana..!”

”Makasih ya, Arumi..”

”Sa? Saa!”

Tut..tut..tut...

Panik. Aku dilanda ketakutan yang luar biasa. Dengan gugup kukerahkan seluruh tenagaku untuk bergerak dengan cepat. Sangat cepat. Aku harus sampai ke rumah Aisha dengan segera. Kustarter motorku dengan brutal, tak perduli ini sudah tengah malam, aku harus menyelamatkan Aisha. Hidupku sudah cukup sesak dan aku tak ingin kehilangan sahabatku. Aisha, jangan tinggalkan aku. Dengan air mata berderai aku membelah jalanan dengan kecepatan yang tak pernah aku capai sebelumnya.

Tiba-tiba ketika aku baru sampai di bawah jembatan Janti, hujan turun dengan derasnya. Aku begitu kesulitan melihat jalanan. Aku tak perduli, aku harus sampai ke rumah Aisha secepatnya. Pikiranku penuh dengan Aisha. Entah kenapa semua kenangan indah bersamanya tiba-tiba berkelebatan membayangiku. Ketika kami mulai saling mengenal waktu ospek, ketika kami mengerjakan laporan praktikum bersama, ketika aku menginap di kosnya dan saling curhat semalam suntuk. Sungguh waktu itu aku tak melihat ketika dari arah berlawanan mendadak muncul sedan sedang mengebut membabi buta, menyalib kendaraan di depannya, lalu tanpa ampun menghempaskan aku dan motorku dengan hebat ke pinggir jalanan.

Untuk beberapa saat aku mendengar teriakan panik, lalu caci maki penduduk setempat, lalu semuanya menjadi gelap.

***

Epilog
Seorang gadis memandangi pusara bertuliskan Arumi Diah Utari. Ia tentu saja Aisha. Ia tak menangis lagi seolah-olah ia telah kenyang dengan air mata. Aisha terus saja memandangi pusara itu seolah ia tengah memandang wajah teduh seorang Arumi.

”Arumi, sahabatku, sahabat terbaikku. Baru kutahu kau begitu menyayangiku. Aku ini sungguh tak pantas menerimanya. Arumi, aku benar-benar mengakhiri hidupku malam itu,” Aisha meraba bekas luka sayatan di pergelangan tangan kirinya,” namun ternyata benda tajam itu tak cukup untuk menghabisi nyawaku, orang-orang yang baik menyelamatkanku waktu itu, tetangga-tetangga yang bahkan aku jarang menyapa mereka. Aku masih selamat, Arumi, namun kenapa kau malah pergi. Aku tahu aku cengeng, aku selalu berputus asa, aku tak sekuat dirimu. Hidupku dulu terlalu sempurna untuk direnggut oleh pemilik yang sesungguhnya. Aku.. aku sekarang berusaha belajar, belajar bersyukur, Arumi. Berkat kamu.”
Tidak bisa tidak, mata Aisha berkaca-kaca. Terus meratap benar-benar tak ada gunanya kini. Orang-orang akan terus menerus pergi dari hidupnya masing-masing. Aku masih diberi hidup, meski aku telah menyia-nyiakannya, batin Aisha syahdu.

”Selamat tinggal, Arumi. Aku akan hidup. Aku akan terus hidup. Karena kau sendiri telah memberikan hidupmu untuk itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar