Kamis, 05 Agustus 2010

Istana Yang Suram (Jilid 1)


Ketika matahari terbenam dibalik ujung bukit disebelah barat, beberapa ekor kelelawar bangkit dari persembunyiannya diatap sebuah istana kecil yang sudah tua, beterbangan menyusuri gelapnya malam.

Sebuah lampu yang suram menyala dipendapa yang terbuka, terguncang oleh angin yang lemah.

Istana itu kian hari kian bertambah sepi. Halamannya masih tetap bersih seperti saat-saat lampau, tetapi tidak seorangpun yang pernah menjamah kerusakan yang terjadi pada bagian atap rumah itu. Didalam istana itu sama sekali tidak terdapat seorang laki-lakipun yang tinggal.

Mula-mula angin kencang telah menggeser bagian atap istana itu. Hanya sedikit sekali, tetapi ketika hujan turun, maka beberapa titik air menyusup lewat lubang atap yang tergeser itu, telah mengotori langit-langit. Semakin lama semakin banyak, bahkan kemudian lubang-lubang pada atap itupun bertambah-tambah.

Meskipun demikian, titik air hujan yang jatuh dilantai selalu ditampung dengan jambangan kecil, sehingga tidak merusakkan lantai dan mengalir kemana-mana, tidak membasahi perabot istana yang masih lengkap dan terpelihara.

Jika senja lewat, maka penghuni istana kecil itupun segera pergi kebilik masing-masing, seorang perempuan menjelang hari-hari tuanya, seorang gadis remaja yang menginjak masa dewasa. Sedang dibagian belakang istana itu tinggal seorang pelayan perempuan setua perempuan yang tinggal di istana kecil itu.

Demikianlah hari-hari yang lewat, tidak menumbuhkan banyak perubahan dalam tata kehidupan istana kecil yang terpencil dikaki bukit yang gersang. Meskipun dihalaman istana kecil itu nampak tumbuh-tumbuhan yang berwarna hijau.

Beberapa orang peronda dari pedukuhan kecil yang terletak beberapa puluh tonggak saja dari istana itu, selalu meronda berkeliling istana kecil itu. Seolah-olah mereka merasa wajib untuk ikut menjaga ketenangannya, meskipun hubungan antara padukuhan kecil itu sudah hampir terputus sama sekali dengan istana terpencil itu.

…..Namun setiap kali, perempuan tua penghuni itupun pergi juga ke padukuhan kecil itu, untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari.

Kehadiran perempuan penghuni istana kecil itu selalu disambut dengan ramah dan dan dengan hati terbuka oleh penghuni padukuhan kecil itu. Mereka memberikan apa saja yang diperlukan oleh perempuan tua itu. Jika perempuan tua itu bertanya tentang harga barang-barang yang diperlukan, maka penghuni padukuhan kecil itu selalu menyebut kurang dari separuh harga yang sebenarnya.

Perempuan tua itupun mengerti, bahwa yang dibelinya itu harganya terlampau murah, tetapi ia tidak mempersoalkannya, apalagi uang yang ada padanyapun semakin lama semakin tipis. Bahkan sekali-kali ia terpaksa menjual barang-barangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seisi istana kecil itu.

Setiap orang yang tinggal di padukuhan kecil itupun mengetahui, apa yang pernah terjadi di istana itu. Sejak istana itu didirikan, sehingga istana itu menjadi sangat sepi seperti saat-saat terakhir.

Beberapa orang pernah memberanikan diri datang menghadap perempuan tua penghuni istana dan menawarkan diri untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada atap istana itu. Tetapi sambil tersenyum perempuan tua itu menjawab “Terima kasih Ki Sanak, aku tidak akan pernah melupakan kebaikan hati kalian, tetapi biarlah, apabila aku memerlukan, aku akan katakana kepada kalian, agaknya sekarang aku belum berniat untuk memperbaiki atap rumahku yang rusak”

“Kami tidak memerlukan imbalan apapun” berkata salah seorang dari mereka yang datang menghadap perempuan tua itu, “kami akan melakukan semata-mata karena kami merasa berhutang budi kepada pangeran Kuda Narpada”

Perempuan tua itu tersenyum, senyum yang amat pahit, katanya “Terima kasih Ki Sanak, terima kasih, jika ada kebaikan hati Pangeran Kuda Narpada, lupakan sajalah. Itu sudah menjadi kewajibannya”

Dan orang-orang itupun kemudian meninggalkan istana itu dengan hati yang penuh dengan berbagai macam pertanyaan.

“Apakah artinya pengasingan diri itu?” kata salah satu orang dari mereka.

Yang lain menggelangkan kepalanya, tetapi seorang yang sudah ubanan menyahut, “Hati Raden Ayu Kuda Narpada tidak melihat lagi hari depan yang sebenarnya masih panjang, setidak-tidaknya bagi puterinya. Bukankan dengan sikapnya itu, ia telah mematahkan kuntum bunga yang hampir mekar?”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, seorang anak muda berkata “Gadis itu cantik sekali…”

“Jika gadis itu cantik sekali, apa maumu?”

“Tentu tidak apa-apa, aku hanya sekedar memuji, Raden Ajeng Inten Prawesti adalah gadis tidak ada duanya dimuka bumi”

“Bumi yang mana?” bertanya seorang kawannya, “Yang kau lihat tidak lebh jauh dari daerah pegunungan yang sempit ini”

“Jadi apakah masih ada daerah yang lebih luas dari daerah pegunungan ini?”

“Kau memang anak muda yang terkungkung oleh lingkunganmu, yang kau ketahui tidak lebih dari dinding-dinding pedukuhanmu”

Anak muda itu tersenyum, katanya “Baiklah, jika demikian, maka gadis itu adalah gadis yang paling cantik di didaerah ini”

Kawan-kawannyapun tersenyum pula, meskipun ada diantara mereka tersenyum masam, bahkan seoerang yang bertubuh gemuk berkata “Sudahlah, kehidupan yang suram di istana itu bukan sekedar bahan untuk berkelakar, kita sebenarnya merasa kasihan melihat cara hidup mereka yang tidak sewajarnya itu”

Yang lainpun terdiam, mereka tidak lagi membicarakan hal istana itu, tetapi angan-angan mereka berkecamuk mengulang masa-masa lampau.

Istana itu pernah menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya, terlebih-lebih penghuni padukuhan kecil pegunungan itu.

Terbayang kembali saat-saat istana itu bagaikan pelita yang menerangi daerah disekitarnya. Sesaat istana itu didirikan, maka mulailah nampak bahwa penghuni istana itu adalah orang-orang yang baik dan rendah diri, meskipun sebenarnya ia adalah soerang pangeran, Pangeran Kuda Narpada.

Pangeran Kuda Narpadalah yang yang memberikan beberapa petunjuk yang sangat berarti bagi padukuhan itu, bagaimana mereka bercocok tanam, Pangeran Kuda Narpadalah yang mengajak para penghuni padukuhan kecil itu membuat parit-parit yang akan dapat mengairi daerah mereka yang gersang. Bukan saja memberikan petunjuk dan perintah, tetapi Pangeran Kuda Narpada sendiri menyisingkan kain panjangnya, melepas bajunya dan turun ketanah berlumpur.

Orang bertubuh gemuk yang berjalan diantara beberapa orang kawannya itu menarik nafas dalam-dalam sehingga orang-orang yang berjalan disisinya berpaling kepadanya meskipun mereka tidak bertanya sesuatu.

Dalam pada itu, peristiwa itu seolah-olah membayang kembali dirongga mata orang bertubuh gemuk itu. Saat-saat penghuni istana itu dating untuk yang pertama kalinya dipadukuhannya, sebelum istana itu didirikan.

Kedatangan seorang Pangeran dan keluarganya di padukuhan terpencil itu sangat megejutkan penghuninya. Bahkan beberapa orang lari bersembunyi didalam rumahnya. Tetapi yang lain berkumpul di rumah Ki Buyut dengan senjata ditangan masing-masing.

“Jangan bingung” berkata Ki Buyut Karangmaja, “Aku akan menjumpainya dan bertanya apakah keperluannya datang ke padukuhan ini”

Ketika Ki Buyut menghadap Pangeran yang baru datang itu, nampaklah olehnya bahwa Pangeran dan keluarganya itu sedang dicengkam oleh kegelisahan, tetapi agaknya Pangeran itu menyadari bahwa ia berada didalam lingkungan yang berbeda dengan lingkungan yang ditinggalkannya.

Karena itu, kepada Ki Buyut Karangmaja yang nampak dengan jujur menyonsongnya, tanpa niat yang mencurigakan, Pangeran Kuda Narpada tidak menyembunyikan lagi maksud kedatangannya itu.

“Aku menghindarkan diri dari perang yang sedang berkecamuk di Majapahit” berkata Pangeran Kuda Narpada.

“Tetapi siapakah tuan?” bertanya Ki Buyut.

“Aku adalah Pangeran Kuda Narpada, adinda dari Maharaja di Majapahit”

“Apakah yang terjadi di Majapahit?”

“Perang, pasukan Harya Udara sudah menduduki pusat kerajaan beberapa saat yang lalu, Kakanda telah meninggalkan istana dengan beberapa pengiringnya. Pasukan bantuan yang diminta oleh kakanda dari ananda Raden Patah masih belum sampai ke pusat kerajaan ketika pasukan musuh sudah tidak tertahan lagi memasuki pusat pemerintahan”.

“Jadi pusat kerajaan Majapahit sudah direbut?”

“Ya, aku meninggalkan pusat pemerintahan yang terakhir, ketika pasukanku perah dan hampir tumpas. Aku tidak dapat mengingkari kenyataan dan mengorbankan jiwa tanpa arti lebih banyak lagi. Kerena itu, maka aku terpaksa menarik pasukanku yang tersisa, kemudian aku menyusul kakanda Prabu setelah mengambil keluargaku di pengungsian, menurut pendengaranku, kakanda Prabu pergi ke barat, kemudian menyusuri daerah pegunungan Seribu, tetapi aku tidak berhasil menemukannya”.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam.

“Aku mendengar berita terakhir, bahwa kakanda telah turun dari daerah pegunungan dan dan mendekati kedudukan ananda Raden Patah”

“Dan Pangeran akan menyusulnya juga?”

Pangeran Kuda Narpada menggeleng, katanya “Aku tidak akan menyusulnya, disini aku merasa seolah-olah aku berada ditempat yang paling damai, karena itu, apabila kedatanganku, dirasa tidak menggangu ketenangan padukuhan ini, aku akan tinggal di daerah ini”

Ki Buyut tidak dapat menolak meskipun ia sebenarnnya ia sebenarnya masih ragu-ragu, ia tidak sampai hati untuk mempersilahkan pangeran itu meninggalkan padukuhannya, setelah ia melihat seorang perempuan Raden Ayu Kuda Narpada yang pucat dan lemah, seorang gadis yang kurus dan bermata cekung, meskipun gadis itu adalah seorang yang cantik sekali.

“Tetapi apakah Pangeran akan dapat tinggal bersama kami orang-orang kasar yang tidak mengenal adat dan dungu”.

“Apakah bedanya?, kalian adalah orang-orang yang masih lebih beruntung daripadaku, aku sekarang lebih tidak berarti lagi daripada kalian, aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai apapun juga selain yang dapat kami bawa”.

Ki Buyut memandang tubuh-tubuh yang lemah dan pucat. Memang tidak ada yang mereka bawa selain sebungkus pakaian kusut, sedikit perhiasan yang nampak pada jari-jari Raden Ayu Kuda Narpada dan puterinya. Sekilas permata yang nampak dibalik kain Pangeran Kuda Narpada yang disingsingkan dibalik lambung, yang melekat pada timang ikat pinggang, kemudian sebilah keris dengan pendok mas dipinggang, selebihnya tidak ada apa-apa lagi.

Tetapi yang nampak itu seolah-olah telah meyakinkan kepada Ki Buyut Karangmaja bahwa yang dihadapannya itu benar-benar seorang pangeran. Dan ia mengaku bernama Kuda Narpada.

“Pangeran” berkata Ki Buyut kemudian, “Tentu kami tidak akan dapat menolak jika pangeran ingin tinggal bersama kami, tetapi kenapa pangeran tidak berusaha menyusul Prabu Majapahit?”.

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanaya “Jika aku hendak menyusul Kakanda Prabu, maka yang terkilas didalam angan-anganku hanyalah keselamatannya, bukan kepentinganku sendiri. Dan kini, menurut pendengaranku, kakanda telah mendekati tempat kedudukan ananda Adipati di Demak, maka aku tidak mencemaskannya lagi”.

“Tetapi pangeran sendiri?, apakah pangeran tidak ingin berada di Demak pula?”,

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanya “Aku tidak mengharapkan apa-apa lagi selain kedamaian hati. Aku tidak akan melibatkan diri lagi kedalam lingkungan yang riuh seperti Demak”.

Ki Buyut mengangguk-angguk, katanya “Pangeran, memang tidak ada yang lebih nikmat dari pada kedamaian hati, akhirnya setiap orang akan merindukan damai didalam dirinya sendiri. Apalagi apabila umur kita menjadi semakin tua, meskipun ada saja pengecualiannya pada satu dua orang” Ki Buyut itu berhenti sejenak “Tetapi pangeran. Dalam usia pangeran sekarang ini, apakah pangeran akan terhenti di padukuhan kecil dan terpencil diatas pegunungan seribu ini? Pangeran adalah kesatria, tugas pangeran adalah luas sekali dalam kehidupan yang terbentang didepan tatapan mata kita. Bukankah seorang ksatria menurut pendengaranku dituntut untuk memberikan dermanya bagi sesama? Melindungi yang lemah, menegakkan yang layu dan menuntun yang buta?”

“Apakah aku tidak dapat melakukannya disini?” jawab Pangeran itu “Jika ternyata bahwa disini akulah yang lemah, yang layu dan yang buta, maka adalah kewajiban kalian untuk memberikan derma ksatria”

“Kami adalah sudra”

Pangeran tersenyum, senyum yang sangat pahit. Kemudian katanya “Aku pernah mendengar diantara desir angin yang lembut, yang mengalir dari istana Kadipaten Demak. Apakah ada bedanya antara Sudra dan Ksatria?, yang Paria dan yang Brahmana? Tidak. Dihadapan Allah SWT, kami dan kalian, kita semua adalah hambanya yang terkasih, yang berbeda adalah tugas kita masing-masing, tugas ksatria berbeda dengan tugas Brahmana, berbeda dengan tugas orang-orang yang disebut sudra dan Waisa. Tetapi tidak ada bedanya bagi kita semuanya untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta, karena perbedaan yang ada semata-mata perbedaan duniawi, bukan perbedaan hakiki dari hamba-hamba Yang Maha Agung itu”.

Ki Buyut Karangmaja masih saja mengangguk-angguk, tetapi ia masih belum mengerti seluruhnya makna dari kata-kata Pangeran Kuda Narpada.

“Meskipun demikian Ki Buyut” berkata Pangeran Kuda Narpada “Semuanya terserah kepada Ki Buyut, jika Ki Buyut mempunyai pertimbangan lain, maka aku akan meneruskan perjalanan”.

“Tidak, tidak pangeran” Ki Buyut menyahut dengan serta merta “Kami memang dapat mencurigai setiap orang baru didaerah kami, tetapi terhadap pangeran yang datang bersama dengan keluarga, kami akan mencoba memberikan tempat yang ada pada kami”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian iapun berkata “Aku memang merasa bahwa kedatangan kami dapat menumbuhkan salah paham, keragu-raguan dan ketidak-pastian sikap, aku melihat Ki Buyut dengan ikhlas menemui kami. Tetapi kami juga mengetahui, bahwa ada diantara kalian yang menjadi curiga”

“Maafkan pangeran, kami memang sedang dipengaruhi oleh kecurigaan sejak saat-saat terakhir. Kami memang mendengar bahwa disebelah timur dari padukuhan ini, serombongan bangsawan sedang melintas. Agaknya merekalah yang pangeran maksudkan dengan Prabu Brawijaya dengan pengiringnya” Ki Buyut berhenti sejenak, kemudian “Namun setelah itu, kerusuhan sering terjadi. Beberapa orang yang mendapat hadiah pada saat iring-iringan itu lewat dam memberikan pelayanan seperlunya, telah didatangi oleh penjahat-penjahat yang merampok barang-barang itu. Tetapi agaknya yang mereka cari bukanlah semata-mata harta benda”

“Apakah yang mereka cari?”

“Kami juga tidak tahu pasti, merekapun tidak tahu pasti, Tetapi agaknya sejenis pusaka atau semacamnya….”

Wajah Pangeran Kuda Narpada menegang sejenak, namun kemudian wajahnya itu menjadi tenang kembali, seolah-olah tidak ada kesan apapun dari ceritera Ki Buyut itu.

“Mungkin karena kerusuhan-kerusuhan yang terjadi itulah maka kalian mencurigai setiap orang baru didaerah ini”

“Ya, Pangeran, tetapi justru karena pangeran datang bersama dengan Raden Ayu dan seorang puteri yang nampaknya sudah terlampau letih oleh perjalanan yang lama, maka kami seharusnya tidak mencurigai pangeran lagi”.

Demikianlah sejak saat itu, Pangeran Kuda Narpada berada di padukuhan Karangmaja. Sesuai dengan keinginannya sendiri, maka dengan bantuan penduduk Karangmaja, Pangeran Kuda Narpada membuat istana kecil di luar padukuhan Karangmaja, meskipun hanya berjarak beberapa tonggak saja. Sebuah jalur jalan sempit menghubungkan istana kecil itu dengan sebuah lorong padukuhan.

Istana kecil itu adalah Istana Pangeran Kuda Narpada, istana yang kemudian menjadi semakin sepi. Istana yang seakan-akan telah kehilangan rambatannya.

Pada masa-masa yang lewat, istana itu seolah-olah menjadi pusat perhatian setiap orang di Karangmaja. Ki Buyut sendiri sering berkunjung ke istana itu. Pendapanya yang mungil hampir setiap hari menjadi tempat berkumpul. Orang-orang tua maupun anak-anak muda. Meskipun istana itu adalah istana seorang Pangeran, tetapi rasa-rasanya tidak ada bedanya dengan rumah-rumah yang bertebaran dipadukuhan kecil. Pangeran Kuda Narpada dengan senang hati menerima mereka setiap saat dan berbicara dengan mereka tentang berbagai bermacam persoalan. Dari lingkungan permainan anak-anak kecil, anak-anak meningkat dewasa, sampai dengan kepada menggali parit dan membangun bendungan.

Hubungan antara orang-orang Karangmaja dan Pangeran Kuda Narpada menjadi semakin rapat. Ketika Pangeran Kuda Narpada menyatakan dirinya, tidak lagi mempergunakan sebutan kebangsawanannya.

“Panggil aku Ki Narpada” berkata Pangeran yang rendah hati itu.

Untuk beberapa lamanya orang-orang Karangmaja masih saja merasa segan, namun akhirnnya, lambat laun, sebagian kecil dari mereka berhasil juga membiasakan diri memanggil Ki Narpada.

Seperti juga orang-orang Karangmaja, Ki Narpada bekerja di sawah dan di ladang. Turut serta menggali parit seperti yang dianjurkannya sendiri. Membuat belumbang-belumbang untuk berternak ikan dan rumpon-rumpon di sungai. Menanam pohon buah-buahan dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Ternayata kehadiran Pangeran Kuda Narpada telah merubah tata kehidupan di Karangmaja. Mereka mulai mengenal cara menanam yang jauh lebih baik dari cara yang selama ini mereka pergunakan. Ki Narpada mulai menganjurkan agar orang-orang Karangmaja mempergunakan pupuk bagi tanah yang tandus.

“Apakah gunanya kotoran kandang ternak bagi tanaman?” bertanya Ki Buyut.

“Tanah yang setiap kali dihisap sari makanannya oleh pepohonan memerlukan sari makanan baru” jawab Ki Narpada. Dengan cara yang sederhana. Yang ternyata pada panen yang berikutnya memberikan pengaruh yang baik bagi hasil sawah mereka.

Dengan demikian maka Karangmaja rasa-rasanya menjadi semakin cerah, sawah-sawah yang kekuning-kuningan menjadi hijau dan pategalan yang kering dapat dibasahi oleh air yang mengalir lewat parit-parit dan bendungan yang mereka buat.

Tetapi mereka bulum berhasil mengatasi kegersangan tanah dilereng pebukitan.

“Kita akan menghijaukannya” berkata Ki Narpada.

“Bagaimana Mungkin?” bertanya orang-orang Karangmaja.

“Kita sebarkan biji metir. Jika pohon metir dapat tumbuh dengan baik, meskipun tidak terlampau subur, maka keadaan tanah yang membatu itu akan berubah. Kita dapat berharap beberapa tahun kemudian, sebagian dari tanah yang gersang itu akan dapat kita tanami dengan pepohonan yang sesuai”

Orang-orang Karangmaja tidak segera mengerti, apakah pengaruhnya batang-batang metir atas tanah yang membatu. Meskipun Ki Narpada memberikan sedikit penjelasan tentang sifat akar pohon metir, namun mereka masih juga ragu-ragu.

Tetapi kini sudah ternyata bagi mereka, bahwa lereng bukit-bukit yang tandus itu dapat juga ditumbuhi beberapa jenis pepohonan. Sementara itu pohon metir menjadi semakin rimbun, tumbuh dimana-mana, yang seakan-akan akarnya dapat meremas batu-batu karang manjadi tanah yang dapat ditanami. Pohon-pohon yang lain sudah mulai dicoba diantara batu-batu pada pegunungan.

Namun dalam pada itu batang-batang kayu metir sendiri telah memberikan penghasilan dan khusus bagi orang-orang di padukuhan Karangmaja. Selain daunnya yang dapat dipergunakan untuk membantu memberi makanan ternak, biji-bijinya dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi Pangeran Kuda Narpada tidak dapat melihat gunung yang semula kering itu sedikit demi sedikit manjadi manjadi hijau, meskipun dibeberapa bagian masih belum berhasil. Hujan yang jatuh dimusim basah memberikan banyak pengaruh atas pohon-pohon metir yang tersebar diatas pebukitan yang keras.

Dan setiap kali orang-orang Karangmaja memandang bukit yang mulai hidup itu, mereka selalu teringat kepada Pangeran Kuda Narpada. Seorang pangeran yang pernah hidup didalam lingkungan mereka dan yang pernah memberikan banyak sekali petunjuk bagi penduduk yang semula terlampau sedikit pengalamannya itu.

Tetapi kini Pangeran Kuda Narpada tidak ada lagi didalam istananya. Tidak seorangpun dapat mengatakan, kemana ia pergi. Yang mereka ketahui, pada suatu musim beberapa ekor kuda memasuki halaman istana itu. Tidak terlampau lama, sejenak kemudian penunggang-penunggang kuda itupun pergi bersama dengan Pangeran Kuda Narpada.

“Mereka adalah saudara-saudara seayah Kamas Kuda Narpada”

Ki Buyut Karangmaja telah berusaha untuk menanyakan hal itu kepada isteri Ki Narpada. Tetapi isterinya itupun hanya dapat menggelengkan kepala kepalanya dengan mata yang basah.

“Aku tidak mengerti, kemana Kamas Kuda Narpada itu pergi”

“Tetapi siapakah mereka yang datang itu?”

“Adimas Cemara Kuning dan Adimas Sendang Prapat bersama pengiringnya”

“Siapakah mereka itu?”.

Beberapa orang peronda hanya dapat memandang darin kejauhan. Semula mereka menyangka yang datang itu adalah beberapa orang tamu. Kemudian Pangeran Kuda Narpada ikut mengantarkan tamu itu ketempat tertentu. Tetapi ternyata, sejak saat itu Pangeran Kuda Narpada tidak pernah kembali lagi.

“Apakah Pangeran tidak mengatakan, kemana ia akan pergi?”

Raden Ayu Kuda Narpada tidak dapat menjawab. Ia hanya dapat menggelengkan kepalanya dengan lemah.

Sejak kepergian Pangeran Kuda Narpada ketempat yang tidak diketahui itulah, istana itu menjadi semakin sepi. Orang-orang Karangmaja yang semula sering datang dan duduk-duduk mendengarkan cerita Pangeran Kuda Narpada di pendapa kecil itupun makin lama menjadi semakin jarang berkunjung.

Raden Ayu Kuda Narpada sendiri tidak pernah menolak setiap kunjungann, tetapi orang-orang itu sendirilah yang menjadi semakin segan. Apalagi mereka tahu, bahwa tidak ada seorang laki-lakipun yang tinggal didalam istana itu.

Dihari-hari berikutnya, jika Raden Ayu Kuda Narpada keluar dari batas halamannya, maka berdatanganlah perempuan Karangmaja menyambutnya dan menawarkan apa saja yang ada pada mereka. Pada umumnya perempuan-perempuan itu pernah mendengar dari sumai mereka, bahwa Karangmaja menjadi hijau karena jasa Pangeran Kuda Narpada.

Di istana itu sendiri, suasananyapun terasa semakin sepi. Puteri Pangeran Kuda Narpada yang meningkat dewasa, rasa-rasanya telah kehilangan satu masa didalam garis hidupnya, justru masa yang paling cerah.

Tetapi ia tidak pernah mengeluh. Apalagi apabila ia melihat ibunya duduk termenung ditangga pendapa. Maka hatinyapun bagai tersayat.

Namun sebaliknya, demikian juga perasaan yang selalu membebani Raden Ayu Kuda Narpada, kadang-kadang ia menangis seorang diri didalam biliknya apabila ia membayangkan masa depan puterinya yang semakin dewasa.

“Apakah yang akan ditemukan didalam hidupnya kelak di tempat yang terpencil ini” katanya dalam hati.

Betapa rendah hati Pangeran Kuda Narpada sekeluarga, namun Raden Ayu Kuda Narpada tidak pernah membayangkan, dari mana anaknya akan mendapatkan jodohnya. Sama sekali tidak terkilas didalam angan-angannya, bahwa ada anak muda dari Karangmaja yang pantas untuk menjadi sisihan gadisnya.

Jika malam mulai menyentuh ujung pendapa istana kecil itu, dan kelapak kelelawar mulai mendengar diatas atap rumah yang tiris. Maka Raden Ayu Kuda Narpada mengantarkan gadisnya masuk kedalam biliknya. Kemudian ia sendiri duduk dibilik itu pula dengan hati yang resah.

Kadang-kadang masih juga tumbuh harapannya, pada suatu saat Pangeran Kuda Narpada akan datang kembali. Tetapi harapan itupun semakin lama menjadi semakin susut. Sehingga akhirnya hanyalah sebuah gambaran yang samar-samar. Yang tidak nampak jelas, tetapi yang tidak dapat dihapuskannya.

“Adimas Cemara Kuning dan adimas Sendang Prapat mengatakan bahwa mereka hanya memerlukan kamas Kuda Narpada beberapa saat saja. Secepatnya kamas Kuda Narpada akan dikembalikan. Tetapi beberapa bulan telah lampau, dan kamas Kuda Narpada tidak pernah datang kembali” keluh Raden Ayu Kuda Narpada setiap kali dalam hatinya.

Demikian pula terjadi pada putrinya Inten Prawesti. Rasa-rasanya ia ingin terbang menyusul ayahandanya yang pergi bersama pamannya.

“Tetapi kemana ayah dibawa oleh pamanda Cemara Kuning dan pamada Sendang Prapat?”

Menurut pengakuan kedua pangeran yang mengambil Pangeran Kuda Narpada itu, mereka mendapat perintah dari Raden Patah untuk memanggil Pangeran Kuda Narpada, tetapi ternyata Pangeran Kuda Narpada tidak pernah pulang kembali ke istananya yang terpencil.

“Apakah ayahanda mendapat tugas baru diistana Demak?”

Pertanyaan itu timbul pula didalam hati anak gadis itu, “Tetapi jika demikian, ayahanda tentu akan menjemput ibunda dan aku” ia melanjutkannya.

Namun seribu macam teka-teki itupun tidak dapat diketemukan jawabannya. Yang diketahui dengan pasti adalah, ayahandanya pergi tidak pernah kembali.

Sementara kedua penghuni istana itu tenggelam didalam angan sendiri, maka dibelakang, Nyi Upih, seorang abdi yang setia satu-satunya orang masih mengikuti Pangeran Kuda Narpada sampai ke Karangmaja, tidak henti-hentinya berdoa didalam hati agar Pangeran yang diikutinya itupun segera kembali.

Kadang-kadang masih juga terbayang didalam angan-angannya Nyi Upih, betapa beratnya perjalanan yang pernah ditempuh Pangeran Kuda Narpada memberikan kebebasan kepada para pengiringnya untuk memilih jalan masing-masing. Bahkan sebagian mendapat perintahnya untuk berpencar mencari Prabu Brawijaya disepanjang Gunung Sewu, sehingga akhirnya Pangeran Kuda Narpada tidak lagi diikuti oleh seorang pengiringpun.

“Agaknya Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat telah menemukan Prabu Brawijaya. Mungkin sudah berada di Demak, mungkin ditempat lain. Kemudian mereka mendapat perintah untuk mencari Pangeran Kuda Narpada” berkata Nyi Upih didalam hati. “Tetapi jika demikian, kenapa Pangeran Kuda Narpada tidak mengambil anak isterinya. Padahal anak isterinya adalah anak isteri yang dibawanya sejak dari Majapahit. Bukan selir yang diketemukan ditengah jalan yang dapat ditinggalkan ditengah jalan pula.”

Namun seperti Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti maka pertanyaan-pertanyan itu akan tetap menjadi pertanyaan yang tidak terjawab. Pangeran Kuda Narpada yang melambaikan tangannya saat meninggalkan tangga pendapa itu ternyata hilang seperti kapas ditiup anging kencang, melambung tinggi dan tidak tahu dimana akan hinggap.

Tetapi diantara pertanyaan yang terselip dihatinya, Nyi Upih menjadi berdebar-debar apabila ia mengenangkan tanggapan beberapa orang atas Pangeran Cemara Kuning. Ia tidak tahu sama sekali tentang Pangeran Cemara Kuning, ia tidak tahu sama sekali tentang Pangeran Sendang Prapat, karena ia baru melihat beberapa kali selama ia menghambakan diri kepada Pangeran Kuda Narpada. Tetapi tentang Pangeran Cemara Kuning, ia sering mendengar ceritera beberapa orang pelayan kawan-kawannya. :

“Si Sampir sudah diusirnya” berkata seorang kawannya. “Justru ketika Pangeran Cemara Kuning mengetahui perempuan itu mulai mengandung”

“Diusir?” bertanya Nyi Upih.

“Maksudku, pekatik-nyalah yang harus mengawininya”

“Alangkah senangnya pekatik itu mendapat triman” Nyi Upih berhenti sejenak “He…Bukankah Werdi juga diberikan kepada juru tamannya ketika ia mulai mengandung?”

“Mungkin, dan itu menjadi watak Pangeran Cemara Kuning”.

“Kau juga akan menjadi triman?” Nyi Upih bergurau. Dan kawannya mencubitnya sambil berkata “Aku tidak sudi, tetapi jika terpaksa apa boleh buat”

Nyi Upih tertawa, namun ia menjadi sedih juga. Memang ada satu dua orang dengan senang hati menerima nasib seperti itu. Mengandung dalam hubungannya dengan seorang bangsawan kemudian menjadi triman dengan pesangon yang banyak bagi dirinya sendiri dan bagi bakal suami yang harus dengan ikhlas menerimanya dalam keadaan apapun.

Tetapi Nyi Upih tidak terlampau dalam menyesali tingkah laku seorang bangsawan yang demikian. Yang paling sakit baginya justru Pangeran Cemara Kuning yang memang berwajah tampan itu tidak saja mengorbankan pelayan-pelayan perempuannya yang masih gadis saja, tetapi kadang-kadang mereka yang sudah bersuamipun diambilnya dengan segala pengaruh yang ada padanya. Pengaruh derajat dan pangkat, tetapi juga pengaruh kekayaan yang dimilikinya.

“Untuk berapa lama, ia dapat memenuhi segala keinginannya” berkata Nyi Upih didalam hatinya.

Peristiwa-peristiwa itu, ternyata telah mempengaruhi perasaannya. Pada saat terakhir. Pangeran Kuda Narpada pergi bersama Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat yang tidak begitu dikenalnya, membuatnya semakin lama semakin gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan semuanya itu kepada Raden Ayu Kuda Narpada dan puterinya, Inten Prawesti. Ia tidak sampai hati menambah parah luka dihati keduanya.

Tetapi justru karena itu, maka beban perasaan itu harus dipikul diatas pundaknya sendiri, tidak ada orang lain yang dapat membantu mambawa beban itu. Dan ia memang tidak ingin membaginya dengan orang lain.

Namun ternyata bahwa beban itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin berat, sehingga hampir tidak tertahankan lagi olehnya.

Sealan dengan itu, maka istana kecil itupun menjadi semakin suram pula. Raden Ayu Kuda Narpada semakin jarang keluar dari istananya. Apalagi puterinya Inten Prawesti. Yang kemudian harus pergi kepadukuhan Karangmaja untuk mendapatkan keperluan sehari-hari adalah Nyi Upih. Dan agaknya orang-orang Karangmajapun menganggap pelayan yang setia itu seperti saudara mereka sendiri.

Justru apabila Nyi Upih pergi kepadukuhan Karangmaja, rasa-rasanya ia sempat bernafas. Sehari-hari ia merasa terkurung didalam halaman istana kecil itu. Jarang sekali ia bercakap-cakap dengan Raden Ayu yang menjadi semakin pendam dan momongannya Inten Prawestipun nampaknya semakin murung. Sehingga dengan demikian, jika ia mendapat kesempatan untuk keluar dari istana itu, rasa-rasanya dadanya agak menjadi lapang, meskipun tidak ada tempat untuk mengadukan semua beban didalam hati.

Dalam kemurungan itu, kadang-kadang Inten Prawesti masih juga sempat mengajak Nyi Upih berjalan-jalan dibelakang istana kecilnya. Naik kelereng bukit yang sepi. Memandang lereng yang mulai hijau dan celah-celah bukit yang memberikan kesan tersendiri.

“Apakah ayahanda pergi lewat jalan itu?” bertanya Inten Prawesti kepada momongannya.

Nyi Upih memandang jalur jalan dibawah bukit kecil itu, sambil mengangguk kecil ia menjawab “Demikianlah agaknya, jalur jalan itu menuju ketempat yang sangat jauh”.

“Dan ayahandapun pergi ketempat yang sangat jauh. Sudah lebih dari setahun ayahanda tidak pulang kembali”.

Nyi Upih tidak menyahut, kepergian Pangeran Kuda Narpada memang sudah lebih dari bukan saja setahun, tetapi sudah lebih dari dua tahun.

Setiap kali Inten Prawesti mengajak Nyi Upih memanjat bukit kecil dan memandang jalur yang panjang berliku-liku dan yang ujungnya seolah-olah hilang menyusup kebawah bukit, gadis itupun menjadi semakin nampak suram, ada kerinduan yang menekan didalam dadanya. Kerinduan kepada ayahandanya yang diikutinya sejak dari pusat kerajaan agung Majapahit.

Kadang-kadang Nyi Upih mencoba untuk mengajak Inten Prawesti berjalan-jalan ketempat lain, tetapi gadis itu selalu menolak, dan mengajak pemomongnya naik kelereng bukit kecil dan mamandang jalan yang berliku-liku itu.

“Kenapa tidak pergi ke padukuhan itu saja puteri” bertanya Nyi Upih

Inten Prawesti menggelengkan kepalanya.

“Disini terlampau sepi. Kita tidak bertemu dengan seorangpun, tetapi di padukuhan kita dapat berbicara dengan orang-orang Karangmaja. Kadang-kadang yang mereka katakan memberikan pengalaman baru bagi kita. Kadang-kadang aneh, kadang-kadang tidak masuk akal dan kadang-kadang menggelikan sekali. Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai sikap hidup. Dan sikap hidup mereka, yang bertahun-tahun hidup didalam perjuangan melawan alam yang keras ini, dapat memberikan banyak petunjuk bagi kita”.

Tetapi Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, jawabnya “Aku lebih suka senang berada ditempat yang sepi”

“Puteri” berkata Nyi Upih “Bukankah dengan demikian kita akan menjadi samakin terasing dari pergaulan. Padahal pergaulan yang betapapun sederhananya, akan memberikan pengaruh bagi kita, manusia adalah makhluk yang hidup dalam lingkungannya, bukan seharusnya hidup menyendiri”.

Tetapi Inten Prawesti mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata “Aku mengerti Nyai, tetapi rasa-rasanya kini aku lebih senang hidup dalam ketenangan. Rasa-rasanya tidak ada lagi gairah untuk hidup dalam lingkungan yang luas, meskipun hanya seluas padukuhan Karangmaja. Disini aku mendapatkan kedamamaian hati. Tidak ada persoalan-persoalan yang menambah hidupku menjadi semakin suram”.

“Tetapi yang puteri dapatkan bukanlah kedamaian yang sejati, tetapi sekedar kesunyian, karena hati yang damai seharusnya memancar seperti pelita yang menerangi keadaan sekitarnya, bukan seperti pelita yang berada dibawah kerudung yang rapat, sehingga sinarnya tidak memberikan arti apapun bagi kehidupan si lingkungannya”.

Inten Prawesti menarik nafas dalam-dalam, katanya “Nyai, bagaimana hati ini dapat menjadi pelita yang menerangi lingkungannya, jika hati ini rasa-rasanya menjadi semakin suram dan bahkan padam. Itulah yang mungkin benar, kesuraman yang sepi, bukan kedamaian, karena didalam hati ini tersimpan kegelisahan yang menggelora”.

“Ah…” Nyi Upih menjadi semakin menyesal akan kata-katanya sendiri. Sehingga karena itu iapun segera menyahut “Sudahlah Puteri, bukankah puteri ingin mendapatkan kesegaran dengan berjalan-jalan diatas bukit ini?. Nah puteri dapat melihat lereng-lereng bukit yang menjadi hijau meskipun baru ditumbuhi batang metir. Tetapi kelak lereng itu akan dapat ditanami pepohonan yang mempunyai arti yang lebih besar lagi. Pohon aren, jambu kelutuk, bahkan mungkin sebuah ladang jagung”.

Inten Prawesti mengangguk-angguk, tetapi hatinya seolah-olah tidak melekat pada pemomongnya yang sedang mencoba untuk menggeser perhatian gadis itu.

Nyi Upih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang momongannya masih saja memandang jalur jalan yang berliku-liku seperti tubuh seekor ular raksasa yang membelit pebukitan.

Namun selagi mereka termenung diatas bukit kecil itu, tiba-tiba pendengaran mereka tertarik oleh suara seruling dikejauhan, suara seruling yang melengking menyusup celah-celah pebukitan.

Inten Prawesti yang selama itu rasa-rasanya tidak mempunyai perhatian terhadap apapun juga, agaknya sentuhan suara seruling itu dapat menggetarkan dinding hatinya pula.

“Nyai…” berkata Inten Prawesti “Kau mendengar suara seruling itu?”

“Ya..Puteri” jawab Nyi Upih, lalu “Suara seruling itu mengingatkan kita kepada kidung tentang cinta”

“Ah…” desah Inten Prawesti.

“Ooo…” Nyi Upih menutup mulutnya, ia sudah terlanjur lagi menyebutkan sesuatu yang hampir tidak dikenal oleh momongannya. Karena itu maka cepat-cepat ia menyambung “Seperti cinta Maha Pencipta atas kita yang telah memberikan banyak sekali kenikmatan. Meskipun kadang-kadang kita merasa sesuatu yang agak mengganggu, tetapi kurnia yang paling berharga bagi kita adalaj kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan dan gangguan didalam hidup kita.”

Inten Prawesti tidak menjawab.
“Puteri, cobalah dengar, lagu itu seperti mengalun dari langit”.

Untuk sejenak Intern Prawesti masih berdiam diri, agaknya suara seruling itu benar-benar dapat menyentuh hatinya.

Ternyata bahwa dihari berikutnya, Inten Prawesti mengajak Nyi Upih untuk pergi lagi ke bukit itu, rasa-rasanya ia ingin mendengar suara seruling yang pernah didengarnya itu.

“Seruling seorang gembala puteri, jika puteri ingin mendengar, maka puteri dapat memanggil gembala itu dan menyuruhnya bersenandung dihalaman istana.”

“Ah, tentu tidak akan merdu suara seruling yang diiringi oleh gemanya dilereng-lereng bukit seperti itu Nyai”

Nyai Upih tidak menjawab, iapun mengerti bahwa apabila gembala itu dibawa masuk halaman, kemudian duduk dipendapa dan meniup sulingnya, kesan getarannya akan jauh berbeda. Karena itu maka iapaun tidak lagi mengganggu Inten Prawesti yang sedang asyik mendengar lagu yang melontar dari seruling dikejauhan tanpa mengetahui siapakah yang membunyikannya. Lagu yang rasa-rasanya sengaja disesuaikan dengan gejolak yang sedang melanda dinding-dinding jantung Inten Prawesti, gejolak kerinduan kepada ayahandanya yang pergi bertahun-tahun yang lalu.

Tetapi sebenarnyalah ada perasaan rindu yang lain yang terselip didalam didalam hati gadis yang meningkat dewasa itu. Inten Prawesti sendiri tidak mengetahuinya. Apalagi orang lain. Sebagai seorang gadis yang sudah dewasa, maka hatinyapun menjadi peka sekali terhadap sentuhan yang sendu. Suara seruling itu agaknya telah membelainya, bukan saja sebagai curahan perasaan rindu kepada ayahandanya, tetapi sentuhan-sentuhan yang lain didalam kalbunya, karena seperti yang dikatakan oleh Nyi Upih, lagu itu adalah kidung cinta, Asmaradan, tembang yangn melontarkan gairah cinta yang menyala didalam kalbu.

Karena itu, maka rasa-rasanya suara seruling itu terdengar manis ditelinganya dan mendapat tempat dihatinya, seolah-olah suara seruling itu sengaja disiulkan untuknya.

“Nyai…, siapakah yang meniup seruling itu?” tiba-tiba Inten Prawesti bertanya.

“Seorang gembala, puteri. Seperti yang sudah aku katakan

“Apakah ia anak Karangmaja….?”

“Tentu, padukuhan yang lain terletak ditempat yang agak jauh, agaknya hanya anak-anak Karangmaja sajalah yang menggembalakan ternak-ternaknya sampai kelereng bukit itu”

Inten Prawesti merenung sejenak, tetapi ia menjadi kecewa jika suara itupun kemudian terhenti.

“Disaat-saat begini, gembala-gembala biasanya mulai mengumpulkan ternaknya, sebentar lagi mereka akan menggiringnya kembali ke kandang”.

Inten Prawesti hanya mengangguk-angguk saja.

“Matahari menjadi semakin rendah, sebentar lagi senja akan turun, sehingga ternak harus sudah berada di kandangnya, bukankah dilembah yang curam itu, kadang-kadang masih terdapat harimau yang berkeliarian?, karena itu menjelang senja para gembala harus sudah pulang”.

“Apakah disiang hari harimau itu tidak mau mencuri ternak?”

“Kadang-kadang puteri, tetapi disiang hari gembala-gembala itu mempunyai banyak kawan, juga orang-orang yang diladang. Jika ada seekor atau dua ekor harimau yang berani mengganggu ternak, maka beramai-ramai gembala itu melawannya, karena itu, mereka membawa senjata ke ladang”

Inten Prawesti menganguk-angguk pula.

“Sekarang, kitapun pulang puteri”

“Sebentar Nyai, Aku ingin melihat matahari menjadi semakin rendah dan turun ke punggun bukit”

“Ah…” wajah Nyai Upih menegang “Sudah aku katakan, disela-sela berbukitan itu masih berkeliaran harimau kumbang, mungkin macan tutul”

“Tetapi harimau-harimau itu tidak akan datang kemari, disini tidak ada ternak.”

Inten Prawesti tersenyum, senyum yang sudah jarang sekali nampak dibibirnya.

“Apakah suara seruling itu tidak akan terdengar lagi?”

“Besok lagi kita datang kemari untuk mendengarkan, mereka sekarang sudah pulang”

Inten Prawesti menarik nafas dalam-dalam, iapun tiba-tiba menjadi ngeri jika ada seekor harimau yang tersesat sampai keatas bukit kecil itu. Karena itu, maka katanya “Baiklah, kita akan pulang, besok kita akan mendengarkan seruling itu lagi” ia berhenti sejenak, lalu “Bagaimana jika kita pergi mendekat?”

“Ah, tidak mungkin, puteri. Jalan terlampau sulit, anak-anak gembala dapat berlari-lari di lereng yang terjal sambil menggiring ternak, tetapi kita tidak akan dapat merangkak sekalipun.”

Inten Prawesti mengangguk-angguk, ia mengerti, bahwa jalan dilereng bukit itu terlampau sulit dilalui sampai ke ladang tempat anak-anak menggembalakan ternaknya.

“Puteri” berkata Nyi Upih pula. “Matahari menjadi semakin terlampau rendah, apakah kita tidak sebaiknya pulang sekarang”

Inten Prawesti mengangguk, sekali ia masih memandang kelereng bukit, kearah seruling itu melontarkan tembang, namun kemudian iapun bergeser dan melangkah meninggalkan tempatnya.

Tetapi tiba-tiba saja ia langkahnya terhenti, ketika dengan tiba-tiba pula ia mendengar suara seruling itu pula, tidak sejauh yang didengarnya sebelumnya.

“Nyai…” desis Inten Prawesti.

Nyi Upihpun tertegun, suara seruling itu terdengar dekat sekali. Hanya dibalik gerumbul dibawah ujung bukit kecil itu

“Kau dengar suara seruling itu?” bertanya Inten Prawesti

“Tentu, puteri”

“Dekat sekali”

“Ya…dekat sekali”

Inten Prawesti memandang Nyi Upih yang menadi pucat.

“He…! Kenapa Kau”

“Suara seruling itu…?

“Kenapa…”

“Lain puteri, agak lain. Apakah puteri tidak merasakan perbedaannya.

Inten Prawesti bukan seorang yang mengerti tentang kidung dan tembang, tetapi ia merasakan ia memang merasakan sesuatu yang lain. Suara seruling yang didengarnya itu justru lebih menyentuh perasaannya, halus dan menggelayut.

“Nyai…, apakah hanya pendengaranku dan ketidak tahuanku tentang suara seruling?, lagunya bertambah indah”.

“Ya..ya.. puteri, lebih syahdu, tetapi…..” Ia berhenti sejenak.

“Tetapi apa Nyai…”

Nyi Upih memandang kesekelilingnya, ia tidak melihat seorangpun, sehingga kemudian ia berkata “Apakah aku hanya mendengar suaranya saja?”

“Oooh…” Inten Prawesti menepuk bahu pemomongannya, “Aku mengerti Nyai, Kau takut? Kau anggap suara seruling itu suara hantu yang sedang bermain seruling?”

“Puteri, tempat ini jarang sekali disentuh kaki manusia”

“Jika sekiranya ada hantu yang pandai bermain seruling apa salahnya?”

Nyi Upih mengerutkan lehernya, katanya “Marilah kita pulang”.

“Sebelum Inten Prawesti menjawab, maka suara seruling itupun tiba-tiba telah lenyap, seperti tiba-tiba saja suara itu melengking, sehingga Nyi Upih menjadi semakin gemetar. Bulu-bulu tubuhnya serasa berdiri. Sambil mendekati momongannya ia berkata “Puteri… marila kita cepat-cepat pulang”

Inten Prawesti mengangguk, tetapi ia sama sekali tidak menjadi ketakutan, ia yakin bahwa seorang gembala dengan sengaja telah mengganggunya, mungkin seorang ingin bergurau, seperti orang-orang Karangmaja sering bergurau dengan ayahandanya sebelum ayahandanya pergi.

Keduanya kemudian melangkah meninggalkan bukit itu dan kembali ke istana kecil yang terpencil itu.

“Puteri telah mengganggu pekerjaanku” berkata Nyi Upih sambil mencubit Inten Prawesti.

“Kenapa Nyai…?”

“Aku belum merebus air, ibunda biasanya mandi dengan air hangat. Karena aku ikut mendengarkan suara seruling itu, maka aku terlambat.

“Belum terlambat Nyai, dan biarlah aku yang mengatakannya kepada ibunda”

Tetapi ternyata Inten Prawesti tidak mengatakan tentang suara seruling itu, ia hanya mengatakan bahwa Nyi Upih telah dibawanya berjalan-jalan.

“Jangan terlalu jauh Inten” berkata ibundanya “Kita masih belum mengenal seluruh keadaan padukuhan itu, meskipun kita sudah beberapa tahun berada disini. Berbeda dengan ayahandamu, mengenal Karangmaja lebih baik dari orang-orang Karangmaja itu sendiri, tetapi kau belum”.

“Ya…ibunda”

“Apalagi menurut ceritera orang, didaerah pebukitan itu masih ada berkeliaran beberapa ekor harimau. Karena itu, sebaiknya jika kau ingin berjalan-jalan, pergi sajalah ke padukuhan. Orang-orang Karangmaja masih tetap baik kepada kita”

Inten Prawesti mengangguk saja, tetapi ia rasa-rasanya sudah sangat dipengaruhi oleh suara seruling, dan berlebih-lebih lagi suara yang tiba-tiba ada dibalik gerumbul yang tidak terlampau jauh daripadanya.

“Gembala-gembala itu pandai memandang meniup suling” katanya kepada Nyi Upih.

“Hanya seruling sajalah permainan mereka, mereka tidak dapat bermain-main dengan cara yang lain, apalagi bermain sembunyi-sembunyi atau semacamnya. Dengan demikian mereka akan meninggalkan ternak mereka, jika ternak mereka itu hilang, maka mereka akan menyesal.”

“Jadi mereka duduk-duduk saja sambil meniup seruling?”

“Ya… satu dua, yang lain bermain dengan kayu, membuat ukiran dan patung-patung kecil seperti yang terdapat diruang depan, anak-anaklah yang memberikan patung-patung kecil itu kepada pangeran waktu itu”.

Inten Prawesti mengangguk-angguk, ia memang melihat ukirang dan patung-patung kecil itu di ruang depan. Agaknya ayah dari anak-anak yang membuatnya telah memberikannya kepada ayahandanya sebelum ayahandanya pergi. Dan ternyata bahwa patung-patung kecil itu sampai saat itu masih disimpannya baik-baik.

Tetapi dihari berikutnya terjadilah sesuatu yang agak lain dan tidak disangka-sangka sama sekali. Sebelum Inten Prawesti pergi ke bukit kecil, tempat ia biasa mendengarkan suara seruling dan mamandang jalan kecil yang berliku-liku disela-sela bukit, tiba-tiba saja terdengar suara seruling dari pendapa rumahnya. Suara itu memang agak jauh, tetapi jelas terdengar.

“Nyi Upih” ia memanggil pemomongnya yang masih ada didapur, “Kau mendengar suara seruling itu?”

Nyi Upih mencoba mendengarkannya, tetapi ia menggeleng “Aku tidak mendengar , puteri”.

“Aku telah mendengarkannya”.

“Tetapi aku tidak”

Inten Prawestipun kemudian mencoba mendengarkan suara itu, tetapi agaknya suara seruling itu memang tidak terdengar dari dapur, karena suara air yang mendidih didalam belanga.

Inten Prawestipun menarik tangan Nyi Upih dan mengajaknya ke pendapa.

“Ada apa Inten?” bertanya ibunya yang melihat anaknya menarik tangan pemomongnya.

Inten Prawesti tidak menjawab, tetapi Nyi Upihlah yang menyahut. Suara seruling Gusti, suara itu terdengar jelas dari pendapa”.

“Ah hanya suara seruling”

Inten Prawesti sama sekali tidak menjawab, tetapi ia menarik Nyi Upih melintasi ruang dalam, langsung ke pendapa.

Ketika mereka berdiri di pendapa, maka Nyi Upihpun mencoba mempertajam pendengarannya, tetapi ia tidak mendengar apa-apa.

“Apa puteri masih mendengarnya?”

“Inten mengerutkan keningnya, dengan kecewa, ia menggeleng lemah “Suara itu sudah tidak terdengar lagi Nyai;

“Aku kira puteri terlampau memikirkan suara seruling itu, sehingga ketika angin berhembus dan mengguncang dedaunan, suaranya seperti suara seruling yang merdu”

“Ah…, tentu lain” jawab Inten “Apakah kau kira aku sudah tidak dapat membedakan lagi suara seruling dan suara gemerisik dedaunan?”

al I �+e ' ��T �T n-top-alt:auto;mso-margin-bottom-alt:auto; line-height:normal'>Setelah berkata demikian, bayangan itu lenyap dari penglihatan.

Tenaga Sangaji seperti punah. Dan pada detik itu, ia rebah tak sadarkan diri. Titisari yang berada di dekatnya segera menolong menyadarkan. Dan begitu sadar kembali, Sangaji mengembara matanya. Para pendekar ternyata tetap berada pada tempatnya dengan memancarkan pandang kagum. Ia heran. Berkata nyaring kepada Titisari.

"Titisari! Kemana dia perginya?"

"Siapa yang pergi?" Titisari heran.

"Eh tadi... eh ... Mapatih Lawa Ijo!"

"Lawa Ijo?" Titisari bertambah-tambah heran. Mendadak tertawa manis seraya berkata, "Eh kau sedang bermimpi atau ..."

"Titisari! Kau melihat apa?" Sangaji memo-tong. Sekarang pandangnya berkesan bi-ngung. Ia mengucak-ucak matanya. Bukan-kah aku tidak tidur?

"Tidak! Kau sedang menghancurkan kedua pusaka warisan. Aku hanya melihat suatu letikan cahaya. Lalu kau rebah! Agaknya kau sangat bernafsu sampai kehilangan keseim-banganmu."

"Benar ... benar ... tapi lantas ... kau melihat apa?"

Sangaji terbata-bata. "Aku melihat apa?" "Apakah kau tidak mendengar suara gele-gar?"

Titisari bergeleng kepala dengan wajah heran.

"Cahaya cerah membubung tinggi?" Sangaji menegas.

"Tidak. Hanya suatu kejapan. Itulah terjadi karena suatu geseran antara kedua pusaka-mu."

"Aneh!"

"Apakah yang aneh?"

Sangaji benar-benar menjadi bingung. Berkata lagi dengan gopoh. "Apakah engkau tidak melihat asap bergumpalan?"

"Lalu angin puyuh? Lalu bumi benderak-derak? Lalu..."

Titisari menarik napas. Dengan memegang bahunya, gadis itu berkata penuh pengertian. "Marilah kita temui Ayah dahulu. Lantas kita mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat. Pada akhir-akhir ini dalam dirimu memang bertumpuk-tumpuk berbagai persoalan rumit..."

Sangaji tertegun mendengar kata-kata Titisari. Tak dapat mengerti, apa sebab Titisari tak melihatnya. Terhadap keterangan seorang, dalam keadaan begitu betapapun juga ia akan menyangsikan. Tetapi terhadap keterangan Titisari ia harus percaya. Titisari tak pernah berbohong kepadanya. Maka ia menghela napas. Lalu berkata, "Baiklah. Perlahan-lahan kelak kuceritakan. Tetapi ... engkau melihat suatu cahaya, bukan? ... Tetapi sekarang di mana kedua benda itu?"

"Lihatlah! Semua paman-pamanmu terte-gun karena kagum menyaksikan tenaga sak-timu. Karena kedua pusaka itu hancur menjadi debu kena remas tenaga saktimu yang dahsyat," jawab Titisari meyakinkan.

Sangaji menebarkan matanya dan melihat sekalian pendekar berdiri tertegun meng-awaskan dirinya. Wajah mukanya menyatakan suatu kekaguman yang sangat.

Dalam keheningan itu, terdengarlah pen-dekar besar Gagak Seta tertawa nyaring.

"Anakku Sangaji! Kau disebut anak tolol, tapi sebenarnya tidak. Semua orang di jagat ini tahu bahwa warisan Pangeran Semono kini sudah tersimpan di dalam dadamu. Meskipun bendanya tiada lagi dalam persada bumi ini... tapi kau telah menyimpan rahasianya di dalam rasamu. Bagus! Kalau kelak ada yang berpe-nasaran, bolehlah mencari dirimu. Tanggung akan ketumbuk batu! ... Hai, Jangkrik Bongol kau mau bilang apa?"

Adipati Surengpati mendengus. Ia mem-bungkam. Titisari datang padanya dengan berlarian. Kemudian berkata, "Ayah! Selamanya anakmu membuat hati Ayah risau. Sekarang, biarlah aku bersumpah akan me-rawat Ayah baik-baik. Karena ... lihatlah Ayah, aku membawa bakal menantumu pulang ke kandang

Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta, Wirapati dan sekalian anak murid Kyai Kasan Kesambi kenal akan lagak lagu Adipati Surengpati. Ternyata ayah dan anaknya tidak jauh bedanya. Mereka berdua nampaknya tidak menghiraukan pandang orang lain. Enak saja ia mengutarakan rasa hatinya di depan umum tanpa bersegan-segan. Di antara mereka Sesungguhnya hanya Gagak Seta yang kenal benar akan watak Adipati Surengpati. Lantas saja ia berseru nyaring, "Hai, Adipati Surengpati! Dengan ini aku membungkuk hormat padamu berbareng menyatakan takluk. Karena engkau kini akhirnya memperoleh seorang menantu yang paling tinggi ilmunya di zaman ini. Siapa berani bersaing lagi dengan keluargamu. Hanya saja, kapan kita semua bisa menghadiri hari upacara perkawinan-nya?"

Merah wajah Titisari mendengar kata-kata pendekar Gagak Seta. Betapapun juga ia se-orang gadis. Meskipun polos tapi mengenai soal yang satu itu, mestinya hanya enak untuk dibicarakan sendirian dengan kasak-kusuk.

Gagak Seta tertawa senang. Katanya lagi, "Kau iblis kecil, hayo bilanglah bahwa hatimu tidak berbahagia. Karena itu tertawalah! Gurumu ini sudah lama merindukan bunyi tertawamu...!"

Dan benar-benar Titisari tertawa dengan hati berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar