Sabtu, 31 Juli 2010
Catatan Mudik
Nenekku adalah tetanggaku. Rumah kami hanya terpaut sekitar lima meter, maka dalam empat lima langkah, dua tiga lompatan kecil, dan beberapa siulan ceria, aku bisa mencapainya dengan mudah. Seperti sekarang ini, mbah putriku tersayang sedang duduk di atas kursi tua, di serambi rumahnya yang teduh, sedang aku lesehan di atas tegel. Pagi itu bukan pagi yang biasa kulalui. Pagi itu aku bisa bersama beliau karena aku sedang mudik, biasanya aku tinggal di Jogja karena di sanalah aku bekerja.
Desaku, salah satu bagian kecil dari Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, masih terjaga keasriannya. Meskipun beberapa rumah penduduk sudah agak bergaya modern, namun hampir setiap rumah memiliki kebun dan pekarangan yang hijau. Maka berada di desaku yang sunyi sepi di minggu pagi, bisa jadi merupakan kemewahan tersendiri bagiku.
Kadang-kadang keheningan lebih terasa nikmat daripada riuh suara manusia yang yang tak berisi. Sedetik dua detik aku memperhatikan sosok keriput itu. Tongkat penunjuk jalannya dengan setia ia pegang, kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri seolah menikmati buaian angin sepoi-sepoi. Rambutnya yang baru saja dikeramasi dibiarkannya menjuntai, bersilang sila antara yang hitam dan kelabu. Bibirnya mengulum senyum. Aku berusaha menerjemahkan sebab musabab senyum itu, apakah karena efek suara burung tekukur milik kakek yang berkicau ceria? Ah.. mungkin tidak dengan volume optimal seperti yang tertangkap oleh telinga sehatku karena yang pasti, indera pendengarannya telah berkurang secara bertahap. Sebuah proses menua yang lambat yang bahkan kau tak pernah bisa benar-benar menyadarinya.
Suatu hari kau sedang merayakan ulang tahun sweet seventeen yang penuh gejolak dinamika dunia remaja. Belajar, kuliah, mencinta, patah hati lalu kau dituntut untuk menikah ketika usiamu dua puluh lima. Ketika anak-anakmu lulus kuliah, kau mendapati diri berumur lima puluh. Lalu tanpa peringatan yang jelas fungsi organ-organ dalammu mulai berkurang. Kalau tidak terlalu stres karena hipertensi, biasanya terserang diabetes karena terlalu bahagia.
Dari sangkar burung tekukur pandanganku beralih menuju rimbun bunga sepatu dan melati dan asoka dan bougenville di pekarangan berpagar pohon beluntas. Seekor.. oh tidak.. dua ekor kupu-kupu bermotif hitam merah seperti spiderman dan yang lain belang-belang mirip zebra cross sedang menari-nari mengelilingi sekuntum bunga berwarna merah jambu. Mungkin tak pernah mereka sadari cumbuan-cumbuan mereka, kepakan-kepakan sayap ritmis mereka bersimbiosis mutualisme menghasilkan proses penyerbukan. Mekanisme alam ini terbingkai dengan sempurna, dengan bantuan cahaya yang tertangkap oleh lensa mata, yang memfokuskannya dengan ketepatan yang luar biasa menuju retina. Lalu retina mataku dengan secara cerdas mengirimkan pesan visual melaui saraf-saraf optikus menuju otak, kemudian jadi faham lah aku akan segala bentuk-bentuk benda-benda indah itu.
Nenekku... tidak dapat menikmati semua itu dengan caraku. Ia buta.
Namun itu tidak mengurangi kharismanya.
“Ibumu nyayur apa, Nduk?” sapaan semacam itu wajib ketika kami duduk berdua bercengkerama. Bukan topik yang penting memang, namun apa yang kau harapkan dari seorang wanita tua tunanetra yang jarang bersua dengan orang-orang?
“Bikin sop buntut, Mbah..”
“Apa?! Mawut?”
“Sop buntut, Mbaaah!!” aku berteriak tanpa bermaksud membentak.
“Owh.. oseng jamur to. Terus lauknya apa?”
Aku pun tidak berniat untuk memperpanjang perkara sop buntut itu, khawatir tidak kunjung selesai.
“Lauknya telur goreng sama rambak. Mbah mau aku ambilkan?”
Menggeleng.
“Tadi sudah makan nasi goreng buatan Mbah Kakung. Ambillah di dapur kalau mau.”
“Nggak, Mbah. Rahmi udah kenyang.”
Lalu diam.
Kali ini beberapa burung prenjak yang membuat gaduh, berpindah-pindah dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Salah satu ranting itu telah tua dan mengering, maka patah lah ia, dan jatuh di atas kaki kodok mungil berwarna hijau. Sang kodok melotot menahan sakit sambil berusaha melepaskan kakinya dari ranting nakal itu.
Aku tertawa kecil melihatnya. Lalu sekali lagi iba dan menyesal karena tidak bisa menikmatinya bersama-sama dengan Mbah putri. Dunianya gelap dan aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan hal tersebut. Yang bisa kulakukan hanya sesekali menemaninya mengobrol, secara rutin memotong kuku-kuku panjangnya, dan memaklumi segala tingkahnya yang kadang susah untuk dimengerti. Hal-hal kecil yang bisa dilakukan, namun entah mengapa tidak begitu terpikirkan oleh anak-anak Mbah yang masih serumah dengannya.
Om Fajar masih relatif muda, 28 tahun, dan sering keluar malam, bersenang-senang dengan kawan-kawannya satu desa, membuat hati Mbah putri tidak tenang menungguinya setiap malam, berharap bungsunya itu tidak macam-macam dalam bergaul. Sedang bulik Siti memiliki hati yang keras dan hanya mementingkan kesibukannya sebagai guru Sekolah Menengah Umum. Permintaan-permintaan kecil Mbah Putri ia anggap sebagai rengekan manja khas anak kecil. Suami bulik Siti adalah seorang kontraktor yang suka bertugas keluar kota, ia jarang di rumah sehingga tidak faham, tepatnya tidak begitu perduli dengan kondisi rumah. Satu-satunya anak Mbah yang sudah menikah hanya ibuku. Maka jadilah aku cucu satu-satunya, cucu kesayangannya.
Alih-alih diperhatikan barang sedikit, malah omelan-omelan sengit yang didapat Mbah Putri, terutama oleh Bulik Siti yang galaknya minta ampun. Aduhai.. haruskah masa tua Mbah diisi dengan perkataan-perkataan menyakitkan? Tidak pantas kah ia diperlakukan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang?
Memang sih, aku sering mendengar perkataan orang-orang, bahwa Mbah Putri yang dulu lain dengan yang sekarang. Dulu ia kejam, sering membentak anak-anaknya termasuk ibuku. Bahkan katanya, suatu kali ia tega memukul anak kecil tetangga sebelah hanya karena si anak mencuri beberapa butir melinjo yang jatuh di kebun belakang.
Namun lihatlah ia sekarang. Ia bahkan bisa dengan mudahnya menikmati simfoni alam. Kadang-kadang ia terhenyak mendengar ciap-ciap suara anak ayam yang berusaha berlindung di bawah eraman induknya. Kadang-kadang ia mengelus rambutku, dan berkata seandainya ia bisa melihat rupa cucunya yang sudah dewasa ini. Terakhir kali, wajahku yang terekam olehnya adalah balita montok dengan rambut ikal dan pipi gembul. Setelah itu, glaucoma merampas penglihatannya.
Aku bukan balita lagi. Aku sudah dewasa, dua puluh lima tahun. Dan akan semakin dewasa. Lalu nanti akan menjadi tua.
Menjadi tua. Itulah yang seringkali kupikirkan ketika duduk bersanding dengan Mbah Putri. Suatu saat nanti aku akan seperti beliau. Lalu, apa yang akan aku lakukan kemudian?
“Mbah, seperti apa rasanya menjadi tua itu?” pertanyaan spontan, meski setelah kupikir, rasanya kejam juga menanyakannya kepada Mbah Putri.
Dua tiga kali aku harus mengulang, baru Mbah paham apa yang kumaksudkan. Satu hal yang kupelajari adalah kesabaran dalam menghadapi kejamnya sang waktu menggerogoti segala yang ada di tubuhmu. Pendengaran, penglihatan, dan gigi sehat sudah bukan barang murah meriah lagi.
Mbah putri mendesah beberapa kali. Pertanyaan itu seolah terdengar absurd baginya.
“Hemm.. bagaimana ya? Kadang-kadang rasanya takut.”
“Takut? Takut kenapa, Mbah?”
“Takut tiba-tiba mati.”
“Ah.. Mbah jangan ngomong kayak gitu.”
“Bukan maksudku takut pada kematian itu sendiri, Nduk cah ayu. Tapi Mbah takut mati dalam keadaan dibenci, atau tidak dihormati oleh anak-anak Mbah.”
Aku terpana.
Tidak tahu harus berkata bagaimana.
“Kenapa bisa begitu, Mbah?”
“Apa?!”
“Kenapa bisa begitu? Nggak ada kok yang membenci Mbah.”
“Kau tahu kan, Om Fajar sama Bulik Siti…”
“Aku yakin Ibu, Bulik Siti, sama Om Fajar, semua mencintai Mbah. Hanya saja, mereka ngga tahu bagaimana mengungkapkannya.” Potongku cepat.
“Kamu sekarang pintar ngomong, Nduk.” Mbah tersenyum teduh, lalu seketika kemudian getir.
“Mbah orang desa, Nduk. Kadang juga ndak tahu gimana cara mendidik anak. Mungkin Mbah banyak salah sama mereka waktu dulu mereka masih kecil-kecil. Mbah sekarang hanya belajar menjadi ikhlas. Apa lagi yang bisa Mbah lakukan sekarang selain nerimo ing pandum sama banyak nyembah marang Gusti Allah.”
Aku bertanya-tanya, pernahkah Mbah memiliki ambisi-ambisi tertentu ketika ia masih muda? Pernahkah ia tertarik pada seni tertentu? Pernahkah ia mati-matian mencapai sesuatu? Lalu bagaimana jika segala sesuatu terjadi diluar keinginannya?
“Kamu harus nerimo, harus syukur, harus ikhlas. Kamu boleh nyari uang sebanyak-banyaknya, nuntut ilmu setinggi-tingginya, lalu berkarir sepuas-puasnya. Namun kamu harus eling, Nduk, Yang Maha Kuasa yang menentukan segala-galanya. Segalanya tunduk pada kuasanya.”
Si kodok yang tadi berkutat melepaskan diri dari jepitan ranting seketika berhasil bebas. Ia terlihat berusaha mengatur nafasnya. Ia masih terengah-engah ketika seekor ular sawah menelannya bulat-bulat.
“Suatu saat semua orang pasti mati.” Wanita tua itu berkata pelan.
Sejak aku telah bisa berpikir, aku memahami teori itu sejelas mengeja huruf-huruf abjad pada masa Taman Kanak-Kanak. Semua benda yang bernafas akan mengalami kematian. Lalu kenapa? Aku bukan seorang kriminal, atau perampok, atau pembunuh atau psikopat. Aku bukan orang yang harus segera tobat dengan terburu-buru karena telah melakukan dosa-dosa besar.
“Tidak semua dosa kelihatan dengan gamblang.” Seolah-olah Mbah bisa membaca fikiranku.
“Maksudnya apa, Mbah?”
“Sombong, iri, dengki. Tidak kentara, namun sedikit demi sedikit bisa menggerogoti imanmu.”
Tidak, aku tidak memiliki segala sifat jelek itu, batinku protes.
Benarkah? Sahut hatiku yang lain.
Lalu aku teringat tempat kerjaku, wadah berkarirku, sebuah Perusahaan Industri Obat. Awalnya, aku diterima sebagai staff di bagian Produksi, lalu aku berambisi secepatnya menjadi supervisor. Nah, sekarang aku telah menjadi supervisor, dan terobsesi untuk menjadi Kepala Cabang. Aku tidak akan heran jika suatu saat nanti aku berambisi menjadi presiden. Mustahil aku tak pernah sombong, atau iri, atau dengki, meski rasa itu hanya sebesar biji partikel atom.
Jam telah menunjuk angka delapan lebih lima menit. Masih terlalu pagi untuk berpikir seberat ini. Aku memperbaiki dudukku agar nyaman. Aku membenahi rok-ku sampai menutup mata kaki. Aku mematut-matut jilbabku, siapa tahu rusak atau miring ke kanan kiri. Aku melihat Mbah tenang-tenang saja. Untuk apa memperhatikan penampilan pada usia sesenja itu? Baju yang melekat di bajunya adalah kemeja lusuh yang kancing paling atasnya telah lepas, dan bawahannya serupa rok span berkain kasar, membungkus kulitnya yang keseluruhannya keriput. Jika telapak tanganku yang masih halus dan padat aku sandingkan dengan telapak tangannya yang kisut dan berwarna menyerupai tanah, maka semakin tampak lah rupa ketidakabadian.
Lalu kami kembali diselimuti keheningan. Kadang diselingi suara alam. Jangkrik, tekukur, tokek, seolah berlomba menunjukkan suara siapa yang paling apik. Mereka tidak sadar, bahwa tiap dari mereka telah dikaruniai suara khas yang memiliki keunikannya sendiri-sendiri.
Seekor walang sangit melompat dengan bersemangat di atas daun pisang, Daun pisang itu melorot, dan membuat tetes-tetes embun sisa tadi malam meluncur jatuh mencium tanah, yang segera disesap oleh beberapa ekor burung dara. Setelah dirasa cukup, ditambah dengan riuhnya suara bebek yang berasal dari pematang sawah, burung-burung dara tersebut terbang dengan kepayahan, salah satu dari mereka mendekati sarangnya dan bertengger disitu. Kepalanya agak mendongak keatas seolah berandai-andai ia bisa terbang lebih tinggi dari tempatnya bernaung. Langit menjawabnya dengan silaunya sinar mentari pagi. Sebatas itulah penglihatanku, meskipun aku bisa memperkirakan, bahwa diatas langit itu masih ada langit. Lalu di atasnya masih ada langit lagi.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Mbah Putri memberikan petuah-petuahnya. Bahkan di setiap kepulanganku, merupakan fragmen yang mengusung satu tema yang diulang-ulang. Mbah Putri akan bercerita tentang Om Fajar, Bulik Siti, harapan-harapannya di masa lalu, kemudian sabar, syukur, ikhlas, nerimo... Sedangkan tingkah polah makhluk alam khas pedesaan akan melengkapi cerita tersebut dengan cara yang tak pernah membosankan.
Pulang ke desa selalu membuat ambisi-ambisiku mereda. Entahlah, seolah bersinggungan dengan kesederhanaan berpikir Mbah Putri, dan lukisan alam yang tintanya masih segar, membuatku kembali mengingat darimana segala berasal. Darimana aku berasal, darimana kesuksesanku berasal, darimana orang-orang yang kusayangi berasal, dan darimana pemahaman berasal.
Dan aku pun semakin sering ingin mudik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar