Jumat, 06 Agustus 2010

Kasih Di Antara Remaja (Jilid 6)


“Bukan demikian soalnya, ji-suheng.” Kata pula Hap Tojin. Terhadap Ji Cin Cu yang ramah dan jarang marah, ia lebih berani. “Soalnya ialah pemuda itu dengan adik perempuannya telah membunuh mati Ban Kim Cinjin di daerah kita.”

Dua orang murid kepala Cin-ling-san melengak dan memandang heran. Adanya mata-mata di daerah Cin-ling-san bukan hal aneh karena pada masa itu memang banyak sekali persaingan dan permusuhan dengan partai-partai lain yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Juga datangnya utusan dari pemerintah Ceng bukan hal yang mengherankan.

Akan tetapi Ban Kim Cinjin terbunuh oleh orang-orang muda? Ini amat menarik. Biarpun kepandaian Ban Kim Cinjin tidak bisa disamakan dengan kelihaian suhengnya, Hoa Hoa Cinjin, namu kakek itu adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi. Sekarang terbunuh orang lain di daerah mereka, dan kalau sampai Hoa Hoa Cinjin tidak mau terima dan meluruk ke situ, hal ini akan menjadi cukup penting dan berbahaya!

“Dua orang muda kakak beradik membunuh Ban Kim Cinjin katamu?” tanya It Cin Cu memandang tajam.

“Soalnya tidak jelas,” Hap Tojin menerangkan dengan muka merah karena memang ia masih ragu-ragu. “Ban Kim Cinjin memaksa hendak naik menemui suhu. Tentu saja kami melarang dan terjadi pertempuran. Beberapa orang sute rendahan kami telah roboh oleh kakek itu. Tiba-tiba pemuda itu maju mencegah dan ia dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kesudahannya, malah Ban Kim Cinjin yang tewas secara aneh, tanpa dipukul oleh pemuda itu. Siauwte sendiri dan saudara-saudara semua tidak tahu siapakah yang membunuhnya, apakah pemuda yang kelihatan lemah dan telah kami tawan, apakah adiknya yang sudah pergi ataukah ada orang lain yang bersembunyi dan membantu mereka dengan diam-diam.”

Dengan jelas Hap Tojin lalu menceritakan semua kejadian itu dan kedua orang suhengnya mulai tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat dan betapa pemuda itu menanggung jawab semua kesalahan dan menyuruh adik perempuannya pergi. Ini benar-benar aneh dan menarik.

“Bawa dia ke sini!” kata It Cin Cu tidak sabar lagi.

Hap Tojin keluar dan tak lama kemudian ia kembali ke dalam ruangan itu sambil mengiringkan Han Sin yang masih dibelenggu. Dua orang murid kepala Cin-ling-pai itu memandang ke depan dan melihat seorang pemuda taruna yang tampan dan halus gerak-geriknya, sedikitpun langkahnya tidak membayangkan keahlian silat, pakaiannya robek dan tubuh bagian atas terbelenggu. Namun pemuda itu wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu, malah tersenyum tenang dan mengangkat dada. Ketenangan yang wajar tidak dibuat-buat sehingga dua pasang mata murid kepala Cin-ling-pai yang amat tajam itu diam-diam memandang kagum.

Han Sin melangkah maju ke depan dua orang tosu itu dan menjura dengan hormat tapi kaku karena tubuhnya diikat. It Cin Cu menunjuk ke sebuah bangku dan Han Sin lalu menduduki bangku itu. Sebagai seorang pendeta, It Cin Cu tetap memakai sopan-santun, biarpun ia hanya menunjuk karena tentu saja ia tidak memandang kepada seorang pemuda seperti ini.

“Congsu, siapakah nama, murid siapa dan apa perlunya congsu berdua adik datang menimbulkan keributan di Cin-ling-san?” tanyanya singkat dan bernada keras.

Han Sin kecewa. Di dalam kitab-kitabnya yang mengandung pelajaran kebatinan, orang diajar bersopan-santun, lemah lembut dan ramah terhadap sesama manusia. Apalagi yang sudah menjadi pendeta, tentu lebih-lebih bersikap halus, tidak sekasar tosu tinggi kurus yang bertahi lalat di pipi kanannya itu. Namun Han Sin tetap bersikap tenang dan sabar, ingat akan pelajaran di dalam kitab-kitabnya bahwa “yang baik harus ditiru dan yang keliru dinasehati”.

“Totiang, aku yang bodoh she Cia bernama Han Sin datang dari Min-san di sebelah barat. Guruku adalah seorang siucai miskin bernama Thio-sianseng. Adapun aku dan adikku sebetulnya sama sekali tidak bermaksud menimbulkan keributan di Cin-ling-san. Kami hanya lewat saja akan tetapi dicegat dan diserang oleh para tosu di Cin-ling-san.”

Han Sin memang tidak mau menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya, karena selain ia merasa tidak patut menyebut murid kakek sakti itu, juga bukankah Ciu-ong Mo-kai berpesan bahwa kalau menghadapi kesukaran ia harus menyebut namanya untuk mencari keselamatan? Dia tidak merasa menghadapi kesukaran karena yakin bahwa dia tidak bersalah. Perlu apa mesti menggunakan nama besar Ciu-ong Mo-kai untuk menakut-nakuti orang dan untuk mencari selamat? Ia anggap hal ini tidak patut dan malah merendahkan nama besar pengemis sakti itu.

Tentu saja para tosu tidak pernah mendengar nama Thio-sianseng. Dan makin rendah pandangan mereka terhadap pemuda tampan ini. Akan tetapi tidak demikian dengan dua orang murid kepala Cin-ling-san. Sikap Han Sin yang penuh kehalusan dan sopan-santun itu membuat mereka diam-diam makin curiga. Bocah seperti ini sudah pasti bukan bocah sembarangan yang berandalan dan lancang.

“Kenapa kau membunuh Ban Kim Cinjin?” tanya It Cin Cu pula.

Han Sin menggerakkan pundaknya. “Aku sendiripun tidak tahu bagaimana aku bisa membunuhnya,” jawab pemuda ini dengan jujur. “Agaknya dia mempunyai penyakit jantung yang berat. Begitu dia menyerangku, eh, tahu-tahu dia terjungkal dan mati. Di dalam hatiku, jangankan membunuh manusia, membunuh seekor ayampun kalau bisa jangan sampai kulakukan itu.”

It Cin Cu dan Ji Cin Cu saling pandang. “Sute,” kata It Cin Cu kepada Ji Cin Cu. “Coba kau periksa tubuh Ban Kim Cinjin!”

Siauw-bin-hud Ji Cin Cu melengeh dan biarpun tubuhnya gemuk pendek, begitu tubuh itu digerakkan tahu-tahu ia telah berada di luar pintu. Han Sin sampai terbelalak memandang keanehan ini. Apakah tosu gendut itu bisa terbang? Tak lama Ji Cin Cu masuk lagi, juga cepat seperti tadi. Memang si gendut ini hendak memperlihatkan kepandaiannya kepada Han Sin untuk melihat reaksi pemuda itu. Melihat pemuda itu dengan muka wajar terheran-heran, diam-diam ia makin tidak mengerti.

“Suheng, isi dadanya remuk terkena hawa pukulan lweekang yang hebat. Tenaga pukulan yang merusak isi dada itu kiranya tidak lebih rendah dari pada tenaga kita berdua disatukan. Hebat sekali! Bocah ini tentulah bukan pembunuhnya,” kata Ji Cin Cu.

Kembali It Cin Cu mengerutkan kening. “Bocah she Cia, apakah selain adikmu, masih ada orang lain yang datang bersamamu di bukit ini?”

Han Sin mengangguk. “Memang ada!”

Semua orang kaget. It Cin Cu dan Ji Cin Cu mengepal tangan, siap mendengar siapakah yang datang bersama anak muda ini, tentulah seorang sakti, yang sudah terkenal. Dengan muka sejujurnya Han Sin meneruskan jawabannya.

“Selain aku dan adikku masih ada Siauw-ong.”

Di antara semua tosu yang hadir, kiranya yang lebih banyak pengalamannya di dunia luar dan mengenal semua orang-orang gagah, hanyalah Cin-ling Sam-eng.

“Hap-sute, kenalkah kau seorang locianpwe berjuluk Siauw-ong?” tanya It Cin Cu kepada Hap Tojin, orang tertua dari Cin-ling Sam-eng.

Hap Tojin menggeleng kepala. “Ada Kim-i Tok-ong (Raja Racun Baju Sulam) ada Ban-jiu Touw-ong (Raja Copet Tangan Selaksa) ada Hui-thian Mo-ong (Raja Setan Terbang) dan banyak tai-ong tai-ong (sebutan kepala perampok) yang siauwte kenal, akan tetapi Siauw-ong (Raja Muda) tidaklah pernah dipergunakan orang kang-ouw sebagai nama julukan. Siauwte tidak mengenal nama ini,” jawab Hap Tojin.

It Cin Cu menoleh kepada Han Sin.

“Siauw-ong yang kau sebut itu adalah cianpwe dari golongan dan partai manakah?”

Han Sin maklum bahwa jawabannya tadi telah mendatangkan salah paham, diam-diam ia menjadi geli. Akan tetapi kesopanan melarang dia mentertawakan mereka itu. Dengan muka masih tenang dan sikap tidak berubah ia menerangkan, “Siauw-ong dari golongan monyet atau munyuk, bukan golongan lutung hitam, tidak berpartai. Dia adalah monyet kecil yang kami pelihara semenjak kecil.”

Mendengar keterangan ini, terdengar suara ketawa kecil di antara para tosu yang dibikin kecele. Mereka tadi sudah tegang hendak mendengar siapa adanya “locianpwe” itu, tidak tahunya seekor kera! It Cin Cu memutar matanya penuh teguran dan suara ketawa itu berhenti seketika. Akan tetapi suara ketawa yang paling keras datang dari mulut Ji Cin Cu, dan It Cin Cu tidak mau menegur sutenya ini di depan orang banyak. Ia berlaku tenang serius.

“Selain kera itu, siapa lagi yang ikut datang?”

“Tidak ada lagi, totiang,” jawab Han Sin.

It Cin Cu mengerutkan kening. Inilah aneh, pikirnya. Apakah ada orang luar biasa yang tidak dikenal pemuda ini yang diam-diam membantunya dan membunuh Ban Kim Cinjin? Hal itu bukan urusan Cin-ling-pai, akan tetapi karena pembunuhan dilakukan di Cin-ling-san dan Ban Kim Cinjin adalah utusan kerajaan Ceng, itulah amat berbahaya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kanan menepuk pundak Han Sin. Sebelum tangannya menyentuh pundak, Han Sin merasa datangnya angin pukulan yang hebat.

Pemuda ini terikat kedua tangannya, tak dapat ia menangkis. Akan tetapi begitu tangan itu menyentuh pundaknya, It Cin Cu berseru perlahan dan menarik kembali tangannya. Ia merasai pundak yang empuk seperti kapas akan tetapi yang dibawahnya mengandung tenaga menyedot luar biasa kuatnya sehingga tenaga pukulannya amblas! Inilah lweekang yang amat tinggi tingkatnya. Ia membelalakkan matanya dan membentak.

“Anak muda, jangan kau main-main! Siapa gurumu?”

Han Sin memang tidak tahu akan peristiwa yang terjadi tadi. Tanpa ia sadari, sinkang di tubuhnya secara otomatis mengalir ke pundak membangkitkan tenaga penolakan yang luar biasa. Inilah karena kematangan latihan samadhinya, yang membuat ia seperti dalam keadaan samadhi di setiap detik. Bahkan ketika ia tidur, pernapasannya masih tetap saja lambat dan halus seperti dalam keadaan siulian. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi ketika tosu tadi menepuk pundaknya.

“Sudah kuterangkan tadi, totiang, guruku Thio-sianseng yang mengajarku membaca, menulis, dan menggambar,” jawabnya, suaranya tetap dan pandang matanya memancarkan kejujuran. Ketika menentang pandang mata pemuda itu, lagi-lagi It Cin Cu dan Ji Cin Cu terkejut karena melihat sinar mata yang membuat mereka tidak tahan lama-lama memandang.

“Kau telah membunuh utusan kerajaan di daerah kami. Terpaksa kami harus menyerahkan kau kepada pemerintah Ceng untuk mencuci bersih tangan kami. Masukkan dia di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka)!” perintahnya kepada para sutenya.

Cin-ling Sam-eng lalu menggusur tubuh Han Sin, dibawa ke sebelah belakang bangunan, lalu menurunkan pemuda itu dengan sehelai tambang ke dalam sebuah jurang. Yang disebut Can-tee-gak itu adalah sebuah jurang yang amat terjal dan sekali orang dimasukkan ke situ, jangan harap akan dapat keluar lagi tanpa pertolongan. Jangankan dalam keadaan terikat badannya, biarpun bebas kaki tangannya, teramat sukarlah untuk dapat keluar dari situ. Tempat ini memang disediakan untuk menghukum para anak murid yang melanggar peraturan. Memang Cin-ling-pai amat keras dan berdisiplin, maka para anak muridnya juga tidak ada yang pernah menyeleweng.

KETIKA diturunkan di dalam jurang itu, Han Sin masih tenang saja. Ia mendapatkan dirinya di dalam ruangan yang merupakan dasar jurang. Baiknya tanah di situ kering dan lebarnya ada empat lima meter. Di belakang dan depan dinding batu yang amat tinggi, di kiri kanan jurang yang lebih dalam lagi. Sukar bagi seorang manusia untuk melarikan diri dari tempat ini, kecuali kalau dia bisa terbang. Han Sin menarik napas panjang, duduk menyandarkan punggung di dinding batu. Dia memang tidak mempunyai pikiran untuk lari. Mengapa lari? Tentu aku ditahan hanya untuk sementara waktu selagi para tosu ini mengadakan perundingan untuk memutuskan urusan ini, pikirnya. Hawa di situ enak, angin gunung menghembus melalui kanan kiri dinding batu, segar dan sejuk membuat dia mengantuk. Tak lama kemudian pemuda ini tertidur sambil bersandar batu.

****

Tepat dugaan Han Sin. Di puncak Cin-ling-san, dua orang tosu murid kepala bersama sutenya mengadakan perundingan mengenai peristiwa yang cukup penting bagi Cin-ling-pai itu.

“Gadis itu ilmu silatnya lihai juga, dan aneh gerakan-gerakannya. Akan tetapi tenaganya belum seberapa dan ilmu silatnya itupun belum matang benar,” demikian Hap Tojin menerangkan kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. “Monyet kecil itupun hanya gesit saja, apa sih anehnya pada diri seekor monyet kecil? Pemuda itu biarpun sikapnya amat aneh, namun terang dia tidak mengerti ilmu silat. Ini dapat dilihat dari gerak-geriknya, malah ia terguling roboh ketika berlari dan kakinya tersandung batu. Masa seorang ahli silat bisa roboh begini? Akan tetapi, suheng, sekali tangkis dia bisa menewaskan Ban Kim Cinjin! Bukankah hal ini aneh di atas aneh!”

“Ajaib sekali!” seru Ji Cin Cu yang tersenyum-senyum terus.

It Cin Cu mengerutkan kening. “Tidak bisa lain, tentu ada orang pandai yang diam-diam menggunakan kesempatan itu membunuh Ban Kim Cinjin. Tak mungkin kalau hanya untuk menolong pemuda itu ia harus membunuh Ban Kim Cinjin, tentu dia sengaja membunuh di daerah ini agar kita bentrok dengan pemerintah Ceng. Inilah hebat.”

“Kenapa susah-susah, twa-suheng?” kata Ji Cin Cu. “Pemuda itu sudah kita tangkap, tinggal serahkan saja dia kepada pemerintah Ceng sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin. Bukankah itu beres dan tangan kita tercuci bersih?”

Ucapan ini agaknya memuaskan Cin-ling Sam-eng, mereka mengangguk-angguk membenarkan. Akan tetapi It Cin Cu menggeleng kepala perlahan. “Gampang diomongkan, susah dilaksanakan.”

“Kenapa begitu, suheng?” tanya Hap Tojin.

“Apa sih susahnya membawa pemuda she Cia itu ke kota raja?”

“Apa kalian kira pemerintah Ceng begitu bodoh seperti anak kecil? Mereka mempunyai banyak orang-orang lihai. Kalau kita menyerahkan pemuda itu kepada mereka sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin dan mereka mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tolol tidak mengerti ilmu silat, apakah mereka mau percaya bahwa pemuda itu membunuh Ban Kim Cinjin? Jangan-jangan malah kita makin dicurigai!”

Semua tosu melengak mendengar ini dan baru terbuka mata mereka bahwa memang hal ini amat sukar dilaksanakan. Siapapun orangnya, mereka sendiri juga, tak mungkin bisa percaya seorang pemuda yang kesandung batu saja roboh bisa membunuh seorang tokoh besar seperti Ban Kim Cinjin. Ji Cin Cu mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,
“Heh heh, kau betul, twa-suheng. Kau betul, heh heh heh. Habis, apakah kita harus melaporkan hal ini kepada suhu dan minta keputusan suhu?”

It Cin Cu menarik napas panjang. “Suhu sedang sibuk meyakinkan ilmu pedang yang baru. Sudah dua bulan suhu tidak keluar kamar, dan beliau melarang kita mengganggu. Apa kau tidak ingat? Masa untuk urusan kecil ini kita harus mengganggunya?

“Tidak, itu aku tidak berani.”

“Habis, bagaimana kita harus menyelesaikan urusan ini?” Hap Tojin kuatir.

“Tidak ada lain jalan. Kau kubur dengan diam-diam jenazah Ban Kim Cinjin dan pura-pura tidak tahu bahwa kakek itu pernah menginjakkan kaki di bukit Cin-ling-san. Toh tidak ada orang lain tahu akan pembunuhan itu.”

Semua orang menganggap keputusan ini baik sekali. “Dan bagaimana dengan orang she Cia itu?” tanya Ji Cin Cu.

“Biar untuk sementara kita tahan dulu di sini, perlahan-lahan kita mencari keputusan yang baik,” jawab suhengnya.

Segera para tosu Cin-ling-pai bekerja. Jenazah Ban Kim Cinjin dimasukkan ke dalam peti mati yang tebal dan kuat. Karena mereka semua adalah orang-orang beribadat, maka tentu saja tidak melanggar peraturan. Jenazah itu sebelum dikebumikan, mereka sembahyangi lebih dulu. It Cin Cu bersembahyang sambil berkata keras,

“Ban Kim Cinjin, kau tahu sendiri bahwa kematianmu bukan disebabkan oleh Cin-ling-pai, oleh karena itu untuk menyingkirkan salah mengerti antara kami dengan kawan-kawanmu, terpaksa kami mengubur kau dengan diam-diam. Harap rohmu mendapat tempat yang baik.” Hio yang mengebul asap putih ditancap dan semua tosu ikut bersembahyang lalu membaca doa.

Pada saat itu secara tiba-tiba muncul empat orang. Mereka ini adalah tiga orang pengemis tua dan seorang gadis yang cantik jelita. Tadinya para tosu kaget mengira bahwa yang datang adalah Bi Eng yang membawa teman-teman untuk menolong Han Sin, akan tetapi setelah mereka datang dekat, ternyata gadis itu bukan Bi Eng.

Dia seorang gadis yang berpakaian indah dan mewah, mukanya bulat telur, berkulit putih halus, rambutnya yang hitam panjang itu di gelung ke atas secara istimewa dan indah seperti gelung para puteri keraton. Cantik manis bukan kepalang gadis ini, hanya sepasang matanya memancarkan sinar galak dan bibir yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Seorang gadis muda yang angkuh, ini mudah sekali dilihat.

Tiga orang pengemis itu usianya lima puluhan tahun lebih. Pakaian mereka tambal-tambalan, anehnya biarpun tambal-tambalan dan butut, mereka itu pakaiannya sama, seragam! Tidak hanya potongan dan warnanya, bahkan tambal-tambalannya pun sama, sekain sewarna. Di tangan mereka terlihat tongkat yang aneh pula karena bentuknya seperti ular kering, terbuat dari logam hitam yang kelihatannya berat. Lucunya, tiga orang pengemis tua itu, kaki kirinya bersepatu butut akan tetapi kaki kanan telanjang!

Tadinya para tosu tidak memandang mata kepada empat orang yang baru muncul ini, akan tetapi ketika It Cin Cu, Ji Cin Cu dan Cin-ling Sam-eng melihat tongkat mereka yang berbentuk ular, mereka ini menjadi terkejut dan menduga-duga.

Cin-ling Sam-eng memang bertugas di luar, maka tanpa minta perkenan dari kedua orang suhengnya, mereka bertiga segera berdiri dan menyambut empat orang tamu itu. Hap Tojin menjura dan berkata.

“Sam-wi Lo-enghiong ada keperluan apakah menaiki puncak? Mohon maaf kami para tosu Cin-ling-pai tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya karena kami sedang berkabung.” Ia menuding ke arah peti mati.

Tiga orang kakek pengemis itu memandang ke arah peti dan seorang di antara mereka yang matanya buta sebelah kiri, melangkah setindak dan bertanya, “Siapakah yang mati itu, harap saja bukan Giok Thian Cin Cu si orang tua.”

Tak senang hati para tosu Cin-ling-pai mendengar pengemis mata satu ini menyebut julukan ketua mereka begitu saja, agaknya memandang rendah saja. Hap Tojin yang sudah banyak mengenal orang kang-ouw, memandang penuh perhatian kepada si mata satu, lalu menjura dan menjawab. “Bukan ketua kami yang kembali ke alam asal. Lo-enghiong ini apakah bukan Tok-gan Sin-kai, yang terkenal di antara para orang gagah dari Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan pengemis tongkat ular) dari utara?”

Pengemis mata satu itu tertawa, “Awas sekali mata tosu-tosu Cin-ling-pai. Kalian bertiga ini tentulah Cin-ling Sam-eng.”

“Kami bertiga yang bodoh, murid-murid Cin-ling-pai yang rendah tingkatnya mana berani menggunakan julukan Sam-eng? Tok-gan Sin-kai, seingat kami, antara Cin-ling-pai dan Coa-tung Kai-pang tidak pernah ada urusan apa-apa, sekarang kau datang ke sini ada keperluan apakah?”

“Kami datang mencari Ban Kim Cinjin!”

Pernyataan ini membuat wajah para tosu menjadi pucat. Dan dalam pikiran It Cin Cu dan Ji Cin Cu timbul dugaan yang membuat muka mereka merah. Apakah tidak boleh jadi kalau pengemis mata satu ini yang diam-diam membunuh Ban Kim Cinjin kemudian pura-pura datang untuk menelanjangi mereka?

“Di mana Ban Kim Cinjin? Dia naik ke sini, bertempur dengan kalian lalu lenyap,” desak pula Tok-gan Sin-kai dengan suara garang. “Ketahuilah, kami bertiga mengantar nona Thio ini yang mewakili ayahnya, Thio-ciangkun, bersama Ban Kim Cinjin menjadi utusan kaisar. Ban Kim Cinjin berjalan lebih dulu karena tidak ingin mengagetkan kalian tosu-tosu Cin-ling-pai dengan kunjungan banyak orang. Di mana dia?”

Kecurigaan It Cin Cu dan Ji Cin Cu lenyap, dan kini mereka malah kaget sekali. Celaka, pikir mereka sebelum mayat Ban Kim Cinjin dikubur, datang utusan-utusan kaisar ini. Kalau sampai rahasia terbuka, tak dapat tiada pasti akan timbul keributan.

Cin-ling Sam-eng juga mempunyai pikiran seperti itu. Hap Tojin lalu berkata sambil tersenyum. “Coa-tung Kai-pang telah bersekutu dengan pemerintah baru, itu bukan urusan kami orang-orang Cin-ling-pai. Kenapa kami harus mencelakakan utusan kaisar?”

Tiba-tiba gadis yang pendiam dan kelihatan galak itu menggerakkan kakinya. Ringan bagaikan burung walet tubuhnya melayang ke dekat peti mati dan sebelum ada orang menduga apa yang hendak dilakukannya dan sebelum mereka sempat mencegah, gadis itu telah mengayunkan tangan kirinya ke arah peti mati.

“Brakk!” Tutup peti mati itu pecah terbuka dan kelihatanlah mayat Ban Kim Cinjin membujur kaku di dalam peti mati. Nona itu mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur dekat tiga orang pengemis tadi, wajahnya yang cantik berobah bengis. Sungguh mengherankan orang kalau melihat kejadian itu. Tangan nona manis itu berkulit halus dan putih, agaknya tak pernah bekerja kasar, bagaimana sekali gempur saja tutup peti mati yang demikian tebalnya sampai pecah? Benar-benar ia menunjukkan bahwa lweekang nona itu sudah tinggi tingkatnya dan kepandaiannya pun hebat.

Semua orang tosu menahan napas saking tegang hatinya. Dipukulnya peti mati itu bukan merupakan hinaan bagi mereka karena di dalam peti mati adalah mayat Ban Kim Cinjin. Akan tetapi, terbukanya peti mati itu sekali gus membuka rahasia mereka yang hendak menyembunyikan tentang kematian Ban Kim Cinjin.

Tiga orang pengemis itu bersinar-sinar matanya karena marah. “Hemm, tidak kusangka tosu-tosu Cin-ling-pai pandai membohong dan curang!” seru pengemis mata satu. Matanya yang sebelah kanan berkilat menyapu ke arah Cin-ling Sam-eng, penuh ancaman.

Hap Tojin mengeluarkan suara ketawa nyaring untuk menindas hatinya yang tadi terguncang. “Tok-gan Sin-kai, jangan sembarangan saja kau membuka mulut memaki orang! Sejak kapan kami orang-orang Cin-ling-pai membohong?”

“Tosu tua bau!” Tok-gan Sin-kai marah sekalidan melangkah maju. “Tadi mulutmu sendiri yang menyangkal membunuh Ban Kim Cinjin. Di dalam peti mati itu mayat siapa lagi kalau bukan mayat Cinjin? Apa mulutmu yang bau masih hendak bilang mayat itu tidak mati?” Sambil berkata demikian, Tok-gan Sin-kai menggerakkan tongkat ularnya yang dengan gerakan berputaran menghantam kepala Hap Tojin.

“Sratt!” Sebatang pedang telah berada di tangan Hap Tojin dan sekali pedangnya berkelebat, tongkat ular sudah ditangkisnya. “Traanggg!” Bunga api berpijar dan ternyata kini bahwa tongkat itu terbuat dari logam yang amat kuat. Hap Tojin terkejut sekali di dalam hatinya ketika merasa telapak tangannya panas dan sakit-sakit akibat benturan senjata itu.

“Pengemis tua, jangan kau memaki sembarangan!” Hap Tojin juga sudah marah karena pengemis itu mulai mendamprat. “Memang di dalam peti mati itu mayat Ban Kim Cinjin, siapa yang pernah menyangkal itu? Akan tetapi matinya bukan karena kami orang-orang Cin-ling-pai. Kalau kami bermusuh kepadanya dan membunuhnya, masa kami sudi bersusah payah mengurus penguburannya dan menyembayanginya?”

Ucapan ini masuk akal dan agak menyabarkan hati Tok-gan Sin-kai. Ia lalu melangkah maju menghampiri mayat di dalam peti itu. Biarpun Ban Kim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang memiliki kedudukan tinggi juga di antara para pembantu pemerintah Ceng, namun karena bukan seorang tokoh partainya, pengemis mata satu ini juga tidak banyak menaruh hormat. Dengan sembarangan saja ia memeriksa tubuh Ban Kim Cinjin, membuka bajunya dan melihat di bagian dada itu biru-biru menghitam, tanda bahwa matinya terkena pukulan hebat.

“Cin-ling Sam-eng, apa kau mau bilang bahwa orang ini mati sendiri tanpa sebab?” ia mengejek sambil mundur lagi dua langkah.

“Tok-gan Sin-kai, dia mati dipukul orang. Cuma saja, siapa orangnya, itu kami masih sedang menyelidiki.”

“Hemm, omongan bayi! Dia adalah utusan pemerintah dan datang ke sini untuk memenuhi tugas. Tahu-tahu dia mati di sini, di antara para tosu Cin-ling-pai dan kau mau bilang bahwa kau tidak tahu siapa yang memukulnya sampai mati?” Dua orang pengemis yang lain mengeluarkan suara ejekan, dan gadis manis itu, yang tadi disebut Thio-Siocia (nona Thio) puteri Thio-ciangkun, berkata dengan nyaring dan keren.

“Tosu-tosu Cin-ling-pai kalau sudah membunuh, berlakulah sebagai orang gagah! Sudah berani membunuh mengapa takut mengaku dan menjelaskan sebab-sebabnya? Kami melihat sendiri tadi Cinjin bertempur dikeroyok beberapa orang tosu.”

“Cin-ling-pai tidak mempunyai anggauta pengecut tukang bohong. Kami selalu menjaga diri dengan pedang, tak pernah menggunakan pukulan curang. Andaikata Ban Kim Cinjin mati ditangan kami, tentulah matinya tertusuk pedang, Kami tahu Ban Kim Cinjin dibunuh orang akan tetapi belum tahu siapa pembunuhnya. Kalau kalian pecaya kepada kami, boleh kalian membawa pergi mayat Ban Kim Cinjin dan pergi dari sini dengan baik-baik. Kalau tidak percaya, terserah hendak berbuat apa. Aku Hap Tojin mewakili Cin-ling-pai sudah habis bicara!” Ia lalu berdiri dengan pedang melintang di dada akan tetapi menjura dengan hormat, ini tandanya ia menghormati para tamu akan tetapi tidak mau mengalah atau tunduk begitu saja.

“Bagus! Memang sudah lama aku mendengar nama besar Cin-ling Sam-eng yang tersohor gagah dan angkuh. Hendak kulihat sampai di mana kehebatannya!” Sambil berkata demikian, Tok-gan Sin-kai lompat menyerang Hap Tojin.

“Pengemis buta jangan main gila di Cin-ling-san!” seru Hap Tojin sambil memutar pedangnya menangkis. Di saat itu, berkelebat dua bayangan yang cepat mengurung pengemis mata satu itu, ternyata Hee Tojin dan Tee Tojin sudah maju membantu saudaranya itu.

“Tahan dulu, harap jangan menurutkan nafsu marah. Urusan ini baik dirundingkan secara damai!” Yang bicara adalah It Cin Cu yang bersama Ji Cin Cu semenjak tadi hanya duduk diam mendengarkan saja.

Mendengar seruan suheng mereka, Cin-ling Sam-eng melompat mundur menahan senjata dan berdiri memandang kepada Tok-gan Sin-kai dengan mata melotot. Adapun Tok-gan Sin-kai ketika mendengar suara yang berpengaruh inipun tidak berani sembarangan turun tangan, lalu berdiri menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang sudah melangkah maju dengan tenang.

It Cin Cu menjura kepada pengemis mata satu itu, lalu berkata, suaranya tenang. “Tok-gan Sin-kai lo-sicu harap maafkan sute-sute kami yang berdarah panas. Biasanya, urusan mengenai Cin-ling-pai memang sudah kami serahkan kepada ketiga orang sute kami ini, akan tetapi mengingat bahwa urusan kali ini bukan kecil dan amat pentingnya, terpaksa pinto berdua ikut-ikut.”

Tok-gan Sin-kai balas menjura. Kalau dua orang ini adalah suheng-suheng (kakak-kakak seperguruan) Cin-ling Sam-eng, maka mereka ini bukanlah orang sembarangan. “Ucapan totiang lebih menarik hati, memang bukan maksud kami datang ke Cin-ling-san untuk berkelahi. Tidak tahu siapakah totiang dan ada petunjuk apakah?”

“Sam-wi losicu dan nona jauh-jauh datang dan kami tidak dapat menyambut secara sewajarnya, harap banyak maaf. Seperti cu-wi (tuan sekalian) melihatnya, kami sedang menjalankan upacara sembahyang dan memang pada kematian Ban Kim Cinjin ini terselip hal-hal yang amat aneh. Bukan bohong ketika para sute tadi mengatakan bahwa kami sendiri merasa berhadapan dengan teka-teki sulit dan masih meraba-raba dan menduga-duga siapa sebenarnya pembunuh Ban Kim Cinjin.” Kemudian dengan suara tenang dan sabar It Cin Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi di Cin-ling-san. Sebagai penutup ceritanya ia berkata,

“Untuk penyelidikan, kami sengaja menahan bocah she Cia itu dan mengurungnya di Can-tee-gak.”

Mendengar ini, nona cantik yang tadi diperkenalkan sebagai Thio-Siocia puteri dari Thio-ciangkun (perwira Thio) melompat dan sekali tangannya menyambar, ia telah menangkap seorang tosu terdekat. Tosu itu mencoba untuk menangkis, akan tetapi sekali totok tubuhnya lumpuh dan leher bajunya sudah dicengkeram oleh nona yang gagah ini!

“Ayoh, antar aku ke Can-tee-gak!”

It Cin Cu tersenyum kecil dan Ji Cin Cu tertawa lebar. “Hayaa, sute, kau benar-benar sial!” katanya kepada tosu yang ditangkap oleh nona Thio yang sebenarnya bernama Thio Li Hoa. Nona ini adalah murid terkasih dari ketua Coa-tung Kai-pang (perkumpulan pengemis tongkat ular) dan selain mewarisi ilmu silat ketua Coa-tung Kai-pang, iapun sudah mewarisi kepandaian tunggal ayahnya, Thio-ciangkun. Maka biarpun tiga orang pengemis tongkat ular adalah terhitung suheng-suhengnya, namun dalam ilmu silat, kiranya dia tidak akan kalah oleh mereka.

It Cin Cu memandang kepada Thio Li Hoa dengan mata tajam. “Nona Thio, kau sungguh tidak memandang kami. Setelah kami berterus terang, mengapa menggunakan kekerasan? Tanpa mengeluarkan kepandaianmu, kami tentu bersedia mengantarmu membuktikan kebenaran ceritaku tadi.”

Mendengar ini, Li Hoa menjadi merah mukanya, akan tetapi dasar ia keras hati, ia hanya mendengus dan melepaskan cekalannya. Tosu itu ketika dilepaskan, lalu roboh terkulai dengan lemas. Ji Cin Cu mendekati dan sekali menepuk, tosu itu sudah sembuh kembali. Melihat ini, diam-diam Li Hoa memuji. Tak disangkanya, tosu gemuk pendek yang selalu tertawa itu demikian lihainya.

“Nona Thio, ketahuilah. Can-tee-gak berada di sebelah belakang puncak ini. Kau jalan dari sini ke belakang sampai dua li, membelok ke kiri setengah li dan tibalah kau di jurang Can-tee-gak. Dengan kepandaianmu, kau tentu akan dapat menuruni jurang itu dan memeriksa bocah she Cia yang menjadi tangkapan kami itu. Nah, tanpa diantarpun tentu nona tidak takut pergi seorang diri, bukan?” Ucapan Ji Cin Cu yang disertai suara ketawa ini memang dia sengaja. Tadi tosu itu diam-diam merasa mendongkol melihat kekasaran nona ini yang menghina seorang sutenya, maka ia sekarang sengaja memanaskan hati untuk membalas biar nona itu pergi sendiri mencari Cia Han Sin di tempat tahanannya. Ia tahu bahwa tidak mudah menuruni Can-tee-gak, maka sengaja ia berkata bahwa tentu nona itu tidak takut.

Memang Li Hoa berwatak keras. Mana dia kenal takut? Apalagi setelah orang berkata demikian tentu saja ia malu kalau tidak berani pergi sendiri. Ia tersenyum mengejek, tubuhnya berkelebat dan terdengar suaranya. “Kau lihat saja apakah aku tidak dapat menyeretnya ke sini!”

“Sumoi, biar aku menemanimu,” kata seorang pengemis sambil menggerakkan kaki hendak mengejar. Namun bayangan gadis itu yang sudah tidak kelihatan lagi menjawab dari jauh. “Tidak usah, suheng, jangan bikin aku ditertawai orang!” Pengemis itu menggeleng kepala, menarik napas panjang lalu memandang kepada Ji Cin Cu dengan mata melotot.

“Ha ha ha ha!” Ji Cin Cu yang dipelototi tertawa bergelak. “Nona itu jauh lebih berani dari suheng-suhengnya. Kagum, kagum …..!”

It Cin Cu lalu mempersilakan tamu-tamunya mengambil tempat duduk dan dia lalu melanjutkan upacara sembahyang yang tadi tertunda. Peti mati ditutup lagi dan upacara dilanjutkan dengan penuh khidmat sehingga tiga orang pengemis tua itu merasa tidak enak untuk mengganggu. Namun diam-diam mereka tidak bisa duduk diam dan hati mereka kebat-kebit kalau mengingat sumoi mereka yang pergi seorang diri hendak mengambil tawanan yang akan mereka paksa untuk mengaku siapa adanya pembunuh Ban Kim Cinjin.

Setelah upacara sembahyang selesai, It Cin Cu lalu minta kepada Tok-gan Sin-kai untuk menceritakan apakah sebetulnya tugas mereka dan usul apa gerangan yang diajukan oleh pemerintah Ceng kepada Cin-ling-pai. Dengan suara tinggi dan memperlihatkan sikap bangga sebagai utusan pemerintah Ceng, Tok-gan Sin-kaiyang kini setelah Ban Kim Cinjin tewas boleh dibilang menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin rombongan, lalu berkata,

“Karena ternyata bahwa pemerintah baru telah diperkenankan oleh Thian (Tuhan) memimpin rakyat, sudah sepatutnya kalau para orang gagah membantu pemerintah baru ini mengenyahkan segala kekacauan dan membantu penertiban di kalangan rakyat. Ada beberapa gelintir manusia tak tahu diri coba memberontak dan membangkang, aahh, tak lama lagi tentu mereka ini akan digilas hancur. Cin-ling-pai selama ini tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan pemerintah baru, hal ini amat menggirangkan hati Thio-ciangkun yang bertugas menertibkan para perkumpulan orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, totiang, sikap diam tidak bermusuhan saja masih belum sempurna. Untuk mempererat hubungan dan kerja sama demi kepentingan rakyat jelata, sudah sepatutnya kalau Cin-ling-pai menggunakan kekuasaan dan nama besarnya untuk membantu usaha pemerintah. Dan adalah harapan besar dari Thio-ciangkun agar Cin-ling-pai suka mencari surat wasiat Lie Cu Seng yang lenyap di tangan mendiang Cia Sun si pemberontak di Min-san.”

Tok-gan Sin-kai berhenti bicara dan matanya yang tinggal satu itu memandang wajah It Cin Cu dan Ji Cin Cu bergantian dengan sinar mata penuh selidik dan tajam. Namun wajah It Cin Cu yang keren itu tidak memperlihatkan bayangan isi hatinya, tetap keren dan tenang, sedangkan wajah Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tetap tersenyum-senyum seperti orang kegirangan, tidak ada perubahan apa-apa. Padahal dibalik “kedok” muka ini, di dalam dada dua orang tosu Cin-ling-pai ini timbul gelombang hebat mendengar ucapan Tok-gan Sin-kai.

Mereka tahu bahwa dengan cara licin memutar, pemerintah Ceng telah minta bukti dari Cin-ling-pai bahwa perkumpulan ini tidak menentang pemerintah Ceng dan suka melakukan perintahnya. Kalau memang pemerintah baru ini menghendaki surat wasiat itu, mengapa harus minta bantuan Cin-ling-pai dan tidak mengerahkan kaki tangannya sendiri yang banyak dan lihai-lihai? Akan tetapi It Cin Cu yang berwatak jujur, tidak sanggup menjawab dan diam saja. Sebaliknya, Ji Cin Cu yang selalu tertawa itu ternyata memiliki otak yang lebih cerdik. Sambil tertawa-tawa ia mengutarakan isi hatinya ini dengan cara memutar pula.

“Lo-sicu, kami dari Cin-ling-pai memang tidak mempunyai maksud bermusuh dengan siapapun juga, apa lagi dengan pemerintah yang berkuasa. Juga orang-orang bodoh seperti kami, yang setiap hari hanya menyucikan diri dan sedapat mungkin menjauhi urusan dunia, mana ada kesanggupan dan kemampuan untuk mencari surat wasiat yang demikian pentingnya? Kalau lo-sicu sudah tahu bahwa surat wasiat itu berada di tangan Cia-enghiong di Min-san, bukankah kau orang tua tinggal datang ke sana dan mengambilnya saja?”

Nama besar Cia Sun sebagai keturunan pahlawan dan juga sebagai seorang pendekar besar, biarpun kepandaiannya belum begitu hebat, sudah terkenal di seluruh dunia dan mendapat penghormatan besar dari pada para ciang-bun-jin (ketua) partai dan orang-orang gagah. Maka Ji Cin Cu juga menyebutnya Cia-enghiong (pendekar Cia), tidak seperti Tok-gan Sin-kai yang menyebut si pemberontak tadi.

Tok-gan Sin-kai tersenyum pahit dan menjawab, “Tidak semudah itu, Ji Cin Cu totiang! Memang kami sudah menyelidik ke Min-san, akan tetapi puncak itu kosong dan kabarnya dua orang anak keturunan Cia Sun sudah turun gunung. Tentu surat wasiat itu mereka bawa pergi.”

Tiba-tiba hati It Cin Cu dan Ji Cin Cu berdebar, akan tetapi dua orang tosu yang sudah tinggi kepandaiannya ini dapat menekan perasaan mereka dan wajah mereka tidak berubah sama sekali. Akan tetapi dari pandang mereka masing-masing tahu apa yang terkandung di hati mereka.

Bocah yang aneh itu she Cia dan datang bersama seorang adik perempuannya, apakah tidak mungkin mereka itu anak-anak dari pendekar Cia Sun? Kalau benar demikian halnya, mereka sebagai orang-orang gagah yang amat mengagumi Cia Hui Gan dan Cia Sun, tentu saja tidak akan membiarkan pemuda itu terjatuh ke dalam tangan kaki tangan pemerintah Ceng! Karena pikiran ini, mereka lalu bersikap tenang dan diam, namun berjanji dalam hati untuk melindungi pemuda itu kalau benar dia keturunan Cia Hui Gan dan Cia Sun.

****

Dengan amat nyaman Han Sin yang di”hukum” di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka) bukannya mengeluh dan berkuatir, malah tidur nyenyak sekali. Tempat itu yang diapit batu karang tinggi merupakan terowongan untuk angin gunung maka tubuhnya serasa dikipasi dan sejuk sekali. Setelah kenyang tidur, tiba-tiba ia bangun ketika telinganya mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara cecowetan.

“Siauw-ong, kau di mana?” tegurnya. Tak salah lagi, itulah suara monyetnya. Akan tetapi ia tidak melihat monyet itu dan suara monyetnya terdengar dari atas. Tahulah ia bahwa tentu Siauw-ong berada di atas jurang. Tiba-tiba ia menjadi gelisah. Kalau Siauw-ong muncul, tentu muncul pula Bi Eng. Bukankah monyet itu tadi pergi mengikuti adiknya? Dan kalau Bi Eng kembali, tentu adiknya yang berwatak keras dan berani itu akan bentrok dengan para tosu Cin-ling-pai.

“Siauw-ong! Eng-moi! Kalian pergilah dari sini, biar nanti aku menyusul!” serunya ke atas. Akan tetapi tidak terdengar jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Malah suara Siauw-ong tidak terdengar lagi. Ia menarik napas lega. Mudah-mudahan mereka mau menuruti permintaanku dan melarikan diri, pikirnya.

Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika ia tadi tertidur, seorang gadis yang cantik telah menuruni jurang itu melalui seutas tambang. Dengan gerakan lincah melebihi seekor kera gadis itu, Thio Li Hoa, telah menuruni Can-tee-gak untuk melihat sendiri kebenaran cerita tosu-tosu Cin-ling-pai tentang seorang pemuda she Cia yang sudah membunuh Ban Kim Cinjin. Gadis ini memang cerdik sekali, melebihi para suhengnya, maka begitu mendengar seorang pemuda bershe Cia, timbul kecurigaannya.

Tidak semata-mata ia hendak menyelidiki kebenaran cerita para tosu itu, melainkan ia menaruh dugaan bahwa mungkin sekali pemuda dan adik perempuannya itu adalah keturunan Cia Sun yang sudah turun gunung. Cia Sun seorang pendekar besar, tidak aneh apabila mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi. Kalau ia dapat menemui pemuda itu dan mendahului orang lain merampas surat wasiat Lie Cu Seng, bukankah ini baik sekali? Seluruh orang pandai di dunia kang-ouw mengilar untuk mendapatkan surat wasiat itu, apa lagi dia! Terpincuk oleh harta terpendam? Cih, siapa memikirkan harta terpendam?

Sesungguhnya, bukan harta terpendam, melainkan kitab rahasia yang hebat, kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Itulah kitab pelajaran peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling dirahasiakan, yang kabarnya terjatuh ke dalam tangan Lie Cu Seng namun belum ada seorangpun manusia sempat mempelajari isinya.

Kitab yang tiada bandingannya di dunia lebih berharga dari pada harta dunia yang paling mahal, yang dibuat rindu oleh semua tokoh kang-ouw! Inilah yang membuat gadis cerdik ini tergesa-gesa mencari Cia Han Sin karena ia menduga bahwa pemuda ini tentulah putera Cia Sun dan membawa surat wasiat.

Ketika Li Hoa berhasil menuruni dasar jurang Can-tee-gak, ia melihat seorang pemuda sedang tidur pulas dengan duduk bersandar pada batu karang. Hatinya terkesiap dan jantungnya berdebar ketika ia melihat Han Sin. Tak disangkanya ia akan menjumpai seorang pemuda setampan ini dan segagah ini. Dalam tidur, biarpun dalam keadaan terbelenggu dan berada di dasar jurang dalam, bibirnya masih tersenyum dan pada wajah yang amat tampan itu seujung rambutpun tidak kelihatan tanda gelisah atau ketakutan.

Melihat wajah pemuda ini, diam-diam Li Hoa merasa denyut jantungnya menjadi cepat sekali dan kedua pipinya menjadi panas. Aneh, mengapa aku menjadi begini? Demikian pikir gadis itu dengan heran. Ketika itu, Han Sin menggerakkan sebelah kakinya dan cepat ringan bagaikan seekor burung walet, gadis itu sudah melompat dan menyelinap bersembunyi ke balik sebuah batu disebelah kanan pemuda itu. Ia mengintai dari tempat sembunyinya dan diapun mendengar suara cecowetan seekor monyet dari atas jurang.

Ketika pemuda itu memanggil-manggil nama monyet itu dan nama adik perempuannya, hati Li Hoa girang bukan main. Ketika ayahnya menyuruh orang menyelidik ke Min-san, diapun mendengarkan laporan penyelidik-penyelidik itu bahwa Min-san sudah ditinggal pergi oleh putera dan puteri Cia Sun yang turun gunung membawa seekor monyet. Tak salah lagi, inilah putera Cia Sun dan tentu dia inilah yang membawa pergi surat wasiat itu! Aku harus cepat turun tangan, jangan sampai didahului oleh para tosu Cin-ling-pai, pikirnya, Maka keluarlah ia dari tempat persembunyiannya.

Akan tetapi pada saat itu, Han Sin berseru girang dan dari atas meluncur turun bayangan hitam kecil yang merosot dengan amat cepatnya. Li Hoa kaget sekali. Dia sendiri tidak akan dapat meluncur turun melalui tambang secepat itu. Kalau lawan yang datang ini, tentu hebat kepandaiannya. Akan tetapi setelah dekat, ternyata yang meluncur itu adalah seekor monyet yang kecil yang kini sudah tergantung-gantung di atas kepala Han Sin.

“Siauw-ong, kau turun juga? Mana nonamu?” tegur Han Sin yang masih belum melihat bahwa kini Li Hoa sudah berdiri di belakang batu.

Siauw-ong lebih awas. Monyet ini mengeluarkan bunyi nyaring dan cepat meloncat turun, lalu membalikkan tubuh menghadapi Li Hoa dengan mulut meringis memperlihatkan taring-taringnya. Baru sekarang Han Sin menengok dan ia kaget bukan main. Matanya melongo memandang wajah gadis yang cantik bukan main ini. Bagaimana di tempat ini ada seorang gadis sedemikian cantik manisnya? Tentu seorang dewi dari kahyangan, pikirnya. Kalau manusia biasa, mana bisa seorang gadis selemah itu menuruni tempat ini?

“Siauw-ong, mundur kau! Jangan kurang ajar!” bentaknya keras melihat sikap Siauw-ong hendak menyerang nona itu. Siauw-ong tidak berani membantah perintah tuannya, lalu melompat mundur dan duduk di atas pundak Han Sin, mengeluarkan bunyi sedih melihat tubuh pemuda itu dibalut rantai-rantai besi yang amat besar dan kuat.

Li Hoa melangkah maju dan Han Sin segera mencium bau harum yang keluar dari pakaian gadis itu yang indah dan mewah. Melihat dandanan dan sanggul yang indah luar biasa itu, Han Sin tidak sangsi lagi bahwa ini tentulah seorang dewi. Ia seringkali membaca dongeng-dongeng tentang dewi dan dewa, maka cepat ia berlutut, dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil berkata.

“Hamba Cia Han Sin yang penuh dosa mohon ampun bahwa hamba tidak dapat menyambut kedatangan dewi yang bijaksana!”

Ia mengira akan mendengar jawaban yang merdu dan berpengaruh seperti layaknya suara seorang dewi, akan tetapi alangkah herannya ketika ia sebaliknya mendengar suara ketawa kecil cekikikan karena geli hati. Celaka, pikirnya, teringat akan dongeng-dongeng dalam buku-bukunya, kalau dewi tidak pernah tertawa seperti ini, kecuali siluman! Dia siluman …..!

Ia memberanikan hati dan mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat gadis itu tertawa lagi, melainkan melihat wajah yang keren, cantik sekali, dan agung. Memang watak Li Hoa tidak periang dan gadis ini keras hati serta angkuh. Tapi melihat sikap Han Sin tadi, ia tidak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawa. Baiknya ia cepat dapat menguasai hatinya lagi sehingga ketika pemuda itu mengangkat muka, ia sudah dapat menggigit bibirnya dan memandang tajam dengan muka merah.

“Tak usah main gila, aku bukan dewi segala macam!” bentaknya ketus.

“… kau bukan …. bukan …..” kata Han Sin gagap karena masih bingung oleh jalan pikirannya sendiri tadi.

“Bukan apa?” bentak Li Hoa lebih ketus lagi.

Han Sin tak dapat menjawab. Tak mungkin ia melanjutkan kata-katanya yang kurang kata-kata “siluman betina” tadi. Ia hanya menjawab, “Aku tidak menyangka di tempat ini dapat bertemu dengan nona, maka aku menjadi kaget dan bingung. Harap nona suka memaafkan sikapku tadi,” katanya dan mukanya menjadi merah saking jengah mengingat sikapnya tadi.

Gadis itu mendengus kecil lalu duduk di atas sebuah batu di depan Han Sin. Mata yang jeli itu memandang penuh selidik, dan ia berhasil menyembunyikan kekagumannya melihat potongan tubuh dan wajah pemuda itu.

“Aku turun ke sini untuk memeriksamu. Siapa namamu?”

Sampai lama Han Sin tidak dapat menjawab. Ia terheran-heran. Yang menangkapnya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai dan tadi ia hanya melihat banyak sekali tosu-tosu tua muda, tidak seorangpun ada wanitanya. Bagaimana sekarang tahu-tahu muncul seorang gadis secantik bidadari datang untuk memeriksa perkaranya? Saking tercengang dan heran, ia sampai tidak mendengar pertanyaan tadi.

“Hei! Siapa namamu?” Li Hoa mengulang.

Han Sin sampai menjumbul (tersentak), tapi dengan senyum tenang ia menatap wajah penanyanya. “Ah, sampai kaget aku. Kenapa sih nona yang belum mengenal aku sudah membentak-bentak seperti orang marah? Apakah ada sesuatu yang menjengkelkan hatimu, nona?” Han Sin memang berhati mulia dan halus. Melihat orang marah-marah itu ia salah duga dan mengira nona ini sedang mengandung kejengkelan, maka ia berusaha menghibur malah.

“Jangan banyak cerewet. Jawab, siapa namamu?” Li Hoa membentak, makin keras karena marah dan mengira Han Sin mempermainkannya.

Han Sin menarik napas panjang. “Kasihan, semuda ini sudah banyak mengalami kejengkelan hati. Bisa lekas tua …..”

“Plak! Plak!” Dua tamparan tangan Li Hoa jatuh di pipi kanan kirinya. Di pipi yang putih itu tampak membekas merah lima jari tangan Li Hoa. Tentu pedas dan sakit rasanya, akan tetapi Han Sin hanya tersenyum saja. Dia seorang pemuda yang berani, tenang dan kuat menderita.

“Terima kasih, nona,” katanya dengan senyum dikulum.

Tak kuat Li Hoa menghadapi senyum itu, apalagi pancaran sinar mata yang tajam luar biasa dari pemuda aneh ini, jantungnya berdenyut dan pipinya menjadi merah, lebih merah dari pipi Han Sin yang sudah mulai menghilang tapak jarinya.

“Habis kau …. kau kurang ajar sih ….” katanya perlahan seperti pernyataan menyesal bahwa ia sudah memukul orang yang begini halus.

Han Sin mengangkat alisnya. “Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Baiklah, kujawab pertanyaanmu tadi. Namaku Cia Han Sin, dan kau siapa, nona?”

“Kau putera Cia Sun?” tanya lagi Li Hoa tanpa menjawab pertanyaan orang.

“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apa kau kenal orang tuaku? Sayang ayah sudah meninggal, kalau belum aku dapat menanyakan namamu kepadanya.”

Li Hoa tidak memperdulikan ucapan orang, hatinya terlampau girang mendapat kenyataan bahwa dugaannya tadi benar. Nafsunya untuk mendapatkan surat wasiat tak dapat ditahannya lagi. “Orang she Cia, kau tentu membawa surat wasiat Lie Cu Seng, betul tidak?” Suaranya sampai menggetar saking tegang hatinya.

Han Sin bukannya tidak tahu bahwa orang-orang kang-ouw menghendaki surat wasiat itu dan iapun mengerti bahwa dia harus merahasiakannya. Akan tetapi melihat seorang gadis cantik dan muda seperti gadis ini juga ikut memperebutkannya, ia menjadi penasaran. Ia tertawa masam dan menjawab, “Eh nona! Kenapa kau tahu segala? Tahu ayahku, tahu tentang surat wasiat segala. Benar-benar kau hebat, siapa sih kau?”

“Namaku Li Hoa, she Thio. Cia Han Sin, tahukah kau bahwa jiwamu terancam karena kau membawa-bawa surat wasiat itu? Semua orang jahat di dunia menghendakinya. Kaupun dikurung di sini karena kau menyimpan surat itu. Kau berikanlah kepadaku dan aku akan bantu kau melarikan diri dari tempat ini.” Tiba-tiba sikap Li Hoa menjadi manis sekali, ramah dan kerling matanya memikat.

Kini Han Sin tertawa sungguh-sungguh. Ha ha ha, begini baru manis kau, Li Hoa. Orang secantik engkau memang seharusnya ramah tamah, baru patut. Akan tetapi kau tadi bilang bahwa orang-orang jahat di dunia menghendaki surat itu, kurasa kau keliru. Bukan hanya orang-orang jahat, malah orang-orang baik dan cantik seperti engkau sekalipun menghendakinya!”

WAJAH Li Hoa menjadi merah akan tetapi ia tersenyum. Dia dipuji-puji orang, tentu saja hatinya senang, biarpun dia seorang gadis yang keras hati. “Aku tidak menghendaki harta benda, aku hanya ingin menolongmu supaya kau terhindar dari gangguan orang jahat.”

“Eh, kenapa kau begini baik hati? Kita baru saja bertemu,” kata Han Sin sambil tertawa, pandang matanya tidak percaya dan curiga.

“Sudahlah, kau dibaiki orang tidak mengerti. Kelak kuceritakan semua. Sekarang lebih baik kuambil dulu surat itu darimu.” Setelah berkata demikian, tangan Li Hoa digerakkan dan menggeledahi pakaian di tubuh Han Sin. Sepuluh buah jari tangan yang runcing halus dan kecil-kecil itu seperti sepuluh ekor ular menggelitik tubuh Han Sin. Pemuda ini tidak tahan lagi dan tertawa terkekeh-kekeh. “Ha ha hi hi, ah gelinya. Aduhh …. aduh geli, jangan kau kitik-kitik aku, nona …..!”

Li Hoa makin jengah dan segera menghentikan geledahnya. Ternyata dia tidak mendapatkan surat itu biarpun kedua tangannya sudah menggeledah ke sana-sini hingga menyentuh tubuh pemuda itu. Memikirkan perbuatannya tadi, diam-diam ia merasa lucu dan malu, juga jantungnya berdebar makin keras. Selama hidupnya belum pernah jari-jari tangannya menyentuh kulit tubuh seorang pemuda seperti ini.

“Kau tidak mau memberikan, sih. Awas, akan kukitik-kitik lagi kau sampai tidak kuat dan mati kaku kalau kau tidak memberitahu kepadaku di mana kau simpan surat wasiat itu.”

Han Sin menahan tawanya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Nona …..eh, Li Hoa, kau anak baik, kalau adikku melihatmu tentu dia senang. Sayang kita berkenalan dalam keadaan seperti ini. Dengarlah, surat yang kau maksudkan itu tidak mungkin kuberikan kepada lain orang, karena memang menjadi hak milikku sebagai warisan ayah. Selain itu, kuberitahukan juga kepadamu, tak mungkin kau bisa mengambilnya.”

“Masa? Coba kau beritahukan di mana. Aku pasti dapat mengambilnya. Kau kira aku begitu bodoh dan lemah?” tantang Li Hoa, hatinya girang sekali. Kiranya pemuda ini seorang yang tolol, pikirnya. Tampan dan kelihatan cerdik pandai, akan tetapi sesungguhnya tolol dan lemah. Maka ia memperlihatkan sikap seramah itu, sungguh berlawanan dengan tabiatnya yang biasanya keras dan kaku. Menghadapi seorang pemuda tolol harus menggunakan siasat halus, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Han Sin sama sekali tidak tolol, melainkan seorang yang amat jujur dan terlalu percaya kepada orang karena bagi dia yang selalu hidup dalam kitab-kitab sucinya, manusia di dunia ini kesemuanya baik-baik belaka, malah ia belum begitu percaya ada orang bisa berhati jahat!

Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak. “Tidak …. tidak …. kau takkan berani mengambilnya, Ha ha ha!”

“Aku tidak berani? Asal tidak di neraka, aku akan menempuh api menyeberang laut, aku akan berani mengambilnya,” jawab Li Hoa agak mendongkol. Dia gadis paling berani di dunia ini menurut pendapatnya, masa pemuda ini bilang dia takkan berani?

“Aku tidak bisa memberitahukan, aku …. aku … ah, memalukan!”

Gadis itu melengak. Apakah pemuda ini sudah miring otaknya. Ia mendongkol dan merasa dipermainkan, akan tetapi ia masih ragu-ragu dan memaksa diri berlaku manis. “Han Sin yang baik, kau beritahukanlah, aku pasti akan berani mengambilnya. Ini demi kebaikanmu sendiri, tahu? Kalau harta benda itu terjatuh ke dalam tanganku, aku Thio Li Hoa bersumpah akan menyerahkan semua harta itu ke tanganmu. Aku sudah cukup kaya, aku tidak butuh lagi harta dunia.”

Han Sin memandangnya. “Li Hoa, aku tahu kau anak baik. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi sudah kukatakan, surat itu warisan ayah, tak boleh diberikan kepada orang lain. Selain itu, juga …. juga takkan dapat kau mengambilnya, karena kusimpan …. kusimpan ….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar