Selasa, 27 Juli 2010

The Painter Lady (Part 7)


Part 7
Kisah Terakhir

Sekembalinya di rumah usai berpergian bersama Zhang Rui, Ziwei sangat terkejut.

Zheng Yun duduk di tengah-tengah ruangan bengkel. Pedangnya terbuka berkilat-kilat, tergeletak di atas meja yang di seberangnya duduk Yingying. Ma Junqing di sampingnya. Tampang Yingying dan Junqing was-was - tapi tidak berani sembarang bertindak. Mereka khawatir Zheng Yun akan melayangkan pedang yang terhunus itu secara membabi buta kepada mereka.

Ziwei segera maju membentengi Ziwei dan Junqing. “Apa yang kau lakukan di sini?” serunya pada Zheng Yun. “Darimana kau tahu aku berada di sini? Kepala biarakah yang memberi tahumu?”

Zheng Yun memandang Ziwei sinis. “Kau tak perlu khawatir, bukan kepala biara yang memberitahuku. Sekalipun dia diancam akan dibunuh, dia tetap akan tutup mulut. Salah seorang muridnyalah yang memberitahuku. Ibu biksuni muda itu sedang tergolek sakit. Aku tinggal memberi bantuan dan sebagai ungkapan terima kasih, dia memberitahu kemana kalian pergi.”

“Keterlaluan!” hardik Ziwei. “Kau sungguh-sungguh tak mau melepas kami!”

Tuan Cai yang masih berada di situ buru-buru menghampiri Zhang Rui. “Pandai besi Zhang, maafkan aku. Aku tak tahu orang ini punya tujuan apa mencarimu. Kelihatannya, dia punya gelagat tidak baik…”

Zhang Rui mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat Tuan Cai berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Dia mendekati istri dan putrinya, berdiri di depan keduanya dan berhadapan langsung dengan Zheng Yun!

Inilah pertama kalinya kedua pria ini bertemu. Setelah sekian tahun mereka hanya saling tahu lewat Ziwei saja…

Zheng Yun lekas berdiri seolah menantang Zhang Rui. Zhang Rui mencoba bersikap tenang. Tidak bermusuhan atau membenci. Dia memandang lurus ke mata Zheng Yun.

“Akhirnya kita bertemu juga. Jendral Zheng, apa kabar?” Zhang Rui menyapa.

“Pandai juga kau berbasa-basi,” Zheng Yun meledek. “Kukira pandai besi miskin sepertimu tak punya sopan santun. Kalau dilihat-lihat, apa yang kau punya sehingga Ziwei dulu jatuh cinta padamu? Tampang pas-pasan, uang dan harta benda pun tak punya. Tapi mengapa…, dulu Ziwei memilihmu – bukannya aku?”

Zhang Rui terdiam sejenak. “Adakalanya, kita melihat sepasang kekasih serasi satu sama lain tapi mereka tidak bahagia. Ada pula, yang kelihatannya tidak serasi tapi mereka tetap bersama dan berbahagia. Demikianlah jika kita bicara tentang cinta Jendral. Tak dapat diprediksi atau diatur seperti strategi peperangan.”

“Ziwei mungkin dulu pernah dijodohkan denganmu. Pernikahan kalian telah diatur. Dari luar, kalian terlihat begitu cocok satu sama lain. Tapi tidak ada yang tahu kalau dalam hatinya, Ziwei tidak merasa demikian. Apakah anggapan orang-orang itu harus dipaksakan kepada Ziwei?”

Perkataan Zhang Rui itu membuat Zheng Yun naik pitam. “Seorang gelandangan yang telah merampas calon istriku berani berkata seperti itu padaku?” Zheng Yun meraih pedangnya dan mengarahkannya ke arah Zhang Rui. “Sudah lama aku menantikan pertemuan ini untuk membuat perhitungan denganmu. Sekaranglah saatnya aku membalas sakit hatiku!”

Yingying langsung menyeruak di antara kedua orang tuanya sewaktu Zheng Yun bersiap mengayunkan pedangnya.

“Kalau Anda hendak membunuh, bunuhlah aku!” serunya.

Zheng Yun melihat Yingying tanpa belas kasihan. “Baik, karena kau anak lelaki ini tak ada salahnya kau mati! Kalianlah penyebab Ziwei menolakku. Aku memang ingin membunuh orang untuk melampiaskan kekesalanku!”

Zheng Yun mengayunkan pedangnya tinggi-tinggi tanpa ampun. Semua orang yang ada di ruangan tersebut memekik. Yingying memejamkan mata.

Tak ada satupun sabetan mengenainya-padahal Yingying telah bersiap. Ketika dia membuka mata kembali, dilihatnya seseorang berdiri di depannya menahan pedang Zheng Yun. Ibunya!

Ziwei memegang erat ujung pedang Zheng Yun dengan tangan kanannya. Darah seketika menetes-netes. Yingying sontak terkejut dan memegang pundak ibunya sambil berseru, “Ibu, apa yang kau lakukan? Lepaskan pedangnya segera!”

Tapi Ziwei tak melepas genggamannya. Dia masih tetap berkuat-kuatan dengan Zheng Yun. “Langkahi mayatku dulu baru kau boleh menghabisi putriku.”

Zheng Yun yang tak menyangka Ziwei akan menggenggam ujung pedangnya, segera melepas pegangannya begitu melihat wanita itu terluka. Tapi mata pedang yang tajam tertancap di daging tangan Ziwei. Ziwei membuka dan mengibas tangannya sehingga pedang itu terjatuh ke lantai.

Ziwei menatap Zheng Yun. “Jadi dengan membunuh kami sekeluarga akan membuatmu puas? Kalau begitu, mulailah dari aku. Karena akulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Aku yang bodoh ini telah mengkhianati pertunangan baik-baik yang sudah diatur kakekku. Maka, yang pertama harus mati adalah aku!”

Menunduk, Ziwei memungut pedang Zheng Yun. Diserahkannya pedang tersebut kepada Zheng Yun sambil berkata,
“Silakan, bunuh aku lebih dulu sebelum kau menghabisi nyawa putri dan suamiku.”

Zheng Yun mundur terhuyung. Dia tidak sanggup melakukannya. Ziwei maju terus menghampirinya dengan pedang terulur. “Ayo!” Ziwei mengajak Zheng Yun menerima pedang tersebut.

“Atau kau mau aku melakukan sendiri di hadapanmu?”

“Hentikan!” terdengar suara seseorang di tengah kekacauan itu. Semua orang berpaling.
Di depan pintu, berdiri seorang wanita. Dia mengenakan topi bercadar kuning. Wajahnya tertutup cadar. Di belakangnya, berderet sekelompok pengawal berpakaian hitam-hitam yang siap-siaga.

Kasim Wang muncul di samping wanita itu. Dialah yang berteriak tadi. Tangannya memegang tongkat sida-sida. Wajahnya masih sama menakutkannya dengan lima belas tahun lalu. Dia memandang ke seluruh orang yang berada di ruangan tersebut.

Kasim Wang membungkuk ke hadapan wanita bercadar. “Yang Mulia, mereka semua berada di sini.”

Wanita itu mengangguk. Dia lalu mengangkat cadarnya dan melangkah maju agar dapat terlihat lebih jelas oleh semua orang di ruangan itu.

“Pelukis Wanita Zhao, sudah lama kita tak bertemu.”

Meski tidak ada atribut istana mewah yang menghiasinya, wanita itu tetap seanggun dulu. Dia sepertinya sedang melakukan perjalanan menyamar dengan sejumlah pengawal rahasia. Wanita itu masih berwibawa dan kritis seperti dulu.

Permaisuri Wu.

***
Permaisuri Wu dan Ziwei berbicara berdua di bengkel Zhang Rui. Kedua wanita itu duduk saling berhadapan pada sebuah meja. Semua orang diminta keluar. Para pengawal menjaga setiap sisi rumah.

Tangan Ziwei yang terluka telah dibalut. Dia menunggu Permaisuri Wu bicara.

“Kelihatannya kau bahagia meski tinggal di desa terpencil dan rumah sekecil ini, Pelukis Wanita Zhao. Asal suami dan putrimu bersamamu. Bukan begitu?” kata Permaisuri Wu.

Ziwei tak menyahut. Dia menunggu kalimat selanjutnya. Permaisuri Wu menghela napas.

“Tidak seperti aku. Aku punya banyak anak tapi satu per satu dari mereka menentangku. Kau sekalipun hanya memiliki satu putri dan kalian terpisah cukup lama, dia sepertinya menyayangimu.”
“Terima kasih atas pujian Yang Mulia. Mewakili putri hamba, hamba mengucapkan terima kasih.”

Permaisuri Wu tersenyum simpul lalu melanjutkan. “Musim panas ini, aku yang bosan tinggal di istana, memutuskan untuk pergi berkeliling. Tentu saja untuk tidak menarik perhatian, aku menyamar. Aku mengunjungi kuil Awan Terang. Dan di sana aku melihat lukisan Dewi Guanyin yang bagus sekali-ternyata hasil karyamu.”

“Aku tak menduga kemampuan melukismu telah pulih,” tuduh Permaisuri Wu. “Aku mengira kau tak akan pernah sanggup melukis lagi setelah kemalangan demi kemalangan menimpamu.”

Permaisuri Wu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Pemandangan Gunung Qiu, hingga kini tak seorang pun yang bisa melukisnya sesuai harapanku. Apakah kau masih mau ke Shandong sekali lagi untuk melukis Gunung Qiu?”

Terkejut, Ziwei mendongak menatap Permaisuri Wu seolah tak percaya. “Yang mulia menginginkan saya melukis gunung suci sekali lagi?”

“Ya,” Permaisuri Wu mengangguk. “Anggap saja kau menunaikan janji padaku enam belas tahun silam.”

“Apa ganjaran dari Yang Mulia jika aku menyelesaikan misi ini?” tanya Ziwei mengingat enam belas tahun lalu dia menerima misi ini agar pertunangannya dengan Zheng Yun dibatalkan. Tapi kini semua itu sudah berakhir. Ziwei bahkan telah bersama Zhang Rui dan Yingying meski Zheng Yun masih terobsesi padanya.

“Tentu saja ada uang dan gelar,” jawab Permaisuri Wu. “Namamu akan tercatat dalam kitab wanita istana sebagai salah satu wanita berprestasi dari Dinasti Tang. Selain itu aku juga akan memberi hadiah satu hal… Jaminan kalau Jendral Zheng Yun tak mengusik dirimu maupun keluargamu di masa mendatang!”

Ziwei tercenung. Dia ingat panorama Gunung Qiu belasan tahun lalu. Gunung suci tempat kelahiran Konfucius yang begitu suci. Ada hasrat menggebu untuk merekam keberadaannya dalam kanvas. Dan kemudian memindahkannya ke ruang perpustakaan istana. Agar para sarjana dan pengunjung perpustakaan itu dapat merasakan langsung atmosfir gunung suci sembari membaca karya-karya klasik Konfucius semacam: ‘Analek Musim Semi dan Musim Gugur’ serta ‘Pelajaran Agung’.

“Yang Mulia tak perlu memberikan jaminan yang terakhir. Aku yakin setelah tanganku terluka, Jendral Zheng akan perlahan-lahan mundur untuk mengusikku. Tapi ada satu syarat yang harus Yang Mulia penuhi. Ijinkan suami dan putriku ikut dalam misi ini.”

Permaisuri Wu berpikir sejenak. “Kurasa, kalian satu keluarga memang ditakdirkan untuk bersama. Tak ada gunanya aku memisahkan kalian. Sebaliknya, pekerjaanmu akan lebih baik bila mereka menyertaimu. Dari keterangan kepala biara kuil Awan Terang, kudengar kalau putrimu juga berbakat melukis sepertimu. Tak ada salahnya jika dia ikut.”

Ziwei tersenyum bangga. “Hamba setuju. Jangan khawatir Yang Mulia, kali ini, lukisan itu pasti selesai. Perpustakaan istana akan dipenuhi aura agung dari gunung suci.”

“Aku akan memegang janjimu itu, Pelukis Wanita Zhao!”

***
Yingying dan Zhang Rui bersiap menemani Ziwei menuju Gunung Qiu. Yingying berkemas-kemas. Dia juga mempersiapkan rumah yang akan ditinggal pergi penghuninya dalam waktu lama.

“Oh, disini akan sepi sekali jika kau pergi,” Ma Junqing berkata.

Yingying yang tak peka dengan perasaan Junqing berkata, “Kau jangan merana seperti ini. Lekaslah lamar Ajiao untuk menemanimu!”

“Aku tidak menginginkan Ajiao! Berjanjilah padaku, setelah selesai melukis Gunung Qiu di perpustakaan istana, kau akan kembali ke sini!”

Junqing merengek sambil memegang tangan Yingying. Dengan acuh, Yingying menjawab, “Aku belum tahu akan kembali ke sini atau tidak. Aku hanya akan mengikuti orang tuaku. Kemana mereka pergi, kesanalah aku turut serta.”

Kesal karena Yingying mengabaikannya, Junqing bangkit berdiri dan dengan cepat melayangkan satu ciuman di pipi gadis itu. Yingying terbelalak.

“Ma Junqing!” Yingying menjerit sambil mendorong Junqing hingga terjungkal.

Bukannya marah, Junqing malah tertawa. Dia berusaha bangkit kembali dan melihat Yingying mengusap pipinya.

“Kau keterlaluan!” Yingying berteriak. Tapi dia kini menyadari sesuatu.

“Aku menyukaimu Zhang Yingying!” balas Junqing.

“Apa? Bukannya kau menyukai Chen Ajiao?” timpal Yingying – masih marah.

“Mungkin…, tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi.”

“Ma Junqing! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu padahal dulu kau berniat menikahinya!”

“Hati orang kan bisa berubah. Aku dulu menyukai Ajiao karena menganggapnya paling cantik. Tapi sekarang, hatiku berkata lain.”

“Gampang sekali kau berkata begitu sekarang! Beberapa tahun mendatang, kau pasti akan menyukai gadis lain dan bukan aku lagi!”

“Tidak! Padamu beda! Aku sudah menetapkan kau adalah calon istriku yang pertama sekaligus yang terakhir, tidak berubah!”

“Tapi aku tidak pernah punya perasaan apa-apa padamu, Ma Junqing! Aku tidak pernah jatuh cinta dengan anak lelaki yang manja, kekanak-kanakan dan pemarah sepertimu!”

“Oh,” Junqing tertegun sesaat memandang Yingying. “Jadi kau menganggapku manja, kekanak-kanakan dan pemarah? Tidak mengapa… Sekarang mungkin kau berkata seperti itu. Tapi tunggulah satu atau dua tahun lagi. Saat aku lebih dewasa dari sekarang-kau pasti akan jatuh cinta padaku.”

Yingying terpengarah, “Omong kosong!”

Saat Yingying lengah menyerukan omong kosong itu, dengan cepat Junqing mencuri satu ciuman lagi di pipi sebelahnya.

“Ma Junqing!” Yingying melolong. “Awas! Kulaporkan kau pada ayahku!”

“Lebih bagus lagi kalau kau mengadu pada ayahmu!” Junqing bersiap pergi sambil tertawa. “Paman Zhang akan murka dan menuntutku agar bertanggung jawab karena telah mencium anak gadisnya. Dan aku akan dengan senang hati bersedia menikahimu!”

Yingying kesal setengah mati. Dipungutnya sebuah kerikil lalu dilemparnya ke arah Junqing.

Tapi sia-sia. Tawa Junqing semakin keras sewaktu lemparan Yingying meleset darinya.

***
Zhang Rui, Ziwei dan Yingying memulai perjalanan ke Gunung Qiu.

Ini perjalanan yang menyenangkan. Ziwei tak perlu menyamar menjadi lelaki. Atau menyembunyikan identitasnya dari Zhang Rui seperti enam belas tahun lalu. Kini perjalanannya dengan Zhang Rui dilakukan terang-terangan sambil ditemani sang putri tercinta.

Gunung Qiu kini sudah aman. Para pemberontak ikat kepala kuning telah ditumpas bertahun-tahun lalu. Ziwei dan Yingying melukis sudut-sudut terbaik dari Gunung Qiu di atas buku sketsa. Meski tak tahu mengenai lukisan, Zhang Rui merasa bahagia melihat istri dan putrinya saling membandingkan hasil lukisan satu sama lain, berdiskusi dan tertawa-tawa.

Ketika lukisan telah selesai, ketiganya menuju kota Luoyang. Ziwei dan Yingying melukis beberapa sketsa yang mereka anggap paling baik di atas kanvas lalu diperlihatkan kepada Permaisuri Wu. Permaisuri menyukainya. Maka dari beberapa lukisan itu disetujui untuk dilukis di dinding perpustakaan istana.

Ziwei dan Yingying bekerja dibantu sejumlah pelukis dan pemahat istana. Ziwei menjadi pemimpin proyek tersebut.

Selama bekerja di istana, Ziwei dan keluarganya menyewa sebuah rumah dekat dari istana. Pada siang hari, dia dan Yingying bekerja di istana. Sedang Zhang Rui, untuk mengisi waktunya bekerja di tempat pembuatan senjata negara. Jika malam tiba, ketiganya berkumpul kembali di rumah. Meski lelah seharian beraktivitas, ketiganya bisa bertemu penuh kehangatan di malam hari. Inilah kebahagiaan keluarga kecil itu.

***
Menjelang akhir musim gugur tahun itu, Ziwei jatuh sakit.

Mungkin karena pengaruh cuaca atau kondisi badannya memang tidak sehat. Awalnya pada siang hari keadaan Ziwei biasa-biasa saja. Tapi dia demam di malam hari-meski panasnya tidak tinggi. Tabib terbaik istana mengobatinya. Namun kondisi Ziwei tak juga membaik. Belakangan, tabib memintanya beristirahat penuh di ranjang.

Ziwei terpaksa cuti sejenak dari proyek melukis dinding perpustakaan istana. Yingying menggantikannya sementara. Zhang Rui menemani Ziwei sepanjang waktu. Pada malam hari sekembalinya di rumah, Yingying merawat ibunya sembari mengabarkan kemajuan proyek. Ziwei cukup senang mendengar perkembangannya.

Suatu malam, setelah beberapa hari terbaring lemah, Ziwei berkata pada Yingying,

“Kalau aku meninggal, tolong kubur aku di Dusun Wei.”

“Ibu kenapa berkata seperti itu?” Yingying terkejut. Zhang Rui yang berada di sampingnya juga terhenyak.

“Jangan sembarangan bicara, istriku. Kita sekeluarga belum genap setahun berkumpul. Apakah kau tega meninggalkan kami cepat-cepat?”

Ziwei tersenyum, “Aku hanya merasa, kondisiku tak kunjung membaik. Mungkin ini akibat dari kesalahan-kesalahan yang kubuat di masa silam. Aku telah melanggar janji Kakekku sehingga umurku pendek.”

Yingying membesarkan hati Ziwei, “Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini hanya demam biasa. Ibu pasti sembuh. Maka dari itu Ibu harus beristirahat baik-baik.”

Ziwei tersenyum simpul. “Kau anak baik Yingying. Permaisuri Wu pernah berkata kalau dia iri padaku. Karena aku bahagia dengan keluarga kecilku. Itu sebabnya dulu dia memisahkan aku dengan kalian. Tapi kemudian dia menyerah karena akhirnya kita tetap bertemu juga.”

Malamnya, Ziwei terbangun dari tidurnya. Anehnya, dia merasa sekujur tubuhnya segar. Dia bahkan bisa bangkit sendiri dari ranjangnya. Dilihatnya Yingying tengah tertidur di sisi ranjangnya. Zhang Rui sedang terlelap di kursi dengan sebelah tangan menopang kepala di atas meja.

Mengapa mereka tertidur? Bukankah seharusnya mereka terjaga untuk menjaganya? Ziwei berpikir. Mungkin mereka lelah. Tak mengapa, toh Ziwei sudah tak apa-apa.

Ziwei merasa hari telah menjelang pagi. Ini mungkin subuh, pikirnya. Dia turun dari tempat tidur dan tiba-tiba dilihatnya sesuatu di bawah pintu.

Di bawah pintu terdapat cahaya berkelap-kelip. Apa itu? - pikirnya. Perlahan-lahan dia menghampiri pintu lalu membukanya.

Ziwei langsung memejamkan mata karena tak tahan langsung melihat silau cahaya di depannya. Ketika Ziwei kembali memandang ke sumber cahaya itu, matanya telah menyesuaikan diri. Di tengah-tengah lingkaran cahaya keemasan, berdiri seorang pria berambut putih dengan jubah keperakan.

“Kakek…?” Ziwei bergumam. Merasa yakin kalau pria tua yang tengah berdiri membelakanginya itu adalah Zhao Ji, kakeknya.

Pria itu berbalik. Dia memang Zhao Ji. Tampak seperti dewa agung dalam pakaian kemuliaannya.

Zhao Ji tersenyum memandangi Ziwei. “Cucuku tersayang, lama tak berjumpa denganmu.”

Ziwei langsung jatuh berlutut. “Kakek…, hukumlah aku. Aku telah bersalah mengkhianati pertunanganku dengan Zheng Yun. Aku tidak berbakti karena telah melanggar janji perjodohan antara Kakek dengan Jendral Zheng Yi.”

Zhao Ji memapah Ziwei untuk berdiri. “Kau ini bicara apa?” ditatapnya mata Ziwei dalam-dalam. “Kau adalah cucuku. Perjodohan itu hanya pembicaraan antara aku dan Zheng Yi. Kau tak perlu melanjutkannya jika itu tak membuatmu bahagia.”

Terpana, Ziwei bergumam tak jelas menyebut kakeknya. Zhao Ji berkata lagi,

“Apapun yang terjadi, kau adalah cucuku. Jadi, baik atau buruk dirimu, aku pasti akan menerimamu. Sekarang, aku datang untuk menjemputmu. Mari, ikut denganku!” Zhao Ji mengulurkan tangan.

“Kemana Kakek akan membawaku?” tanya Ziwei ragu-ragu.

Zhao Ji lagi-lagi tersenyum. “Ke sebuah dunia yang indah setelah kehidupan.”

“Tapi, bagaimana dengan mereka?” Ziwei menengok ke belakang melihat Zhang Rui dan Yingying yang masih terlelap. “Aku akan merasa sedih jika harus berpisah dari mereka…”

“Jangan khawatir, mereka akan baik-baik saja. Toh kalian kelak akan bertemu juga. Jika telah tiba masanya, mereka akan menuju ke tempat yang sama dengan yang akan kau kunjungi sekarang.”

Ziwei meraih uluran tangan Zhao Ji. Seketika itu juga kakinya seolah melayang beberapa inci ke udara.

“Dunia yang indah itu seperti apa, Kakek? Aku agak takut karena belum pernah ke sana.”

“Sangat indah, Ziwei. Dan kau tak perlu takut sebab kakek bersamamu.”

***
Ziwei meninggal dalam tidurnya malam itu. Ketika Yingying dan Zhang Rui terbangun keesokan harinya, keduanya mendapati wajah Ziwei begitu tenang dengan seulas senyum tersungging di wajahnya.

Ziwei dimakamkan di pemakaman luar kota Luoyang. Yingying mengenakan pakaian berkabung putih-putih sebagai tanda bakti pada ibunya. Yingying juga menggantikan ibunya memimpin proyek melukis dinding perpustakaan istana.

Zhang Rui kembali ke sifat asalnya seperti sebelum bertemu Ziwei kembali. Dia jadi pemurung. Jauh lebih murung daripada sebelum bertemu Ziwei. Yingying merasa meski tak pandai berkata-kata, Ayahnya pasti amat terpukul karena telah ditinggal pergi oleh istri yang dicintainya.

***
Apakah ada pasangan yang saling memanggil di akhir hayatnya? Mungkin pasangan Zhang Rui-Ziwei bisa menjadi salah satunya.

Tiga bulan setelah kematian Ziwei, suatu hari Yingying dipanggil menjenguk Ayahnya yang terjatuh di pabrik senjata kerajaan.

“Cepatlah, Nona,” kata pelapor itu. “Ayahmu jatuh ketika memperbaiki tungku pembakaran yang tinggi. Tulangnya ada yang patah.”

Yingying tergesa-gesa meninggalkan pekerjaannya di perpustakaan istana dan menjumpai Zhang Rui. Zhang Rui tergolek lemah di pembaringan. Dia habis muntah darah. Ada luka dalam kata tabib. Kondisinya cukup parah. Tabib tak yakin kondisinya lekas membaik.

“Sepertinya aku akan segera menyusul ibumu, Yingying,” kata Zhang Rui dengan susah payah. “Baguslah. Aku tak perlu lama-lama berpisah darinya, bukan?”

“Apa yang Ayah bicarakan? Bagaimana aku jika ditinggal Ayah?” Yingying berkata panik.

Zhang Rui memaksakan diri tersenyum. “Kau lebih kuat dari ibumu, Yingying. Kau lebih mandiri, apa kau menyadarinya? Kau berani berkata ‘ya’ atau ‘tidak’ tanpa ragu. Kau tentu bisa tetap menjalani hidup walau tanpa aku.”

Yingying resah. Zhang Rui sempat tak sadarkan diri. Pada malam hari, ketika dia tersadar dari pingsannya, Zhang Rui berkata lagi pada Yingying.

“Jika aku mati…, kuburkan aku di samping ibumu. Tapi jangan lupa untuk menguburkan kami di Dusun Wei. Dulu aku seorang gelandangan yang bahkan sudah lupa di mana kampung halamannya. Biarlah Dusun Wei sekarang menjadi kampung halamanku dan aku beristirahat tenang di salah satu bagian tanahnya.”

“Kau juga, setelah selesai dengan proyek ibumu, kembalilah ke Dusun Wei dan menikahlah dengan Ma Junqing.”

Yingying terkejut. “Ayah…, aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap Ma Junqing.”

“Oh, begitukah?” Zhang Rui tersenyum lemah. “Sayang sekali. Mungkin saja kelak dia akan menjadi suami yang tepat bagimu….”

Zhang Rui pingsan lagi. Dan kali ini menjadi tidur abadinya. Dia tak pernah bangun kembali. Kata-katanya mengenai Ma Junqing merupakan perkataan terakhirnya pada Yingying.

***
Zhang Rui dimakamkan di samping Ziwei.

Karena Yingying masih harus menyelesaikan pekerjaannya di perpustakaan istana, dia belum dapat mengurus jenazah orang tuanya untuk dimakamkan di Dusun Wei.

Proyek melukis pemandangan Gunung Qiu di istana selesai empat bulan setelah kematian Zhang Rui – atau satu setengah tahun setelah Yingying beserta kedua orang tuanya meninggalkan Dusun Wei.

Permaisuri Wu sangat puas dengan hasil karya Ziwei dan Yingying. Kini, perpustakaan istana berwajah baru. Setiap kali orang masuk ke sana, pasti serasa terlempar ke dalam atmosfir kebajikan kuno nana gung. Permaisuri Wu meresmikan perpustakaan berwajah baru itu dan memberi gelar kepada Ziwei. Dia juga memberi Yingying hadiah-hadiah. Tapi waktu itu bersamaan dengan meluapnya Sungai Kuning sehingga di beberapa desa yang dilalui sungai tersebut terkena bencana banjir bandang. Yingying menolak seluruh hadiah berupa materi dan meminta Permaisuri Wu agar menyumbangkan hadiahnya.

Sebagai pengganti atas jasa-jasanya, Ziwei meminta agar diijinkan berkabung bagi kedua orang tuanya dengan tinggal di dekat makam mereka. Adat pada masa itu, seorang anak harus tinggal di gubuk dekat makam orang tuanya untuk menjalankan ritual berkabung setiap hari. Permaisuri Wu mengabulkan-bahkan menetapkan beberapa pengawal khusus untuk menjaga Yingying.

Setelah tiga tahun berlalu, Yingying pun berusia dua puluh tahun. Menjelang masa akhir berkabungnya, Zheng Yun datang berkunjung ke gubuknya. Sikapnya sudah banyak berubah. Zheng Yun pernah sekali mengunjungi Ziwei sewaktu dia mengerjakan proyek perpustakaan istana. Tapi dia sudah tak seposesif dulu lagi. Melihat Ziwei yang sekarang, agaknya Zheng Yun menyadari kalau apapun yang dilakukannya tetap tak dapat membuat Ziwei kembali padanya.

“Sebentar lagi masa berkabungmu berakhir. Kau akan kemana sehabis dari sini, Yingying?” tanya Zheng Yun.

Yingying terdiam sejenak. Berpikir. Zheng Yun lanjut berkata lagi, “Putra tertuaku, Zheng Lan, dia setahun lebih muda darimu. Dia pernah berkata kalau dia mengagumimu. Seandainya kau bersedia, apakah kau setuju jika hubungan kalian diikat menjadi suami-istri? Lagipula, kau sendiri juga tahu. Antara aku dan ibumu dulu, kami terikat pertunangan sebelum itu dibatalkan. Tak ada salahnya jika kalian sebagai anak yang melanjutkannya.”

“Itu tidak akan kulakukan,” Yingying menolak. Suaranya lembut tapi tegas. “Aku dan Tuan Muda Lan tak akan bersanding. Kami juga tidak punya keharusan untuk menggantikan pertunangan masing-masing orang tua yang dulunya dibatalkan.”

“Oh, jadi kau telah memutuskan begitu. Baiklah,” ujar Zheng Yun dengan mencoba tetap tersenyum. “Lalu, apakah kau akan tinggal bersama Inspektur Pajak Zhao? Bagaimanapun, ibumu adalah saudara perempuan satu-satunya. Dia pasti tak akan membiarkanmu terlantar.”

“Aku tak akan merepotkan Paman,” sahut Yingying. “Aku akan pulang ke Dusun Wei.”

“Kembali ke Dusun Wei? Seorang diri? Tapi kau tak punya keluarga lagi di sana.”

“Tapi ada banyak orang yang mengenalku di sana. Anda jangan khawatir, Jendral.”

Zheng Yun sedikit curiga. “Apakah…, apakah ada seorang pemuda yang telah menunggumu di sana sehingga kau mau kembali?”

Yingying teringat Ma Junqing. Dia juga ingat kata-kata terakhir Zhang Rui mengenai Junqing.

“Bukan,” sangkalnya. “Tidak ada hal begitu. Dusun Wei adalah tempat yang nyaman ditinggali meski terpencil. Lagipula, Ayah dan Ibu memintaku menguburkan mereka di sana. Aku harus melaksanankan wasiat mereka.”

Zheng Yun kagum akan kepribadian Yingying. Dia gadis yang berpendirian teguh. Seandainya dulu dia dan Ziwei menikah, bisa jadi Yingying adalah putrinya. Tapi dia adalah putri Zhang Rui. Ini kenyataan yang tak mungkin dipungkiri lagi.

Zheng Yun menghela napas, tak ingin berdebat dengan Yingying. “Baiklah jika itu maumu, aku akan menyuruh orang menggali kembali kuburan kedua orang tuamu. Dan dua orang prajurit terlatihku untuk mengawalmu kembali ke Dusun Wei.

Yingying membungkukkan badannya. “Terima kasih,” ucapnya lirih.

***
Pada suatu hari menjelang musim gugur, tahun ke-7 pemerintahan Kaisar Zhongzhong dari Dinasti Tang.

Yingying memasuki Dusun Wei dengan kuda yang dituntun pengawal Zheng Yun. Dalam pelukannya terdapat dua buah kotak yang diikat kain putih. Kedua kotak itu berisi abu Zhang Rui dan Ziwei. Usai menggali makam orang tuanya, Yingying mengkremasi sisa jenazah mereka. Lalu memasukkan abunya ke dalam kotak dan membawanya pulang ke Dusun Wei.

Sewaktu memasuki gerbang, Tuan Cai, si kepala desa, mengenalinya.

“Yingying? Kaukah itu? Wah, kau sudah pergi berapa lama? Tiga tahun? Empat tahun? Kini kau sudah dewasa. Oya, mana kedua orang tuamu?”

Yingying tersenyum kepada Tuan Cai yang telah lama tak dilihatnya. “Mereka ada di sini,” ujarnya sambil mendekap kedua kotak terbungkus kain putih.

“Oh,” Tuan Cai tampak terkejut. “Aku, aku tak menduganya… Kapan mereka meninggal?”

“Empat tahun lalu,”jawab Yingying. “Aku telah melewatkan masa berkabung tiga tahun bagi mereka. Mereka memintaku untuk dimakamkan di desa ini. Maka selesai masa berkabung, aku memindahkan sisa abu mereka kemari.”

Tuan Cai mengangguk paham. Yingying kembali ke rumah lamanya yang dulu pernah dia huni bersama ayahnya selama enam belas tahun – dan juga ibunya, meski hanya beberapa bulan. Keluarga Ma menjaga dengan baik rumah itu. Tak terlalu banyak yang harus Yingying benahi meski rumah itu telah lama ditinggalkan.

Tuan Ma dan Tuan Cai - serta beberapa kenalan membantu Yingying mencari lokasi bagi pemakaman Zhang Rui dan Ziwei. Mereka bahu-membahu mulai dari menggali tanah hingga membuat nisan bagi makam tersebut.

Yingying memulai kehidupannya di Dusun Wei lagi. Karena Guru Qi sekarang sudah uzur dan sulit mengajar anak-anak desa untuk bersekolah, Yingying-lah yang menggantikannya.

Keluarga Ma masih sama baiknya dengan dulu. Nyonya Ma sangat senang karena Yingying telah kembali. Diam-diam dia berharap Yingying masih bisa menjadi menantunya. Ma Junqing masih belum menikah. Hanya saja, bertepatan saat Yingying pulang ke Dusun Wei, Junqing tengah ke Chang’an mengurus keperluan bisnis ayahnya.

Satu per satu teman masa kecil Yingying menikah. Tak terkecuali Chen Ajiao. Ajiao bahkan telah punya seorang putra berusia tiga tahun. Tinggal Yingying. Kalau ditilik dari usianya, dia telah menjadi perawan tua di jaman itu.

Belakangan Yingying semakin sering memikirkan Ma Junqing. Belum tentu ini cinta. Tapi Yingying ingin tahu, apakah Junqing masih memiliki perasaan yang sama padanya seperti yang dikatakannya empat tahun lalu?

Jika sore telah datang, Yingying berjalan-jalan menuju gerbang perbatasan desa. Dia menantikan kemunculan seseorang. Mungkin orang itu sudah berubah pikiran. Mungkin perasaan orang itu sudah tak meluap-luap lagi seperti dulu. Tapi, apapun itu, Yingying perlu tahu. Dia harus memastikan.

Lalu pada suatu sore, dari kejauhan muncul dua orang yang menunggangi keledai. Keledai keduanya berjalan lambat sekali. Matahari sore menyilaukan kedua orang itu. Tapi semakin dekat di gerbang desa, semakin jelaslah sosok keduanya.

Ma Junqing sedang berbincang dengan kepala rumah tangganya, Paman Jiang, yang telah puluhan tahun ikut keluarga Ma. Junqing sangat focus berbicara sehingga tidak memperhatikan Yingying yang berdiri di samping gerbang desa.

Paman Jiang-lah yang melihat Yingying terlebih dulu. Dia mengabaikan pembicaraan Junqing dan menyapa Yingying.

“Hei, Yingying! Kau sudah pulang? Sejak kapan?”

Yingying tersenyum. “Sudah sepuluh hari yang lalu.”

Ma Junqing segera berbalik melihat Yingying. Yingying tersenyum padanya. Junqing seolah sedang bermimpi. Paman Jiang menepuk pundaknya,

”Tuan Muda! Apakah kau sudah tidak mengenali Nona Zhang?”

“Bu… bukan…!” Junqing tergagap. Dia melompat turun dari keledainya. “Paman Jiang, berjalanlah lebih dulu. Bawa pulang keledaiku.”

Junqing mengoper tali kekang ke arah Paman Jiang lalu bergegas menghampiri Yingying. Paman Jiang tertawa maklum melihat tingkah Junqing lalu berjalan memasuki desa sambil membimbing dua ekor keledai.

Junqing sampai di hadapan Yingying dan mengamati gadis itu dari atas sampai ke bawah.

“Kau sudah kembali? Kau sudah pulang?” katanya seolah tak percaya.

“Ya,” Yingying mendadak merasa gugup dipandangi Junqing. Dia telah satu kepala lebih tinggi dari Yingying. Wajahnya memanjang dan tampan. Yingying mencari-cari keriangan kanak-kanak masih tersisa dalam diri Junqing. Tapi sepertinya hanya tersisa sedikit.

“Aku setiap waktu menunggu kepulanganmu. Rencananya, kalau kau belum pulang juga selepas tahun baru nanti, aku akan ke Luoyang buat mencarimu di istana.”

Ziwei tersenyum simpul mendengar penuturan Junqing.

Junqing lalu bertanya hati-hati, “Bagaimana, apakah kau sekarang sudah menyukaiku?”

Ziwei membekap mulutnya. Dia terbahak dengan keterus terangan Junqing. “Menurutmu, mengapa aku mau kembali ke Dusun Wei? Mengapa aku mau berjalan ke gerbang desa seperti ini untuk menantikan kehadiran seseorang yaitu kamu?”

Kebahagiaan merekah di wajah Junqing. Tak perlu kata-kata lebih jelas lagi agar Junqing tahu…

“Mari kita berdua berjalan masuk…,” ajak Yingying. Dia dan Junqing pun berjalan melewati gerbang desa. Keduanya berbicara hal-hal kecil. Hal-hal kecil yang mampu membahagiakan.


TAMAT


Sumber :
http://merlinschinesestories.blogspot.com

Merlin's Chinese Stories, Merlin Penyihir Penasihat Raja Arthur.
Blog yang memuat hasrat-hasrat terpendam akan cerita-cerita China klasik dan segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar